Budayakan Anak Membaca Sejak Kecil

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA, 21 Oktober 2011
Ada anak bernama Nada Kumiko. Meskipun seperti orang Jepang, ia asli Indonesia. Pada usia 2 tahun ia telah mengoleksi lebih dari 40 buku. Mengejutkan? Secara psikologi, ada teori yang menyebutkan bahwa perkembangan bahasa anak justru lebih cepat ketimbang perkembangan aspek lainnya. Ditinjau dari sudut ini, apa yang terjadi pada Nada Kumiko adalah wajar.

Buku yang dimiliki Nada Kumiko tentu sesuai tahap perkembangannya. Dhony Firmansyah (2010), ayahnya, menuturkan bahwa Nada Kumiko telah hafal sebagian besar isi buku tersebut. Meskipun belum bisa membaca secara harfiah untuk mengeja huruf, namun Nada Kumiko mampu menyebutkan setiap karakter yang ada di bukunya. Nada Kumiko juga mengerti jalan cerita buku-buku yang ia miliki. Malah kini Nada Kumiko lebih sering bercerita sendiri. Sambil membuka lembaran buku, bibirnya yang imut mulai berkomat-kamit melantunkan cerita dalam buku.

Kemampuan Nada Kumiko tak terbentuk seketika. Sejak dalam rahim, ibunya rajin membaca dan mengajak cerita. Setelah lahir, ibunya terus bercerita dan mengenalkan buku kepadanya. Buku yang diberikan seringkali basah menjadi santapan mulutnya. Ibunya tak masalah dengan itu karena hendak menjadikan anaknya menyukai buku terlebih dahulu. Lambat laun ketika bisa tengkurap, Nada Kumiko mampu membuka-buka sembari mengamati gambar dan warna di halaman buku. Sebulan sekali orangtuanya juga rajin pergi ke toko buku. Saat berusia 15 bulan, Nada Kumiko suka berlari-lari kecil di lorong rak buku seraya menenteng buku pilihannya.

Anak-anak lainnya juga bisa seperti Nada Kumiko. Kemampuan anak memang berbeda-beda, namun orangtua harus menyadari bahwa potensi anak luar biasa. Membiasakan anak suka membaca sejak kecil bukan berarti melarang anak bermain. Mengajari anak membaca tetap harus disesuaikan dengan tahap perkembangannya. Anak bisa memiliki kebiasaan membaca tanpa paksaan apabila lingkungan membentuknya. Pada dasarnya, papar Ajip Rosidi (1971), kegemaran membaca itu harus dididik dan ditanamkan kepada orang-orang sejak kecil, sejak mereka masih kanak-kanak, ketika masih duduk di sekolah, sejak dari taman kanak-kanak, sekolah dasar sampai sekolah lanjutan dan seterusnya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pembelajar di Universitas PGRI Yogyakarta

Sajak Mohammad Yamin dan Sumpah Pemuda

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Ruang Putih JAWA POS, Minggu 16 Oktober 2011
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menorehkan kisah para pemuda yang bersedia menanggalkan semangat kesukuan. Peristiwa Sumpah Pemuda pun menjelma menjadi peringatan pada setiap tahun untuk sebuah refleksi, inspirasi, dan motivasi bagi generasi bangsa dalam melihat kini dan menatap masa depan. Dari sekian pemuda yang berkumpul dalam Kongres Pemuda II itu, ada satu sosok: Mohammad Yamin.

Dalam Kongres Pemuda II di Jakarta (dulu Batavia), Yamin tidak sekadar hadir sebagai sekretaris dan perwakilan dari Jong Sumatranen Bond. Namun, ia hadir dengan sebuah imajinasi dan pemikiran untuk menegaskan “keindonesiaan”. Di benak Yamin, impian tentang kesatuan tumpah darah dan tanah air telah bersemayam lama. Bangsa dan bahasa telah diimajinasikan Yamin dalam sastra. Awalnya, imajinasi Yamin tentang tanah air itu masih bersifat terbatas. Hal ini dapat dilihat dalam sajaknya yang dianggit pada Juli 1920: Sesayup mata, hutan semata/Bergunung bukit, lembah sedikit/Jauh di sana di sebelah situ/Dipagari gunung satu per satu/Adalah gerangan sebuah surga/Bukannya janat bumi kedua/—Firdaus Melayu di atas dunia!/Itulah tanah yang kusayangi/Sumatera namanya, yang kujunjungi.

Itulah bait kedua sajak yang diberi judul “Tanah Air”. Dalam baris terakhir pada bait terakhir sajak itu, Yamin menggoreskan:.../Ia memekik berandai-andai/”Wahai Andalas, pulau Sumetera,/Harumkan nama selatan utara!”. Meskipun tak menyebut tanah air secara benderang, namun dari judul telah tampak sebuah imajinasi tentang tanah air. Ia mengimajinasikan Sumatera sebagai tanah air. Dalam sajaknya berjudul “Bahasa, Bangsa”, Yamin juga mengimajinasikan pentingnya bahasa untuk mempersatukan sebuah bangsa. Berikut penggalan sajaknya: Andalasku sayang, jana-bejana/Sampai mati berkalang tanah/Lupa ke bahasa, tiada ‘kan pernah/Ingat pemuda, Sumatera malang/Tiada bahasa, bangsa pun hilang (Mohammad Yamin, Februari 1921).

Bahasa sebagai identitas sebuah bangsa yang dimaksud Yamin adalah bahasa Melayu. Bahasa Melayu hendak dijadikan sebagai bahasa persatuan bagi bangsa Sumatera yang diimpikannya. Hal ini terus-menerus dipertegas Yamin, termasuk lewat orasinya bertajuk
De Maleiche Taal in het verleden, heden en in de toekomst”(Bahasa Melayu, pada masa lampau, masa kini, dan masa depan) saat peringatan 5 tahun Jong Sumatranen Bond di Jakata pada tahun 1923. Bagi kita, mungkin terasa janggal ketika Yamin masih berpikir tentang “bangsa” Sumatera, padahal ia tentu tahu kalau ada daerah lain di luar Sumatera. Pada titik ini, kita hanya melihat proses perkembangan imajinasi dan pemikiran Yamin.

Bagi Yamin, bahasa Melayu adalah penting. Meskipun ketika itu bahasa Melayu dominan digunakan oleh penduduk di Nusantara, namun bukan berarti takkan punah. Pasalnya, penjajah Belanda tampaknya hendak memantapkan bahasa Belanda sebagai bahasa komunikasi bagi kalangan bumiputera. Hal ini tampak dalam sistem pendidikan yang diadakan Belanda lewat politik etisnya. Bahkan, mitos seakan-akan terbangun bahwa bahasa Belanda adalah bahasa modern yang menjadi simbol kemajuan. Jika dicermati, pilihan atas bahasa ini merupakan suatu sikap dan pendirian otonom. Tanah air yang terjajah tak ingin menggunakan bahasa kaum penjajah. Pada titik ini, kita bisa melihat suatu perbedaan Indonesia dengan negara-negara terjajah lainnya. Di sebagian besar negara yang pernah dijajah, bahasa kaum penjajah akhirnya menjadi bahasa utama atau bahasa kedua. Di Indonesia, meskipun Belanda menjajah begitu lama, namun Bahasa Belanda lenyap dalam bahasa komunikasi (Bdk, Jamal D. Rahman, 2009).

Perkembangan pengalaman dan wawasan yang diperoleh Yamin akhirnya memang meluaskan cakrawalanya soal tanah air dan bangsa. Ia mulai tidak berpikir tentang Sumatera semata, namun wilayah yang lebih luas dari Sumatera. Untuk urusan bahasa, ia tetap memegang teguh bahasa Melayu. Pendirian Yamin ini terus disuarakan, termasuk ketika digelar Kongres Pemuda I pada 30 April 1926-2 Mei 1926 di Jakarta.

Yamin bukan “katak dalam tempurung”. Ia bukan sastrawan semata, tetapi juga layak disebut akademisi, budayawan, bahkan sejarawan. Pendidikan formalnya dijalani relatif memuaskan. Di Algemene Middelbare School (AMS) Yogyakarta, ia mengambil ranah studi sejarah dan bahasa-bahasa Timur Jauh. Wawasan dan pengetahuan tentang bahasa dan imajinasinya tentang bangsa dan tanah air akhirnya menggerakkan penanya untuk menulis sajak berjudul “Indonesia, Tumpah Darahku”. Salah satu bait dalam sajak yang terdiri 88 bait itu, berbunyi: Lihatlah kelapa melambai-lambai/Berdesir bunyinya sesayup sampai/Tumbuh di pantai bercerai-berai/Memagar daratan aman kelihatan/Dengarlah ombak datang berlagu/Mengejari bumi ayah dan ibu/Indonesia namanya, tanah airku. Sajak “Indonesia, Tumpah Darahku” ditulis Yamin sebelum Kongres Pemuda II dimulai, yakni pada 26 Oktober 1928.

Imajinasi dan cita-cita Yamin tentang satu bangsa dan satu bahasa pun terwujud. Setelah mengadakan berbagai agenda dalam Kongres Pemuda II, para pemuda menyepakati Sumpah Pemuda. Seperti apakah isi dari Sumpah Pemuda? Konon rumusan ini ditulis oleh Yamin yang saat itu bertindak sebagai sekretaris kongres:
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia/Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia/Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Mohammad Yamin lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903. Berarti saat Sumpah Pemuda, ia berusia 25 tahun. Imajinasinya tentang kesatuan bangsa dan bahasa telah tumbuh ketika usianya belum menginjak 20 tahun. Membaca Yamin, kita—lagi-lagi—menyaksikan sastra mengimajinasikan masa depan. Lalu, bagaimana kaum muda kini mengimajinasikan masa depan Indonesia lewat sastra? Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Pena Profetik, tinggal di Yogyakarta