Mahasiswa dan Harapan Orangtua

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini RADAR JOGJA, Selasa, 31 Januari 2012

Berbagai upaya dilakukan perguruan tinggi untuk menyiapkan mahasiswa agar mampu dan cakap menghadapi tantangan dan peluang dalam kehidupannya. Hal yang lumrah apabila perguruan tinggi mengarahkan setiap mahasiswa memiliki kecerdasan akademik dan prestasi membanggakan. Tak ada perguruan tinggi yang tidak ingin meluluskan mahasiswanya. Visi dan misi yang hendak dicapai perguruan tinggi pun tak sekadar biasa-biasa saja. Dengan kacamata global, kini perguruan tinggi bergerak sebagai perguruan tinggi berkualitas dunia.

Dari gerak perguruan tinggi itu, harapan orangtua juga serupa. Orangtua pastinya menginginkan anak yang menempuh studi di perguruan tinggi mampu mencapai prestasi maksimal. Orangtua berharap agar anaknya yang berkuliah dapat menciptakan hidup yang lebih baik. Penulis percaya apabila kebanyakan orangtua ingin anaknya lulus tepat waktu. Orangtua pada umumnya akan bangga bisa menyaksikan anaknya diwisuda. Orangtua memang akan bangga melihat anaknya menjadi dokter, ahli teknik, pengajar, dan sebagainya. Orangtua pastinya tersenyum bahagia apabila tertera gelar akademik pada nama anaknya. Di tengah masyarakat tertentu, gelar akademik masih memiliki pengaruh dalam posisi sosial. Orangtua juga akan senang apabila anaknya mendapatkan penghasilan melimpah, memiliki tempat tinggal mapan, dan dapat membangun masa depan.

Namun, apabila harus jujur berkata, orangtua tak mengharapkan anaknya kurang berbakti. Orangtua akan tersayat apabila perilaku anaknya tak mencerminkan luhurnya budi pekerti. Begitu tak percayanya orangtua melihat anaknya berani berkata kasar dan bersikap pongah. Kebahagiaan yang ingin dirasakan di hari tua ternyata jauh panggang dari api menghadapi perilaku tak bijak anaknya. Dengan berani, ada anak yang justru mencampakkan orangtuanya. Amat terkejutlah orangtua apabila melihat anaknya justru jauh dari sikap hormat. Semakin tinggi pendidikan, anak ternyata tak memuliakan orangtua. Kondisi ini memang faktual di tengah masyarakat. Ada anak yang dikuliahkan sehingga dapat mengecap dunia kampus justru keras dalam membangkang. Anak seolah-olah lupa terhadap kasih sayang, perjuangan, dan pengorbanan orangtua yang telah menghantarkan dirinya merasakan bangku perguruan tinggi dan meraih gelar akademik.

Dari sekian harapan yang dimiliki, orangtua tentu berharap agar anaknya tidak kehilangan jati diri. Dalam hal ini, setinggi apapun jenjang pendidikan, hak orangtua untuk dihormati tak pernah hilang. Siapa pun mahasiswa tak mungkin mengabaikan peran orangtua dalam setiap impian dan cita-citanya. Sesungguhnya keberhasilan mahasiswa dalam studi bukanlah capaian yang tiba-tiba teraih tanpa intervensi orangtua. Tak sekadar urusan materi, ada kekuatan orangtua dalam doa dan bentuk lainnya untuk kesuksesan anaknya. Doa orangtua menjadi jalan kemudahan yang melapangkan anak berhasil dalam hidupnya.

Tentu bukanlah sebuah sikap bijak apabila mahasiswa tak menghormati orangtuanya—terutama ibu. Apakah mahasiswa tak mengingat lagi perjuangan ibu mengandung, melahirkan, dan membesarkannya? Tanpa ibu yang tabah, mahasiswa tak mungkin bisa menjadi dewasa dan akhirnya lulus dari perguruan tinggi.

Harapan orangtua agar anaknya menjadi baik tak dimungkiri. Sebesar apapun capaian karir anaknya, orangtua tak ingin anaknya menjadi “kacang yang lupa kulitnya”. Sesungguhnya orangtua ingin melihat anaknya menjadi dokter yang bisa mencurahkan pengabdian, menjadi pengajar yang penuh dedikasi, menjadi pengusaha dan pekerja yang jujur. Orangtua ingin anaknya menjalani profesinya setulus dan sebaik mungkin. Tak masalah bagi orangtua apabila anaknya yang lulus dari perguruan tinggi menjadi anggota dewan perwakilan rakyat atau menteri, bahkan seorang pemimpin negara sekali pun. Pada titik ini, mahasiswa perlu melakukan refleksi. Orangtua tentu merasa malu apabila anaknya yang lulus dari perguruan tinggi dihujat karena melakukan korupsi. Perasaan orangtua akan tercabik-cabik apabila anaknya justru menjadi pengusaha hitam. Orangtua akan merana menyaksikan anaknya dicaci maki akibat tak profesional dan tak jujur sebagai pejabat publik.

Dalam kehidupan ini, ada orangtua yang telah membesarkan mahasiswa. Setinggi apapun gelar akademik, orangtua tak bisa dilupakan. Orangtua telah berperan besar menjadikan mahasiswa berhasil meraih gelar S-1, S-2, bahkan S-3. Ada peran besar orangtua yang telah menempatkan mahasiswa menduduki posisi dalam pekerjaan setelah lulus dari perguruan tinggi. Mengingat jasa orangtua dengan menghormatinya adalah niscaya. Apapun prestasi akademik dan apapun profesi yang diraih, setiap anak perlu berusaha membahagiakan orangtua. Menjadilah mahasiswa sebaik-baiknya, menjalani profesi sebaik-baiknya. Tentu perbuatan korupsi dan kejahatan lainnya takkan membahagiakan orangtua. Sesungguhnya anak yang baik dan shalih adalah pahala yang mengalir dan memberikan kebahagiaan bagi orangtua meskipun telah tiada. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pembelajar pada FKIP Universitas PGRI Yogyakarta

Perlukah BK di Perguruan Tinggi?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Kampus SUARA MERDEKA, Sabtu, 28 Januari 2012

Dalam dunia pendidikan formal, keberadaan bimbingan dan konseling (BK) identik dengan sekolah. Layanan BK terutama berkaitan dengan persoalan belajar/akademik, pribadi, sosial, dan karir. Pihak yang memberikan layanan BK kerap disebut dengan konselor. Kedudukan konselor sebagai pendidik termaktub dalam UU No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab I Pasal 1. Pertanyaannya, perlukah BK di perguruan tinggi?

