Mahasiswa dan Program Wirausaha

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Kiprah JOGJA RAYA, Kamis 13 Oktober 2011

Kini kewirausahaan (enterpreneurship) mengemuka menjadi tema sentral. Di bangku universitas, misalnya, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas mengkonsep pengembangan jiwa kewirausahaan mahasiswa. Mata kuliah kewirausahaan pun coba diajarkan. Pelbagai program untuk melatih dan mengasah jiwa kewirausahaan mahasiswa juga digulirkan, salah satunya melalui Program Mahasiswa Wirausaha (PMW). Melalui program ini, mahasiswa secara individual ataupun kelompok bisa mengajukan proposal kegiatan usaha ke universitasnya. Jika diterima, usaha yang direncanakan bisa dijalankan dengan kucuran dana PMW. Besaran dana tergantung kebutuhan pengembangan usaha, dilakukan mahasiswa secara individual atau kelompok. Besarnya dana bisa mencapai maksimal sekitar Rp 8 juta untuk individu, sedangkan untuk kelompok bisa mencapai maksimal sekitar Rp 24 juta sampai Rp 40 juta. Untuk kelompok mahasiswa, jumlah maksimal anggota adalah 5 mahasiswa.

Ada beberapa tujuan dari pengguliran PMW ini. Pertama,
menumbuhkan motivasi berwirausaha di kalangan mahasiswa. Kedua, membangun sikap mental kewirausahaan, yakni percaya diri, sadar akan jati dirinya, bermotivasi untuk meraih suatu cita-cita, pantang menyerah, mampu bekerja keras, kreatif, inovatif, berani mengambil risiko dengan perhitungan, berperilaku pemimpin dan memiliki visi ke depan, tanggap terhadap saran dan kritik, memiliki kemampuan empati dan keterampilan sosial. Ketiga, meningkatkan kecakapan dan keterampilan para mahasiswa khususnya sense of business. Keempat, menumbuhkembangkan wirausaha-wirausaha baru yang berpendidikan tinggi. Kelima, menciptakan unit bisnis baru yang berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Keenam, membangun jejaring bisnis antar-pelaku bisnis, khususnya antara wirausaha pemula dan pengusaha yang sudah mapan.

Yang membanggakan,
dari pelbagai laporan dan berita di media massa, minat mahasiswa mengikuti PMW tak terbilang rendah. Fakta ini layak diapresiasi sebagai bentuk keinginan dan komitmen mahasiswa berwirausaha. Namun, tak seluruh mahasiswa bisa mengikuti program ini. Ada syarat khusus, seperti telah menyelesaikan kuliah empat semester atau minimal telah menempuh 80 satuan kredit semester (SKS). Itu untuk S-1. Adapun mahasiswa program diploma paling tidak telah menempuh kuliah tiga semester atau minimal telah menempuh 60 SKS. Sebuah tim profesional akan menyeleksi sebelum meloloskan mahasiswa mengikuti program ini.

Bagi mahasiswa atau kelompok usaha mahasiswa yang mengikuti program ini, besarnya dana yang diberikan merupakan modal usaha. Status dana tersebut hanya pinjaman
yang nantinya dikembalikan. Mahasiswa atau kelompok usaha mahasiswa tetap bisa mendapatkan keuntungan dari hasil usaha meskipun harus mengembalikan dana pinjaman. Tentu saja, mahasiswa atau kelompok usaha mahasiswa yang terhitung berhasil membangun dan mengembangkan usahanya takkan mengalami kerugian. Adapun mahasiswa atau kelompok usaha mahasiswa yang kurang berhasil akan menerima konsekuensi tersendiri. Konsekuensinya bermacam-macam sesuai kebijakan masing-masing universitas, seperti penahanan ijazah saat kelulusan atau lainnya. Meskipun kurang berhasil, mahasiswa atau kelompok usaha mahasiswa tetap harus mengembalikan dana pinjaman. Di sinilah sikap ulet dan berani menghadapi risiko diuji. Sikap pantang menyerah perlu ditunjukkan mahasiswa atau kelompok mahasiswa yang mengikuti program ini, sehingga dana pinjaman bisa dikembalikan.

