Membangun Indonesia Penuh Berkah

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Suara Karya, Rabu 18 Agustus 2010

TEPAT pada Selasa, 17 Agustus 2010, kita memperingati 65 tahun kemerdekaan Indonesia. Bagi kita yang dilahirkan di negeri ini tentu selalu mengingat proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan 65 tahun silam di Pegangsaan Timur 56, Cikini, Jakarta Pusat, tepat pukul 10:00 WIB. Berdasarkan tahun Jepang, pada 1945 Masehi adalah tahun 2605, maka dalam teks proklamasi tertera hari 17 boelan 8 tahoen 05.

Teks proklamasi itu diketik oleh tokoh muda bernama Sayuti Melik dengan menggunakan tahun Jepang, padahal ketika digubah oleh Muh. Hatta, Ahmad Soebardjo, dan dibantu oleh Soekarno sebagai pencatat menggunakan tahun masehi 1945. Dalam gubahan awal sebenarnya bukan atas Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta, tapi Wakil2 bangsa Indonesia. Atas usul Sukarni, teks proklamasi itu cukup ditandatangani Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Berdasarkan kalender hijriah, proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 jatuh pada hari Jum’at atau 17 Ramadan 1365 Hijriyah. Itu berarti kemerdekaan Indonesia diproklamasikan bertepatan pada bulan Ramadhan.

Membaca teks proklamasi kemerdekaan negeri ini terkesan cukup sederhana. Meskipun hanya terdiri dari dua kalimat, teks proklamasi itu telah mengesahkan Indonesia sebagai negara merdeka. Beberapa tahun kemudian persyaratan pengakuan negara luar atas kemerdekaan sebuah negara pun diperoleh. Mesir tercatat sebagai negara pertama yang mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia. Negara-negara yang tercatat sebagai pemberi pengakuan pertama kepada RI selain Mesir adalah Suriah, Irak, Lebanon, Yaman, Saudi Arabia, dan Afghanistan. Selain negara-negara tersebut, Liga Arab (Arab League) juga berperan penting dalam pengakuan kemerdekaan Indonesia. Secara resmi keputusan sidang Dewan Liga Arab pada 18 November 1946 menganjurkan kepada semua negara anggota Liga Arab agar mengakui Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat.

Usia kemerdekaan yang kini menginjak 65 tahun tentu memiliki beragam makna bagi siapa pun. Seperti biasa terjadi, di tengah peringatan hari kemerdekaan selalu terjadi dialektika: benarkah negeri ini sudah merdeka? Faktor kemiskinan dan keterpurukan yang menghinggapi perikehidupan masyarakat kerap menjadi argumentasi yang menegaskan Indonesia belum merdeka sepenuhnya. Masyarakat ekonomi pas-pasan masih pontang-panting untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasarnya. Belum lagi jika bicara akses pendidikan yang kian lama kian berbiaya mahal. Apalagi di jenjang pendidikan tinggi yang kian lama kian bertambah mahal, tidak sesuai dengan tingkat pendapatan rata-rata masyarakat. Itu soal akses memasuki jenjang pendidikan dan belum mengenai hilangnya ruh pendidikan di negeri ini. Pendidikan sebagai usaha menegaskan jati diri manusia dan kemanusiaan masih jauh dari harapan ketika orientasi pendidikan sekadar pemenuhan aspek kognitif semata. Aspek emosional dan spiritual kurang begitu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini.

Dalam Pembukaan UUD 1945, kesejahteraan rakyat jelas ditekankan agar menjadi perhatian negara. Pemerintah sebagai representasi negara memang wajib menjalankan fungsi memajukan kesejahteraan umum. Selain itu, pemerintah juga bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Fungsi itu belum berjalan sebagaimana mestinya. Lebih menyedihkan lagi, politik kekuasaan yang berjalan selama ini cenderung mengabaikan aspirasi rakyat kecil dan alpa terhadap cita-cita nasional yang menjadi amanat Indonesia merdeka. Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sekadar teks. Pasal 33 UUD 1945, misalnya, tidak dijalankan secara konsekuen oleh pemerintah. Sumber daya alam yang dahulu dipertahankan mati-matian oleh pahlawan dari cengkeraman penjajah, kini tanpa merasa bersalah dijual ke pihak asing dengan keuntungan tak seberapa bagi Indonesia. Perekonomian yang seharusnya dijalankan dengan azas kekeluargaan sesuai amanat konstitusi, nyatanya tidak demikian. Ekonomi kerakyatan yang antikapitalisme untuk tujuan kesejahteraan bersama bisa dikatakan hilang tanpa bekas dalam kebijakan ekonomi negeri ini.