Dalam sejarahnya, ketika muncul pertama kali di
Indonesia, BK memang menangani siswa di sekolah. Namun, seiring perkembangan zaman, BK juga diorientasikan pada ranah luar sekolah. Apalagi di dunia perguruan tinggi yang merupakan bagian integral dari jenjang pendidikan formal, BK sebenarnya juga dibutuhkan. Ada beberapa perguruan tinggi yang telah memberikan layanan BK, namun belum menjadi gerakan universal. Menurut penulis, layanan BK di kampus menjadi niscaya. Meskipun mahasiswa seringkali dijuluki agen perubahan, mahasiswa bukan berarti sepi dari permasalahan. Mahasiswa dimungkinkan mengalami permasalahan yang bisa menghambat penyesuaian dirinya terhadap dunia kampus. Permasalahan mahasiswa pun bisa terkait dengan aspek pribadi, sosial maupun orientasi karir.

Fenomena kenakalan mahasiswa, misalnya,
adalah bukti sahih. Mahasiswa pun kerapkali kurang memiliki pengendalian emosi, sehingga mudah melakukan tindakan kekerasan. Terkait akademik, mahasiswa dimungkinkan mengalami kesulitan belajar dan kurang mampu mengikuti perkuliahan secara baik. Prestasi akademik yang rendah bisa menjadi tanda permasalahan belajar. Secara sosial, mahasiswa mungkin menghadapi interaksi yang kurang sehat dengan dosen, staf di kampus maupun dengan teman-temannya. Ada juga mahasiswa yang kebingungan untuk merumuskan karir bagi masa depannya. Banyak permasalahan mahasiswa lainnya sehingga bisa menghambat tercapainya tujuan pendidikan di perguruan tinggi.

Dalam menghadapi permasalahan,
ada mahasiswa yang memang bisa mengatasi tanpa intervensi pihak lain. Di sisi lain, ada pula mahasiswa yang membutuhkan intervensi pihak lain untuk membantu menyelesaikan permasalahan. Terkait perlunya intervensi pihak lain, keberadaan BK menemukan fungsi dan perannya. Mahasiswa tentu tak hanya dituntut berprestasi akademik dan merampungkan kuliah. Pihak kampus hendaknya juga memberikan fasilitasi agar mahasiswa menjadi manusia seutuhnya, baik secara fisik, psikis, sosial, moral, dan sebagainya. Keberadaan dan peran BK dibutuhkan untuk mencapai hal tersebut.

Secara teori, BK sebenarnya tak melulu mengurusi individu yang bermasalah. Fungsi preventif juga dijalankan BK agar individu tak memiliki permasalahan. BK pun berfungsi memelihara kondisi individu yang telah baik agar tetap baik, bahkan mendorong individu mampu memaksimalkan potensi, kelebihan, dan kemampuannya. Dalam hal ini, BK di kampus bisa melakukan layanan, baik yang sifatnya preventif, kuratif maupun preservatif. Bimbingan belajar/akademik, pribadi, sosial, dan karir perlu diprogramkan bagi mahasiswa, baik dilakukan secara individual, kelompok maupun klasikal. Mahasiswa yang menghadapi permasalahan bisa diberikan layanan konseling.
Terkait bimbingan belajar, karena mahasiswa perlu memiliki kecakapan berpikir dan kemandirian belajar, maka layanan BK bisa diarahkan mencapai tujuan tersebut. BK membantu mahasiswa untuk mengembangkan pemahaman akan pentingnya kecakapan berpikir dan kemandirian belajar dalam suasana belajar dengan sistem kredit semester; mengembangkan kecakapan berpikir kritis dan kreatif sebagai alat berpikir dalam menghadapi masalah belajar; dan mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk mandiri dalam belajar sehingga mengurangi ketergantungan kepada orang lain (Eti Nurhayati: 2011).
Dengan layanan BK di kampus, mahasiswa diharapkan mampu menyelesaikan perkuliahan dan segala tuntutan perkuliahan tepat pada waktunya, memperoleh prestasi belajar sesuai dengan kemampuannya, mampu membina hubungan sosial dengan sesama mahasiswa dan dosen secara baik, memiliki sikap dan kesiapan profesional, dan memiliki pandangan yang realistis tentang diri dan lingkungannya (Achmad Juntika Nurihsan: 2006). BK membantu mahasiswa untuk dapat memahami dirinya, menerima dirinya, mengarahkan dirinya, dan mengaktualisasikan dirinya agar mencapai kehidupan yang bermakna di masa kini dan masa mendatang.

Lantas, siapakah yang memberikan layanan BK di kampus? Layanan BK tentu dilaksanakan oleh orang-orang profesional yang menguasai bidang tersebut. Dosen dengan sendirinya harus mampu memberikan layanan bimbingan belajar. Pembimbing akademik (PA) hendaknya tak sekadar menorehkan tanda tangan pada kartu rencana studi (KRS), tetapi juga memberikan bimbingan belajar. Jika memiliki kompetensi, dosen bisa memberikan bimbingan pribadi, sosial, dan karir. Tenaga profesional lulusan S-2 atau S-3 program studi BK atau jurusan psikologi pendidikan dan bimbingan bisa menjadi tim BK di kampus. Psikolog pun bisa dilibatkan di dalamnya. Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute, pembelajar di Universitas PGRI Yogyakarta

Model Pembiayaan Pendidikan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Peduli Pendidikan SKH KEDAULATAN RAKYAT, Jum'at, 27 Januari 2012

Harus diakui jika permasalahan pembiayaan pendidikan di negeri ini merupakan masalah yang terus mencuat. Dana bantuan operasional sekolah dianggap belum mencukupi. Fakta yang terlihat, banyak sekolah seringkali memungut biaya dari orangtua siswa. Akibatnya, hampir setiap saat selalu ditemui protes.

Khusus di dunia perguruan tinggi, banyak elemen menentang kebijakan universitas menaikkan biaya pendidikan dari masyarakat. Perguruan tinggi diasumsikan melakukan komersialisasi pendidikan. Ditinjau berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan tinggi sah-sah saja menarik dana dari masyarakat dengan syarat mengedepankan pertanggungjawaban publik (Pasal 24 Ayat 3). Namun persoalannya, tak masyarakat memiliki sumber daya memadai untuk ikut serta membiayai pendidikan. Hal ini salah satunya disebabkan faktor kemiskinan dan kesejahteraan hidup.

