Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Aspirasi Harian Jogja, Kamis 18 Juni 2009
PEMILIHAN presiden (pilpres) hampir menjelang. Kini tiga pasangan capres-cawapres memantapkan langkah untuk menuju tahta RI-1 dan RI-2. Berbagai strategi kampanye dari masing-masing pasangan capres-cawapres dilakukan guna meraih simpati masyarakat. Dari isu yang bergulir dalam perhelatan pilpres, ada istilah neoliberalisme yang mengemuka. Neoliberalisme seolah-olah muncul menjadi momok sehingga masing-masing kandidat capres-cawapres tidak bisa lepas dari isu ini.
Berpikir jernih, negara ini jelas tidak terlepas dari kebijakan neoliberalisme. Apapun argumentasi yang diutarakan, pemerintah sulit membantah bahwa selama ini takluk dengan kepentingan pasar. Tidak terkecuali dalam bidang pendidikan, kebijakan beraroma neoliberalisme tampak dalam pengesahan UU BHP. Intervensi neoliberalisme sebenarnya sudah tampak dalam penyusunan UU Sisdiknas No 20/2003 dimana pasal 53 mengenai BHP disahkan. Meskipun tampak indah dengan kalimat untuk memberikan pelayanan kepada peserta didik dan berprinsip nirlaba, namun menjadi persoalan ketika BHP ditujukan pada kemandirian pengelolaan dana setiap satuan pendidikan. Dengan dalih otonomi pendidikan termasuk dalam hal pendanaan, pemerintah sepertinya ingin melepaskan tanggung jawab pembiayaan pendidikan.
Kebijakan neoliberalisme yang memasuki ruang pendidikan ini tentu mencemaskan. Argumen yang dikemukakan pemerintah (dan DPR) pun cenderung tidak tepat. Sebut saja argumen yang mengatakan bahwa penarikan biaya dari masyarakat sebagaimana tertera dalam UU BHP mendapatkan pembatasan maksimal 1/3 dari keseluruhan biaya operasional. UU BHP juga menggariskan bahwa setiap satuan pendidikan wajib menerima dan menjaring peserta didik miskin minimal sekitar 20%. Di lihat sepintas, UU BHP sepertinya pro masyarakat miskin, tapi bukan jaminan jika pembatasan 1/3 dari biaya operasional akan menjadikan biaya pendidikan terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Pasalnya seberapa besar biaya operasional pendidikan amatlah relatif antara satu satuan pendidikan dengan satuan pendidikan lainnya. Belum lagi ketentuan itu tampak digeneralisir untuk semua jenjang pendidikan. Pemerintah dan DPR seolah-olah juga membatasi warga miskin yang menempuh pendidikan hanya sebesar 20% di setiap satuan pendidikan, padahal jumlah warga miskin di negeri ini lebih besar dari prosentase itu.
UU BHP yang terang-terangan memasukkan paham neoliberalisme atau darwinisme-sosial di dalam pendidikan nasional juga diungkapkan H.A.R. Tilaar (2008). Bersembunyi di balik pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada pendidikan tinggi melalui BHP akan berakibat pada lepasnya tanggung jawab pemerintah terhadap pembiayaan pendidikan (tinggi). Akibatnya, watak elitis pendidikan kian kentara karena hanya dapat dinikmati oleh kelompok yang berduit. Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No 77/2007 mengenai bidang apa saja yang terbuka untuk perdagangan bebas juga salah satu wujud dari kebijakan neoliberalisme dalam pendidikan. Dalam Perpres tersebut termuat pendidikan sebagai bidang yang dapat dimasuki oleh modal asing. Hal tersebut merupakan tuntutan dari World Trade Organization (WTO) sebagai badan internasional untuk membuka pasar bebas.
Pendidikan yang terjerat arus neoliberalisme akhirnya menciptakan tragedi pendidikan berbiaya mahal. Lembaga pendidikan semakin bercorak elitis dan tidak mempedulikan kepentingan warga miskin untuk mengakses pendidikan. Meskipun education for all senantiasa didengungkan, tapi sebenarnya hanya manis di bibir. Kenyataan yang terjadi adalah setiap lembaga pendidikan menarik biaya di luar kemampuan ekonomi masyarakat lapisan menengah ke bawah. Adanya kenyataan itu memang merupakan semangat dari neoliberalisme yang identik dengan persaingan. Sebagaimana yang terjadi dalam pasar bebas, kata Agus Nuryatno (2008), implikasi neoliberalisme dalam dunia pendidikan adalah dijadikannya ideologi kompetisi sebagai basis pendidikan. Ideologi kompetisi dijadikan basis pendidikan yang hanya berbicara pada siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dalam kompetisi, sesuai dengan paradigma berpikir neoliberal, harus ada pemenang (winner) dan pencundang (looser). Ideologi kompetisi tidak peduli dengan pihak yang kalah. Pihak yang kalah adalah yang tersingkir dan menjadi warga kelas dua. Warga miskin yang tak memiliki kekuatan finansial adalah pihak yang selalu kalah dan terpinggirkan akibat arus neoliberalisme dalam pendidikan. Bagaimana pun, pendidikan merupakan aspek penting dalam upaya pembangunan bangsa. Adanya spirit neoliberalisme dalam dunia pendidikan perlu disikapi dan menjadi perhatian serius. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta
Dimuat di Aspirasi Harian Jogja, Kamis 18 Juni 2009
PEMILIHAN presiden (pilpres) hampir menjelang. Kini tiga pasangan capres-cawapres memantapkan langkah untuk menuju tahta RI-1 dan RI-2. Berbagai strategi kampanye dari masing-masing pasangan capres-cawapres dilakukan guna meraih simpati masyarakat. Dari isu yang bergulir dalam perhelatan pilpres, ada istilah neoliberalisme yang mengemuka. Neoliberalisme seolah-olah muncul menjadi momok sehingga masing-masing kandidat capres-cawapres tidak bisa lepas dari isu ini.
