Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Kampus Suara Merdeka, Sabtu 4 Desember 2010
APA yang disampaikan Fadjroel Rachman di Unnes layak direnungkan mahasiswa maupun gerakan mahasiswa. Saat berbicara dalam Dialog Nasional Revitalisasi Makna Sumpah Pemuda dalam Upaya Perbaikan Bangsa yang diselenggarakan BEM KM Unnes, beliau menegaskan bahwa demonstrasi adalah senjata pamungkas jika semua jalan untuk menyelesaikan masalah di wilayah intelektual gagal (Suara Merdeka, 22/11).
Demonstrasi atau turun ke jalan tidaklah dilarang, namun bukan satu-satunya cara menyampaikan aspirasi. Ada kegelisahan dirasakan ketika tradisi intelektual acapkali diabaikan. Mahasiswa lebih menikmati aksi turun ke jalan setiap menanggapi kebijakan pemerintah maupun isu-isu yang berkembang. Fatalnya, mahasiswa yang berdemonstrasi kerapkali hanya mengikuti komando dan kurang memahami isu dan persoalan secara mendalam.
Dalam ranah intelektual, kajian dan penelitian terhadap isu yang berkembang niscaya dilakukan. Mahasiswa perlu senantiasa menggalakkan tradisi membaca, berdiskusi, dan menulis. Sejauh yang penulis amati, tidak banyak dari mahasiswa yang mengakses perkembangan-perkembangan terkini. Adanya mahasiswa yang buta isu-isu aktual tak dimungkiri. Jika pun mengetahui perkembangan aktual hanya bermodalkan ”katanya”. Tanpa kuatnya tradisi membaca, meneliti, dan berdiskusi, pendewaan terhadap asumsi-asumsilah yang terjadi dalam setiap demonstrasi mahasiswa yang digelar.
Ungkapan klise menyebutkan ada tiga kejahatan intelektual: tidak suka membaca, tidak suka berdiskusi, dan tidak suka menulis. Dengan kata lain, kejahatan inteletual telah dilakukan mahasiswa dengan minimnya tiga laku intelektual tersebut. Mahasiswa seolah-olah tak ada waktu maksimal bergelut dengan teks, melahap bahan bacaan, apalagi menuliskan gagasan dan pemikiran. Padahal, menulis bagi mahasiswa merupakan keniscayaan. Menulis juga bisa digunakan untuk melakukan kritik dan kontrol terhadap penguasa.
Dalam hal ini, menulis selayaknya menjadi “jalan baru” aksi mahasiswa. Media massa bisa digunakan untuk menuangkan gagasan dan pemikiran,. Sebagai bagian dari tradisi intelektual, menulis justru perlu digiatkan. Menulis untuk pembelaan, penyadaran, dan perubahan bisa dilakukan tanpa melulu turun ke jalan. Menulis bisa dijadikan ajang mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro-kemaslahatan rakyat. Mahasiswa sekiranya perlu meneladani jejak tokoh-tokoh bangsa tempo silam yang aktif menggoreskan pena, bahkan penerbitan pers menjadi hal penting dalam pergerakan. Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan lain-lainnya menuangkan gagasan dan pemikirannya lewat tulisan. Kadang mereka mempublikasikan tulisan dalam bentuk brosur dan pamflet.
Pada titik ini, ada kisah menarik dari Bung Hatta yang bisa dijadikan cermin bagi mahasiswa. Ketika kuliah di negeri Belanda, Bung Hatta turut mengelola surat kabar Hindia Poetra. Bung Hatta mengaku bahwa tulisan pertamanya di Hindia Poetra adalah tulisan ilmiah pertamanya. Tulisan itu diberi judul De economische positie van den Indonesischen grondverhuurder (Kedudukan ekonomi para penyewa tanah orang Indonesia) dan Eenige aantekeningen betreffende de grondhuur-ordonnantie in Indonesi (Beberapa catatan tentang ordonansi penyewaan tanah di Indonesia). Saat itu di Hindia Belanda (sebelum bernama Indonesia) memang lagi hangat isu soal persewaan tanah perkebunan. Dalam membuat tulisan itu, Bung Hatta berjuang mati-matian dengan membaca dan mengkaji pelbagai literatur. Bung Hatta berkata, “Lama juga waktu yang kupergunakan untuk mengarang dua karangan (itu). Kalau aku tak salah, kira-kira enam bulan. Sambil belajar aku mengarang dan sedapat-dapatnya membaca pula buku yang dapat aku pergunakan sebagai bahan atau dasar.”(Parakitri T Simbolon, 2000).
Membaca riwayat tokoh-tokoh bangsa, tulisan memang menjadi hal yang menyatu dalam derap perjuangan. Seiring perkembangan teknologi dan informasi, mahasiswa zaman kini justru harus lebih hebat menghasilkan tulisan. Mahasiswa bisa menulis di banyak media massa, tak hanya media massa cetak, tapi juga bisa menggunakan media massa online. Dengan adanya citizen journalisme, mahasiswa tidak terlalu sulit mempublikasikan tulisan-tulisannya. Semenjak reformasi bergulir, penerbitan media massa tak berbilang jumlahnya. Justru itulah kesempatan bagi mahasiswa menggiatkan laku menulis. Menulis di media massa dapat menjadi ajang dialektika intelektual. Memang ada mahasiswa yang telah menulis di media massa, namun bisa dikatakan belumlah sebanding dengan kuantitas mahasiswa di kampus. Yang perlu ditegaskan, menulis di media massa tak melulu menembus rubrik yang mendapatkan honorarium. Entah dapat uang atau tidak, menulis bisa dilakukan di rubrik media massa manapun, bahkan menulis di surat pembaca. Jika “jalan baru” ini diterima, kelak mahasiswa akan aksi besar-besaran memadati halaman koran. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Yogyakarta
Dimuat di Kampus Suara Merdeka, Sabtu 4 Desember 2010
APA yang disampaikan Fadjroel Rachman di Unnes layak direnungkan mahasiswa maupun gerakan mahasiswa. Saat berbicara dalam Dialog Nasional Revitalisasi Makna Sumpah Pemuda dalam Upaya Perbaikan Bangsa yang diselenggarakan BEM KM Unnes, beliau menegaskan bahwa demonstrasi adalah senjata pamungkas jika semua jalan untuk menyelesaikan masalah di wilayah intelektual gagal (Suara Merdeka, 22/11).
Demonstrasi atau turun ke jalan tidaklah dilarang, namun bukan satu-satunya cara menyampaikan aspirasi. Ada kegelisahan dirasakan ketika tradisi intelektual acapkali diabaikan. Mahasiswa lebih menikmati aksi turun ke jalan setiap menanggapi kebijakan pemerintah maupun isu-isu yang berkembang. Fatalnya, mahasiswa yang berdemonstrasi kerapkali hanya mengikuti komando dan kurang memahami isu dan persoalan secara mendalam.
Dalam ranah intelektual, kajian dan penelitian terhadap isu yang berkembang niscaya dilakukan. Mahasiswa perlu senantiasa menggalakkan tradisi membaca, berdiskusi, dan menulis. Sejauh yang penulis amati, tidak banyak dari mahasiswa yang mengakses perkembangan-perkembangan terkini. Adanya mahasiswa yang buta isu-isu aktual tak dimungkiri. Jika pun mengetahui perkembangan aktual hanya bermodalkan ”katanya”. Tanpa kuatnya tradisi membaca, meneliti, dan berdiskusi, pendewaan terhadap asumsi-asumsilah yang terjadi dalam setiap demonstrasi mahasiswa yang digelar.