Adanya program menumbuhkan jiwa kewirausahaan mahasiswa pastinya akan berdampak positif bagi pembangunan karakter mahasiswa. Mahasiswa harapannya tidak berorientasi mencari kerja semata (job seeker), tapi kuasa menciptakan lapangan pekerjaan (job creator). Ketika lulus dari bangku universitas, para sarjana tak melulu berburu lowongan pekerjaan, namun memiliki kemandirian. Mahasiswa atau kelompok usaha mahasiswa yang mengikuti program ini tentu tidak dibiarkan tanpa pendampingan. Pendampingan dilakukan oleh staf-staf pengajar universitas yang telah ditunjuk. Bahkan, pengusaha-pengusaha yang mapan juga bisa diikutkan untuk mendampingi dan membina para mahasiswa. Melalui PMW, mahasiswa bisa melakukan usaha bermacam-macam, seperti peternakan ikan lele, usaha penjualan laptop atau komputer, membuka warung makan, membuka usaha penerbitan buku, dan usaha lainnya.

Melalui PMW, pengetahuan dan keterampilan kewirausahaan harapannya bisa dimiliki mahasiswa. Mahasiswa bisa memiliki mental kewirausahaan, bahkan mampu memiliki jejaring bisnis. Selain itu, lulusan universitas juga diharapkan memberikan kontribusi bagi masyarakat dan lingkungannya. Dengan usaha yang dikembangkan, lulusan sarjana bisa memperluas lapangan kerja untuk turut serta mengurangi pengangguran. Di sinilah pengabdian kepada masyarakat dalam tridarma perguruan tinggi menemukan maknanya. Setelah lulus, seorang sarjana mampu turut serta mengatasi permasalahan ketidakberdayaan ekonomi masyarakat. Seorang sarjana bukan malah menambah deret panjang pengangguran. Semoga. Wallahu a’lam.

Tantangan Kewirausahaan di Kampus

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA, Kamis 13 Oktober 2011

Meskipun terkesan mulai marak akhir-akhir ini, pendidikan kewirausahaan bagi mahasiswa pada dasarnya bukan hal yang baru. Serian Wijatno (2009) memaparkan bahwa pendidikan entrepreneurship mulai bermunculan di Indonesia pada tahun 1980-an. Pada tahun 2000-an, pendidikan entrepreneurship semakin digalakkan. Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mendorong berkembangnya pendidikan entrepreneurship, di antaranya melalui pendanaan kegiatan kemahasiswaan dalam bidang entrepreneurship. Pertanyaan pun muncul, jika telah lama digalakkan, mengapa dampaknya belum signifikan mengatasi pengangguran lulusan perguruan tinggi?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut memang tak mudah. Dalam hal ini, penulis mencoba menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan belum berhasilnya pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi. Pertama, tidak seluruh mahasiswa mengikuti program-program kewirausahaan di perguruan tinggi. Hanya mahasiswa-mahasiswa tertentu yang turut serta dalam program kewirausahaan berdasarkan minat. Sebut saja Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) yang diadakan sejak tahun 2009, mahasiswa yang berminat dan memenuhi syarat saja yang mengikutinya. Artinya, pembelajaran kewirausahaan di lapangan tak menyentuh seluruh mahasiswa.

Kedua, kewirausahaan lebih pada tataran pengetahuan semata. Meskipun perguruan tinggi mewajibkan mahasiswa menempuh mata kuliah kewirausahaan, namun bukan jaminan mahasiswa mau mempraktikkannya. Ketika mendengarkan pemaparan dosen di kelas masih mungkin muncul spirit dan keinginan untuk berwirausaha, tetapi dimungkinkan hilang usai kuliah. Ketiga, lemahnya mentalitas untuk terjun berwirausaha. Ketika terjun di ranah kewirausahaan, tantangan dan kerja keras merupakan keniscayaan. Mahasiswa dengan mentalitas pragmatis cenderung tak menyukai kerja-kerja yang merepotkan. Mungkin tak banyak mahasiswa yang tekun, ulet, pantang menyerah, dan memiliki spirit juang tinggi.


Ketiga faktor di atas tentu bisa dimaknai sebagai tantangan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi. Pembelajaran secara teori penting, tetapi pembelajaran kewirausahaan secara praktik tak bisa diabaikan. Mahasiswa juga perlu terus-menerus dibangun jiwa kewirausahaannya meskipun sebenarnya sudah harus ditempa melalui pendidikan keluarga sejak kecil. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pembelajar di UPY Jogja