Oleh: HENDRA SUGIANTORO Dimuat di Resensi Buku Harian Jogja, Kamis 13 Januari 2011
Judul Buku: Hamengkubuwono IX Penulis: K. Tino Penerbit: NAVILA IDEA, Yogyakarta Cetakan: I, 2010 Tebal: vi+197 halaman
Sri Sultan Hamengkubuwono IX(1912-1988) tak sekadar pernah menjadi raja Kasultanan Yogyakarta, namun juga tokoh pejuang dan negarawan. Dukungannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak diragukan.
Kontribusinya terhadap RI jelas tak dinafikan. Sebagaimana diketahui, kondisi Indonesia belumlah stabil pada awal kemerdekaan, apalagi Belanda masih hendak melakukan intervensi. Dalam keadaan genting, pusat pemerintahan dari Jakarta pun dipindahkan ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946. Sultan HB IX turut membantu perjuangan RI mempertahankan kemerdekaan.
Saat perang kemerdekaan, Yogyakarta juga menjadi sasaran penyerbuan Belanda. Para pemimpin Indonesia menjadi target penangkapan. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi sempat didirikan. Aksi Belanda mendapatkan kecaman dunia internasional. Namun, Belanda bersikap pongah, bahkan menganggap Indonesia telah tiada dengan keberhasilan menangkap para pemimpin RI. Belanda mengira Indonesia tak bisa melakukan perlawanan. Sri Sultan HB IX mengatur siasat agar eksistensi RI tetap terjaga. Dengan inisiasi Sri Sultan HB IX, Belanda mendapatkan perlawanan lewat strategi terpadu bertajuk Serangan Umum 1 Maret 1949. Hal ini sedikit banyak membuka mata dunia internasional bahwa eksistensi RI masih berlanjut.
Sri Sultan HB IX memiliki karir politik di tingkat nasional. Ia pernah menjabat Menteri Negara dalam Kabinet Sjahrir (2 Oktober 1946-27 Juni 1947), Menteri Negara dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947-11 November 1947) dan Kabinet Amir Sjarifuddin II (11 November 1947-29 Januari 1948). Pada masa Kabinet Hatta I (29 Januari 1948-4 Agustus 1949), ia tetap menjadi Menteri Negara. Dalam Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949-20 Desember 1949), ia menjadi Menteri Pertahanan atau Koordinator Keamanan Dalam Negeri. Jabatan ini tetap dipegangnya dalam Kabinet Hatta saat pemerintahan RIS. Dalam Kabinet Natsir (6 September 1950-27 April 1951), ia menjabat Wakil Perdana Menteri.
Karir politik nasional Sri Sultan HB IX terus berjalan di era Soeharto. Selama Orde Baru, jabatannya dalam kabinet lebih dominan mengurusi bidang keuangan dan ekonomi sampai akhirnya menjadi Wakil Presiden pada 1973-1978. Pada masa Orde Baru muncul istilah triumvirat (Tiga Serangkai): Soeharto, Sri Sultan HB IX, dan Adam Malik. Buku ini mencoba menjelaskan soal tiga serangkai ini yang kadang dianggap pro Amerika Serikat. Mungkin saja Sri Sultan HB IX dimanfaatkan Soeharto mengawal transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Buku ini juga menjelaskan duduk perkara beberapa pihak yang menyebut tiga serangkai ini sengaja dibentuk sebagai pemerintahan bayangan di tengah agenda CIA menggulingkan Soekarno dengan memanfaatkan situasi krisis pasca-G 30/S. Yang jelas, Sri Sultan HB IX menolak perpanjangan sebagai Wakil Presiden pada 1978.
Membaca buku ini, kita diajak menelusuri kiprah Sri Sultan HB IX. Ada banyak kisah terpapar. Sri Sultan HB IX adalah tokoh nasional yang telah menciptakan fenomena dan meninggalkan nama.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Pena Profetik, tinggal di Yogyakarta
Judul Buku: Hamengkubuwono IX Penulis: K. Tino Penerbit: NAVILA IDEA, Yogyakarta Cetakan: I, 2010 Tebal: vi+197 halaman
Sri Sultan Hamengkubuwono IX(1912-1988) tak sekadar pernah menjadi raja Kasultanan Yogyakarta, namun juga tokoh pejuang dan negarawan. Dukungannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak diragukan.
Kontribusinya terhadap RI jelas tak dinafikan. Sebagaimana diketahui, kondisi Indonesia belumlah stabil pada awal kemerdekaan, apalagi Belanda masih hendak melakukan intervensi. Dalam keadaan genting, pusat pemerintahan dari Jakarta pun dipindahkan ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946. Sultan HB IX turut membantu perjuangan RI mempertahankan kemerdekaan.
Saat perang kemerdekaan, Yogyakarta juga menjadi sasaran penyerbuan Belanda. Para pemimpin Indonesia menjadi target penangkapan. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi sempat didirikan. Aksi Belanda mendapatkan kecaman dunia internasional. Namun, Belanda bersikap pongah, bahkan menganggap Indonesia telah tiada dengan keberhasilan menangkap para pemimpin RI. Belanda mengira Indonesia tak bisa melakukan perlawanan. Sri Sultan HB IX mengatur siasat agar eksistensi RI tetap terjaga. Dengan inisiasi Sri Sultan HB IX, Belanda mendapatkan perlawanan lewat strategi terpadu bertajuk Serangan Umum 1 Maret 1949. Hal ini sedikit banyak membuka mata dunia internasional bahwa eksistensi RI masih berlanjut.
Sri Sultan HB IX memiliki karir politik di tingkat nasional. Ia pernah menjabat Menteri Negara dalam Kabinet Sjahrir (2 Oktober 1946-27 Juni 1947), Menteri Negara dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947-11 November 1947) dan Kabinet Amir Sjarifuddin II (11 November 1947-29 Januari 1948). Pada masa Kabinet Hatta I (29 Januari 1948-4 Agustus 1949), ia tetap menjadi Menteri Negara. Dalam Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949-20 Desember 1949), ia menjadi Menteri Pertahanan atau Koordinator Keamanan Dalam Negeri. Jabatan ini tetap dipegangnya dalam Kabinet Hatta saat pemerintahan RIS. Dalam Kabinet Natsir (6 September 1950-27 April 1951), ia menjabat Wakil Perdana Menteri.
Karir politik nasional Sri Sultan HB IX terus berjalan di era Soeharto. Selama Orde Baru, jabatannya dalam kabinet lebih dominan mengurusi bidang keuangan dan ekonomi sampai akhirnya menjadi Wakil Presiden pada 1973-1978. Pada masa Orde Baru muncul istilah triumvirat (Tiga Serangkai): Soeharto, Sri Sultan HB IX, dan Adam Malik. Buku ini mencoba menjelaskan soal tiga serangkai ini yang kadang dianggap pro Amerika Serikat. Mungkin saja Sri Sultan HB IX dimanfaatkan Soeharto mengawal transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Buku ini juga menjelaskan duduk perkara beberapa pihak yang menyebut tiga serangkai ini sengaja dibentuk sebagai pemerintahan bayangan di tengah agenda CIA menggulingkan Soekarno dengan memanfaatkan situasi krisis pasca-G 30/S. Yang jelas, Sri Sultan HB IX menolak perpanjangan sebagai Wakil Presiden pada 1978.
Membaca buku ini, kita diajak menelusuri kiprah Sri Sultan HB IX. Ada banyak kisah terpapar. Sri Sultan HB IX adalah tokoh nasional yang telah menciptakan fenomena dan meninggalkan nama.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Pena Profetik, tinggal di Yogyakarta