Ungkapan klise menyebutkan ada tiga kejahatan intelektual: tidak suka membaca, tidak suka berdiskusi, dan tidak suka menulis. Dengan kata lain, kejahatan inteletual telah dilakukan mahasiswa dengan minimnya tiga laku intelektual tersebut. Mahasiswa seolah-olah tak ada waktu maksimal bergelut dengan teks, melahap bahan bacaan, apalagi menuliskan gagasan dan pemikiran. Padahal, menulis bagi mahasiswa merupakan keniscayaan. Menulis juga bisa digunakan untuk melakukan kritik dan kontrol terhadap penguasa.
Dalam hal ini, menulis selayaknya menjadi “jalan baru” aksi mahasiswa. Media massa bisa digunakan untuk menuangkan gagasan dan pemikiran,. Sebagai bagian dari tradisi intelektual, menulis justru perlu digiatkan. Menulis untuk pembelaan, penyadaran, dan perubahan bisa dilakukan tanpa melulu turun ke jalan. Menulis bisa dijadikan ajang mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro-kemaslahatan rakyat. Mahasiswa sekiranya perlu meneladani jejak tokoh-tokoh bangsa tempo silam yang aktif menggoreskan pena, bahkan penerbitan pers menjadi hal penting dalam pergerakan. Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan lain-lainnya menuangkan gagasan dan pemikirannya lewat tulisan. Kadang mereka mempublikasikan tulisan dalam bentuk brosur dan pamflet.
Pada titik ini, ada kisah menarik dari Bung Hatta yang bisa dijadikan cermin bagi mahasiswa. Ketika kuliah di negeri Belanda, Bung Hatta turut mengelola surat kabar Hindia Poetra. Bung Hatta mengaku bahwa tulisan pertamanya di Hindia Poetra adalah tulisan ilmiah pertamanya. Tulisan itu diberi judul De economische positie van den Indonesischen grondverhuurder (Kedudukan ekonomi para penyewa tanah orang Indonesia) dan Eenige aantekeningen betreffende de grondhuur-ordonnantie in Indonesi (Beberapa catatan tentang ordonansi penyewaan tanah di Indonesia). Saat itu di Hindia Belanda (sebelum bernama Indonesia) memang lagi hangat isu soal persewaan tanah perkebunan. Dalam membuat tulisan itu, Bung Hatta berjuang mati-matian dengan membaca dan mengkaji pelbagai literatur. Bung Hatta berkata, “Lama juga waktu yang kupergunakan untuk mengarang dua karangan (itu). Kalau aku tak salah, kira-kira enam bulan. Sambil belajar aku mengarang dan sedapat-dapatnya membaca pula buku yang dapat aku pergunakan sebagai bahan atau dasar.”(Parakitri T Simbolon, 2000).
Membaca riwayat tokoh-tokoh bangsa, tulisan memang menjadi hal yang menyatu dalam derap perjuangan. Seiring perkembangan teknologi dan informasi, mahasiswa zaman kini justru harus lebih hebat menghasilkan tulisan. Mahasiswa bisa menulis di banyak media massa, tak hanya media massa cetak, tapi juga bisa menggunakan media massa online. Dengan adanya citizen journalisme, mahasiswa tidak terlalu sulit mempublikasikan tulisan-tulisannya. Semenjak reformasi bergulir, penerbitan media massa tak berbilang jumlahnya. Justru itulah kesempatan bagi mahasiswa menggiatkan laku menulis. Menulis di media massa dapat menjadi ajang dialektika intelektual. Memang ada mahasiswa yang telah menulis di media massa, namun bisa dikatakan belumlah sebanding dengan kuantitas mahasiswa di kampus. Yang perlu ditegaskan, menulis di media massa tak melulu menembus rubrik yang mendapatkan honorarium. Entah dapat uang atau tidak, menulis bisa dilakukan di rubrik media massa manapun, bahkan menulis di surat pembaca. Jika “jalan baru” ini diterima, kelak mahasiswa akan aksi besar-besaran memadati halaman koran. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Yogyakarta