Perhatikan Pendidikan Rakyat!

Oleh:HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Forum Media Indonesia, Kamis 29 Oktober 2009
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono telah resmi menjadi pemimpin nasional 2009-2014. Agenda-agenda membangun negara yang akan digulirkan pemimpin nasional pastinya akan dinantikan masyarakat. Salah satu tugas penting SBY-Boediono ke depan adalah berjalannya program pendidikan untuk rakyat. Artinya, pendidikan yang benar-benar diperuntukkan bagi rakyat dan benar-benar memberdayakan rakyat.

Bidang pendidikan memang harus mendapatkan perhatian pemimpin nasional 2009-2014. Hal ini tak bisa ditawar-tawar karena pendidikan merupakan pilar membangun generasi bangsa berpuluh-puluh tahun mendatang. Dengan pendidikan yang baik, maka akan terlahir generasi yang baik. Lebih dari itu, pendidikan sudah sepatutnya dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan tidak hanya untuk lapisan masyarakat tertentu, tapi untuk setiap warga negara di republik ini. Pemimpin nasional dituntut mampu menciptakan pendidikan untuk semua (education for all).

Dengan komitmen mewujudkan pendidikan untuk semua, maka pemimpin nasional berkewajiban melindungi masyarakat dari kesulitan mengakses pendidikan. Program sekolah gratis bukan sekadar proyek pencitraan, tapi memang didasari pembacaan bahwa sebagian masyarakat di negeri ini masih terpuruk secara ekonomi. Masyarakat yang masih terpuruk secara ekonomi itu tetap harus mendapatkan pendidikan yang berkualitas untuk meningkatkan taraf hidupnya. Pun, masyarakat dari segala lapisan berhak untuk dapat mengenyam jenjang pendidikan setinggi-tingginya. Bangku perguruan tinggi yang kian mahal bukanlah wajah ramah bagi lapisan masyarakat miskin, maka pemimpin nasional berkewajiban membendungnya. Sekali lagi, hal ini disebabkan fakta bahwa masih ada lapisan masyarakat di negeri ini yang kurang berdaya secara ekonomi.

Untuk mampu memberikan akses pendidikan secara merata, alangkah hebatnya jika pemimpin nasional menentang keras kebijakan pendidikan yang beraroma kapitalistik dan neolib. Pemimpin nasional hendaknya mengingat perjuangan Hasyim Asy’arie, Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, dan bapak-bapak bangsa lainnya yang dulunya berjuang mati-matian agar masyarakat di negeri ini dapat memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi. Tokoh-tokoh bangsa itu menyadari bahwa pendidikan amatlah penting bagi masyarakat. Pendidikan memang penting! Belajar dari negara-negara maju, kemajuan negara tidak sekadar diwujudkan dengan terbangunnya pemerintahan yang bersih, tapi juga pendidikan yang bermutu bagi warga negaranya.

Pendidikan bagi rakyat bukan berpikir menciptakan klasifikasi sekolah: sekolah berstandar internasional, sekolah berstandar nasional, atau sejenisnya. Bukan! Pendidikan bagi rakyat menghendaki pendidikan bermutu bagi semua. Seluruh rakyat di negeri ini harus mendapatkan pendidikan yang bermutu tanpa harus dibedakan berada di sekolah X atau di sekolah Y. Tegasnya, setiap warga negara tanpa terkecuali harus mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu agar mencapai taraf insani sehingga dapat menjalankan hidupnya sebagai manusia utuh dan membudayakan diri—meminjam Driyarkara. Pendidikan bagi rakyat akan mampu seperti Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara memberi wejangan mengenai pendidikan, yakni menuntun segenap kodrat manusia agar sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tinggi. Saatnya pendidikan benar-benar memihak rakyat! Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro
Karangmalang Yogyakarta 55281

Jogja dan Spirit Sumpah Pemuda

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Wacana Bernas Jogja, Kamis 29 Oktober 2009
SEJARAH Sumpah Pemuda adalah sejarah kebangunan kesadaran anak-anak bangsa. Kesadaran itu tumbuh karena suasana batin para pemuda menyatu dalam denyut kepedihan rakyat. Begitu sengsaranya kehidupan rakyat akibat penjajahan sehingga para pemuda menyingkirkan ego kelompok untuk mengumandangkan satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung bahasa persatuan: Indonesia.

Bangkitnya pemuda dari tidur pulas dalam sekat-sekat kesukuan memberikan darah segar mewujudkan Indonesia sebagai negeri yang merdeka. Sekitar 17 tahun setelah Sumpah Pemuda, proklamasi kemerdekaan negeri ini benar-benar menjadi nyata. Disadari atau tidak, kemerdekaan negeri ini mungkin saja masih jalan terjal jika para pemuda sebagai agen perubahan tak memiliki inisiatif menyatukan langkah dalam Kongres Pemuda II di Batavia (Jakarta), 27-28 Oktober 1928. Kaki tangan penjajah boleh jadi masih menginjak-injak dan mencengkeram kehidupan bangsa jika para pemuda tidak memiliki konsep cerdas mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, menurut Safari Daud (2006), cukup dinilai berangkat dari kajian akademis kaum muda yang matang. Konsep berbangsa satu, tanah air satu, dan bahasa satu adalah konsep negara yang membutuhkan wilayah, penduduk, dan bahasa.

Bertemu dan berkumpulnya pemuda dari Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dan sebagainya pada saat itu sedikit banyak menunjukkan kejiwaan Indonesia yang kokoh. Berbagai suku dari wilayah Indonesia tak sekadar menggelar rapat intensif selama dua hari, tapi mereka juga melakukan tindakan nyata dalam melawan dan mengusir koloni Belanda. Pertanyaannya, apakah keterkaitan Sumpah Pemuda 81 tahun silam dengan kota Yogyakarta di era kini?

Diakui bahwa kota Yogyakarta dihuni oleh berbagai kalangan serba multi: multi etnis, multi agama, multi budaya, dan seterusnya. Banyak pelajar/mahasiswa menyinggahi kota ini untuk menempuh jenjang pendidikan. Tidak hanya dari seputar wilayah Joglosemar (Jogja, Solo, Semarang), tapi juga didatangi mahasiswa dari luar Pulau Jawa. Seperti kita saksikan, asrama-asrama mahasiswa di kota ini bertebaran, ada yang satu suku dan ada pula yang asrama plural. Maksud asrama plural adalah asrama yang dihuni tidak hanya satu etnis, tapi dihuni beragam latar belakang budaya.

Dari kenyataan itu, Yogyakarta sering kali disebut sebagai kota multikultural. Tidak banyak kota yang menyamai kota Yogyakarta dalam hal keragaman latar belakang budaya. Meskipun masyarakatnya berbeda-beda latar belakang, Yogyakarta tetap dikenal dengan semangat toleransinya. Memang pernah terjadi amuk massa yang dilakukan mahasiswa berbeda etnis, tapi itu bukanlah “api yang terus membara”. Yogyakarta dikenal sebagai kota yang mampu menegakkan semangat kerukunan dalam perbedaan. Yogyakarta juga dihuni olek kelompok masyarakat yang beretnis Tionghoa.

Seperti kita ingat pada 1928 lalu, Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie adalah pemuda-pemuda Tionghoa yang turut hadir dalam Kongres Pemuda II. Konon tempat dibacakannya Sumpah Pemuda 1928 di rumah kepunyaan seorang Tionghoa yang bernama Sie Kong Liong. Kerukunan dengan masyarakat Tionghoa tampak di Yogyakarta. Dengan kelompok masyarakat Tionghoa, masyarakat pribumi bisa guyup rukun, minim gejolak, dan saling menanamkan pengertian. Peristiwa Mei 1998 bisa kita ambil contoh. Ketika di sebagian daerah lain kelompok pribumi “perang-perangan” dengan etnis Tionghoa, perdamaian tetap bersemayam di Yogyakarta. Di kota Yogyakarta banyak tempat usaha yang dikelola oleh kelompok etnis Tionghoa. Apa jadinya jika sebelas tahun lalu areal Malioboro, misalnya, bergejolak? Nyatanya Yogyakarta tetap adem ayem dan diliputi perasaan aman.

Itulah wajah Yogyakarta. Terkait dengan 81 tahun Sumpah Pemuda, mahasiswa yang menempuh studi di kota pendidikan ini selayaknya mengambil pelajaran. Berkumpulnya para mahasiswa dari beragam etnis di kota Yogyakarta tentu harapannya tidak sekadar menyelesaikan studi akademik semata. Para mahasiswa dengan latar belakang budaya perlu memiliki semangat keindonesiaan yang sama seperti para pemuda angkatan 1928. Artinya, semangat keindonesiaan hendaknya menjadi orientasi dalam menempuh pendidikan di kota Yogyakarta. Semangat keindonesiaan untuk membangun negeri Indonesia. Mahasiswa sebagai pemuda perlu menyadari peran pentingnya sebagai subyek perubahan.