Mengacu pada Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945, beberapa pihak menganggap telah terjadi pelanggaran konstitusi. Pemerintah dinilai melanggar konstitusi apabila berlepas tangan terhadap biaya pendidikan warga negaranya. Tampaknya diperlukan penjelasan terkait ketentuan-ketentuan dalam Pasal 31 UUD 1945. Kewajiban pemerintah membiayai pendidikan cenderung tak sampai jenjang perguruan tinggi dan hanya membiayai pendidikan dasar warga negaranya (Pasal 31 Ayat 2). UU No. 20/2003 Tentang Sisdiknas menyebutkan bahwa pendidikan dasar adalah SD/MI dan SMP/MTs (Bab VI Pasal 17).

Dalam hal ini, hak warga negara memperoleh pendidikan tak selamanya menuntut kewajiban negara membiayai pendidikan setelah jenjang pendidikan dasar. Memang takkan mungkin biaya pendidikan dibebankan kepada pemerintah secara keseluruhan mengingat anggaran negara juga diperlukan untuk kebutuhan-kebutuhan nonpendidikan. Malah anggaran pendidikan sebesar minimal 20% pun sebenarnya tak mungkin untuk mencukupi seluruh biaya penyelenggaraan pendidikan.

Menurut Amhar (dalam Yusuf Wibisono: 2006), terdapat empat model pembiayaan pendidikan di dunia selama ini. Pertama, subsidi penuh dari jenjang pendidikan rendah (SD) hingga pendidikan tinggi (S-3). Kedua, mirip model pertama, masa gratis untuk pendidikan tinggi diberikan sampai usia tertentu. Ketiga, masa gratis hanya sampai SMA dan di perguruan tinggi tetap membayar SPP walau masih disubsidi. Keempat, semua jenjang pendidikan membiayai dirinya sendiri. Dana diperoleh dari kerja sama dengan industri atau perbankan, membentuk komunitas alumni atau murni semua diperoleh dari mahasiswanya.

Lantas, bagaimana merumuskan model pembiayaan pendidikan di Indonesia? Dalam konteks Indonesia, menurut penulis, jenjang pendidikan dasar (SD-SMP) bisa dibiayai penuh negara berdasarkan pada UUD 1945. Dalam UU No. 20/2003 Tentang Sisdiknas juga disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya (Bab VIII Pasal 34 (2)). Untuk jenjang pendidikan tinggi, kreasi dan inovasi perguruan tinggi mencari sumber pendanaan pendidikan tampaknya diperlukan. Pihak perguruan tinggi bisa menggandeng pihak swasta. Yang perlu ingat, kreasi dan inovasi tidak identik dengan menarik dana dari masyarakat.

Selain itu, peran masyarakat untuk menyokong biaya pendidikan sangat penting. Konsep tabungan pendidikan, misalnya, bisa disosialisasikan kepada masyarakat yang dikelola di setiap RT/kecamatan/kelurahan. Tabungan pendidikan ini bisa digunakan untuk membantu masyarakat setempat yang kesulitan dalam pembiayaan pendidikan. Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO

Pemerhati pendidikan pada Universitas PGRI Yogyakarta

Guru, Teruslah Belajar

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bebas Bicara BERNAS JOGJA, Kamis, 26 Januari 2012

Dalam dunia pendidikan, siswa selalu dianjurkan untuk tekun belajar. Dengan belajar, siswa akan memperoleh ilmu, pengetahuan, wawasan, dan sebagainya. Intinya, belajar menjadi kewajiban agar siswa dapat mencapai kehidupan yang bermakna. Namun, aktivitas belajar pada dasarnya tidak hanya kewajiban siswa. Guru di sekolah pun dituntut untuk selalu belajar meningkatkan kapasitas dan kemampuannya.

Belajar tentu tidak dibatasi oleh usia. Memang ketika lulus dari jenjang pendidikan calon guru, guru telah mendapatkan berbagai ilmu, pengetahuan, dan wawasan tentang pendidikan dan pengajaran, namun bukan berarti aktivitas belajar berhenti. Guru tetap perlu menambah wawasan dan pengetahuan. Di tengah zaman yang terus bergerak, penguasaan ilmu bagi guru tidak bisa hanya mengandalkan apa yang dipelajari di masa lampau. Disadari atau tidak, ilmu sosial dan ilmu alam terus berkembang. Teori-teori pun saling melengkapi dan merevisi. Bahkan, teori anyar kerapkali menggugat teori lawas. Begitu juga dalam praktik mengajar, guru perlu senantiasa mengakses informasi dan mempelajari perkembangan konsep-konsep mengajar.

Dalam belajar, guru bisa membaca buku, baik terkait dengan pendidikan pada umumnya maupun terkait mata pelajaran yang diampunya. Selain itu, budaya saling berbagi ilmu dan wawasan di antara guru bisa dikembangkan di sekolah sebagai sarana belajar. Jika ada kesempatan dan waktu cukup, kegiatan-kegiatan di luar sekolah terkait pengembangan kapasitas keilmuan bisa diikuti. Guru juga bisa belajar dari pengalaman mengajar sehari-hari. Ada pelajaran yang bisa diambil bagi seorang guru untuk menjadi sosok bijak dalam memahami dan mendidik murid-muridnya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan apabila guru belajar dari siswa. Adanya siswa yang lebih cerdas dan pandai dari gurunya bukanlah sebuah fakta ironi.

Dalam konsep belajar sepanjang hayat tidak ada istilah gengsi untuk terus belajar, bahkan dengan anak kecil sekali pun. Ketika guru juga belajar, guru dengan sendirinya memberi contoh kepada muridnya untuk senantiasa belajar. Belajar bukan tanda kebodohan, tetapi sebuah kerendahan hati untuk menghargai ilmu dan kehidupan. Belajar, ujar Komaruddin Hidayat (2010), adalah sikap hidup, sementara mengajar adalah pengabdian. Jadilah pembelajar seumur hidup karena semakin bertambah umur selalu saja muncul hal-hal baru yang harus kita pelajari agar kita menjadi lebih bijak. Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Yogyakarta

Menyelami Kata, Menemukan Makna

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Rabu, 25 Januari 2012


Judul Buku: Aspire: 11 Kata yang Akan Mengubah Kehidupan Anda Penulis: Kevin Hall Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Tahun: I, 2011 Tebal: xviii+238 halaman Harga: Rp. 53.000,00

Dalam kehidupan setiap orang, pada suatu waktu, api batinnya pernah padam. Api itu lalu membara oleh perjumpaan dengan manusia lain. Kalimat dari Albert Schweitzer itu sedikit banyak memiliki makna adanya pengaruh dari keberadaan masing-masing kita untuk menyalakan gairah hidup orang lain. Apakah kita akan menginspirasi atau mengekspirasi orang lain, itu pilihan kita.

Jika kita renungkan, kata “inspiration”—inspirasi yang kerapkali kita ucapkan sesungguhnya menyimpan kandungan mendalam. Kata itu memiliki arti menghembuskan nafas kepada. Berasal dari bahasa Latin “inspirare”. “Spirare” artinya bernafas dan “in” berarti kepada. Ketika kita menghembuskan nafas kehidupan kepada yang lain, kita menginspirasi harapan, tujuan, dan mimpi. Menginspirasi orang lain merupakan sebuah kebaikan. Kebaikan memiliki pengaruh pada tubuh manusia. Para ilmuwan yang mempelajari otak manusia menyatakan ketika kita melakukan kebaikan kepada orang lain, maka terjadi peningkatan kadar serotonin, yakni zat kimia yang dihasilkan otak yang membuat kita merasa senang dan merupakan bahan umum obat antidepresi. Bahkan, peneliti juga mencatat jumlah serotonin yang sama pada si penerima kebaikan dan pada yang hanya melihat kebaikan saja.

Kata “inspiration” itu juga memiliki kaitan dengan kata “courage”—keberanian. “Coer” dalam bahasa Romawi berarti hati. Bila kita meng-“courage”, kita menambahkan ke hati seseorang. Ketika kita meng-“discourage”, kita mengambil dari hati seseorang. Kita yang menginspirasi dan mendorong dapat dianggap sebagai apresiator, orang yang menambah nilai. Sementara kita yang mengekspirasi dan menakut-nakuti dapat dianggap sebagai depresiator, orang yang mengurangi nilai (halaman 129-143).

Buku yang ditulis Kevin Hall ini menarik disimak untuk menjelajahi sebuah kata sampai ke makna filosofisnya dengan dukungan master kata Profesor Arthur Watkin. Sebuah kata memiliki daya yang bisa menggerakkan kehidupan apabila dipahami maknanya sampai ke akar-akarnya. Sebut juga kata “integrity”—integritas. Salah satu definisi populernya adalah jujur dan memiliki keyakinan moral yang kuat, tetapi akar katanya menghunjam lebih dalam daripada itu. “Integrity” berasal dari bahasa Latin “integer”, yang mengacu pada bilangan bulat. Integritas perkataan seseorang berarti ucapannya utuh dan lengkap. Tak hanya sebagian, tak hanya sebagian kecil, tak hanya dua pertiga atau tiga perempat, bukan pula kadangkala. Menjadi utuh dan lengkap dalam perkataan kita mensyaratkan hidup seratus persen sesuai ucapan kita, seratus persen setiap saat.

Dalam hidup ini, kita harus menjadi sosok berintegritas. Hal itu merupakan kualitas terpuji yang bernilai luar biasa. Ada kata-kata William Shakespeare yang layak direnungkan, “Di atas semuanya: jujurlah pada dirimu sendiri; dan teruslah begitu, siang dan malam, maka engkau tidak palsu bagi siapa pun”. Dengan integritas, jalan hidup kita menjadi jalan kesucian—holiness. Ketika kita tak hidup seutuhnya, jalan kita menjadi jalan kehampaan—hollowness. “Hollow” berasal dari “hole”—lubang, yakni bagian yang kita sisakan ketika mengambil huruf pertama dari kata “whole”—utuh (halaman 207-209).

Lewat buku ini, kita diajak Kevin Hall menelusuri makna dari sebelas kata dan menjejaki kata-kata lainnya yang terkait. Selain inspire dan integrity, kata lainnya adalah genshai, pathfinder, namaste, passion, sapere vedere, humality, coach, ollin, dan empathy.
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta

Korupsi, Wajah Ketidakjujuran

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Senin, 16 Januari 2012

Apapun alasannya, korupsi tidak dapat dibenarkan. Korupsi yang membudaya di negeri ini merupakan tanda nihilnya kejujuran. Pepatah yen ora jujur ajur seakan-akan lenyap dan sirna di tengah manusia-manusia yang rakus harta dan tahta. Korupsi pun telah menjadi kebudayaan yang ciri utamanya, papar Mochtar Lubis (1972), adalah nilai-nilainya ditentukan oleh uang. Potensinya luar biasa untuk merusak akhlak dan moral. Nilai-nilai manusia pun dirusak. Kehormatan, martabat manusia, bahkan kesetiaan pada bangsa sekali pun dapat dihancurkan dalam waktu yang singkat.

Disadari atau tidak, korupsi adalah perilaku nyata miskinnya nasionalisme. Jiwa sebagai satu bangsa pudar ditelikung demi kepentingan jalan pintas menumpuk kekayaan. Elite kekuasaan yang korupsi seolah-olah membutakan mata terhadap rakyat yang terjerat kemiskinan, kepapaan, kelaparan, dan penderitaan. Sesungguhnya dampak dari korupsi tidak hanya berkurangnya uang negara yang dialokasikan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Perilaku korupsi yang dilakukan secara kolektif di negeri ini merupakan energi negatif yang bisa menarik dampak buruk bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan Hukum Kekekalan Energi, nilai energi yang kembali tidak berbeda dengan nilai energi yang dikeluarkan. Apabila yang dikeluarkan energi positif, buahnya adalah kebaikan dan hal-hal positif lainnya. Sebaliknya, keburukan dan hal-hal negatif lainnya akan didapatkan apabila yang dikeluarkan adalah energi negatif (Jamil Azzaini: 2008). Artinya, keburukan di negeri ini tidak terlepas dari energi negatif korupsi yang dampaknya bisa terjadi di masa kini maupun di masa mendatang.

Maka, pepatah yen ora jujur ajur bukanlah kalimat tanpa makna. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), “jujur” artinya lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus, dan ikhlas. Adapun kejujuran diartikan sifat keadaan jujur, ketulusan hati, dan kelurusan hati (M. Basuki Sugita: 2007). Manusia-manusia yang melakukan korupsi bisa dikatakan tidak memiliki kelurusan hati dan ketulusan hati. Sebagaimana diterangkan Yasadipura II dalam Serat Sasana Sunu bahwa watak dora memetengi ati. Maksudnya, watak tidak jujur akan membuat hati gelap (Suwardi Endraswara: 2003). Dengan hati yang gelap ini, maka tidaklah heran apabila pemimpin dan pejabat publik yang korupsi dan tidak jujur seakan-akan buta dan tuli ketika masyarakat merana dan merintih kesakitan.

