Judul Buku: Mengalir Bukan Air: Percikan Spirit Hidup Penulis: Imaroh Syahida, Ika Feni Setiyaningrum, Vico Luthfi Ipmawan, Lia Nurul Husnah, Galih Annisa Hakiki, dan Meita Wulan Sari Penerbit: LeutikaPrio, Yogyakarta Tahun: I, Juni 2011 Tebal: x+103 hlm Harga: Rp. 31.300,00
Buku ini mengetengahkan pelajaran-pelajaran yang bisa menjadi perenungan kita bersama. Banyak hal yang bisa kita maknai dalam diri, alam, dan kehidupan kita. Melalui buku ini, kita dapat mengambil hikmah untuk menjalani kehidupan di muka bumi dengan spirit kebaikan.
Kalau kita perhatikan, segala sesuatu di alam semesta ini melakukan pergerakan. Galaksi, matahari, bulan, planet, air, udara, dan atom bergerak. Begitu juga dengan gen, darah, udara, dan lainnya. Jika segala sesuatu itu tidak bergerak, yang terjadi adalah kekacauan dan ketidakseimbangan. Maka, manusia pun jangan pernah berhenti bergerak melakukan perbaikan dan kebaikan. Memang adakalanya kita membutuhkan istrirahat, namun istirahat kita tetap penuh daya, karya, ide, dan terobosan-terobosan baru. Diutarakan penulis buku, dalam berhenti tersimpan beragam kemalasan, keengganan, dan kelembaman yang membuat kita terpaku. Kita tak bisa melakukan hal-hal yang produktif dan bermanfaat. Berhenti bergerak, kita miskin kontribusi bagi perkembangan diri, kesejahteraan masyarakat, dan kejayaan bangsa.
Dari sel darah putih dalam tubuh, kita juga bisa memetik pelajaran. Sel darah putih memiliki peran merespons benda asing seperti mikroba, bakteri, dan terlalu banyaknya protein dalam tubuh. Apa yang dilakukan? Sel darah putih sekuat tenaga melawannya. Seusai melakukan perlawanan, sel darah putih menemui kematian. Ternyata ada yang perlu kita refleksikan dari perjuangan sel darah putih ini untuk juga memiliki semangat perjuangan dan pengorbanan melawan keburukan dan kemungkaran. Dalam buku ini, kita juga bisa memetik pelajaran dari organel sel bernama lisosom. Di balik ganasnya lisosom, ada juga manfaat positifnya. Sebagaimana kita memandang lisosom, kita tentu perlu memandang segala sesuatu tidak dari salah satu sisi semata. Kita sebaiknya tak mudah menaruh prasangka dan memberi celaan ketika mengetahui hal-hal buruk menurut pikiran kita.
Menelusuri buku ini, kita sepertinya tiada mau berhenti untuk memetik hikmah. Ada pelajaran pada segala sesuatu, termasuk kupu-kupu dan gajah. Kita lihat saja kupu-kupu yang mengonsumsi madu tanpa merusak bunga. Begitu pun dengan gajah liar yang biasanya memakan biji-bijian dari buah yang jatuh. Biji-bijian itu tidak dicerna oleh gajah. Ketika gajah berhenti di suatu daerah untuk mengeluarkan kotoran, gajah tak hanya mengeluarkan kotoran murni, tapi juga kotoran bersama dengan biji-bijian yang dimakan itu. Setelah beberapa saat, di tempat tersebut, tumbuhlah tanaman dengan suburnya, karena tanah mempunyai banyak nutrisi dari kotoran gajah. Tak malukah kita yang kerapkali tak peduli dan berbuat kerusakan terhadap lingkungan hidup?
Selain di atas, ada hal-hal lainnya yang disuguhkan buku ini. Kita diajak membangun pikiran, hati, dan laku hidup secara lebih baik. Ada sesuatu yang terus mengalir dalam kehidupan ini. Sesuatu itu adalah waktu. Apakah dalam waktu itu kita memberikan hal yang positif dan bermanfaat bagi kehidupan? Ada kontribusi yang dinantikan dari kita. Dalam waktu kehidupan kita, kita harus menjadi pahlawan sesuai dengan potensi dan peran masing-masing. Buku ini bisa dijadikan renungan bagi kita untuk membangun spirit hidup yang kontributif. Selamat membaca.
HENDRA SUGIANTORO, Penulis lepas, tinggal di Yogyakarta