Mahasiswa yang dikenal sebagai kaum intelektual terdidik memang tidak bisa abai terhadap kondisi bangsanya. Dengan pendidikan yang tinggi, mahasiswa semestinya memiliki kecerdasan, keberanian, kepekaan dan kepedulian sosial, jiwa pengorbanan, kesadaran, dan semangat yang besar untuk memberikan kontribusi nyata. Kondisi Indonesia yang masih dalam kondisi memprihatinkan setidaknya membangkitkan nurani mahasiswa untuk menjadi problem solver, menjadi pemecah masalah bangsa. Ketika mahasiswa dari beragam daerah di kota Yogyakarta selesai menempuh pendidikan dan kembali ke daerah asalnya, mahasiswa tentunya akan menyaksikan beragam permasalahan yang menerpa masyarakat di daerahnya. Kemiskinan merata dimana-mana, pengangguran masih menggejala, korupsi belum mereda, masih ada penduduk yang buta aksara, sumber daya alam belum dikelola secara maksimal, dan sebagainya. Terhadap permasalahan itu, mahasiswa perlu melibatkan diri dengan bekal kompetensi yang dimilikinya. Mahasiswa yang dikatakan Arbi Sanit (1985) sebagai kelompok yang memperoleh pendidikan terbaik dan memiliki pandangan yang luas untuk dapat bergerak di semua lapisan masyarakat harapannya bisa membawa pencerahan bagi kehidupan masyarakat. Mahasiswa luar daerah harus membangun daerahnya setelah meninggalkan kota Yogyakarta!

Dengan semangat Sumpah Pemuda, mahasiswa dari beragam daerah yang berkumpul di kota Yogyakarta perlu mengumandangkan kembali sumpah setia sebagaimana diucapkan para pemuda angkatan 1928. Mahasiswa dari beragam latar belakang daerah di Yogyakarta bersumpah bertanah satu: tanah Indonesia; berbangsa satu: bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia. Dari Yogyakarta, semangat Sumpah Pemuda lahir kembali untuk mewujudkan “kemerdekaan” bagi negeri ini. Kemerdekaan dari kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan untuk terciptanya negeri Indonesia yang berjati diri dan bermartabat. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Penulis lepas, tinggal di Yogyakarta

Menantikan Kinerja SBY-Boediono

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Telaah KR Bisnis, Selasa, 27 Oktober 2009

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono sebagai presiden dan wakil presiden telah resmi mengendalikan kepemimpinan negeri ini lima tahun ke depan. Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II pun telah disusun dan ditetapkan. Dengan kehadiran pemimpin nasional 2009-2014 beserta jajaran kabinetnya harapannya mampu membawa negeri ini lebih baik. Sudah menjadi kewajiban setiap pemimpin agar mampu mengelola negeri ini agar tercipta kebaikan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Disamping menuntaskan pekerjaan di tengah kompleksitas permasalahan, pemimpin ke depan juga dituntut bergerak cepat memacu perkembangan kehidupan bangsa dan negara. SBY-Boediono dan jajaran KIB Jilid II pastinya ditunggu kinerjanya ke depan. Pada titik ini, paradigma profetik menjadi titik penting bagi SBY-Boediono dalam menjalankan roda pemerintahan. Profetik yang bermakna kenabian bukan berarti SBY-Boediono harus menantikan wahyu dari Tuhan dalam menjalankan pemerintahan.

Maksud dari paradigma profetik adalah kepemilikan pola pikir pemimpin yang siap mengambil peran sejarah meneruskan jejak-jejak kepemimpinan para Nabi dalam sikap dan tindakannya membangun negeri. Seperti halnya Nabi yang diutus Tuhan, pemimpin nasional memiliki peran membawa masyarakat pada tatanan kehidupan yang ideal, adil, makmur, dan sejahtera. Para Nabi tidak hanya mengajarkan dzikir dan do’a, tetapi mereka juga datang dengan suatu ideologi pembebasan—kata Ali Syari’ati. Pemimpin harus hidup bersama masyarakat dan berjuang memerdekakan masyarakat dari keterpenjaraan, keterpurukan, kejahilan, dan ketertindasan. Termasuk dalam hal ini adalah membebaskan masyarakat dari keterhimpitan ekonomi.

Paradigma profetik ini penting mengingat masih banyak dijumpai sebagian masyarakat yang hidup dalam ketidakpastian. Kemiskinan masih menjadi persoalan yang belum kunjung terselesaikan. Penghidupan yang kurang layak masih dirasakan sebagian masyarakat. Di tengah gemerlap kehidupan kaum elite masih dijumpai kisah pilu kehidupan kawula alit yang tidak berdaya. Di sisi lain, kehidupan bangsa ini semakin kehilangan jati diri dan karakter di tengah deru modernisasi. Korupsi tidak hanya di lingkaran kekuasaan, tapi juga merambah lingkungan pendidikan. Sikap mental pragmatis menjangkiti kehidupan masyarakat yang lebih menghargai gaya hidup instan ketimbang kepemilikan etos berproses dan daya juang. Persaingan kehidupan juga menyebarkan virus individualisme di benak masyarakat sehingga tidak ada lagi sikap saling menanggung beban dalam membangun kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Mengacu pada konsep ilmu sosial profetik dari Kuntowijoyo, SBY-Boediono sebagai pemimpin nasional 2009-2014 perlu melakukan transformasi kehidupan berbangsa dan bernegara melalui humanisasi dan liberasi yang berlandaskan transendensi. Humanisasi sebagai memanusiakan manusia menghendaki kehadiran pemimpin yang merasakan denyut nadi masyarakatnya dan tidak membiarkan kehidupan masyarakat menderita. Setiap warga negara di negeri ini memiliki hak yang sama untuk tumbuh-berkembang dan mengaktualisasikan potensi positifnya. Pemimpin harus melindungi seluruh warga negara dari perlakuan tidak manusiawi dan kekerasan. Siapa pun warga negara di republik ini harus mendapatkan perlakuan yang adil. Pemimpin harus menjamin akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas bagi setiap warga negara tanpa diskriminatif. Kehidupan masyarakat yang saling menghargai dan menghormati satu sama lain harus diciptakan.

Dengan semangat liberasi, pemimpin nasional harus memiliki kesadaran dan empati terhadap kehidupan masyarakat yang masih terpuruk dan memberikan perhatian secara seksama. Kaum miskin adalah bagian dari masyarakat negeri ini yang tentu saja berhak mendapatkan penghidupan secara layak. Membebaskan masyarakat dari keterpurukan ekonomi akibat sistem yang tidak adil adalah tanggung jawab pemimpin. Meminjam konsep Kuntowijoyo (1999), pemimpin perlu melakukan liberasi sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik yang menindas dan membelenggu masyarakat. Masyarakat perlu dibebaskan dari sistem pengetahuan yang materialistik dan dominasi struktur. Pemimpin perlu membebaskan masyarakat dari belenggu sosial dan sistem ekonomi yang justru menciptakan kesenjangan. Perlindungan terhadap masyarakat harus diberikan sehingga masyarakat dapat terus mengembangkan diri dan kehidupan sosialnya tanpa tekanan-tekanan yang mengerdilkan.

Spirit humanisasi dan liberasi pemimpin dilandasi nilai-nilai transendensi. Transendensi yang menunjuk pada persoalan ketuhanan menghendaki humanisasi dan liberasi yang tidak meninggalkan keimanan. Sebagaimana kepemimpinan para Nabi, humanisasi dan liberasi dalam membangun kehidupan masyarakat bukan diarahkan pada antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai pusat segalanya. Setiap upaya mengangkat martabat manusia dan membebaskan manusia dari ketertindasan mengajak manusia memiliki ketertundukan pada Tuhan. Transendensi menjadi dasar dan arah proses humanisasi dan liberasi dalam mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Dengan kesadaran transenden, pemimpin nasional merealisasikan titah Tuhan untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. Akhirnya kita berharap agar kepemimpinan nasional 2009-2014 mampu melakukan transformasi menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang berjati diri, bermartabat, dan bernilai. Kita nantikan kinerja SBY-Boediono dalam kepemimpinan negeri ini. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Jangan Biarkan Rakyat Kelaparan!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Gagasan Suara Merdeka, Selasa 27 Oktober 2009
Kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, selamat menjalankan amanah kepemimpinan. Presiden dan wakil presiden Republik Indonesia 2009-2004 telah dilantik dan siap berjerih payah dan bekerja tekun membangun kemaslahatan kehidupan rakyat. Kita yakin SBY-Boediono mampu melakukan itu. Dengan didukung menteri-menteri kabinet, SBY-Boediono memang wajib memperhatikan kehidupan rakyat.

Mungkin ada pesimisme memandang kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II, namun kita persilahkan dulu KIB Jilid II untuk bekerja. Kita dukung sepenuhnya SBY-Boediono beserta kabinetnya untuk berpikir, berjuang, dan berkarya membangun negeri ini. Kewajiban kita tentu akan selalu mengingatkan SBY-Boediono dan jajaran kabinetnya agar berjalan di atas rel yang lurus. Tak ada kepentingan lain bagi SBY-Boediono kecuali menjalankan kewajiban sebagai pemimpin yang sejati-jatinya. Pemimpin yang mampu bertindak benar dan berpikir lurus. Pemimpin yang selalu melayani rakyat dengan salah satu tugas pentingnya tidak akan membiarkan rakyat kelaparan sedikit pun. Menjadi tugas pemimpin untuk menyejahterakan rakyat dan membuat rakyat berdaya.

Bagi SBY yang memimpin negeri ini untuk kedua kalinya, pengalaman dan fakta lima tahun lalu hendaknya menjadi refleksi. Sungguh tak layak seorang pemimpin bangga dengan kinerjanya jika masih ada rakyatnya yang sulit mencukupi kebutuhan makannya. Busung lapar dan kelaparan adalah fakta yang masih terjadi di negeri ini. Anak-anak pun mengalami gizi buruk sehingga menghambat aktualisasi diri. Karena tak kuasa mencukupi kebutuhan pangannya, ada sebagian rakyat yang harus rela memakan “makanan sisa”. Itulah kenyataan yang hendaknya tidak akan terjadi lagi pada periode lima tahun ke depan. SBY-Boediono beserta jajaran kabinetnya harus bekerja sungguh-sungguh agar tidak ada rakyat negeri ini yang kelaparan!

SBY boleh saja mengklaim kemiskinan berangsur turun dalam periode pemerintahan sebelumnya, namun SBY tentu tak bisa menutup mata bahwa kemiskinan masih ada. Pertumbuhan ekonomi memang boleh dikatakan baik, tapi pertumbuhan ekonomi tanpa pemerataan mencerminkan ketidakadilan. Adanya kelaparan adalah imbas dari kemiskinan. Sebagian rakyat di negeri ini masih ada yang tidak berdaya secara ekonomi sehingga sulit untuk sekadar memenuhi kebutuhan pangannya.

Dengan menyaksikan adanya sebagian rakyat yang masih kelaparan, pemimpin seyogianya merasa bersalah dan berdosa. Rakyat yang kelaparan itu berada dalam tanggung jawab pemimpin. Selain kebijakan yang memberdayakan ekonomi rakyat, pemimpin juga harus memiliki empati. Yang namanya empati bukan ucapan bibir, namun kepedulian yang ditunjukkan lewat sikap dan perilaku. Sungguh bukan sesuatu yang bijak jika pemimpin dan jajarannya bermewahan di tengah rakyatnya yang masih berkubang kemiskinan. Bukan sikap yang mulia jika pemimpin dan jajarannya kekenyangan, padahal ada rakyatnya yang kelaparan. SBY-Boediono harus mampu membangun jajaran KIB Jilid II dengan sosok-sosok yang hidup sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Bukankah pemimpin yang sejati akan mengatakan lebih baik dirinya yang kelaparan daripada rakyatnya yang kelaparan? Rakyat pastinya tak ingin melihat pemimpinnya kelaparan, maka jangan biarkan rakyat kelaparan! Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro
Karangmalang Yogyakarta 55281
http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=85569

Jateng, Sarang Para Menteri

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Wacana Lokal Suara Merdeka, Selasa 27 Oktober 2009
Penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II menuai pro dan kontra. Di tengah penilaian buruk terhadap susunan kabinet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, optimisme tentu harus dikembangkan dan kita persilahkan seluruh jajaran KIB Jilid II untuk bekerja. Kabinet yang terdiri dari 3 menteri koordinator, 31 menteri, dan 3 pejabat negara yang mendukung pekerjaan kabinet ini dinantikan kinerja nyatanya.

