Bangkitnya Generasi Emas Indonesia

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Peduli Pendidikan SKH KEDAULATAN RAKYAT, Jum'at, 4 Mei 2012
 
Judul di atas adalah tema peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada tahun 2012 ini. Ada satu kata penting dari tema tersebut, yakni generasi emas Indonesia. Untuk menyatukan penafsiran, ada baiknya kita mencermati sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh, yang  dibacakan serentak pada upacara Hardiknas 2012 lalu.

Sebagian isi sambutan itu berisi, “Pada periode tahun 2010 sampai tahun 2035 kita harus melakukan investasi besar-besaran dalam bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM) sebagai upaya menyiapkan generasi 2045, yaitu 100 tahun Indonesia merdeka. Oleh karena itu, kita harus menyiapkan akses seluas-luasnya kepada seluruh anak bangsa untuk memasuki dunia pendidikan; mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai ke perguruan tinggi.”

Untuk menyiapkan generasi 2045 sebagai generasi emas, pendidikan tetap menjadi jalan utama. Dalam hal ini, pendidikan untuk semua (education for all) menjadi pekerjaan yang perlu dituntaskan. Bukan sekadar pemerataan, tetapi juga peningkatan kualitas. Upaya tersebut, ujar Mendikbud, terus berproses, seperti melakukan gerakan pendidikan anak usia dini serta penuntasan dan peningkatan kualitas pendidikan dasar. Rencananya, pada tahun 2013 nanti akan dilakukan penyiapan pendidikan menengah universal (PMU). Di samping itu, lanjut Mendikbud, perluasan akses ke perguruan tinggi juga disiapkan melalui pendirian perguruan tinggi negeri di daerah perbatasan dan memberikan akses secara khusus kepada masyarakat yang memiliki keterbatasan kemampuan ekonomi, tetapi berkemampuan akademik.

Periode saat ini sebagai upaya menyiapkan generasi untuk berpuluh-puluh tahun mendatang memang niscaya. Generasi masa depan harus dipersiapkan sejak sekarang. Pendidikan harus terus berikhtiar membangun generasi bangsa yang cakap secara intelektual, anggun secara moral, dan siap menghadapi tantangan zamannya. Pendidikan juga harus mampu melahirkan generasi bangsa yang memiliki jiwa dan pikiran besar untuk membangun negerinya. 

Di sisi lain, yang juga perlu disadari, pendidikan bukan tanggung jawab pemerintah/negara semata. Pendidikan sebagai jalan kemajuan negeri ini harus menjadi komitmen dan kesadaran bersama. Bertepatan dengan momentum Hardiknas tahun ini, konsep Tri Partit Pendidikan, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang ditekankan Ki Hajar Dewantara (1889-1959) perlu dikuatkan kembali. Tanpa kerja sama yang solid antara ketiga unsur tersebut, menurut saya, pendidikan tetap sulit menghasilkan generasi emas. Artinya, Indonesia tetap tanpa kemajuan meskipun telah seabad merdeka pada tahun 2045 kelak. Selamat Hari Pendidikan Nasional. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO

Menguatkan Peran Didik Orangtua

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Aspirasi HARIAN JOGJA, Kamis, 3 Mei 2012


Anak adalah generasi masa depan. Untuk melihat wajah masyarakat, bangsa, dan negara di masa mendatang,  kita sebenarnya cukup melihat wajah anak-anak di masa kini. Bila anak kondisinya baik, maka baiklah wajah masyarakat, bangsa, dan negara. Begitu juga sebaliknya.

Apa yang diutarakan di atas perlu kita renungkan. Coba kita saksikan kondisi masyarakat kita. Kekerasan kerapkali muncul tak terduga. Tawuran antarsiswa, antarkampung atau antardesa kadang terjadi di beberapa tempat. Begitu pula dengan bentuk kekerasan lain. Kita yang memiliki hati nurani mungkin tak habis pikir mengapa ada manusia tega menganiaya atau menghabisi nyawa manusia lain. Korupsi juga bisa kita jadikan bukti. Kita mafhum wabah korupsi masih belum terberantas di negeri ini. Kerusakan lingkungan pun adalah wajah nyata yang seringkali kita saksikan. Itu hanya untuk menyebut beberapa contoh, meski ada pula cahaya terang di tengah kegelapan. 

Adanya wajah yang memprihatinkan itu sesungguhnya berakar dari manusia. Manusialah yang bersikap, berperilaku, dan menentukan mau menjadikan seperti apa dunia yang dihuninya. Wajah buruk yang menghiasi masyarakat, bangsa, dan negara pada saat ini tentu menuntut kita mengakui adanya kekeliruan dalam mendidik anak-anak di masa lalu. Banyaknya koruptor sebenarnya bisa kita telisik seperti apakah masa lalu para koruptor itu saat masih anak-anak. Adanya perusak lingkungan, penggundul hutan, pencemar air, dan sebagainya menurut saya akibat pembiasaan, penanaman nilai, dan pendidikan yang tak berjalan baik ketika mereka masih kecil. 

Memang perkembangan kepribadian manusia itu dinamis. Namun, saya hendak menegaskan bahwa usia anak-anak adalah usia emas (golden age). Pendidikan di masa anak-anak memberikan dasar bagi proses pendidikan dan perkembangan anak selanjutnya. Bahkan, ada ahli yang mengatakan bahwa pengalaman yang diperoleh pada masa anak-anak takkan pernah tergantikan oleh pengalaman-pengalaman berikutnya, kecuali dimodifikasi (Eti Nurhayati: 2011). Jelasnya, pendidikan usia dini tak bisa diabaikan. Maka, menjadi tugas penting kita mempersiapkan anak-anak di masa kini untuk dapat mencerahkan wajah masyarakat, bangsa, dan negara di masa mendatang. Pertanyaannya, siapakah yang bertanggungjawab melakukan hal itu?
Tanggung jawab tentunya di pundak kita bersama. Namun, satu hal yang perlu kita insyafi, seperti apakah anak-anak di masa depan sebenarnya orangtualah yang bertanggung jawab paling utama. Dalam perspektif agama, orangtua akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan terkait pendidikan anak-anaknya. Anak adalah amanah yang diberikan Tuhan kepada orangtuanya masing-masing. Jika anak yang dilahirkan berperilaku baik, orangtua bisa mendapatkan pahala yang terus mengalir. Kita mungkin berpikir, bagaimana nasib orangtua di hadapan Tuhan bila anaknya yang menjadi pejabat negara melakukan korupsi? Apa yang harus kita katakan di hadapan Tuhan bila anak-anak kita di dunia mengedarkan atau mengkonsumsi obat-obatan terlarang? 

Pendidikan untuk anak-anak sudah semestinya kita evaluasi. BS Mardiatmadja (2004) dalam esainya berjudul Ruh Pendidikan menuturkan bahwa orangtualah fasilitator perdana pendidikan manusia. Sebab, orangtua menjadi pendidik secara alamiah dan kodrati. Orangtua menjadi pendidik secara penuh waktu dan sepanjang hidup, meski seringkali dengan cara beraneka. Orangtua melaksanakan pendidikan secara komprehensif, artinya dalam segala segi hidup manusia. Tak satu pihak pun dapat menyerupai orangtua. Namun, orangtua dapat juga meminta bantuan pihak lain untuk memfasilitasi sehingga pendidikan menjadi paripurna. Pihak lain hanya berperan serta dalam peran didik orangtua. 

Pernyataan semua pihak lain hanya berperan serta dalam peran didik orangtua perlu sekali digaris bawahi. Bila orangtua memasukkan anak-anaknya ke bangku sekolah, sifatnya hanya membantu. Dengan bersekolah, anak akan mendapatkan pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan yang dibutuhkan bagi kehidupannya. Tentu orangtua bertanggungjawab untuk memasukkan anaknya ke sekolah terbaik yang dapat membantu orangtua dalam mendidik anaknya. Perlu sekali kita mengerti, pendidikan dalam arti yang luas terjadi melalui tiga upaya utama, yakni pembiasaan, pembelajaran, dan peneladanan (Fuad Hassan: 2004). Anak tak sekadar membutuhkan pembelajaran, tetapi juga pembiasaan dan peneladanan yang tentu saja harus diberikan oleh orangtua sebagai penanggungjawab utama pendidikan anak. Orangtua harus membiasakan anaknya memiliki perilaku disiplin, kejujuran, tidak mengambil barang bukan miliknya, dan hal positif lainnya. Orangtua juga harus menjadi teladan dalam bertutur kata, bersikap, dan berperilaku terpuji. Tampaknya menguatkan peran didik orangtua menjadi sebuah pekerjaan besar. Orangtua perlu terus belajar memperbaiki prinsip, metode, dan pola pendidikan bagi anak-anaknya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute, tinggal di Yogyakarta
bisnis syariah

Cerdas dengan Membangun Tradisi Ilmiah

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Rabu, 2 Mei 2012
Keberadaan guru dalam dunia pendidikan memang begitu penting. Dengan kapasitas dan kemampuannya, guru mengemban tanggung jawab mengajar dan mendidik siswa di sekolah. Guru merupakan pilar membangun generasi bangsa ini. Di tengah pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, guru tentu dituntut agar tak berhenti belajar. Sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi senantiasa berkembang. Maka, guru tidak boleh puas dengan ilmu, wawasan, dan pengetahuan yang telah dimiliki. Guru juga harus mengasah dan memiliki keterampilan penguasaan teknologi minimal yang terkait dengan dunia pendidikan.
             
Buku karya Sudaryanto ini menarik disimak dalam upaya menunjang peningkatan kemampuan guru. Guru sebagai agen pendidikan bangsa didorong untuk memiliki tradisi ilmiah, seperti membaca, menulis, dan meneliti. Fakta menunjukkan bahwa tradisi ilmiah di kalangan guru di negeri ini ternyata masih lemah. Agus Sartono (2010) pernah berujar bahwa indikator rendahnya tradisi ilmiah di kalangan guru dapat disaksikan dari minimnya karya ilmiah yang dihasilkan guru. Dampaknya, banyak guru di negeri ini kesulitan mendongkrak golongannya. Data memaparkan, kebanyakan guru mentok pada golongan IVA dan sulit naik ke golongan IVB, apalagi sampai golongan IVD.
             
Siapa pun guru pastinya menginginkan kariernya menanjak. Untuk dapat naik golongan, guru tak mungkin mengelak dari kewajiban membaca dan menulis. Kenaikan golongan juga akan berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan. Sudah saatnya guru di Indonesia menyadari hal tersebut. Sesungguhnya persyaratan naik ke golongan IVB tidak cukup hanya mengumpulkan angka kredit mengajar. Salah satu komponen agar guru dapat naik golongan adalah menulis karya ilmiah. Dengan kata lain, menulis adalah tuntutan dari profesi guru yang tidak terhindarkan. Untuk dapat menghasilkan karya ilmiah dan dengan sendirinya mendongkrak kenaikan golongan, guru pastinya juga dituntut untuk memiliki tradisi membaca. Sebab, untuk dapat menulis memang harus rajin membaca. Membaca sebagai kegiatan reseptif akan menunjang kegiatan menulis.
             
Namun, persoalannya menjadi rumit ketika tradisi membaca di kalangan guru juga rendah. Tradisi membaca dan menulis yang rendah tentu merupakan tragedi sekaligus ironi. Padahal, guru sebagai seorang pengajar dan pendidik harus meng-up date ilmunya. Membaca merupakan salah satu sarana efektif memperkaya dan mengembangkan kapasitas keilmuan guru. Bisa dibayangkan, guru yang malas membaca cenderung akan mengajarkan hal yang itu-itu saja kepada siswa-siswanya. Tidak ada ilmu, wawasan, dan pengetahuan yang berkembang. Maka, tutur penulis buku, membaca seyogianya tidak dialpakan. Bukan hal yang berlebihan apabila guru harus membudayakan aktivitas membaca setiap hari.
             
Terkait menulis, penulis buku menegaskan bahwa setiap guru sebenarnya memiliki kemampuan untuk melakukannya. Sesungguhnya ide tulisan bertebaran setiap kali guru datang ke sekolah, mengajar siswa di kelas atau mengunjungi perpustakaan. Guru pun bisa mengikuti perkembangan isu dan wacana pendidikan di media massa untuk direspons lewat tulisan. Belum optimalnya guru menulis boleh jadi karena memang malas dan tidak ada komitmen. Guru yang memiliki komitmen takkan beralasan sibuk karena waktu sesempit apapun masih bisa digunakan untuk menuangkan tulisan dan pemikiran. Jika guru ingin kariernya menanjak, maka rajinlah menulis.
            
Buku ini mengingatkan guru di Indonesia untuk membangun tradisi ilmiah. Dengan kepemilikan tradisi ilmiah, tingkat intelektualitas guru akan bertambah dan turut menopang kemajuan pendidikan.(HENDRA SUGIANTORO, pembaca buku, tinggal di Yogyakarta).

Pejuang Perempuan yang Terlupakan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Majalah POTRET, Edisi 54 Tahun IX 2012

NEGERI ini pernah mengalami penjajahan bangsa asing begitu lama dengan menghadirkan kisah perjuangan mempertahankan tanah tumpah darah. Semangat patriotisme telah muncul berabad-abad lampau ketika identitas kebangsaan Indonesia belum terlahir. Dari kisah perjuangan di zaman penjajahan terbentang beribu-ribu sosok yang menjadi pejuang. Tak hanya kaum laki-laki, kaum perempuan pun turun ke gelanggang sebagai “pemain utama”.

Terkait para pejuang perempuan penting kiranya diungkapkan untuk memberikan spirit, inspirasi, dan motivasi bagi generasi kini dan hari kemudian. Menilik perjalanan sejarah, tokoh-tokoh pejuang perempuan di negeri ini bukannya tidak banyak, namun sepertinya terlupakan/dilupakan dalam sejarah. Dalam buku profil pahlawan Indonesia, keberadaan pahlawan di kalangan perempuan juga minim disebutkan. Dari sekian banyak sosok besar perempuan zaman silam, ada empat pejuang perempuan yang hendak diutarakan lewat tulisan ini.

Pertama, Keumalahayati. Perempuan dari Aceh ini dikenal piawai di medan laut. Konon, Keumalahayati merupakan laksamana laut perempuan pertama. Keumalahayati diberi gelar laksamana di masa pemerintahan Sultan Al-Mukammil (1589-1604). Dalam kedudukannya sebagai laksamana laut, Keumalahayati  sempat memimpin dan melatih para perempuan janda yang suaminya gugur dalam medan perang untuk turut terjun di kancah perjuangan. Armada perempuan ini dikenal dengan sebutan inong bale (ada yang menulis inong balee). Dalam sepak terjangnya di medan laut, Keumalahayati pernah menggagalkan percobaan pengacauan oleh Angkatan Laut Belanda di bawah pimpinan Cornelis dan Frederich de Houtman pada tahun 1599. Armada inong bale kerap ikut bertempur di Selat Malaka dan di pantai-pantai Sumatera Timur dan Melayu. Kiprah Keumalahayati dan armada inong bale ini pernah diapresiasi pengarang perempuan dari Belanda, Marie Van Zuchtelen, dalam bukunya “Vrouwelijke Admiral Malahayati”(Teuku H. Ainal Mardhiyah Aly, 1980).

Kedua, Sultanah Safiatuddin. Perempuan ini juga kelahiran Aceh pada tahun 1612. Sultanah Safiatuddin merupakan sebuah gelar, lengkapnya Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-‘Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah. Dari nama itu, Sultanah Safiatuddin memang putri dari Sultan Iskandar Muda. Proses pengangkatan perempuan ini menjadi pemimpin kesultanan Aceh setelah suaminya, Sultan Iskandar Tsani, meninggal dunia. Sultan Iskandar Tsani adalah pengganti dari Sultan Iskandar Muda. Harsja W. Bahtiar (dalam Adian Husaini, 2009) menuturkan bahwa Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, ia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Sultanah Safiatuddin memerintah Aceh cukup lama antara tahun 1644 sampai tahun 1675.

Ketiga, Rahmah el-Yunusiyyah. Perempuan ini lahir di Sumatera Barat pada tahun 1900. Mengingat pentingnya pendidikan bagi perempuan, ia mendirikan lembaga pendidikan khusus perempuan “Perguruan Diniyah Puteri” yang resmi berdiri pada 1 November 1923 dan masih bertahan sampai kini. Lembaga pendidikan ini terus mengalami perkembangan meskipun harus menghadapi tantangan dan hambatan. Sebagai perempuan pejuang dan pendidik, ia pernah mendirikan sekolah puteri di Jakarta pada zaman penjajahan Belanda (Aminuddin Rasyad, 1983). Rahmah el-Yunusiyah aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Ia sempat menjadi tamu istimewa Universitas Al-Azhar, Mesir, dan mendapatkan gelar “syeikhah” pada tahun 1950-an. Penyematan gelar ini kepada Rahmah el-Yunusiyyah merupakan gelar kehormatan yang diberikan Universitas Al-Azhar untuk pertama kalinya kepada seorang perempuan. Ia pernah juga menjadi anggota parlemen pada 1955-1958. Pada 26 Februari 1969, Rahmah el-Yunusiyyah meninggal dunia.

Keempat, Siti Roehana Koeddoes. Koeddoes diambil dari nama suaminya, Abdoel Koeddoes. Ia lahir di Sumatera Barat pada tahun 1884 dan meninggal dunia pada tahun 1972. Perjuangannya bagi kaum perempuan tidak diragukan. Pada tahun 1911, ia mendirikan perkumpulan putri Keradjinan Amai Setia (Adi Negoro, 1949) untuk mendidik dan memberikan pembelajaran keterampilan bagi kaum perempuan. Ia juga menerbitkan surat kabar Soenting Melajoe mulai tahun 1912 yang beredar sakali salapan hari (sepekan sekali). Masa penerbitan Soenting Melajoe berakhir pada edisi tanggal 8 Januari 1921 (Hendra Naldi, 2008). Selain dipimpin perempuan, tim redaksi dan para penulis surat kabar ini adalah perempuan. Lewat surat kabar ini, Siti Roehana Koeddoes melakukan pendidikan dan membangun kesadaran perempuan terhadap hak dan kewajibannya. Siti Roehana Koeddoes memperoleh anugerah sebagai Perintis Pers Indonesia pada Hari Pers Nasional pada 9 Februari 1987.

Sekelumit profil singkat empat pejuang perempuan di atas telah menandakan bahwa perempuan zaman silam mampu berpikir dan bertindak besar. Jejak-jejak mereka kiranya perlu menjadi spirit, inspirasi, dan motivasi generasi (perempuan) untuk juga mengembangkan diri dan berkarya besar. Di negeri ini, pernah ada perempuan perkasa yang menjadi pemimpin di medan laut, pemimpin yang berhasil mengelola sebuah negeri dalam waktu panjang, pemimpin di dunia pendidikan, dan pemimpin di dunia pers. Selain tokoh perempuan di atas, masih banyak sosok perempuan lain yang juga meninggalkan jejak luar biasa. Di tengah “kehijauan” penulis, penulis memohon maaf jika ada kekeliruan dalam pemaparan maupun penyajian data dan fakta terkait keempat pejuang perempuan di atas. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Penulis berdomisili di Yogyakarta
bisnis syariah

Kartini Menjadi Guru

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa REPUBLIKA DIY-JATENG, Kamis, 26 April 2012 

Kartini (1879-1904) sebagai sosok perempuan memang meninggalkan kesan tersendiri. Lewat surat-suratnya yang dibukukan, kita bisa membaca beragam pemikiran dan cita-cita Kartini. Jika kita telaah, Kartini ternyata berkehendak kuat untuk menjadi guru. Cita-cita menjadi guru bisa dikatakan merupakan panggilan jiwa akibat menyaksikan kondisi lingkungan masyarakat-bangsanya. Bagi Kartini, pendidikan adalah penting. Kartini ingin meningkatkan derajat perempuan dan derajat masyarakat-bangsanya lewat jalan pendidikan.

Dalam suratnya kepada Nyonya R.M Abendanon-Mandri tertanggal 10 Juni 1902, Kartini menulis, “Tetapi apabila saya dididik di negeri Belanda, tidakkah saya dapat dipersiapkan lebih baik untuk tugas saya sebagai guru dan pendidik? Lapangan pengetahuan saya akan diperluas, jiwa saya diperkaya dan ini semuanya pasti akan mengajar dan memberi sangat banyak kepada saya, yang tidak dapat diberikan dan diajarkan oleh negeri saya sendiri.” 

Cita-cita mulia menjadi guru ini menghunjam kuat dalam diri Kartini. Kartini dalam suratnya kepada Tuan H.H. van Kol tertanggal 21 Juni 1902 juga menyebutkan bahwa dirinya ingin dididik menjadi guru. Diutarakan Kartini, dengan bersekolah di negeri Belanda, ia ingin memperluas pandangan, memperlebar cakrawala pandangan jiwa, membuang purbasangka yang masih melekat padanya dan menyebabkan hambatan, mengunjungi beberapa perguruan dan lembaga pendidikan untuk mengetahui cara pendidikan dan pengajaran di Nederland. Di negeri Belanda, Kartini juga ingin mengikuti kursus ilmu kesehatan, ilmu merawat dan ilmu balut-membalut serta ingin belajar mengenai pertolongan pertama pada kecelakaan. 

Apa yang ingin digapai Kartini di negeri Belanda bertujuan untuk membekali kemampuannya agar menjadi guru yang cakap. Kartini ingin mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan. Tujuan dari pendirian sekolah itu adalah memberi pulau Jawa ibu-ibu yang maju dan cerdas, yang akan meneruskan kemajuan dan kecerdasannya itu kepada anak-anaknya; anak-anak perempuannya yang akan menjadi kaum ibu lagi; anak-anak laki-lakinya yang suatu ketika akan dipanggil turut menjaga suka duka bangsa! (Lihat, Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno, Jakarta: Penerbit Djambatan, cetakan ke-2 1981).  

Meskipun akhirnya tidak jadi pergi ke Belanda, cita-cita Kartini menjadi guru tidak pernah pupus dan pudar. Sebelum meninggalnya, Kartini masih sempat menjadi guru dan pendidik. Kartini merasa senang menjadi pendidik dari anak-anak suaminya maupun anak-anak tetangganya. 

Dari Kartini, kita belajar lagi dari para pendahulu bangsa bahwa pekerjaan guru adalah pekerjaan mulia. Menjadi guru juga dituntut kemampuan dan kompetensi prima. Kartini ingin belajar dan menguasai kecakapan dan pengetahuan agar bisa menjadi guru yang sebaik-baiknya. Dalam notanya berjudul Berilah Orang Jawa Pendidikan! tertanggal Januari 1903, Kartini dengan tegas pernah berkata, “...guru-guru memiliki tugas rangkap: menjadi guru dan pendidik! Mereka harus melaksanakan pendidikan rangkap itu, yaitu: pendidikan pikiran dan budi pekerti.” Salah satu ungkapan Kartini itu selayaknya direnungkan oleh para guru di negeri ini. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO