Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Suara Karya, Rabu 18 Agustus 2010
TEPAT pada Selasa, 17 Agustus 2010, kita memperingati 65 tahun kemerdekaan Indonesia. Bagi kita yang dilahirkan di negeri ini tentu selalu mengingat proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan 65 tahun silam di Pegangsaan Timur 56, Cikini, Jakarta Pusat, tepat pukul 10:00 WIB. Berdasarkan tahun Jepang, pada 1945 Masehi adalah tahun 2605, maka dalam teks proklamasi tertera hari 17 boelan 8 tahoen 05.
Teks proklamasi itu diketik oleh tokoh muda bernama Sayuti Melik dengan menggunakan tahun Jepang, padahal ketika digubah oleh Muh. Hatta, Ahmad Soebardjo, dan dibantu oleh Soekarno sebagai pencatat menggunakan tahun masehi 1945. Dalam gubahan awal sebenarnya bukan atas Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta, tapi Wakil2 bangsa Indonesia. Atas usul Sukarni, teks proklamasi itu cukup ditandatangani Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Berdasarkan kalender hijriah, proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 jatuh pada hari Jum’at atau 17 Ramadan 1365 Hijriyah. Itu berarti kemerdekaan Indonesia diproklamasikan bertepatan pada bulan Ramadhan.
Membaca teks proklamasi kemerdekaan negeri ini terkesan cukup sederhana. Meskipun hanya terdiri dari dua kalimat, teks proklamasi itu telah mengesahkan Indonesia sebagai negara merdeka. Beberapa tahun kemudian persyaratan pengakuan negara luar atas kemerdekaan sebuah negara pun diperoleh. Mesir tercatat sebagai negara pertama yang mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia. Negara-negara yang tercatat sebagai pemberi pengakuan pertama kepada RI selain Mesir adalah Suriah, Irak, Lebanon, Yaman, Saudi Arabia, dan Afghanistan. Selain negara-negara tersebut, Liga Arab (Arab League) juga berperan penting dalam pengakuan kemerdekaan Indonesia. Secara resmi keputusan sidang Dewan Liga Arab pada 18 November 1946 menganjurkan kepada semua negara anggota Liga Arab agar mengakui Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat.
Usia kemerdekaan yang kini menginjak 65 tahun tentu memiliki beragam makna bagi siapa pun. Seperti biasa terjadi, di tengah peringatan hari kemerdekaan selalu terjadi dialektika: benarkah negeri ini sudah merdeka? Faktor kemiskinan dan keterpurukan yang menghinggapi perikehidupan masyarakat kerap menjadi argumentasi yang menegaskan Indonesia belum merdeka sepenuhnya. Masyarakat ekonomi pas-pasan masih pontang-panting untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasarnya. Belum lagi jika bicara akses pendidikan yang kian lama kian berbiaya mahal. Apalagi di jenjang pendidikan tinggi yang kian lama kian bertambah mahal, tidak sesuai dengan tingkat pendapatan rata-rata masyarakat. Itu soal akses memasuki jenjang pendidikan dan belum mengenai hilangnya ruh pendidikan di negeri ini. Pendidikan sebagai usaha menegaskan jati diri manusia dan kemanusiaan masih jauh dari harapan ketika orientasi pendidikan sekadar pemenuhan aspek kognitif semata. Aspek emosional dan spiritual kurang begitu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini.
Dalam Pembukaan UUD 1945, kesejahteraan rakyat jelas ditekankan agar menjadi perhatian negara. Pemerintah sebagai representasi negara memang wajib menjalankan fungsi memajukan kesejahteraan umum. Selain itu, pemerintah juga bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Fungsi itu belum berjalan sebagaimana mestinya. Lebih menyedihkan lagi, politik kekuasaan yang berjalan selama ini cenderung mengabaikan aspirasi rakyat kecil dan alpa terhadap cita-cita nasional yang menjadi amanat Indonesia merdeka. Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sekadar teks. Pasal 33 UUD 1945, misalnya, tidak dijalankan secara konsekuen oleh pemerintah. Sumber daya alam yang dahulu dipertahankan mati-matian oleh pahlawan dari cengkeraman penjajah, kini tanpa merasa bersalah dijual ke pihak asing dengan keuntungan tak seberapa bagi Indonesia. Perekonomian yang seharusnya dijalankan dengan azas kekeluargaan sesuai amanat konstitusi, nyatanya tidak demikian. Ekonomi kerakyatan yang antikapitalisme untuk tujuan kesejahteraan bersama bisa dikatakan hilang tanpa bekas dalam kebijakan ekonomi negeri ini.
Di tengah jerit pilu rakyat kecil di negeri ini, elite politik di negeri ini sepertinya buta mata. Politik yang semestinya dijalankan untuk mencapai kemaslahatan justru dimanfaatkan untuk memuaskan hasrat pribadi. Kasus korupsi yang kian marak adalah salah satu contoh. Tidak hanya pejabat eksekutif, pejabat legislatif dan juga pejabat yudikatif diindikasikan dan sudah ada yang terjerat kasus korupsi.