Kebudayaan korupsi pastinya harus dilawan dengan budaya kejujuran. Sesungguhnya korupsi di lingkaran kekuasaan juga memperlihatkan wajah dari masyarakat. Dari masyarakatlah lahirnya para pemimpin dan pejabat publik. Mungkin benar kata Dede Azwar Nurmansyah (2007), pada masa kini tidak mudah menemukan model kejujuran dalam arti penuh dan total. Manusia selalu dicederai ketidakjujuran dalam hidupnya. Namun demikian, melahirkan sosok yang jujur bukannya tidak mungkin. Untuk dapat berlaku jujur, kita perlu memiliki kontrol internal yang kuat. Untuk melihat contoh nyata kuatnya kontrol internal untuk menegakkan kejujuran, kita bisa mengingat kembali kisah seorang anak perempuan di zaman kekhalifahan Umar bin Khaththab. Kisah ini seringkali diperdengarkan dan populer di benak kita.

Diceritakan saat Umar ra berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya seperti yang biasa beliau lakukan setiap malam, beliau mendengar percakapan antara seorang anak perempuan dengan ibunya penjual susu. Ibunya menyuruh anak perempuan itu untuk mencampur susu dengan air agar lebih banyak dan penghasilan yang diperoleh lebih besar. Mendengar ajakan ibunya, anak perempuan itu menolak bahwa perbuatan tersebut tidak diperbolehkan oleh Amirul Mukminin. Umar ra sebagai Amirul Mukminin memang telah menginstruksikan kepada para penjual susu untuk berlaku jujur dan tidak melakukan kecurangan. Ketika ibunya mengatakan bahwa Amirul Mukminin tidak mungkin tahu, anak perempuan itu lalu menjawab dengan pernyataan yang menunjukkan kadar keimanan yang tinggi bahwa Allah SWT Maha Melihat meskipun tidak diketahui Amirul Mukminin.

Coba bayangkan apabila setiap kita seperti anak penjual susu itu. Kejujuran untuk memperoleh hasil lewat cara yang halal dimiliki anak perempuan itu sehingga tidak mau melakukan korupsi dengan “mencampur susu dengan air”! Anak perempuan penjual susu itu tidak bersedia memperoleh penghasilan yang besar dengan cara yang curang! Begitu juga kita perlu memiliki budi pekerti berupa kejujuran yang terinternalisasi dalam diri kita. Dalam hal ini, keteladanan tidak perlu dicari dari pemimpin dan pejabat publik yang cenderung kurang dapat dijadikan panutan. Justru kita sebagai individu-individu manusia harus memulai untuk menjadi teladan dalam hal kejujuran. Kita perlu membiasakan dan menegakkan perilaku antikorupsi dalam kehidupan keseharian.

Dengan banyaknya setiap diri kita yang berperilaku jujur, masyarakat yang jujur akan tercipta. Akhirnya, negara pun penuh dengan kejujuran. Konsep ini juga menegaskan pentingnya membangun institusi keluarga sebagai basis menyemai nilai kejujuran yang disosialisasikan. Keluarga perlu menjadi institusi pendidikan yang mampu menanamkan dan menegakkan budi pekerti yang luhur. Orangtua—m
eminjam Socrates—perlu mengembangkan potensi anaknya ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct). Keteladanan perlu didapatkan anak dari orangtua dengan menerapkan nilai kejujuran dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan kepemilikan budi pekerti berupa kejujuran, setiap individu manusia akan menciptakan kehidupan masyarakat yang jujur. Kelak pemimpin dan pejabat publik yang jujur dan antikorupsi pun akan lahir dari masyarakat yang penuh kejujuran. Kita harus terus berjuang menegakkan kejujuran betapa pun sulitnya. Bukankah sing jujur mujur? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pembelajar pada Universitas PGRI Yogyakarta

Jogja Waspada Banjir

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pikiran Pembaca SKH KEDAULATAN RAKYAT, Senin, 16 Januari 2012
Air adalah sumber kehidupan. Di permukaan bumi maupun tubuh manusia, air memiliki volume besar. Tak hanya kekeringan yang melanda, manusia bisa dibuat kerontang tak bernyawa akibat tiadanya air. Lewat kata “air” yang diejakan Annie Sullivan di telapak tangannya, Helen Keller yang buta, tuli, dan bisu pun mulai meniti perjalanan hidup penuh makna. Air memang memberi manfaat, tetapi bisa mengundang petaka apabila meluap berlebihan.

Petaka banjir
, misalnya, pastinya bukanlah hal baru di muka bumi ini. Sejak berabad-abad silam, banjir telah menjadi fenomena. Di Indonesia, banjir bukan hanya milik Jakarta, namun juga kota-kota lainnya. Jangan mengira Jogja tak pernah ada banjir. Perbedaannya hanya pada skalanya. Banjir di Jogja yang skalanya tak terlalu besar mungkin yang menyebabkan responsnya tak seheboh Jakarta. Bertahun-tahun bertempat tinggal di Jogja, penulis menyaksikan beberapa aliran sungai meluap sampai ke daratan. Beberapa ruas jalan pun kerapkali tergenangi air. Hujan yang menerpa Jogja pada awal tahun 2012 ini pun meluapkan air pada beberapa sungai.

Tanpa adanya kesadaran penataan dan pengelolaan lingkungan, Jogja bisa terkena banjir lebih besar. Disadari atau tidak, eksploitasi dan komersialisasi lingkungan bisa mengakibatkan banjir. Pengembangan bangunan beton yang meluas di Jogja perlu dicermati. Tanpa memperhatikan tata ruang dan kawasan hijau, pembangunan justru mengorbankan kehidupan masyarakat. Usaha preventif dan preservatif bisa dilakukan, seperti menjaga-memelihara kedalaman sungai dan daerah aliran sungai.

Selain itu, yang tak bisa dilupakan adalah salah satu kebiasaan sosial buruk yang dimiliki sebagian besar kita, yakni membuang sampah sembarangan. Kebiasaan sosial atau habitus dalam istilah sosiolog Perancis Pierre Bourdieu adalah perilaku perorangan yang dilakukan kebanyakan orang. Sampah bisa menutup saluran air dan mendangkalkan sungai. Sampah juga memicu berbagai penyakit. Maka, kebiasaan sosial buruk tersebut harus diubah menjadi kebiasaan sosial yang baik dengan menaruh sampah pada tempatnya, syukur-syukur sampai memilah dan mengolah (Al Andang L Binawan: 2007). Limbah pabrik yang dibuang tak semestinya juga merupakan sampah yang perlu mendapatkan perhatian.

