Oleh: HENDRA SUGIANTORO Dimuat di Resensi Buku Harian Jogja, Kamis 11 November 2010
Judul Buku: Sukarno: Paradoks Revolusi Indonesia Penulis: Tim Seri Buku Tempo Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia&Majalah Tempo Cetakan: I, September 2010 Tebal: x+124 halaman
Negeri ini melahirkan banyak sosok besar. Salah satunya adalah Sukarno. Lahir pada 1901, ia lahir dalam masa mekarnya spirit pergerakan nasional. Sukarno turut berjuang untuk membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan. Perhatiannya terhadap kemerdekaan Indonesia dari belenggu kolonialisme dan imperialisme terbilang besar. Pada 1945, takdir sejarah menempatkan Sukarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia berdampingan dengan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden.
Sepak terjang dan perjuangan Sukarno dalam masa pra kemerdekaan dan era kemerdekaan telah tercatat dalam lembaran sejarah. Sukarno bukan sosok biasa yang terlibat dalam perjuangan sekadar mengikuti arus pergerakan, namun ia dikenal memiliki sikap, pendirian, dan konsep. Hal ini bisa jadi wajar sebab Sukarno memiliki kapasitas wawasan, pengetahuan, dan pemikiran yang telah didapatkannya dari pergulatan intelektual panjang. Pun, ia tak melulu berdiri di menara gading, tapi juga turun menyapa rakyat di lapisan bawah. Konsep marhaenisme merupakan salah satu bukti jiwanya menyatu dengan rakyat dan berupaya memerdekakan rakyat dari keterpurukan, kemiskinan, dan ketidakberdayaan.
Di tengah capaian-capaian Sukarno, ia tentu tetap manusia biasa. Ia memiliki kelebihan dan kekurangan. Jejak Sukarno menggoreskan catatan emas, sekaligus catatan pahit. Ia begitu dikagumi, bahkan ada yang mengkultuskannya. Di sisi lain, tak sedikit yang mengkritik dan menentangnya. Sukarno menyadari hal itu dengan berkata, “Tidak seorang pun dalam peradaban modern ini yang menimbulkan demikian banyak perasaan pro-kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja seperti dewa.” Seperti pernyataan jujur Sukarno itu, buku ini juga hendak memaparkan pelbagai fakta perihal Sukarno tak hanya dari sisi terang, namun juga sisi gelapnya. Sebut saja soal dukungannya terhadap kebijakan romusha semasa pendudukan Jepang. Sukarno sepertinya menanggalkan sikap nonkooperasi yang sebelumnya diterapkannya selama penjajahan Belanda. Sukarno mendukung Jepang dengan sikap pragmatis yang mencengangkan, bahkan menggetirkan. Mengerahkan kecakapannya berorasi, Sukarno membujuk puluhan ribu pemuda untuk bergabung dalam barisan romusha yang dikirim ke kamp-kamp kerja paksa. Sukarno memang mengaku remuk hati mengenang hal itu. Sukarno berkata, “Akulah orangnya. Akulah yang menyuruh mereka berlayar menuju kematian.” Tapi, ia juga mengatakan, “Dalam setiap peperangan ada korban. Tugas seorang panglima adalah memenangi perang. Andaikata saya terpaksa mengorbankan ribuan jiwa demi menyelamatkan jutaan orang, saya akan lakukan.”(halaman 10-11).
Sikap Sukarno yang mendukung kebijakan romusha memang terus menjadi bahan perdebatan sampai saat ini. Pernyataan Sukarno yang mengorbankan ribuan jiwa untuk menyelamatkan jutaan orang malah bisa dianggap sebagai pembelaan Sukarno semata. Tak kalah menariknya adalah perhatian dan kecintaan Sukarno terhadap perempuan. Sejarah mencatat ada sembilan perempuan yang pernah dinikahi Sukarno dari Oetari Tjokroaminoto sampai Heldy Djafar. Dalam urusan percintaan, Sukarno tampaknya tak membeda-bedakan usia ataupun latar belakang seorang perempuan. Heldy Djafar dan Yurike Sanger, misalnya, dinikahi pada usia 18 tahun. Fatmawati dipetik Sukarno pada usia 20 tahun. Ia juga menikahi Hartini saat perempuan itu berusia 29 tahun dan memiliki lima anak. Sementara itu, Inggit Garnasih lebih tua 15 tahun dari Sukarno. Dalam menurutkan perasaan cintanya, Sukarno berani menghadapi tentangan dan halangan. Pernikahannya dengan Hartini, misalnya, mendapatkan cercaan dan protes dari sebagian gerakan perempuan (halaman 26-38).
Dalam tulisan kolom yang melengkapi buku ini, Mochtar Pabottinggi menjelaskan ada kesalahan yang dilakukan Sukarno. Pertama, dengan dukungan militer, ia membubarkan Konstituante yang hampir menyelesaikan tugasnya menyusun konstitusi yang lebih komprehensif. Ia justru memberlakukan kembali UUD 1945. Padahal, sejarah mencatat bahwa Sukarno jauh sebelumnya telah mengakui bahwa UUD 1945 bersifat “kilat” dan “darurat” dan perlu diganti dengan konstitusi yang disusun secara tenang dan seksama. Sukarno juga mengangkat anggota MPRS dan DPRS tanpa proses pemilihan umum. Sebagai pemimpin besar revolusi, ia menjadikan lembaga legislatif mainan lembaga eksekutif. Ia juga membuat lembaga yudikatif tak bergigi (halaman 84-86). Dalam menjalankan kekuasaannya, Sukarno sebenarnya tak sepi dari kritik. Jika mau jujur, Sukarno sebagai manusia biasa ini termasuk sosok yang telah terjebak dalam hingar-bingar kekuasaan sehingga lupa diri. Dalam masa kekuasaannya, ia juga membuat kebijakan pembreidelan pers. Para pengkritiknya dipenjarakan seperti terjadi pada Sutan Sjahrir, perdana menteri Indonesia pertama.
Mungkin sejarah akan berbicara lain jika Sukarno mampu mawas diri dan mengekang naluri kekuasaannya dengan melakukan regenerasi kepemimpinan. Apa yang dipaparkan dalam buku ini bukan berarti melulu mengungkap sisi lemah Sukarno. Kisah-kisah lain Sukarno juga diungkap, termasuk perihal Megawati yang seolah-olah menjadi penerus ayahnya. Buku ini juga dilengkapi wawancara dengan penulis buku Sukarno: Biografi 1901-1950, Lambert Giebels. Membaca buku ini tentu tak sekadar membaca paparan fakta sejarah. Lebih dari itu, pelajaran perlu dipetik demi kehidupan negeri ini lebih baik. Di tengah sisi gelap dan kelemahan Sukarno, ia tetaplah sosok besar yang dilahirkan negeri ini. Sukarno pernah berkata jangan sekali-kali melupakan sejarah. Siapa pun bisa belajar dari sejarah Sukarno agar tidak kehilangan tongkat dua kali. Historia docet!
HENDRA SUGIANTORO Pegiat Pena Profetik Yogyakarta