Di tengah jerit pilu rakyat kecil di negeri ini, elite politik di negeri ini sepertinya buta mata. Politik yang semestinya dijalankan untuk mencapai kemaslahatan justru dimanfaatkan untuk memuaskan hasrat pribadi. Kasus korupsi yang kian marak adalah salah satu contoh. Tidak hanya pejabat eksekutif, pejabat legislatif dan juga pejabat yudikatif diindikasikan dan sudah ada yang terjerat kasus korupsi.

Tanpa berpanjang lebar mengutara-selatankan fakta kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini, kita selayaknya perlu membangkitkan semangat berbuat nyata bagi negeri ini. Mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya di mana rakyat bisa melangsungkan kehidupannya secara baik merupakan harapan kita bersama. Dibutuhkan komitmen dan aksi nyata membangun negeri ini agar lebih bermartabat. Kemerosotan moral adalah satu hal yang perlu menjadi agenda penting untuk diatasi agar bangsa ini memiliki karakter dan kepribadian mulia. Adanya akhlak yang baik terhadap Tuhan, manusia, dan alam tentu akan menciptakan kehidupan di negeri ini aman sentosa, tanpa kerusakan dan kejahilan-kejahilan.

Dalam usia 65 tahun kemerdekaan RI, kita juga perlu mengajak pemerintah melakukan perenungan. Apakah fungsi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial telah dijalankan? Maksud dibentuknya pemerintahan negara Indonesia seperti tertera dalam Pembukaan UUD 1945 itu selayaknya dijadikan landasan kebijakan dalam menjalankan politik kekuasaan. Politik adalah pengabdian dan sebentuk ibadah untuk terciptanya kemajuan bagi negeri.

Memang kita perlu berhimpun dalam satu barisan membangun Indonesia. Ada cita-cita dan harapan bagi terwujudnya Indonesia yang berdaulat, adil, dan dipenuhi kemakmuran. Menurut ukuran manusia, usia 65 tahun terhitung tua atau telah makan asam garam, tapi masih terlampau muda untuk ukuran sebuah negara. Jadi, proses “menjadi Indonesia” membutuhkan tahapan lebih lanjut.

Apapun permasalahan yang menerpa negeri ini, kita tak lupa memanjatkan syukur atas 65 usia kemerdekaan. Founding fathers pun mengakui bahwa kemerdekaan negeri ini ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Dengan pertolongan Allah Yang Maha Kuasa, kita bisa menghirup udara kemerdekaan. Syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa tentu masih berlanjut dengan terus berpikir, berjuang, dan berkarya bagi negeri ini. Perjuangan masing-masing diri kita untuk membangun negeri adalah bentuk kesyukuran kita kepada Tuhan jika dilakukan secara tepat sesuai dengan tuntunan-Nya. Membangun Indonesia penuh berkah tentu saja merupakan keutamaan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Yogyakarta

Puasa Profetik!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Gagasan Rema Post, Edisi 5/Tahun IV/Agustus 2010
Puasa Ramadhan kembali menyapa kita. Persiapan-persiapan tak lupa dilakukan untuk mampu menjalankan ibadah di bulan suci ini. Dari persiapan itu, persiapan bersifat immateri lebih utama. Masing-masing diri menyiapkan hati menghadapi bulan Ramadhan. Tak ada kerinduan lain bagi kita kecuali kuasa lebih baik lagi menjalani ibadah puasa Ramadhan tahun ini.

Kerinduan ini bukan semata karena bulan Ramadhan merupakan bulan penuh berkah, penuh ampunan, dan penuh kasih sayang Ilahi. Siapa pun yang berjumpa Ramadhan pasti merindukan itu. Setiap aktivitas kita ketika Ramadhan akan senantiasa dijaga agar bernilai ibadah. Dengan pahala berlipat-lipat, siapa pun berdaya upaya memperbanyak ritual dan amal saleh. Namun, kerinduan ini lebih luas daripada kemampuan membentuk kesalehan diri. Kita merindukan Ramadhan agar mampu mendidik diri sekaligus membangun kesalehan sosial. Kita berharap mampu menjalani Ramadhan lebih baik untuk sebuah idealisme kebangunan negeri. Kita perlu melakukan puasa profetik. Puasa bukan untuk kepentingan diri semata, tapi juga kepentingan bangsa, bahkan masyarakat dunia.

Hal ini didasari fakta belum mampunya ibadah puasa Ramadhan memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Berkali-kali bangsa ini menjalani puasa Ramadhan, namun kurang memberikan dampak signifikan bagi arus perubahan ke arah lebih positif. Salahuddin Wahid (2006) mensinyalir mutu puasa kebanyakan dari kita selama ini belum seperti yang diharapkan. Indikatornya adalah kehidupan sehari-hari. Kasus korupsi yang masih merajalela, misalnya, merupakan cermin miskinnya karakter mulia. Perilaku ketidakjujuran, ketidakdisiplinan, pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan ataupun kriminalitas masih kentara di sekitar kita. Perilaku-perilaku buruk lainnya begitu tampak dalam kehidupan.

Maka, puasa Ramadhan yang berlandaskan keimanan kepada Tuhan (transendensi) tentu tak sekadar berhenti tanpa gerak amal. Puasa diharapkan mampu mendidik masing-masing diri kita menjadi manusia yang berkontribusi bagi kehidupan. Puasa profetik menghendaki kita mampu mempraktikkan dimensi humanisasi dan liberasi dalam kehidupan. Melalui puasa, kita perlu mendidik diri untuk memiliki kepekaan dan solidaritas sosial yang tidak hanya berhenti pada bulan Ramadhan. Tantangan dari puasa yang kita lakukan tak sekadar terletak pada kemampuan menahan lapar dan dahaga, tapi kemampuan kita membentuk karakter mulia yang terus bertahan. Puasa profetik diarahkan menggerakkan transformasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kata Yudi Latif (2006), puasa merupakan wahana pertemuan antara tauhidullah dan tauhidul ummah, antara perkhidmatan kepada Tuhan dan perkhidmatan kepada kemanusiaan. Tanpa memberi dampak sosial, puasa tak menemukan relevansi.

Pada titik ini, evaluasi diri menjadi niscaya. Puasa Ramadhan hendaknya tidak sekadar ritual tahunan tanpa makna. Kita tidak dilarang melakukan sedekah sebanyak-banyaknya selama Ramadhan, namun kita juga perlu memiliki solidaritas sosial jangka panjang. Kejujuran yang kita tegakkan selama Ramadhan bukan semata karena Ramadhan penuh pahala, namun kita menyadari bahwa kejujuran merupakan perilaku yang harus kita miliki.

Puasa bernafaskan profetik akan melahirkan individu manusia yang mampu menyadari dirinya sebagai makhluk Tuhan. Dengan puasa profetik, kita menyadari perlunya mengambil peran sejarah meneruskan jejak para Nabi. Hal ini bukan berarti kita akan menjadi Nabi. Kita jelas bukan Nabi dan kita takkan mungkin menjadi Nabi. Namun, kita harus menyadari adanya misi profetik yang terletak di pundak kita dalam membangun kehidupan.

Bagaimana pun, kita memang masih belajar. Kita akan terus belajar mencintai Tuhan. Kita menjalankan puasa untuk mendidik diri kita menjadi manusia profetik. Meminjam pesan dalam Majalah Educinfo FIP UNY Vol II No. 1, Januari-Februari 2008, manusia profetik adalah individu-individu manusia yang berkeyakinan lurus, beribadah secara benar, berbudi mulia, memiliki kekuatan jasmani, luas wawasan berpikirnya, kuasa memanajemen urusan kehidupannya, mampu menundukkan keburukan nafsunya, mampu menafkahi dirinya dan memiliki kreativitas dalam pekerjaan, mampu memelihara waktunya untuk hal yang berguna, dan mampu berkontribusi positif bagi kebangunan masyarakat.

Mungkin dari penjabaran manusia profetik di atas masih bisa didiskusikan. Penulis melihat karakter-karakter di atas relatif tepat menggambarkan karakter manusia paripurna. Meski pendidikan adalah jalan panjang, namun puasa tahun ini merupakan salah satu ruang pendidikan bagi kita menjadi manusia profetik. Dengan puasa profetik, kita belajar menyeimbangkan tiga aspek fundamental dalam ibadah puasa sebagaimana disebutkan Komaruddin Hidayat (2006) terdiri dari pendekatan diri kepada Tuhan, penyucian diri, dan membangun kesalehan sosial. Dengan ibadah puasa, kita mengaktifkan kekuatan rohani, lalu mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin, sehingga mengalami proses penetrasi dan internalisasi sifat dan nilai Ilahi. Pijakan transendensi ini akhirnya mengarahkan kita membangun kehidupan. Dengan menjalankan puasa, kita menyadari tak ada manusia yang lebih tinggi dan lebih rendah. Kebesaran hanya milik Tuhan dan kita pun menjadi manusia profetik yang menjalankan proses humanisasi yang bersifat transendental. Kita pun membangun kehidupan dengan misi pembebasan, mengangkat derajat manusia agar memiliki daya yang tak ada perbedaan kecuali pada kadar ketakwaan.

Di tengah kekurangan ilmu dan “kehijauan” penulis, artikel ini disajikan. Penulis mohon maaf jika ada kekurangan. Harapannya muncul tulisan lebih lanjut untuk menanggapi tulisan ini. Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro

Rema Post Terbit 10.000 Eksemplar

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan Harian Jogja, 2010
Rema Post merupakan salah satu media kampus di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang diterbitkan BEM REMA UNY. Dalam edisi 9/Tahun IV/Agustus 2010, Rema Post diterbitkan dengan jumlah ribuan eksemplar. Mungkin banyak orang tidak menyangka, Rema Post diterbitkan sebanyak 10.000 eksemplar dan beredar sejak Jum’at (13/8).

Dalam edisi yang diterbitkan 10.000 eksemplar ini, Rema Post mengetengahkan berita utama perihal pelaksanaan training Emotional Spiritual Quotient (ESQ) di UNY. Training ESQ ini boleh dikatakan telah menjadi tradisi. Di UNY, training ESQ dilangsungkan setiap tahun bagi mahasiswa dan dosen UNY sejak tahun 2008 saat posisi rektor dijabat almarhum Sugeng Mardiyono sampai kini dijabat Rochmat Wahab. Dikatakan Pembantu Rektor III UNY, Herminarto Sofyan, bahwa ESQ sudah menjadi program utama UNY untuk mencapai visi dan misi UNY.

Dengan judul berita utama “ESQ, Menguatkan Pondasi Pendidikan Karakter”, Rema Post yang terbit 10.000 eksemplar ini juga memaparkan kebermanfaatan training ESQ. Salah satunya dikatakan mahasiswa UNY angkatan 2009, Avi Raharjo, bahwa ESQ sangat penting untuk membangkitkan kecerdasan emosional dan spiritual. Dengan ESQ, kata Pembantu Rektor I UNY Nurfina Aznam, kita menjadi tahu akan terjadinya alam semesta ini. Dibuktikannya kebenaran teori terbentuknya alam semesta. Selain itu, juga terdapat kaitan erat dengan makna profetik yang di dalamnya disampaikan kisah-kisah para Nabi.

Dalam penerbitan Rema Post sejumlah 10.000 eksemplar ini juga menampilkan artikel opini berjudul “Puasa Profetik!”. Ada pernyataan menarik dalam artikel itu, “Kita perlu melakukan puasa profetik. Puasa bukan untuk kepentingan diri semata, tapi juga kepentingan bangsa, bahkan masyarakat dunia. Dengan menjalankan puasa, kita menyadari tak ada manusia yang lebih tinggi dan lebih rendah. Kebesaran hanya milik Tuhan dan kita pun menjadi manusia profetik yang menjalankan proses humanisasi yang bersifat transendental. Kita pun membangun kehidupan dengan misi pembebasan, mengangkat derajat manusia agar memiliki daya yang tak ada perbedaan kecuali pada kadar ketakwaan.”

Terkait Rema Post yang dicetak sebanyak 10.000 eksemplar, dikatakan pemimpin umum Rema Post Nurhayati Budiyanti, bahwa hal ini merupakan oplah terbesar Rema Post sepanjang sejarah sejak mulai terbit tahun 2006. Dalam edisi reguler, Rema Post terdiri dari 8 halaman, tapi penerbitan sebanyak 10.000 eksemplar ini hanya 4 halaman. Dari isi yang ditampilkan, Rema Post tercetak 10.000 eksemplar ini tampaknya ingin mengungkap tradisi pelaksanaan training ESQ di UNY. Apakah penerbitan sebanyak 10.000 eksemplar merupakan jumlah terbesar untuk ukuran buletin kampus manapun di negeri ini? Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro
Karangmalang Yogyakarta 55281

Catur Pusat Pendidikan Profetik

Dimuat di Rema Post Edisi 4/Tahun IV/Agustus 2010

Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) memiliki visi membangun insan yang cendekia, mandiri, dan bernurani. Jika pun urutan kata itu dibalik menjadi bernurani, cendekia, dan mandiri, inti dari dari visi tersebut terangkum dalam satu tema: pendidikan profetik. Memang hal ini tampak memaksa,namun bukan tak berdasar.

Sebagaimana kita ketahui,perwujudan visi UNY tersebut tetap memiliki landasan pijak transendensi. Sejak posisi rektor dijabat Sugeng Mardiyono hingga Rochmat Wahab, aspek transendensi kerapkali ditekankan. Mungkin kita masih ingat seruan almarhum Sugeng Mardiyono bahwa ibadah merupakan dasar usaha perwujudan insan cendekia, mandiri, dan bernurani. Dengan dasar ibadah, penyelenggaraan proses pendidikan di UNY tidak semata mementingkan aspek lahiriah, tapi juga batiniah. Ridha Ilahi menjadi koridor dalam upaya perwujudan visi tersebut (Lihat, Majalah Pewara Dinamika UNY Vol. 8, No.11 Juni 2007).

Secara implisit, dari paparan di atas, pendidikan profetik menjadi kunci membangun masyarakat kampus UNY. Malah dapat dikatakan, visi UNY akan terwujud jika mampu menyatukan dimensi humanisasi, liberasi, dan transendensi—meminjam konsep ilmu sosial profetik Kuntowijoyo. Dalam hal ini, transendensi adalah landasan dan arah dari humanisasi dan liberasi. Keimanan tetaplah menjadi kerangka dalam proses pendidikan di kampus ini. Pendidikan profetik tidak sekadar mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial semata. Pendidikan berparadigma profetik tidak hanya mengubah sesuatu hanya demi perubahan. Lebih dari itu, pendidikan berparadigma profetik mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik (Pujiriyanto:2006).

Dimensi humanisasi dan liberasi dalam pendidikan profetik bukan diarahkan pada antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai pusat segalanya. Setiap proses pendidikan di UNY untuk mengangkat martabat manusia (humanisasi) dan membebaskan manusia dari ketertindasan (liberasi) mengajak setiap sivitas akademika memiliki ketertundukan pada Tuhan yang memang diciptakan Tuhan untuk beribadah kepada-Nya dan memakmurkan kehidupan di muka bumi-Nya. Dalam pendidikan profetik, sivitas akademika UNY tidak hanya diarahkan untuk memiliki kesadaran kemanusiaan, tapi juga memiliki kesadaran ketuhanan.

Untuk menjalankan pendidikan profetik di UNY, ada empat tempat yang harus dioptimalkan. Empat tempat ini disebut dengan "catur pusat pendidikan profetik": ruang kuliah, perpustakaan, tempat ibadah, dan organisasi kemahasiswaan. UNY dengan visinya memang harus menjadikan empat ruang ini menjadi kesatuan sistem. Proses pendidikan tidak semata berhenti pada ruang kuliah, tapi juga menjadikan perpustakaan sebagai sarana mengkaji, menelaah, dan mendalami pelbagai disiplin ilmu. Organisasi kemahasiswan juga menjadi sarana pembelajaran mahasiswa. Begitu juga tempat ibadah seperti masjid tak boleh dilupakan dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di UNY. Catur pusat pendidikan ini perlu berjalan sinergis. Pertanyaannya, apakah "catur pusat pendidikan" di UNY itu telah menjadi kesatuan organik? Atau malah terkesan bergerak sendiri-sendiri?

Dengan sinergisitas catur pusat pendidikan, maka akan dilahirkan—menurut istilah penulis: "intelektual profetik". Istilah ini tentu masih bisa didiskusikan. Meminjam konsep intelektual (rausyan fikr) Ali Syariati, intelektual profetik memiliki kesatuan dalam pikir dan tindakan, tidak hanya berkutat pada teori dan gagasan, tapi juga terlibat dalaml angkah operasional. Intelektual profetik adalah penentu sekaligus pelaku sejarah, mengamati fenomena kehidupan dan mampu bersikap kritis (Lihat, Hendra S, Intelektual Profetik, Progress edisi Ospek UNY, 21/8/2009). Intelektual profetik siap menjadi pemimpin bagi masyarakat, hidup bersama masyarakat, dan berjuang untuk memerdekakan masyarakat dari keterpenjaraan, keterpurukan, kejahilan, dan ketertindasan. Bahkan, seorang intelektual profetik tidak anti terhadap kekuasaan dengan dalih akan dituduh sebagai pengkhianat intelektual. Seorang intelektual tetap perlu terlibat dalam kekuasaan karena wilayah kekuasaan juga bagian dari perbaikan masyarakat. Intelektual profetik—meminjam Dwi Budiyanto (2009)—tidak berhenti pada penguasaan ilmu semata, tapi juga terjadi transfer of learning. Artinya, apa yang dipelajari dalam belajar membentuk pola pikir, sikap, dan perilaku sebagai upaya menjadi manusia paripurna.

Memandang perjalanan UNY, kerja-kerja dalam mewujudkan insan yang cendekia, mandiri, dan bernurani tentu tak henti dilakukan. Namun, menurut penulis, proses pendidikan tidaklah semata terjebak dan berkutat pada pendidikan karakter. Pendidikan karakter penting, namun bukan segalanya. Pendidikan profetik lebih luas dari itu. Pendidikan profetik mencakup pendidikan keimanan, pendidikan akal, pendidikan akhlak, pendidikan moral, pendidikan jiwa, pendidikan sosial, dan pendidikan fisik. Begitu juga pendidikan profetik mencakup pendidikan karakter. Pun, pendidikan profetik mencakup pendidikan multikultur! Untuk menjalankan pendidikan ini—sekali lagi---UNY perlu menata dan mengelola "catur pusat pendidikan profetik" agar berjalan sinergis.

Tampaknya tulisan ini tak bisa terlalu panjang karena keterbatasan kolom. Apa yang disampaikan penulis di atas perlu didiskusikan lebih lanjut. Koreksi dan masukan tentu diperlukan di tengah kekurangan ilmu dan "kehijauan" penulis. Alangkah diharapkan jika muncul tulisan lebih lanjut untuk menanggapi tulisan ini. Wallahua'lam.

Hendra Sugiantoro