Berpikir jernih, negara ini jelas tidak terlepas dari kebijakan neoliberalisme. Apapun argumentasi yang diutarakan, pemerintah sulit membantah bahwa selama ini takluk dengan kepentingan pasar. Tidak terkecuali dalam bidang pendidikan, kebijakan beraroma neoliberalisme tampak dalam pengesahan UU BHP. Intervensi neoliberalisme sebenarnya sudah tampak dalam penyusunan UU Sisdiknas No 20/2003 dimana pasal 53 mengenai BHP disahkan. Meskipun tampak indah dengan kalimat untuk memberikan pelayanan kepada peserta didik dan berprinsip nirlaba, namun menjadi persoalan ketika BHP ditujukan pada kemandirian pengelolaan dana setiap satuan pendidikan. Dengan dalih otonomi pendidikan termasuk dalam hal pendanaan, pemerintah sepertinya ingin melepaskan tanggung jawab pembiayaan pendidikan.
Kebijakan neoliberalisme yang memasuki ruang pendidikan ini tentu mencemaskan. Argumen yang dikemukakan pemerintah (dan DPR) pun cenderung tidak tepat. Sebut saja argumen yang mengatakan bahwa penarikan biaya dari masyarakat sebagaimana tertera dalam UU BHP mendapatkan pembatasan maksimal 1/3 dari keseluruhan biaya operasional. UU BHP juga menggariskan bahwa setiap satuan pendidikan wajib menerima dan menjaring peserta didik miskin minimal sekitar 20%. Di lihat sepintas, UU BHP sepertinya pro masyarakat miskin, tapi bukan jaminan jika pembatasan 1/3 dari biaya operasional akan menjadikan biaya pendidikan terjangkau seluruh lapisan masyarakat. Pasalnya seberapa besar biaya operasional pendidikan amatlah relatif antara satu satuan pendidikan dengan satuan pendidikan lainnya. Belum lagi ketentuan itu tampak digeneralisir untuk semua jenjang pendidikan. Pemerintah dan DPR seolah-olah juga membatasi warga miskin yang menempuh pendidikan hanya sebesar 20% di setiap satuan pendidikan, padahal jumlah warga miskin di negeri ini lebih besar dari prosentase itu.
UU BHP yang terang-terangan memasukkan paham neoliberalisme atau darwinisme-sosial di dalam pendidikan nasional juga diungkapkan H.A.R. Tilaar (2008). Bersembunyi di balik pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada pendidikan tinggi melalui BHP akan berakibat pada lepasnya tanggung jawab pemerintah terhadap pembiayaan pendidikan (tinggi). Akibatnya, watak elitis pendidikan kian kentara karena hanya dapat dinikmati oleh kelompok yang berduit. Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No 77/2007 mengenai bidang apa saja yang terbuka untuk perdagangan bebas juga salah satu wujud dari kebijakan neoliberalisme dalam pendidikan. Dalam Perpres tersebut termuat pendidikan sebagai bidang yang dapat dimasuki oleh modal asing. Hal tersebut merupakan tuntutan dari World Trade Organization (WTO) sebagai badan internasional untuk membuka pasar bebas.
Pendidikan yang terjerat arus neoliberalisme akhirnya menciptakan tragedi pendidikan berbiaya mahal. Lembaga pendidikan semakin bercorak elitis dan tidak mempedulikan kepentingan warga miskin untuk mengakses pendidikan. Meskipun education for all senantiasa didengungkan, tapi sebenarnya hanya manis di bibir. Kenyataan yang terjadi adalah setiap lembaga pendidikan menarik biaya di luar kemampuan ekonomi masyarakat lapisan menengah ke bawah. Adanya kenyataan itu memang merupakan semangat dari neoliberalisme yang identik dengan persaingan. Sebagaimana yang terjadi dalam pasar bebas, kata Agus Nuryatno (2008), implikasi neoliberalisme dalam dunia pendidikan adalah dijadikannya ideologi kompetisi sebagai basis pendidikan. Ideologi kompetisi dijadikan basis pendidikan yang hanya berbicara pada siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dalam kompetisi, sesuai dengan paradigma berpikir neoliberal, harus ada pemenang (winner) dan pencundang (looser). Ideologi kompetisi tidak peduli dengan pihak yang kalah. Pihak yang kalah adalah yang tersingkir dan menjadi warga kelas dua. Warga miskin yang tak memiliki kekuatan finansial adalah pihak yang selalu kalah dan terpinggirkan akibat arus neoliberalisme dalam pendidikan. Bagaimana pun, pendidikan merupakan aspek penting dalam upaya pembangunan bangsa. Adanya spirit neoliberalisme dalam dunia pendidikan perlu disikapi dan menjadi perhatian serius. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta