Kita adalah Pahlawan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca Suara Merdeka,Kamis 19 Nopember 2009
Indonesia saat ini tentu saja merupakan jerih payah para pahlawan. Beribu-ribu pahlawan telah merelakan jiwa raganya untuk memerdekakan tanah persada dari hegemoni penjajahan. Tidak ada kata lain bagi para pahlawan bangsa ini kecuali berkorban dan berjuang demi tegaknya Indonesia Raya. Negeri elok rupawan ini harus tetap bertahan dan dipertahankan sebagai negara yang merdeka sekaligus berdaulat. Para pahlawan itu telah berjasa bagi negara. Kita berkewajiban menghargai mereka dengan bersungguh-sungguh membangun negara.

Diakui jika para pahlawan dalam lintasan sejarah Indonesia telah meletakkan pondasi kokoh bagi keberlangsungan republik ini. Bagi kita yang kini hidup di alam kemerdekaan diharapkan tidak sekadar menghargai perjuangan mereka hanya dengan memperingati Hari Pahlawan setiap tahunnya. Lebih dari itu, kita dituntut untuk dapat meneladani dan meneruskan perjuangan mereka. Bangsa besar yang menghargai jasa para pahlawan tidak sekadar menggunakan nama-nama mereka sebagai nama jalan raya.

Pastinya, perjuangan membangun Indonesia tidak akan pernah berakhir. Perjuangan yang juga menuntut sikap mengutamakan kepentingan bangsa sebagaimana dicontohkan para pahlawan. Merusak dan tidak ramah terhadap lingkungan merupakan perilaku negatif yang amat bertentangan dengan sikap mengutamakan kepentingan bangsa. Begitu juga dengan perilaku korupsi yang banyak merugikan kepentingan bangsa dan negara.

Mencermati kondisi Indonesia yang penuh permasalahan, maka kehadiran sosok pahlawan memang senantiasa dinantikan. Namun demikian, hadirnya sosok pahlawan itu tidak perlu dicari-cari. Kita tidak perlu mencari pahlawan lingkungan, karena sikap peduli lingkungan telah menjiwai perilaku kita. Tidak perlu mencari-cari pahlawan antikorupsi, karena setiap diri kita telah bersih dari perilaku korupsi.

Di zaman kemerdekaan ini kita berkewajiban menjadi pahlawan Indonesia . Pahlawan yang siap sedia membangun negeri tanpa pernah berpikir soal keuntungan pribadi. Menjadi pahlawan Indonesia dengan sendirinya juga mampu menampilkan perilaku positif dan kepribadian utama. Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro
Karangmalang Yogyakarta 55281

Menjadi Generasi Pembelajar

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bedah Buku Kedaulatan Rakyat, Minggu 15 November 2009
Judul Buku:
Prophetic Learning; Menjadi Cerdas dengan Jalan Kenabian Penulis: Dwi Budiyanto Penyunting: Yusuf Maulana Penerbit: Pro-U Media, Yogyakarta Cetakan: I, 2009 Tebal: 268 hlm
Ilmu dalam kehidupan sangatlah penting. Dengan ilmu, kedudukan manusia mendapatkan kemuliaan. Allah SWT telah mewajibkan bagi siapa pun untuk menuntut ilmu sebagai bekal kehidupan di dunia dan di akhirat. Untuk mendapatkan ilmu, seseorang dituntut untuk senantiasa belajar. Belajar untuk mendapatkan ilmu sekaligus mengamalkannya.

Berbicara mengenai tradisi belajar, ada contoh luar biasa yang diperlihatkan generasi awal Islam (salafush-shalih). Agar beroleh ilmu, generasi Islam zaman awal memiliki kemauan yang kuat dan semangat yang membara. Maka, tidaklah heran jika kita menyaksikan kehidupan mereka sarat dengan aktivitas belajar. Untuk mendapatkan ilmu, mereka tidak segan-segan melakukan pengembaraan intelektual, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Sebut saja perjalanan menuntut ilmu yang dilakukan Imam Syafi’i. Pada awalnya, Imam Syafi’i belajar sastra Arab kepada Muslim bin Khalid az-Zanji. Setelah itu, ia mendatangi beberapa ulama untuk belajar fikih di Mekah. Pergi ke Madinah, Imam Syafi’i belajar kepada Abu Abdullah Malik bin Anas. Tidak berhenti di Madinah, Imam Syafi’i melanjutkan perjalanan menuntut ilmu ke Yaman dan Irak. Ada banyak kisah tradisi belajar yang dimiliki generasi salafush-shalih yang dipaparkan dalam buku ini. Di zaman Nabi Muhammad SAW, Zaid bin Tsabit pernah belajar bahasa Ibrani dan menguasainya hanya dalam waktu 15 hari. Semangat untuk belajar pernah dipertunjukkan Abu Raihan al-Biruni yang masih menyempatkan bertanya tentang perkara berkaitan dengan fikih meskipun ajal hampir menjemputnya.

Dengan membaca buku ini, kita bisa melakukan refleksi terkait tradisi belajar yang kita miliki. Ada kecenderungan minimnya motivasi belajar yang terdapat di benak pelajar dan mahasiswa saat ini. Bahkan, kegigihan belajar tampak kurang dengan perilaku jalan pintas yang sering kali diperlihatkan. Banyak pelajar dan mahasiswa yang menghalalkan perilaku mencontek agar mendapatkan nilai memuaskan. Padahal, perilaku mencontek menyebabkan ilmu yang didapatkan tidak menjadi berkah. Berbeda dengan generasi Islam awal yang sangat hati-hati dalam aktivitas belajarnya sehingga menghindari perbuatan-perbuatan buruk. Sikap menghindari perbuatan kemaksiatan terlihat nyata dalam generasi salafush-shalih untuk menjaga keimanan dan keilmuan mereka. Dengan menyaksikan tradisi belajar generasi salafush-shalih, ada pelajaran yang bisa kita petik. Motivasi yang ikhlas (ikhlas an-niyah) sangat tampak pada generasi salafush-shalih. Mereka belajar semata-mata untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Dalam belajar, generasi salafush-shalih melakukannya dengan sebaik-baiknya (itqan al-’amal). Belajar dilakukan sebaik mungkin dengan etos belajar yang tinggi. Generasi salafush-shalih memanfaatkan hasil belajarnya dengan tepat.

Buku yang ditulis Dwi Budiyanto ini mengajak siapa pun untuk menyadari pentingnya belajar. Generasi salafush-shalih telah memperlihatkan contoh luar biasa dalam kebiasaan membaca, menulis, pengembaraan ilmiah, dan tradisi berpikir yang perlu kita teladani.
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta