Inspirasi Intelektual dari Sosok Ibnu Sina


Dimuat di Majalah Pewara Dinamika UNY Volume 12. NOMOR 40 APRIL 2011, rubrik Resensi Media

Judul Buku: Tawanan Benteng Lapis Tujuh: Novel Biografi Ibnu Sina Penulis: Husayn Fattahi Penerbit: Penerbit Zaman, Jakarta Tahun: I, 2011 Tebal: 296 halaman

Sebelum membaca novel ini, ada pertanyaan yang bisa diajukan. Apa kepentingan novel ini bagi kaum akademisi? Adakah nilai-nilai pendidikan yang diinspirasikan dari novel ini?

Di tengah redupnya tradisi intelektual, novel ini menyuguhkan pelajaran berharga dari seorang Ibnu Sina (908-1037 M). Di Barat, Ibnu Sina terkenal dengan nama Avicenna. Mungkin kini banyak dari kita tak mengenalnya, namun Ibnu Sina telah tercatat dalam tinta emas sejarah. Komaruddin Hidayat, guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan bahwa keilmuan Ibnu Sina melampaui zamannya bagaikan menara penerang peradaban. Membaca novel ini, kita memang akan merasakan denyut intelektual yang memukau. Kegigihan belajar Ibnu Sina menyebabkan ia tampil sebagai sosok yang menguasai pelbagai disiplin ilmu sejak usia masih belia.

Karena kecerdasannya, Ibnu Sina terus-menerus berganti guru. Di rumah maupun di perpustakaan, Ibnu Sina rajin mempelajari buku-buku dengan tekun. Ibnu Sina bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mengoreksi beberapa teori yang terdapat dalam buku. Buku-buku ilmu pengetahuan lainnya juga dikaji Ibnu Sina. Bahkan, permasalahan-permasalahan yang rumit dari apa yang dibacanya berhasil dipecahkan dengan cepat. Buku terkait ilmu kedokteran yang juga tekun dipelajari ternyata menempatkan Ibnu Sina sebagai tokoh kedokteran terkemuka. Ibnu Sina juga kerap melakukan diskusi dan tukar pendapat dengan pelbagai kalangan.

Ibnu Sina juga produktif menulis. Prof. DR. Azyumardi Azra, MA pernah menuturkan, “Ibnu Sina tidak sekadar membaca dan menyelidiki ilmu-ilmu. Lebih jauh ia menuliskan apa-apa yang diketahuinya itu, baik dalam bentuk artikel, risalah maupun buku-buku.” Dalam novel ini, laku intelektual Ibnu Sina dalam menulis turut dipaparkan. Banyak karya tulisnya. Salah satu karya tulisnya yang fenomenal adalah buku al-Qanun fi at-Thibb atau juga disebut Canon of Medicine. Dalam catatan sejarah, buku ini diterjemahkan dalam pelbagai bahasa dan pernah menjadi buku induk kedokteran.

Dengan ilmunya, Ibnu Sina tidak bertengger di “menara gading”, tapi mengabdikan diri untuk kemaslahatan masyarakat. Ia menjadi pengajar. Begitu pula menjadi dokter yang tak berorientasi materi. Pasien yang miskin harta pun berusaha diobati. Menurut Ibnu Sina, ganjaran paling besar bagi seorang dokter adalah kesembuhan pasien. Dalam novel ini, kita bisa menyaksikan keuletan dan keberhasilan Ibnu Sina mengobati pasien, bahkan yang kritis sekali pun. Banyak apresiasi diberikan kepadanya. Para penguasa pun salut, sehingga beberapa kali Ibnu Sina menjadi dokter di istana. Menanggapi tentang pengobatannya, Ibnu Sina berucap, “Diagnosa setiap dokter itu berbeda-beda. Inti dari kedokteran pada dasarnya adalah diagnosa yang cermat dan tepat.” Ibnu Sina mengecam keras dokter-dokter yang asal-asalan menjadi dokter, karena bisa membahayakan nyawa banyak orang dan selalu menyalahgunakan pekerjaan hanya untuk mengumpulkan harta benda, emas, dan perak.

Novel ini menarik dibaca untuk memberikan inspirasi bagi kita terkait ketekunan menuntut ilmu dan ketulusan pengabdian dalam profesi. Kaum akademisi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) bisa menimba keteladanan dari sosok Ibnu Sina. Siapa tahu kelak dari UNY akan muncul tokoh yang juga mendunia dengan disiplin keilmuannya. Dari UNY untuk Indonesia menuju pentas dunia, bukankah begitu?

HENDRA SUGIANTORO, Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta