Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bedah Buku SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu, 7 November 2010
Judul Buku: Sjahrir, Peran Besar Bung Kecil Penulis: Tim Seri Buku Tempo Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia&Majalah Tempo Cetakan: I, September 2010 Tebal: xx+222 halaman
Membaca hubungan Sjahrir dengan Sukarno sepertinya membaca riwayat persahabatan, sekaligus perseteruan. Hal ini telah terjadi sejak Indonesia belum merdeka. Konon, Sukarno, Hatta, dan Sjahrir pernah bersua di zaman penjajahan Jepang di mana disepakati bahwa Sukarno dan Hatta bergerak di “atas tanah”, sedangkan Sjahrir tetap menyusun perlawanan “di bawah tanah”. Dalam pergerakannya “di bawah tanah”, Sjahrir mendengar Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Sukarno membantah informasi itu dan tak menuruti kehendak Sjahrir agar kemerdekaan Indonesia secepatnya diproklamasikan. Pada dasarnya, Sjahrir bermaksud agar proklamasi kemerdekaan tak ada campur tangan Jepang.
Dalam catatan sejarah, julukan “Bung Kecil” kerap ditujukan kepada Sjahrir. Media massa menjulukinya seperti itu setelah menyaksikan foto di Gedung Joang 45, Jakarta. Dalam foto, Sjahrir yang pendek badannya berdiri penuh percaya diri di antara Gubernur Jenderal Belanda Van Mook dan Panglima Sekutu di Indonesia Sir Philip Christison. Foto itu terjepret seorang wartawan usai pertemuan Sjahrir dengan dua petinggi negara luar itu pada 17 November 1945. Dalam pertemuan itu, Sjahrir menentang keras bercokolnya kembali Belanda di Indonesia.
Perjuangan Sjahrir tak lepas dari kontroversi sekaligus menimbulkan polemik. Sebut saja soal Perjanjian Linggarjati, peta Indonesia menjadi ciut meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Indonesia pun menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Perjanjian Linggarjati kerap dianggap menguntungkan Belanda. Pakar sejarah memiliki penafsiran bermacam-macam soal perjanjian Linggarjati. Saat perundingan Linggarjati, posisi Sjahrir dalam pemerintahan adalah perdana menteri. Perundingan Linggarjati dilaksanakan di tengah gentingnya kondisi Indonesia akibat kedatangan Belanda yang membonceng Sekutu.
Meskipun kerap diselimuti kontroversi, kemerdekaan, kedaulatan, dan eksistensi Indonesia di mata Sjahrir adalah harga mati. Sjahrir menjalankan politik diplomasi dengan pihak lawan meskipun ditentang oleh sebagian pihak. “Bung Kecil” ini pernah membuat kebijakan bantuan beras sekitar setengah juta ton kepada India yang kekurangan pangan pada 1946. Disadari atau tidak, bantuan beras ini sedikit banyak turut membuka mata internasional terhadap keberadaan Indonesia.
Membaca buku ini, jejak Sjahrir di zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, dan zaman kemerdekaan coba diungkap. Pemikirannya coba digali. Pengkajian pemikiran dan sepak terjang Sjahrir diperlukan demi penemuan pelajaran berharga.
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta