Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Kamis 15 Juli 2010
Dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, Bung Karno mengemukakan suatu tatanan masyarakat apik. Masyarakat apik yang dituturkan presiden pertama Republik Indonesia itu adalah masyarakat Madinah pascahijrahnya Muhammad SAW dari Mekah. Sejarah pun mengakui bahwa masyarakat Madinah di masa tokoh yang oleh Michael Hart disebut tokoh berpengaruh nomor satu di dunia (baca: Muhammad SAW) ini merupakan masyarakat yang berperadaban tinggi. Masyarakat Madinah yang sering disebut masyarakat Madani merupakan impian setiap cita perjuangan dalam hiruk-pikuk wacana di negeri ini.
Hadirnya masyarakat dengan peradaban tinggi di bumi Madinah pastinya tidak dicapai seketika. Ada proses pendidikan yang telah dilakukan Muhammad SAW pada saat itu untuk menempa generasi terbaik dalam lintasan sejarah. Bung Karno menuturkan, “Bahannya yang sebelum hijrah itu adalah terutama sekali pekerjaan membuat dan membentuk bahannya masyarakat Islam kelak, material buat masyarakat Islam kelak; yakni orang-orang yang percaya kepada Allah yang satu, yang teguh imannya, yang suci akhlaknya, yang luhur budinya, yang diwahyukan di Makkah itu adalah mengandung ajaran-ajaran pembentukan rohani ini: tauhid…”. Dari penuturan Bung Karno, pembentukan masyarakat Madinah pada dasarnya telah diawali ketika di Mekah. Individu manusia yang merupakan pilar pembentukan masyarakat adalah individu manusia yang percaya kepada Allah yang satu, memiliki keteguhan iman, memiliki kesucian akhlak, dan memiliki keluhuran budi.
Bung Karno melanjutkan, “…tauhid, percaya kepada Allah Yang Esa dan Maha Kuasa, rukun-rukunnya iman, keikhlasan, keluhuran moral, keibadatan, cinta kepada sesama manusia, cinta kepada si miskin, berani kepada kebenaran, takut pada azabnya neraka, lezatnya ganjaran surga, dan lain-lain sebagainya yang perlu buat menjadi kehidupan manusia umumnya, dan fundamen ruhaninya perjuangan serta masyarakat Madinah kelak…” Pada titik ini, apa yang dituturkan Bung Karno menandakan satu hal penting bahwa pembentukan suatu tatanan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari pendidikan berbasis rohani. Dapat pula dikatakan bahwa pendidikan yang berlandaskan keimanan merupakan keniscayaan dalam membangun masyarakat Indonesia .
Secara implisit, apa yang dituturkan Bung Karno di atas menegaskan suatu paradigma pendidikan yang tidak meninggalkan dimensi transendensi. Bung Karno juga seolah-olah mengajak kita menghayati proses pembangunan masyarakat dalam spirit profetik (kenabian). Pendidikan profetik menjadi kunci membangun cita-cita peradaban dan tatanan masyarakat. Mengacu konsep ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, transendensi merupakan salah satu dimensi yang berkesatuan dengan dimensi humanisasi dan liberasi. Dengan kata lain, humanisasi, liberasi, dan transendensi merupakan tiga dimensi dalam pendidikan profetik yang mengarahkan perubahan atas masyarakat. Yang perlu dicatat, dari tiga dimensi itu, transendensi merupakan landasan dan arah dari humanisasi dan liberasi. Artinya, transendensi yang menunjuk pada persoalan ketuhanan menghendaki humanisasi dan liberasi yang tidak meninggalkan keimanan. Dimensi humanisasi dan liberasi dalam pendidikan profetik bukan diarahkan agar manusia sebagai pusat segalanya. Setiap proses pendidikan untuk mengangkat martabat manusia (humanisasi) dan membebaskan manusia dari ketertindasan (liberasi) mengajak manusia memiliki ketertundukan pada Tuhan.
Dalam hal ini, pendidikan profetik tidak sekadar mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial semata. Pendidikan berparadigma profetik tidak hanya mengubah sesuatu hanya demi perubahan. Lebih dari itu, pendidikan berparadigma profetik mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik (Pujiriyanto:2006). Pendidikan profetik akan melahirkan individu manusia yang mampu meneruskan tugas suci sebagai makhluk Tuhan. Profetik yang bermakna kenabian bukan berarti individu manusia yang ditempa dalam pendidikan profetik akan menjadi Nabi, namun individu manusia ditempa pola pikir, sikap, dan perilakunya untuk siap mengambil peran sejarah meneruskan jejak-jejak para Nabi dalam membangun kehidupan. Membaca sejarah, setiap Nabi yang diutus Tuhan memiliki peran membawa masyarakatnya pada tatanan kehidupan yang ideal. Individu manusia melalui pendidikan profetik akan siap menjadi pemimpin bagi masyarakat, hidup bersama masyarakat, dan berjuang untuk memerdekakan masyarakat dari keterpenjaraan, keterpurukan, kejahilan, dan ketertindasan. Melalui pendidikan profetik, individu manusia menyadari dan melaksanakan tugasnya untuk beribadah kepada-Nya dan memakmurkan kehidupan di muka bumi-Nya.
Dalam proses membangun individu manusia, pendidikan profetik mencakup pendidikan akal, pendidikan akhlak, pendidikan moral, pendidikan jiwa, pendidikan sosial, dan pendidikan fisik. Begitu juga pendidikan profetik mencakup pendidikan karakter. Pun, pendidikan profetik mencakup pendidikan multikultur. Dengan pendidikan profetik, individu manusia mampu memahami perbedaan dengan spirit toleransi. Pendidikan profetik akan mampu seperti pernah diutarakan Driyarkara (1980) untuk mengangkat manusia muda ke taraf insani sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai manusia utuh dan membudayakan diri. Pendidikan profetik akan mampu seperti Ki Hajar Dewantara memberi wejangan mengenai pendidikan, yakni menuntun segenap kodrat manusia agar sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tinggi.
Individu manusia yang ditempa melalui pendidikan profetik diarahkan menjadi individu-individu manusia yang berkeyakinan lurus, beribadah secara benar, berbudi mulia, memiliki daya jasmani, luas wawasan berpikirnya, mampu memanajemen urusan kehidupannya, mampu menundukkan keburukan nafsunya, mampu menafkahi dirinya dan memiliki kreativitas dalam pekerjaan, mampu memelihara waktunya untuk hal berguna, dan berkontribusi positif bagi kebangunan masyarakat. Wallahu a’lam
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute UNY&Fungsionaris Forum Indonesia
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Kamis 15 Juli 2010
Dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, Bung Karno mengemukakan suatu tatanan masyarakat apik. Masyarakat apik yang dituturkan presiden pertama Republik Indonesia itu adalah masyarakat Madinah pascahijrahnya Muhammad SAW dari Mekah. Sejarah pun mengakui bahwa masyarakat Madinah di masa tokoh yang oleh Michael Hart disebut tokoh berpengaruh nomor satu di dunia (baca: Muhammad SAW) ini merupakan masyarakat yang berperadaban tinggi. Masyarakat Madinah yang sering disebut masyarakat Madani merupakan impian setiap cita perjuangan dalam hiruk-pikuk wacana di negeri ini.
Hadirnya masyarakat dengan peradaban tinggi di bumi Madinah pastinya tidak dicapai seketika. Ada proses pendidikan yang telah dilakukan Muhammad SAW pada saat itu untuk menempa generasi terbaik dalam lintasan sejarah. Bung Karno menuturkan, “Bahannya yang sebelum hijrah itu adalah terutama sekali pekerjaan membuat dan membentuk bahannya masyarakat Islam kelak, material buat masyarakat Islam kelak; yakni orang-orang yang percaya kepada Allah yang satu, yang teguh imannya, yang suci akhlaknya, yang luhur budinya, yang diwahyukan di Makkah itu adalah mengandung ajaran-ajaran pembentukan rohani ini: tauhid…”. Dari penuturan Bung Karno, pembentukan masyarakat Madinah pada dasarnya telah diawali ketika di Mekah. Individu manusia yang merupakan pilar pembentukan masyarakat adalah individu manusia yang percaya kepada Allah yang satu, memiliki keteguhan iman, memiliki kesucian akhlak, dan memiliki keluhuran budi.
Bung Karno melanjutkan, “…tauhid, percaya kepada Allah Yang Esa dan Maha Kuasa, rukun-rukunnya iman, keikhlasan, keluhuran moral, keibadatan, cinta kepada sesama manusia, cinta kepada si miskin, berani kepada kebenaran, takut pada azabnya neraka, lezatnya ganjaran surga, dan lain-lain sebagainya yang perlu buat menjadi kehidupan manusia umumnya, dan fundamen ruhaninya perjuangan serta masyarakat Madinah kelak…” Pada titik ini, apa yang dituturkan Bung Karno menandakan satu hal penting bahwa pembentukan suatu tatanan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari pendidikan berbasis rohani. Dapat pula dikatakan bahwa pendidikan yang berlandaskan keimanan merupakan keniscayaan dalam membangun masyarakat Indonesia .
Secara implisit, apa yang dituturkan Bung Karno di atas menegaskan suatu paradigma pendidikan yang tidak meninggalkan dimensi transendensi. Bung Karno juga seolah-olah mengajak kita menghayati proses pembangunan masyarakat dalam spirit profetik (kenabian). Pendidikan profetik menjadi kunci membangun cita-cita peradaban dan tatanan masyarakat. Mengacu konsep ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, transendensi merupakan salah satu dimensi yang berkesatuan dengan dimensi humanisasi dan liberasi. Dengan kata lain, humanisasi, liberasi, dan transendensi merupakan tiga dimensi dalam pendidikan profetik yang mengarahkan perubahan atas masyarakat. Yang perlu dicatat, dari tiga dimensi itu, transendensi merupakan landasan dan arah dari humanisasi dan liberasi. Artinya, transendensi yang menunjuk pada persoalan ketuhanan menghendaki humanisasi dan liberasi yang tidak meninggalkan keimanan. Dimensi humanisasi dan liberasi dalam pendidikan profetik bukan diarahkan agar manusia sebagai pusat segalanya. Setiap proses pendidikan untuk mengangkat martabat manusia (humanisasi) dan membebaskan manusia dari ketertindasan (liberasi) mengajak manusia memiliki ketertundukan pada Tuhan.
Dalam hal ini, pendidikan profetik tidak sekadar mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial semata. Pendidikan berparadigma profetik tidak hanya mengubah sesuatu hanya demi perubahan. Lebih dari itu, pendidikan berparadigma profetik mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik (Pujiriyanto:2006). Pendidikan profetik akan melahirkan individu manusia yang mampu meneruskan tugas suci sebagai makhluk Tuhan. Profetik yang bermakna kenabian bukan berarti individu manusia yang ditempa dalam pendidikan profetik akan menjadi Nabi, namun individu manusia ditempa pola pikir, sikap, dan perilakunya untuk siap mengambil peran sejarah meneruskan jejak-jejak para Nabi dalam membangun kehidupan. Membaca sejarah, setiap Nabi yang diutus Tuhan memiliki peran membawa masyarakatnya pada tatanan kehidupan yang ideal. Individu manusia melalui pendidikan profetik akan siap menjadi pemimpin bagi masyarakat, hidup bersama masyarakat, dan berjuang untuk memerdekakan masyarakat dari keterpenjaraan, keterpurukan, kejahilan, dan ketertindasan. Melalui pendidikan profetik, individu manusia menyadari dan melaksanakan tugasnya untuk beribadah kepada-Nya dan memakmurkan kehidupan di muka bumi-Nya.
Dalam proses membangun individu manusia, pendidikan profetik mencakup pendidikan akal, pendidikan akhlak, pendidikan moral, pendidikan jiwa, pendidikan sosial, dan pendidikan fisik. Begitu juga pendidikan profetik mencakup pendidikan karakter. Pun, pendidikan profetik mencakup pendidikan multikultur. Dengan pendidikan profetik, individu manusia mampu memahami perbedaan dengan spirit toleransi. Pendidikan profetik akan mampu seperti pernah diutarakan Driyarkara (1980) untuk mengangkat manusia muda ke taraf insani sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagai manusia utuh dan membudayakan diri. Pendidikan profetik akan mampu seperti Ki Hajar Dewantara memberi wejangan mengenai pendidikan, yakni menuntun segenap kodrat manusia agar sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tinggi.
Individu manusia yang ditempa melalui pendidikan profetik diarahkan menjadi individu-individu manusia yang berkeyakinan lurus, beribadah secara benar, berbudi mulia, memiliki daya jasmani, luas wawasan berpikirnya, mampu memanajemen urusan kehidupannya, mampu menundukkan keburukan nafsunya, mampu menafkahi dirinya dan memiliki kreativitas dalam pekerjaan, mampu memelihara waktunya untuk hal berguna, dan berkontribusi positif bagi kebangunan masyarakat. Wallahu a’lam
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute UNY&Fungsionaris Forum Indonesia