Tanpa berpanjang lebar mengutara-selatankan fakta kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini, kita selayaknya perlu membangkitkan semangat berbuat nyata bagi negeri ini. Mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya di mana rakyat bisa melangsungkan kehidupannya secara baik merupakan harapan kita bersama. Dibutuhkan komitmen dan aksi nyata membangun negeri ini agar lebih bermartabat. Kemerosotan moral adalah satu hal yang perlu menjadi agenda penting untuk diatasi agar bangsa ini memiliki karakter dan kepribadian mulia. Adanya akhlak yang baik terhadap Tuhan, manusia, dan alam tentu akan menciptakan kehidupan di negeri ini aman sentosa, tanpa kerusakan dan kejahilan-kejahilan.
Dalam usia 65 tahun kemerdekaan RI, kita juga perlu mengajak pemerintah melakukan perenungan. Apakah fungsi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial telah dijalankan? Maksud dibentuknya pemerintahan negara Indonesia seperti tertera dalam Pembukaan UUD 1945 itu selayaknya dijadikan landasan kebijakan dalam menjalankan politik kekuasaan. Politik adalah pengabdian dan sebentuk ibadah untuk terciptanya kemajuan bagi negeri.
Memang kita perlu berhimpun dalam satu barisan membangun Indonesia. Ada cita-cita dan harapan bagi terwujudnya Indonesia yang berdaulat, adil, dan dipenuhi kemakmuran. Menurut ukuran manusia, usia 65 tahun terhitung tua atau telah makan asam garam, tapi masih terlampau muda untuk ukuran sebuah negara. Jadi, proses “menjadi Indonesia” membutuhkan tahapan lebih lanjut.
Apapun permasalahan yang menerpa negeri ini, kita tak lupa memanjatkan syukur atas 65 usia kemerdekaan. Founding fathers pun mengakui bahwa kemerdekaan negeri ini ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Dengan pertolongan Allah Yang Maha Kuasa, kita bisa menghirup udara kemerdekaan. Syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa tentu masih berlanjut dengan terus berpikir, berjuang, dan berkarya bagi negeri ini. Perjuangan masing-masing diri kita untuk membangun negeri adalah bentuk kesyukuran kita kepada Tuhan jika dilakukan secara tepat sesuai dengan tuntunan-Nya. Membangun Indonesia penuh berkah tentu saja merupakan keutamaan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Yogyakarta
Dimuat di Opini Suara Karya, Rabu 18 Agustus 2010
TEPAT pada Selasa, 17 Agustus 2010, kita memperingati 65 tahun kemerdekaan Indonesia. Bagi kita yang dilahirkan di negeri ini tentu selalu mengingat proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan 65 tahun silam di Pegangsaan Timur 56, Cikini, Jakarta Pusat, tepat pukul 10:00 WIB. Berdasarkan tahun Jepang, pada 1945 Masehi adalah tahun 2605, maka dalam teks proklamasi tertera hari 17 boelan 8 tahoen 05.
Teks proklamasi itu diketik oleh tokoh muda bernama Sayuti Melik dengan menggunakan tahun Jepang, padahal ketika digubah oleh Muh. Hatta, Ahmad Soebardjo, dan dibantu oleh Soekarno sebagai pencatat menggunakan tahun masehi 1945. Dalam gubahan awal sebenarnya bukan atas Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta, tapi Wakil2 bangsa Indonesia. Atas usul Sukarni, teks proklamasi itu cukup ditandatangani Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Berdasarkan kalender hijriah, proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 jatuh pada hari Jum’at atau 17 Ramadan 1365 Hijriyah. Itu berarti kemerdekaan Indonesia diproklamasikan bertepatan pada bulan Ramadhan.
Membaca teks proklamasi kemerdekaan negeri ini terkesan cukup sederhana. Meskipun hanya terdiri dari dua kalimat, teks proklamasi itu telah mengesahkan Indonesia sebagai negara merdeka. Beberapa tahun kemudian persyaratan pengakuan negara luar atas kemerdekaan sebuah negara pun diperoleh. Mesir tercatat sebagai negara pertama yang mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia. Negara-negara yang tercatat sebagai pemberi pengakuan pertama kepada RI selain Mesir adalah Suriah, Irak, Lebanon, Yaman, Saudi Arabia, dan Afghanistan. Selain negara-negara tersebut, Liga Arab (Arab League) juga berperan penting dalam pengakuan kemerdekaan Indonesia. Secara resmi keputusan sidang Dewan Liga Arab pada 18 November 1946 menganjurkan kepada semua negara anggota Liga Arab agar mengakui Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat.
Usia kemerdekaan yang kini menginjak 65 tahun tentu memiliki beragam makna bagi siapa pun. Seperti biasa terjadi, di tengah peringatan hari kemerdekaan selalu terjadi dialektika: benarkah negeri ini sudah merdeka? Faktor kemiskinan dan keterpurukan yang menghinggapi perikehidupan masyarakat kerap menjadi argumentasi yang menegaskan Indonesia belum merdeka sepenuhnya. Masyarakat ekonomi pas-pasan masih pontang-panting untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasarnya. Belum lagi jika bicara akses pendidikan yang kian lama kian berbiaya mahal. Apalagi di jenjang pendidikan tinggi yang kian lama kian bertambah mahal, tidak sesuai dengan tingkat pendapatan rata-rata masyarakat. Itu soal akses memasuki jenjang pendidikan dan belum mengenai hilangnya ruh pendidikan di negeri ini. Pendidikan sebagai usaha menegaskan jati diri manusia dan kemanusiaan masih jauh dari harapan ketika orientasi pendidikan sekadar pemenuhan aspek kognitif semata. Aspek emosional dan spiritual kurang begitu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini.
Dalam Pembukaan UUD 1945, kesejahteraan rakyat jelas ditekankan agar menjadi perhatian negara. Pemerintah sebagai representasi negara memang wajib menjalankan fungsi memajukan kesejahteraan umum. Selain itu, pemerintah juga bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Fungsi itu belum berjalan sebagaimana mestinya. Lebih menyedihkan lagi, politik kekuasaan yang berjalan selama ini cenderung mengabaikan aspirasi rakyat kecil dan alpa terhadap cita-cita nasional yang menjadi amanat Indonesia merdeka. Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sekadar teks. Pasal 33 UUD 1945, misalnya, tidak dijalankan secara konsekuen oleh pemerintah. Sumber daya alam yang dahulu dipertahankan mati-matian oleh pahlawan dari cengkeraman penjajah, kini tanpa merasa bersalah dijual ke pihak asing dengan keuntungan tak seberapa bagi Indonesia. Perekonomian yang seharusnya dijalankan dengan azas kekeluargaan sesuai amanat konstitusi, nyatanya tidak demikian. Ekonomi kerakyatan yang antikapitalisme untuk tujuan kesejahteraan bersama bisa dikatakan hilang tanpa bekas dalam kebijakan ekonomi negeri ini.
Di tengah jerit pilu rakyat kecil di negeri ini, elite politik di negeri ini sepertinya buta mata. Politik yang semestinya dijalankan untuk mencapai kemaslahatan justru dimanfaatkan untuk memuaskan hasrat pribadi. Kasus korupsi yang kian marak adalah salah satu contoh. Tidak hanya pejabat eksekutif, pejabat legislatif dan juga pejabat yudikatif diindikasikan dan sudah ada yang terjerat kasus korupsi.
Tanpa berpanjang lebar mengutara-selatankan fakta kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini, kita selayaknya perlu membangkitkan semangat berbuat nyata bagi negeri ini. Mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya di mana rakyat bisa melangsungkan kehidupannya secara baik merupakan harapan kita bersama. Dibutuhkan komitmen dan aksi nyata membangun negeri ini agar lebih bermartabat. Kemerosotan moral adalah satu hal yang perlu menjadi agenda penting untuk diatasi agar bangsa ini memiliki karakter dan kepribadian mulia. Adanya akhlak yang baik terhadap Tuhan, manusia, dan alam tentu akan menciptakan kehidupan di negeri ini aman sentosa, tanpa kerusakan dan kejahilan-kejahilan.
Dalam usia 65 tahun kemerdekaan RI, kita juga perlu mengajak pemerintah melakukan perenungan. Apakah fungsi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial telah dijalankan? Maksud dibentuknya pemerintahan negara Indonesia seperti tertera dalam Pembukaan UUD 1945 itu selayaknya dijadikan landasan kebijakan dalam menjalankan politik kekuasaan. Politik adalah pengabdian dan sebentuk ibadah untuk terciptanya kemajuan bagi negeri.
Memang kita perlu berhimpun dalam satu barisan membangun Indonesia. Ada cita-cita dan harapan bagi terwujudnya Indonesia yang berdaulat, adil, dan dipenuhi kemakmuran. Menurut ukuran manusia, usia 65 tahun terhitung tua atau telah makan asam garam, tapi masih terlampau muda untuk ukuran sebuah negara. Jadi, proses “menjadi Indonesia” membutuhkan tahapan lebih lanjut.
Apapun permasalahan yang menerpa negeri ini, kita tak lupa memanjatkan syukur atas 65 usia kemerdekaan. Founding fathers pun mengakui bahwa kemerdekaan negeri ini ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Dengan pertolongan Allah Yang Maha Kuasa, kita bisa menghirup udara kemerdekaan. Syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa tentu masih berlanjut dengan terus berpikir, berjuang, dan berkarya bagi negeri ini. Perjuangan masing-masing diri kita untuk membangun negeri adalah bentuk kesyukuran kita kepada Tuhan jika dilakukan secara tepat sesuai dengan tuntunan-Nya. Membangun Indonesia penuh berkah tentu saja merupakan keutamaan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Yogyakarta