Menghormati Orang yang Lebih Tua

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bebas Bicara BERNAS JOGJA, Selasa, 27 Desember 2011

Dalam buku Cerita Kecil Saja (2009) karya Stephie Kleden-Beetz, ada sebuah kisah yang menarik direnungkan. Pada suatu hari ada perempuan renta dan seorang ayah dengan anak-anaknya yang sedang antre di stasiun. Saat mengantre, si ayah itu tak bersedia mendahului dan justru mempersilakan agar perempuan tua berada di barisan depan. Karena kagum atau terkejut dengan sikap tersebut, perempuan tua bertanya kepada si ayah siapa yang mengajarinya. Apa jawab si ayah? Ibulah yang mengajari saya menghormati orang yang lebih tua ketika saya duduk di kelas 4 SD, jawab si ayah.

Kisah yang telah saya modifikasi itu bisa menjadi refleksi kita. Pada dasarnya, menghormati orang yang lebih tua merupakan budi pekerti luhur, namun tampaknya mulai mengalami erosi. Apakah kita yang duduk di angkutan umum memberikan tempat duduk kita kepada nenek atau kakek yang tampak berdiri? Apakah kita bergegas membantu manakala menyaksikan orang yang lebih sepuh kerepotan? Apakah kita masih menaruh hormat kepada guru-guru kita? Banyak pertanyaan sejenisnya yang bisa kita jawab dalam hati.

Dari kisah di atas, kita dapat menyaksikan si ayah ternyata tak melupakan ajaran budi pekerti dari gurunya. Perempuan renta di stasiun itu tak ingat lagi bahwa si ayah adalah muridnya di sekolah dasar. Menariknya, si ayah tak sekadar memahami sikap hormat, tetapi juga mempraktekkannya meskipun telah besar dan berkeluarga. Apa yang dilakukan si ayah di stasiun itu juga memberikan keteladanan kepada anak-anaknya.

Sikap dan perilaku menghormati orang yang lebih tua tentu perlu dimiliki anak-anak dan generasi muda.
HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Yogyakarta

Potensi Menulis Siswa

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Peduli Pendidikan SKH KEDAULATAN RAKYAT, Sabtu, 24 Desember 2011

PADA 11 Desember 2011 lalu diselenggarakan Festival Anak Jogja oleh Hima PGSD Kampus II FIP UNY. Kegiatan ini juga bekerja sama dengan Kedaulatan Rakyat. Dengan tema ”Kado Istimewa untuk Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, salah satu acaranya adalah lomba menulis. Siswa-siswa SD mengikuti lomba menulis ini.

Sebagai juri, saya mengagumi karya-karya siswa SD itu. Mereka bisa menuangkan apa yang mereka pikirkan dan rasakan lewat kalimat-kalimat yang terangkai. Apapun tulisannya, kita harus mengapresiasi secara positif. Saya berani berkata, siapa pun siswa memiliki potensi menulis.

Di SKH Kedaulatan Rakyat setiap hari Minggu, kita bisa membaca tulisan-tulisan siswa SD di rubrik Kawanku. Yang menjadi pertanyaan, mengapa seringkali dinyatakan, tradisi menulis di Indonesia rendah? Bukankah menulis telah menjadi bagian dari aktivitas belajar-mengajar sejak siswa menempuh jenjang pendidikan dasar?

Potensi menulis siswa cenderung tak berkembang karena beberapa faktor. Pertama, ruang aktualisasi yang terbatas. Ruang aktualisasi ini tak sekadar pembuatan majalah dinding di sekolah, tetapi juga peluang menulis di luar sekolah. Ada sekolah dan guru yang kurang mengakses informasi, sehingga buta dengan banyaknya peluang yang memungkinkan siswa berkarya lewat tulisan. Kedua, pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah kerap kali tidak fungsional membentuk kemampuan berbahasa siswa. Teori-teori memang penting, namun kemampuan berbahasa hendaknya tidak diabaikan. Selain berbahasa lisan, kemampuan berbahasa itu adalah berbahasa tulis.

Ketiga, anggapan, menulis sekadar pilihan profesi masa depan. Menurut saya, apapun profesi siswa di kemudian hari, menulis merupakan bagian dari profesi itu. Menulis adalah sarana mengikat ilmu, menyampaikan ilmu. Menulis untuk berbagi wawasan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan. Lewat tulisan, uneg-uneg, pendapat, dan semacamnya bisa disampaikan.

Siswa sebenarnya memiliki potensi menulis yang luar biasa. Dunia pendidikan memiliki tantangan untuk mendorong dan memberikan ruang aktualisasi menulis yang memadai. JK Rowling yang fenomenal dengan karya Harry Potter-nya telah menulis buku pertamanya pada usia 5 atau 6 tahun. Buku pertama itu bercerita tentang seekor kelinci yang sakit dan dihibur oleh seekor lebah (John Vivian: 2008). Amat memungkinkan siswa SD berhasil menulis buku. Bahkan, siswa yang kini duduk di SD dimungkinkan juga meraih Nobel di bidang sastra di masa mendatang.(HENDRA SUGIANTORO, motivator kepenulisan)