Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca Lampung Post, Jum'at 30 Januari 2009
TAHUN 2009 bisa dikatakan merupakan tahun politik. Perhelatan akbar pemilu akan digelar pada tahun ini dan tentu saja menyita perhatian berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Masa depan Indonesia pun ditentukan seberapa cerdas masyarakat memilih pemimpin dan anggota legislatif untuk mengendalikan kekuasaan lima tahun ke depan. Siapa pun pasti berharap agar hajatan pemilu mampu menghasilkan pemimpin eksekutif dan barisan anggota legislatif yang peduli terhadap kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara untuk kemudian berkontribusi nyata bagi perbaikannya.
Untuk itu, masyarakat perlu memikirkan secara matang pilihan politiknya. Tahun politik 2009 harus dijadikan momentum strategis untuk menghadirkan perubahan yang lebih baik. Pengalaman berharga dua kali pemilu seyogianya membelajarkan masyarakat agar tidak asal-asalan memilih.
Jika kini marak fenomena golput, fenomena itu selayaknya juga menjadi titik refleksi bagi masyarakat. Memang benar masyarakat kecewa dengan jalannya pemerintahan, tapi bukankah masyarakatlah yang dahulu menentukan pilihan? Bukankah pemerintahan kini adalah hasil pilihan masyarakat pada pemilu sebelumnya?
Pastinya, masyarakat yang memiliki hak pilih masih memiliki waktu sekitar empat bulan untuk menilai calon anggota legislatif. Masyarakat tetap harus kritis dan tidak mudah tertipu terhadap setiap kampanye para caleg karena sudah pasti mengampanyekan hal-hal yang baik dan positif.
Artinya, masyarakat perlu memeriksa lebih lanjut rekam jejak caleg itu. Seperti apa pengabdian sosial caleg, masyarakat jelas harus mengetahui. Rekam jejak berupa pengabdian sosial akan menentukan perilaku politiknya ketika terpilih.
Jika selama ini miskin pengabdian yang dilakukan di kehidupan masyarakat, caleg itu layak dipertanyakan. Pun, masyarakat perlu mengetahui apakah caleg terlibat dalam kasus korupsi ataupun tindak pidana lain untuk selanjutnya berani untuk tidak memilih caleg bersangkutan.
Selain itu, masyarakat juga perlu mengetahui lebih mendalam kehidupan keluarga dari caleg. Kehidupan keluarga bisa menjadi gambaran kepemimpinan dari caleg. Jika memimpin kehidupan keluarga saja kurang baik, dimungkinkan tidak baik pula kepemimpinannya dalam skala lebih luas. Kepemimpinan dalam keluarga adalah miniatur kepemimpinan dalam lingkup negara.
Tidak kalah penting lagi yang perlu diketahui masyarakat adalah keimanan dan ketakwaan dari caleg yang mampu menumbuhkan kesadaran bahwa jabatan politiknya juga dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Dengan kesadaran itu, seperti dikatakan Amien Rais (2004), seorang politikus, pejabat atau negarawan secara otomatis memiliki built-in control yang tidak ada taranya dan memiliki kendali diri (self restraint) yang sangat kuat untuk tidak terperosok rawa-rawa kemunafikan.
Berkhianat terhadap amanah dan berjanji dusta adalah beberapa ciri dari kemunafikan. Ya, kita tetap berharap agar Pemilu 2009 mampu menghasilkan anggota legislatif yang memiliki kecerdasan rohani, tidak hanya kecerdasan akademis dan sosial semata. Walahualam.
Hendra Sugiantoro
Aktivis Profetik Student Center Universitas Negeri Yogyakarta
Dimuat di Surat Pembaca Lampung Post, Jum'at 30 Januari 2009
TAHUN 2009 bisa dikatakan merupakan tahun politik. Perhelatan akbar pemilu akan digelar pada tahun ini dan tentu saja menyita perhatian berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri. Masa depan Indonesia pun ditentukan seberapa cerdas masyarakat memilih pemimpin dan anggota legislatif untuk mengendalikan kekuasaan lima tahun ke depan. Siapa pun pasti berharap agar hajatan pemilu mampu menghasilkan pemimpin eksekutif dan barisan anggota legislatif yang peduli terhadap kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara untuk kemudian berkontribusi nyata bagi perbaikannya.
Untuk itu, masyarakat perlu memikirkan secara matang pilihan politiknya. Tahun politik 2009 harus dijadikan momentum strategis untuk menghadirkan perubahan yang lebih baik. Pengalaman berharga dua kali pemilu seyogianya membelajarkan masyarakat agar tidak asal-asalan memilih.
Jika kini marak fenomena golput, fenomena itu selayaknya juga menjadi titik refleksi bagi masyarakat. Memang benar masyarakat kecewa dengan jalannya pemerintahan, tapi bukankah masyarakatlah yang dahulu menentukan pilihan? Bukankah pemerintahan kini adalah hasil pilihan masyarakat pada pemilu sebelumnya?
Pastinya, masyarakat yang memiliki hak pilih masih memiliki waktu sekitar empat bulan untuk menilai calon anggota legislatif. Masyarakat tetap harus kritis dan tidak mudah tertipu terhadap setiap kampanye para caleg karena sudah pasti mengampanyekan hal-hal yang baik dan positif.
Artinya, masyarakat perlu memeriksa lebih lanjut rekam jejak caleg itu. Seperti apa pengabdian sosial caleg, masyarakat jelas harus mengetahui. Rekam jejak berupa pengabdian sosial akan menentukan perilaku politiknya ketika terpilih.
Jika selama ini miskin pengabdian yang dilakukan di kehidupan masyarakat, caleg itu layak dipertanyakan. Pun, masyarakat perlu mengetahui apakah caleg terlibat dalam kasus korupsi ataupun tindak pidana lain untuk selanjutnya berani untuk tidak memilih caleg bersangkutan.
Selain itu, masyarakat juga perlu mengetahui lebih mendalam kehidupan keluarga dari caleg. Kehidupan keluarga bisa menjadi gambaran kepemimpinan dari caleg. Jika memimpin kehidupan keluarga saja kurang baik, dimungkinkan tidak baik pula kepemimpinannya dalam skala lebih luas. Kepemimpinan dalam keluarga adalah miniatur kepemimpinan dalam lingkup negara.
Tidak kalah penting lagi yang perlu diketahui masyarakat adalah keimanan dan ketakwaan dari caleg yang mampu menumbuhkan kesadaran bahwa jabatan politiknya juga dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Dengan kesadaran itu, seperti dikatakan Amien Rais (2004), seorang politikus, pejabat atau negarawan secara otomatis memiliki built-in control yang tidak ada taranya dan memiliki kendali diri (self restraint) yang sangat kuat untuk tidak terperosok rawa-rawa kemunafikan.
Berkhianat terhadap amanah dan berjanji dusta adalah beberapa ciri dari kemunafikan. Ya, kita tetap berharap agar Pemilu 2009 mampu menghasilkan anggota legislatif yang memiliki kecerdasan rohani, tidak hanya kecerdasan akademis dan sosial semata. Walahualam.
Hendra Sugiantoro
Aktivis Profetik Student Center Universitas Negeri Yogyakarta