Saatnya Kabinet Berbendera Merah Putih

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Gagasan Suara Merdeka, Selasa 15 September 2009

PENYUSUNAN kabinet adalah hak prerogatif presiden. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden terpilih tentu sosok yang arif dalam menentukan menteri-menteri sebagai pembantunya. Menteri-menteri yang akan membantu SBY dalam pemerintahan eksekutif 2009-2014 tetaplah harus orang yang berkualitas. Profesionalisme adalah syarat mutlak sehingga kabinet mendatang mampu bekerja dengan kemampuan prima. Kepentingan negara harus diutamakan ketimbang kepentingan parpol dalam menentukan komposisi kabinet lima tahun ke depan.

Maka, tak ada alasan bagi parpol untuk merengek meminta jatah menteri. Parpol koalisi pendukung SBY-Boediono hendaknya mawas diri. Politik dagang sapi dalam penyusunan kabinet selayaknya dihindari. SBY tentu akan memperhatikan Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB sebagai lima partai utama mitra koalisi. Perhatian terhadap parpol mitra koalisi bukan berarti membagi posisi menteri sama rata. Boleh jadi satu parpol memiliki lima menteri dalam kabinet, bahkan hanya satu menteri. Hal ini bukan menandakan ketidakadilan, namun kesadaran bahwa kabinet yang disusun adalah kabinet profesional dan kabinet ahli. Posisi menteri bukanlah posisi main-main, maka harus diisi oleh orang yang ahli dan profesional. Ada tanggung jawab besar dalam setiap posisi menteri untuk dapat bekerja maksimal mengurusi kepentingan rakyat.

Dalam hal ini, SBY tidak dilarang mengambil orang dari luar parpol untuk mengisi kabinetnya. Dengan melakukan pembacaan terhadap permasalahan kini dan tantangan ke depan, SBY berkewajiban mencari-temukan orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Parpol-parpol seyogianya menyadarinya sebagai keniscayaan sehingga nantinya tidak menjadi musuh dalam selimut. Jika memang orang-orang dari parpol tidak terpilih, parpol wajib legawa. Parpol tidak bisa berubah haluan menjadi penentang pemerintah hanya karena kurang diakomodir dalam penyusunan kabinet. Sikap kritis memang dibutuhkan, tapi jangan muncul karena kecewa tidak mendapatkan posisi menteri sesuai yang diinginkan. SBY tidak mempunyai hutang kepada parpol karena telah mendukungnya dalam Pilpres lalu sehingga harus melunasinya dengan memberi posisi menteri.

Yang perlu diperhatikan, sudah saatnya kabinet berbendera merah putih. Jika ada orang dari parpol duduk menjadi menteri, maka bukan membawa bendera dan kepentingan parpol. Setiap menteri yang duduk dalam kabibet 2009-2014 bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara. Saatnya parpol bertindak dewasa karena kabinet bukan ajang bagi-bagi kursi kekuasaan! Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281

Menanti Sikap Kritis Konstruktif Mahasiswa

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa Harian Seputar Indonesia, Senin 14 September 2009

MAHASISWA adalah sosok yang selalu dinilai memiliki idealisme. Sikap kritis dan kepekaan sosial menjadi karakter khas mahasiswa. Memang benar mahasiswa memiliki peran signifikan dalam laju perjalanan bangsa, namun bukan berarti mahasiswa tanpa cela. Secara faktual, mahasiswa terbagi dalam dua tipe: ordinary student atau extraordinary student. Mahasiswa biasa-biasa saja atau mahasiswa luar biasa. Benarkah mahasiswa akan berkiprah nyata dan peduli pada kehidupan bangsa? Berperankah mahasiswa dalam mengontrol roda pemerintahan?

Mahasiswa tipe ordinary student adalah mahasiswa yang pasif. Menurut Dwi Budiyanto (2005), mahasiswa tipe ini adalah mahasiswa yang enggan terlibat dalam aktivitas perubahan sosial. Mahasiswa tipe ordinary student tidak memiliki kepekaan terhadap kondisi di tengah masyarakat. Mahasiswa tipe ini bukan berarti tidak memiliki potensi dan kapasitas. Mungkin memiliki kapasitas, namun mahasiswa tipe ini enggan mananggung risiko-risiko untuk menjadi bagian dari perubahan.

Mahasiswa tipe ordinary student seperti disindir Saratri Wilonoyudho (2008) yang terjebak di dunia “kapitalistik”. Berangkat ke kampus sekadar ”ritual” saja, tanpa niat tulus untuk mengembangkan intelektualitasnya. Indikatornya adalah malasnya mengerjakan tugas, malas membeli buku, malas membaca, malas menulis, malas berdiskusi dalam kelas, dan lain-lain. Mahasiswa hanya sibuk menyembah simbol-simbol keilmuan tanpa ”nafsu” dan perasaan untuk mengembangkannya. Targetnya sederhana, dapat ”simbol” intelektual yang berupa ijazah, diterima bekerja di pabrik dengan harapan hidup kaya raya sebagaimana diajarkan di TV-TV swasta negeri ini. Pertanyaannya, seberapa besar prosentase mahasiswa tipe ordinary student?

Sebagai bagian dari pemuda yang memperoleh pendidikan tinggi, mahasiswa dituntut mampu berperan lebih. Mahasiswa tipe ordinary student tidak akan memberikan kontribusi positif bagi setiap upaya perbaikan kehidupan bangsa dan negara. Tentu saja, refleksi kritis perlu dilakukan mahasiswa dengan mempertanyakan eksistensi dirinya dalam arus perubahan sosial. Mahasiswa dituntut menjadi mahasiswa tipe extraordinary student yang selalu memiliki idealisme, sikap kritis, kepekaan dan kepedulian sosial, dan keberanian menyatakan kebenaran. Jalannya roda pemerintahan merupakan salah satu bagian dari ruang kontribusi mahasiswa. Menyaksikan fakta pemerintahan yang belum sepenuhnya berjalan baik dan berpihak pada kemaslahatan masyarakat, mahasiswa perlu bertanggung jawab melakukan kontrol lewat sikap kritis- konstruktif.

Dalam mengawal jalannya pemerintahan, mahasiswa tidak saja berhenti pada aksi demonstrasi semata, namun juga dituntut mampu memberikan tawaran-tawaran solutif terhadap permasalahan bangsa. Maka, pusat analisis dan kajian kebijakan perlu didirikan dalam gerakan/organisasi kemahasiswaan. Sisi intelektualitas mahasiswa perlu ditunjukkan dengan menguasasi permasalahan dan strategi pemecahannya. Hubungan interaktif gerakan/organisasi kemahasiswaan dengan pemerintah perlu dijalin. Untuk mengontrol pemerintah, mahasiswa tak ada salahnya mendesak pemerintah untuk mengadakan temu interaktif dengan pihak mahasiswa. Selain itu, mahasiswa sudah saatnya berani “berperang” dengan tulisan dalam mengkritisi dan mengawasi jalannya pemerintahan. Siapkah mahasiswa memiliki sikap kritis-konstruktif terhadap jalannya pemerintahan? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)