Banjir bisa mengejutkan Jogja. Dalam hal ini, pemerintah dan masyarakat perlu memiliki kesadaran lingkungan. Di perempatan Wirobrajan Jogja, ada gambar pada sebuah baliho besar dengan tulisan Lengah Berarti Musibah yang layak kita renungkan.
HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Jogjakarta

Jejak Sepeda Onthel

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu 15 Januari 2012
Judul Buku: Pit Onthel Penyunting: Yemima Lintang Khastiti Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta Cetakan: I, 2011 Tebal: vi+90 halaman

Buku ini hadir untuk merawat sepeda onthel dalam teks. Sepeda onthel hadir di negeri ini tak terlepas dari penjajah Belanda. Pada akhir abad ke-19, Belanda memang menjadi salah satu negara Eropa yang memproduksi sepeda secara besar-besaran, selain Inggris, Jerman, Perancis, dan Amerika Serikat. Sepeda produksi Belanda itu dibawa ke Indonesia (dulu Hindia Belanda) pada awal abad ke-20 atau sekitar tahun 1910. Merek sepeda yang diminati saat itu, antara lain Fongers, Batavus, Sparta, dan Gazelle. Beberapa tahun kemudian muncul sepeda buatan negara Eropa lainnya, seperti buatan Inggris dan Jerman.

Untuk mendukung kelancaran pemerintahan di tanah jajahan, pemerintah Belanda beserta aparatnya menjadi pengguna sepeda pertama kali. Jenis sepeda disesuaikan dengan kebutuhan pemakai. Misalnya, bagian porok sepeda militer dipasangi tempat senjata dan sepeda pegawai gubernemen termasuk tukang pos diberi bagasi untuk menyimpan surat. Lambat laun, para bangsawan, para misionaris, dan saudagar kaya menggunakan sepeda. Harga sepeda saat itu mahal, sehingga tak semua masyarakat bisa membelinya (hlm. 4-7).

Pada awal kemerdekaan Indonesia, sepeda digunakan sebagai kendaraan polisi, namun tak semua polisi mendapatkan sepeda dinas. Diceritakan dalam buku ini kisah Pak Samidjo (92 tahun) yang kini tinggal di Desa Boro, Kulon Progo. Dalam kenangannya, ia merasa gagah apabila berpatroli dengan sepeda. Keluar-masuk kampung, penduduk menyambut hangat. Saat itu polisi benar-benar dekat dengan masyarakat. Mendengar dering sepeda patroli saja, masyarakat sudah merasa aman, padahal saat itu polisi hanya bersenjatakan kelewang. Pak Samidjo pernah bersua Bung Karno dan Bung Hatta. Yang berkesan, saat kunjungan Bung Karno ke asrama polisi di Gondomanan. Banyak kisah dirasakan Pak Samidjo dengan sepedanya. Pada tahun 1969, Pak Samidjo pensiun dengan pangkat terakhir Inspektur Polisi II (hlm. 43-44).
Banyak hal lainnya dikemukakan dalam buku ini. Gambar-gambar sepeda onthel dengan beragam merek dan bentuk disajikan. Buku ini dikembangkan dari katalog terbitan Bentara Budaya Yogyakarta yang diolah kembali, dibuat mengalir ceritanya, diubah penataannya, serta sebagian data dilengkapi agar lebih mencakup dan akurat. Sajak gubahan Sindhunata berikut layak direnungkan: Sepeda onthel dari Belanda/rodanya meninggalkan bekas-bekas cinta/di sudut-sudut Kota Yogyakarta./Sudah lapuk besi-besinya/sudah patah ruji-rujinya/habis dimakan cinta./Sepeda onthel sepeda Jawa/saksi mata bagi kita/kota ini pernah bersemi dengan cinta./Kini Yogya tiada lagi mau bersepeda/hiruk-pikuk dan cepat di mana-mana/tapi cinta tiada lagi di hatinya./Sepeda onthel sudah tua/tiada lagi berputar roda-rodanya/Yogya pun kini sepi dari cinta.

Benarkah Jogja tak lagi mau bersepeda?
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta

Semua Diawali dari Budi Pekerti

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA, Kamis, 12 Januari 2012

Disadari atau tidak, dunia pendidikan penuh kekusutan. Ketidakjujuran dilakukan oleh insan pendidikan, seperti kecurangan saat ujian, manipulasi nilai, plagiarisme, dan sebagainya. Guru, dosen atau apapun istilahnya yang selayaknya menjadi sosok digugu lan ditiru kerapkali kurang menjadi panutan. Padahal, dalam teori pendidikan, keteladanan merupakan salah satu aspek yang selalu ditekankan.

Kekusutan dunia pendidikan menambah miris siapa pun ketika siswa dan mahasiswa belum sepenuhnya berperilaku dan berbudi pekerti luhur. Perilaku-perilaku siswa dan mahasiswa seringkali memprihatinkan, bahkan mengarah pada tanda-tanda kehancuran sebuah bangsa. Menurut kacamata Thomas Lickona (dalam Dwi Budiyanto: 2011), perilaku tersebut di antaranya adalah meningkatnya kenakalan di kalangan remaja, kian tingginya rasa tak hormat terhadap orangtua dan guru, meningkatnya kekerasan yang terjadi antarkelompok sebaya, sikap fanatik yang menyebabkan kebencian, penggunaan bahasa yang buruk, perkembangan seksualitas yang cepat dan munculnya penyimpangan seksual, meningkatnya individualisme dan menurunnya tanggung jawab sosial, dan tumbuhnya perilaku merusak diri.

Miskinnya budi pekerti dan karakter terpuji bisa dikatakan merupakan akar dari permasalahan di negeri ini. Untuk mengatasi hal tersebut, pendidikan menjadi unsur penting. Idealnya, dengan pendidikan, manusia bisa berubah menjadi lebih baik dan mencapai kehidupan yang bermakna. Artinya, dunia pendidikan perlu melakukan pembenahan agar dapat melahirkan manusia-manusia yang terdidik. Manusia yang terdidik tak sekadar berprestasi akademik, namun juga berbudi pekerti mulia, memiliki karakter positif, dan memiliki keanggunan moral.

Memang siapa pun mengakui bahwa mendidik manusia tidaklah mudah. Dibutuhkan kesungguhan, keuletan, konsistensi, dan fokus pada tujuan. Tak sekadar tanggung jawab sekolah, tetapi juga tanggung jawab pihak keluarga dan masyarakat. Pada tahun 2012 ini, kita perlu memiliki spirit mendidik untuk melahirkan individu manusia yang berbudi pekerti luhur dan berkarakter positif. Sesulit apapun itu, kita secara bersama-sama perlu berjuang.Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Yogyakarta

Penyimpangan Seksual di Kalangan Anak dan Remaja

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa REPUBLIKA DIY-JATENG, Kamis, 12 Januari 2012

Salah satu perilaku yang disinyalir Thomas Lickona (dalam Dwi Budiyanto: 2011)
dapat mengarah pada tanda-tanda kehancuran sebuah bangsa adalah perkembangan seksualitas yang cepat dan munculnya penyimpangan seksual. Disadari atau tidak, fakta tersebut terlihat secara nyata di negeri ini. Tidak hanya oleh orang-orang dewasa, perilaku penyimpangan seksual juga dilakukan anak-anak dan remaja.

H
ati kita tentu terasa miris, sebagaimana kerapkali diberitakan, ketika ada anak dan remaja seusia SD-SMA melakukan perkosaan terhadap lawan jenis. Bahkan, antarlawan jenis melakukan seks bebas dengan dalih suka sama suka. Mereka seringkali mengungkapkan alasan melakukan itu karena menonton “film-film biru”. Pada simpul ini, kita ketahui bahwa video compact disk (VCD) dan film yang berbau porno bisa memberikan pengaruh negatif bagi anak dan remaja. Memang tak bisa dimungkiri jika perkembangan industri pornografi di negeri ini relatif pesat. Pada titik ini, anak dan remaja ternyata belum mendapatkan perlindungan maksimal dari bahaya pornografi. Dari berbagai penelitian terkait media dan komunikasi publik, tayangan dan bacaan yang terus-menerus dikonsumsi dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku. Media cetak dan elektronik yang beraroma pornografi tentu bisa mempengaruhi anak dan remaja.

Maka,
kesadaran segenap pihak untuk melindungi anak dan remaja dari bahaya pornografi dan seks bebas diperlukan. Orangtua perlu memantau perkembangan anaknya dan menaruh perhatian seksama. Ada tanggung jawab orangtua yang tidak boleh dilalaikan untuk mendidik anaknya agar mengetahui mana perilaku yang benar dan yang salah, mana perilaku yang susila dan yang asusila. Mengontrol tontonan layar kaca yang disaksikan anak juga perlu dilakukan. Orangtua semestinya memberikan pemahaman dan menjelaskan kepada anak terkait apa yang disaksikan di layar kaca. Kasih sayang dan perhatian orangtua yang proporsional menjadi sebuah keniscayaan untuk mencegah anak dari perilaku menyimpang. Pendidikan akhlak, budi pekerti, moral, dan semacamnya selayaknya mulai disosialisasikan sejak dari lingkungan keluarga.

Begitu juga dengan p
ihak sekolah, nilai-nilai moral dan kesusilaan perlu ditanamkan kepada peserta didik. Pendidikan agama yang tercakup dalam kurikulum pendidikan harapannya bisa menyentuh kesadaran peserta didik sehingga memiliki perilaku mulia dan cerdas untuk menilai tindakan baik dan buruk. Piranti moral, akhlak, dan budi pekerti perlu dimiliki peserta didik, sehingga dapat membedakan mana yang positif dan yang negatif. Di lain pihak, industri media dan komunikasi perlu menyadari bahwa fungsi pers tidak sekadar mencari laba semata, tetapi juga memiliki fungsi pendidikan. Pers harus menyadari perannya untuk turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, mencerahkan pikiran dan perilaku anak dan remaja.

Tegasnya, kepedulian segenap pihak untuk melindungi anak dan remaja dari terpaan pornografi tak bisa ditawar-tawar lagi. Kita sudah saatnya melindungi anak dan remaja sebagai generasi masa depan dari pengaruh buruk pornografi. Tanggung jawab melindungi anak dan remaja berada di pundak orangtua, sekolah, masyarakat, pemerintah, dan institusi-institusi nonpemerintah yang memang peduli bahwa baik buruknya Indonesia ke depan ditentukan oleh generasi masa kini. Kita tentu saja tak ingin menyaksikan anak dan remaja lebih suka gambar dan tayangan porno ketimbang melahap bacaan bermutu. Kita tak ingin anak-anak sekolah lupa menuntut ilmu dan memperkaya wawasan-pengetahuan karena terlalu nyamannya melakukan seks bebas. Sebelum kehancuran bangsa terjadi sebagaimana diungkapkan Thomas Lickona di atas, kita perlu mencegah dan mengantisipasi. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Universitas PGRI Yogyakarta
bisnis syariah

Belajar Menjual dari Sun Tzu

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Sabtu, 7 Januari 2012


Judul:
Menjadi Penjual Profesional ala Sun Tzu Penulis: Frans M Royan Penerbit: Kanisius, Yogyakarta Tahun: I, 2011 Tebal: xvi 235 halaman Harga: Rp45.000


Sun Tzu adalah panglima perang China yang hidup pada tahun 403-221 SM. Sosok yang fenomenal ini adalah ahli strategi dalam memenangkan peperangan. Tak hanya di bidang militer, banyak pihak mengacu pada pemikiran dan sepak terjangnya untuk berbagai bidang ilmu lainnya.


Buku karya Franz M Royan ini memberi gambaran penerapan strategi Sun Tzu dalam bidang bisnis, terutama pada penjualan produk. Dalam buku seni perangnya berjudul Sun Tzu Ping Fa, Sun Tzu mengajarkan kepada prajuritnya strategi agar selalu menang perang, bahkan dalam 100 peperangan sekalipun.
Lantas, apakah para penjual tak boleh gagal?

Mungkin terasa berlebihan apabila dalam penjualan tak boleh gagal. Belajar dari Sun Tzu, papar penulis buku ini, kata "kegagalan" semestinya tak keluar dari bibir penjual, sebab penjual telah mempersiapkan segala sesuatunya sebelum menemui konsumen.
Berhasil dalam 100 penjualan atau lebih bisa saja dicapai apabila ada persiapan matang. Jadi, yang ditekankan jika bisa berhasil, mengapa harus gagal?

Dengan pemaparan yang mudah dicerna, Frans M Royan, yang berpengalaman di sales and marketing selama 24 tahun, mengajak kita menyelami strategi Sun Tzu.
Setiap penjual harus memiliki perencanaan. Hal ini tak jauh berbeda dengan yang diajarkan Sun Tzu sebelum berperang. Di dalam manajemen perencanaan, tertuang planning, organizing, actuating, and controlling, sedang Sun Tzu menggunakan plan, do, check, and action. Apabila diterapkan pada penjualan, para penjual harus merencanakan, melakukan, kontrol, dan bertindak. Dengan begitu, para penjual dapat memaksimalkan penjualannya.

Mereka yang telah membaca bukunya tahu bahwa Sun Tzu mengajarkan kepada prajurit bahwa jika ingin menang perang, tak perlu mengadakan peperangan.
Itu seperti dalam penjualan produk. Sebagaimana Sun Tzu yang akan selalu berusaha memenangkan 100 peperangan untuk memuaskan sang raja, para penjual dituntut bisa memuaskan pelanggan, sebab konsumen adalah bos para penjual. Tanpa konsumen, perusahaan akan bangkrut.

Penulis buku juga memaparkan Sun Tzu memiliki kemampuan mengelabui. Ia akan memancing musuh turun gunung, dan prajurit Sun Tzu menghancurkannya. Prajurit Sun Tzu akan membuat api yang jumlahnya banyak, lalu dimatikan satu per satu. Musuh mengira pasukan Sun Tzu sedang mundur.
Namun ketika musuh menyerbu, mereka kocar-kacir disergap pasukan Sun Tzu. Kegiatan ini seperti memancing konsumen datang untuk membeli produk yang murah, dengan tujuan dapat mengundang konsumen untuk membeli produk lainnya. Banyak hal lainnya bisa dipelajari dari buku ini.
Hendra Sugiantoro, penulis lepas tinggal di Yogyakarta

Mahasiswa Tidak Plagiat?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini RADAR JOGJA, Jum'at, 6 Januari 2012

Plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/ atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Itulah pengertian plagiat yang tertera dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (kini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) No. 17/2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi Bab I Pasal 1.

Tindakan plagiat jelas menyalahi etika akademik. Dalam pemberitaan media massa, tindakan plagiat kerapkali dilakukan staf pengajar perguruan tinggi. Pertanyaannya, apakah mahasiswa tak pernah plagiat dalam membuat karya tulis? Perilaku ambil jalan pintas yang menggejala di kalangan mahasiswa ditengarai juga merambah dalam kepenulisan. Begitu juga dengan faktor minimnya aktivisme menulis yang memungkinkan tindakan plagiat terjadi. Ketika diketahui melakukan plagiat, ada sanksi bagi mahasiswa yang paling ringan sampai yang berat. Sanksi tersebut secara berurutan adalah teguran, peringatan tertulis, penundaan pemberian sebagian hak mahasiswa, pembatalan nilai satu atau beberapa mata kuliah yang diperoleh mahasiswa, pemberhentian dengan hormat dari status mahasiswa, pemberhentian tidak dengan hormat dari status mahasiswa, atau pembatalan ijazah apabila mahasiswa telah lulus dari suatu program (Peraturan Mendiknas No. 17/2010 Bab VI Pasal 12 (1)).

Dalam Bab V Pasal 10 Ayat (1) dari peraturan tersebut diterangkan apabila mahasiswa ditengarai melakukan plagiat, maka ketua jurusan/departemen/bagian membuat persandingan antara karya ilmiah mahasiswa dengan karya dan/ atau karya ilmiah yang diduga merupakan sumber yang tidak dinyatakan oleh mahasiswa. Untuk melakukan persandingan tersebut, karya tulis yang dihasilkan mahasiswa pastinya telah diperiksa dan dikoreksi oleh dosen bersangkutan. Namun, hal ini dimungkinkan jarang dilakukan. Tak ada jaminan dosen memeriksa karya tulis mahasiswa secara keseluruhan akibat kesibukan ataupun kuantitas mahasiswa yang diampu. Jika pun diperiksa secara keseluruhan dengan teliti, tindakan plagiat masih bisa terjadi. Dosen tetap memiliki keterbatasan menguasai referensi dan mengetahui isi dari berbagai literatur.

Untuk membangun budi pekerti terkait kejujuran dan penegakan etika akademik, pencegahan plagiat di kalangan mahasiswa—tidak hanya dosen—menjadi salah satu fokus penting. Meskipun kunci mengatasi plagiarisme pada dasarnya terletak pada hati nurani mahasiswa, namun upaya dari pihak jurusan perlu juga dilakukan, seperti mengadakan pelatihan kepenulisan sebagai pembinaaan mahasiswa. Dari segi kurikulum, mata kuliah Bahasa Indonesia bisa diselenggarakan. Pelajaran Bahasa Indonesia di perguruan tinggi hendaknya tak sekadar berkaitan dengan aspek-aspek Bahasa Indonesia yang harus dikuasai, tetapi juga berkaitan dengan kaidah tulis-menulis (Sunarti: 2009). Organisasi kemahasiswaan seperti penelitian bisa turut berperan.

Di samping itu, pembukuan karya tulis mahasiswa sekiranya perlu diprogramkan. Mahasiswa biasanya diberi tugas oleh dosen untuk menyusun karya tulis. Tidak hanya untuk dipresentasikan di depan kelas, karya tulis itu juga perlu dibukukan. Jadi, mahasiswa bisa menghasilkan satu buku ketika usai menempuh satu mata kuliah. Dengan target dibukukan, mahasiswa menjaga pekerjaan menulisnya dilakukan secara jujur. Dosen juga perlu memantau dan memeriksa secara teliti. Pembuatan buku untuk diterbitkan akan menjadi taruhan bagi mahasiswa. Satu karya tulis yang disusun seorang mahasiswa yang tak memenuhi kaidah dan etika penulisan bisa mencoreng wajah dosen dan seluruh mahasiswa. Maka, penerbitan buku ini bisa menjadi kontrol. Masing-masing mahasiswa membangun integritas dengan saling menjaga, mengingatkan, mengoreksi, dan merevisi karya tulis satu sama lain. Diskusi-diskusi intensif bisa dilakukan agar bisa menghasilkan karya tulis berkualitas. Karya tulis mahasiswa yang telah dibukukan bisa dibawa ke penerbit atau diterbitkan dengan biaya sendiri.
Meskipun berisi karya tulis mahasiswa, dosen bukan berarti lepas tanggung jawab ketika buku diterbitkan. Pada titik ini, dosen membuat kata pengantar pada buku sekaligus menjelaskan bahwa karya tulis di dalamnya merupakan karya mahasiswanya. Ketika karya tulis di dalamnya ternyata ditengarai beraroma plagiarisme oleh publik, maka citra dosen ikut terkena getahnya. Dengan demikian, dosen akan bertanggung jawab membimbing mahasiswa dari awal sampai akhir ketika menyusun karya tulis.

Apa yang diutarakan di atas adalah alternatif mencegah plagiat di kalangan mahasiswa. Banyak cara bisa dilakukan demi membentuk budi pekerti dan karakter mahasiswa yang mengedepankan kejujuran dan antiplagiat. Plagiator-plagiator di perguruan tinggi perlu dicegah agar tak menjelma koruptor di kemudian hari Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Yogyakarta