Dari 3 menteri koordinator dalam KIB Jilid II, salah satunya berasal dari Jawa Tengah, yakni Agung Laksono. Setelah menjadi Ketua DPR periode lalu, pria kelahiran Semarang pada 23 Maret 1949 ini menjabat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Adapun dari 31 menteri, ada Suswono yang termasuk tokoh muda dalam KIB Jilid II. Dalam usia 50 tahun, pria asli Tegal ini diamanahi sebagai Menteri Pertanian menggantikan Anton Apriyanto.

Selain Agung Laksono dan Suswono, ada nama-nama menteri lainnya kelahiran Jateng. Sebut saja Purnomo Yusgiantoro, Salim Segaf Al-Jufrie, Djoko Kirmanto, dan Letjend TNI (Purn) Evert Erents Mangindaan. Jika ditambah 3 pejabat yang membantu pekerjaan kabinet, maka KIB Jilid II dipenuhi tokoh-tokoh dari Jateng. Ketua Unit Kerja Presiden Pengawas Perencana Pembangunan diamanahkan kepada pria kelahiran Purwokerto, 14 Juli 1947, yakni Kuntoro Mangkusubroto. Di posisi Kepala Badan Intelijen Negara ada Jenderal Pol (Purn) Sutanto yang dilahirkan di Pekalongan pada 30 September 1950.

Keberadaan tokoh-tokoh di atas dalam susunan KIB Jilid II pastinya akan dinantikan kiprahnya. Bangsa ini menantikan unjuk kerja menteri-menteri yang telah diasuh orang tuanya di tanah Jateng. Purnomo Yusgiantoro yang lahir di Semarang bersiap menjalankan amanah menjadi Menteri Pertahanan. Pria kelahiran 16 Juni 1951 ini kembali dipercaya SBY untuk berada di kabinet dengan posisi berbeda. Sebagai Menteri Sosial, Salim Segaf Al-Jufrie yang lahir di Solo, 17 Juli 1954, juga dinantikan kinerjanya menjadikan negara ini mampu memberikan pelayanan sosial dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Bangsa ini juga menantikan kiprah Djoko Kirmanto asal Boyolali yang lahir 5 Juli 1943 sebagai Menteri Pekerjaan Umum. Begitu juga bangsa ini menantikan kiprah pria kelahiran Solo, 5 Januari 1943, Letjend TNI (Purn) Evert Erents Mangindaan, yang menduduki posisi Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Dengan hadirnya menteri-menteri asal Jateng dalam KIB Jilid II setidaknya menegaskan potensi anak-anak bangsa dari salah satu provinsi di Pulau Jawa ini. Jika pernah suatu ketika (sebagian) masyarakat di Jateng dikagetkan dengan jaringan terorisme dan merasa takut daerahnya disebut sebagai sarang teroris, maka saatnya membangun pandangan positif bahwa Jateng adalah sarang menteri. Jateng adalah provinsi yang memiliki anak-anak bangsa yang berkualitas. Menjadi menteri merupakan amanah dan pengakuan kapasitas. Jika tidak memiliki kapasitas dan kemampuan, tidak mungkin anak-anak bangsa asal Jateng diposisikan menjadi menteri. Jateng adalah tanah subur yang mampu melahirkan anak-anak bangsa bagi ibu pertiwi.

Mari tengok menteri-menteri yang berasal dari provinsi lain di Pulau Jawa. Ada empat menteri yang berasal dari Jawa Timur, ada lima menteri dari Jawa Barat, dan empat menteri kelahiran Jakarta . Itu artinya secara kuantitas belum menyamai jumlah menteri asal Jateng. Sekali lagi, ada enam menteri KIB Jilid II kelahiran Jateng, yakni Agung Laksono, Suswono, Purnomo Yusgiantoro, Salim Segaf Al-Jufrie, Djoko Kirmanto, dan Letjend TNI (Purn) Evert Erents Mangindaan. Ditambah dua pejabat negara yang mendukung pekerjaan kabinet menjadi delapan orang. Dengan provinsi-provinsi lain di Pulau Sumetera, menteri-menteri asal Jateng masih mendominasi.

Yang menjadi catatan khusus, menteri-menteri asal Jateng tidak semuanya dari jalur partai politik. Purnomo Yusgiantoro, misalnya, berasal dari kalangan profesional. Dalam KIB Jilid II, beliau menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Lulusan Ilmu Ekonomi Sumber Daya Alam University of Colorado AS ini juga menduduki posisi menteri serupa pada periode 2001-2004. Itu artinya, beliau terhitung sosok yang berkapasitas dan mumpuni di bidangnya. Dari kalangan profesional selain Purnomo Yusgiantoro adalah Djoko Kirmanto. Dalam KIB Jilid I, beliau juga menjadi Menteri Pekerjaan Umum.

Uraian di atas bukan bermaksud menciptakan kebanggaan semu, bukan pula bermaksud menciptakan semangat kedaerahan yang negatif. Bagaimana pun, semangat kedaerahan tidak selamanya buruk asalkan dikelola secara positif. Masyarakat Jateng perlu memiliki kebanggaan bahwa di daerahnya mampu melahirkan tokoh-tokoh penting. Jateng merupakan provinsi yang menyimpan potensi-potensi luar biasa bagi republik ini. Munculnya anak-anak bangsa kelahiran Jateng yang akan berkontribusi bagi kebangunan dan kejayaan negeri ini tentu saja senantiasa dinantikan. Orang tua dan guru di sekolah perlu menanamkan motivasi bagi anak-anak (didik)-nya untuk bercita-cita tinggi dan meneruskan jejak-jejak tokoh-tokoh asal Jateng yang telah “menasional”.

Di sisi lain, menteri-menteri asal Jateng dituntut bekerja sebaik-baiknya. Posisi menteri yang diamanahkan adalah sebentuk pengabdian kepada Tuhan untuk kemaslahatan bangsa. Sudah menjadi kewajiban bagi menteri-menteri asal Jateng untuk menunjukkan kinerja positif, kontributif, dan bertanggungjawab. Satu kesalahan yang dilakukan akan berdampak buruk bagi bangsa ini dan juga Jateng sendiri.

Tegasnya, Jateng bukanlah sarang teroris. Jateng adalah tempat subur bagi lahirnya tokoh-tokoh bangsa di kemudian hari. Kini menteri-menteri asal Jateng “mengepakkan sayap” bersama menteri lainnya dalam KIB Jilid II. Mengepakkan sayap untuk membangun kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat di negeri ini.

Ya, Jateng adalah sarang menteri. Untuk bapak-bapak menteri asal Jateng, selamat bekerja. Dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan SBY, siapakah presiden yang lahir di Jateng? Tahun 2014, kenapa tidak? Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro
Penulis, tinggal di Yogyakarta
http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberitacetak&id_beritacetak=85566

Selamat Datang Kabinet Profetik 2009-2014

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Koran Wawasan, Selasa 27 Oktober 2009
SUSILO Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengumumkan dan melantik menteri-menteri yang duduk di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II. Berdasarkan susunan KIB Jilid II, ada 34 menteri dan 3 pejabat negara yang mendukung pekerjaan kabinet. Penunjukan menteri ini memang tak sepi dari sikap kontra. Ada kesan penyusunan kabinet hanya sebagai ajang bagi-bagi kekuasaan. KIB Jilid II adalah “kabinet balas jasa” dengan mendudukkan tokoh-tokoh dari parpol yang dulunya berkoalisi mendukung SBY sebagai presiden.

Jika dicermati, KIB Jilid II memang didominasi menteri-menteri dari unsur parpol. Dari kalangan profesional ada sekitar 13 menteri. Posisi menteri yang ditempati kalangan profesional, yakni Menteri Koordinator Polhukam, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri PPN/Kepala Bappenas, dan Menteri Negara BUMN. Artinya, kalangan profesional yang menjabat sebagai menteri dalam KIB Jilid II tidak ada separuhnya dari keseluruhan jumlah menteri.

Namun demikian, yang perlu digarisbawahi adalah menteri-menteri dari parpol bukan berarti semuanya tidak profesional. Ada menteri-menteri dari unsur parpol yang memiliki kapasitas dan basis pengalaman sesuai posisi menteri yang diembannya. Selama ini paradigma yang terbangun terkait kabinet profesional adalah kabinet yang mengedepankan kalangan dari nonparpol. Pendapat ini ada benarnya, namun tidaklah terlalu tepat. Kalangan profesional pada dasarnya bisa berasal dari parpol. Pandangan negatif terhadap menteri-menteri dari unsur parpol lebih didasari pengalaman selama ini bahwa pragmatisme begitu kentara menghinggapi politisi. Menteri-menteri dari kalangan parpol dikhawatirkan akan dominan membawa kepentingan parpol ketimbang kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas.

Adanya kekhawatiran dan pesimisme terhadap KIB Jilid II memang tidak dilarang dan sah-sah saja. Justru sikap kontra menjadi antisipasi dini agar kinerja KIB Jilid II benar-benar berjalan baik. Lebih dari itu, alangkah bijak jika kita mempersilahkan para menteri dalam KIB Jilid II bekerja dahulu. Setelah kita melihat kinerjanya, kita bisa memberikan penilaian.

Kabinet Profetik
Pada titik ini, harapan dan optimisme sudah selayaknya dimiliki. Kita senantiasa berharap agar para menteri dari kalangan parpol maupun nonparpol mampu bekerja nyata membangun kehidupan bangsa dan negara. Ada satu harapan agar KIB Jilid II kepemimpinan SBY-Boediono periode 2009-2014 menjadi kabinet profetik. Seperti apakah kabinet profetik?

Profetik yang bermakna kenabian bukan berarti SBY-Boediono dan menteri-menterinya harus menantikan wahyu dari Tuhan dalam menjalankan pemerintahan. Maksud dari kabinet profetik adalah kinerja kabinet yang akan membawa tatanan ideal bagi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sebagaimana kerja-kerja para Nabi yang dahulunya diutus Tuhan.

Meminjam konsep ilmu sosial profetik Kuntowijoyo, kabinet profetik berdayaupaya melakukan transformasi kehidupan berbangsa dan bernegara lewat humanisasi, liberasi, dan transendensi. Humanisasi sebagai memanusiakan manusia menghendaki kabinet yang merasakan denyut nadi masyarakat dan tidak membiarkan kehidupan masyarakat menderita. Kebijakan presiden dan para menterinya harus menempatkan setiap warga negara di negeri ini sebagai manusia Indonesia yang berhak tumbuh berkembang mengaktualisasikan potensi positifnya. Siapa pun warga negara harus mendapatkan perlakuan yang adil. Salah satu kebijakan penting adalah membuka akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas bagi setiap warga negara tanpa diskriminatif.

Dengan spirit liberasi, KIB Jilid II harus memiliki kesadaran dan empati terhadap kehidupan masyarakat. Membebaskan masyarakat dari keterpurukan ekonomi akibat sistem yang tidak adil adalah tanggung jawab KIB Jilid II. Presiden-wakil presiden dan menteri-menterinya berkewajiban membebaskan masyarakat dari sistem pengetahuan yang materialistik dan dominasi struktur. KIB Jilid II dinantikan kiprahnya untuk membebaskan masyarakat dari belenggu sosial dan sistem ekonomi yang justru menciptakan kesenjangan. Perlindungan terhadap masyarakat harus diberikan sehingga masyarakat dapat terus mengembangkan diri dan kehidupan sosialnya.

Spirit humanisasi dan liberasi KIB Jilid II di atas dilandasi nilai-nilai transendensi. Humanisasi dan liberasi dalam membangun kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara bukan diarahkan pada antroposentrisme yang menjadikan manusia sebagai pusat segalanya. Setiap upaya mengangkat martabat masyarakat dan membebaskan masyarakat dari ketertindasan tetap diarahkan pada ketertundukan terhadap Tuhan. Transendensi menjadi dasar dan arah proses humanisasi dan liberasi dalam mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Pertanyaannya kemudian, akankah KIB Jilid II mampu menjadi kabinet profetik di bawah kepemimpnan SBY-Boediono? Ya, kita nantikan! Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=34587&Itemid=62

SBY-Boediono, Selamat Memimpin Negeri!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca Lampung Pos, Rabu 21 Oktober 2009

Pelantikan Presiden-Wakil Presiden 2009-2014 dilaksanakan Selasa (20/10). Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang terpilih dalam Pilpres 2009 lalu akan secara resmi memimpin negeri ini lima tahun mendatang. Bagi masyarakat, pelantikan Presiden-Wakil Presiden pastinya disikapi beragam. Ada sebagian masyarakat yang mungkin saja akan menyaksikan hajatan pelantikan melalui siaran radio dan/ televisi. Di lain pihak, ada sebagian masyarakat yang mungkin saja tidak menaruh peduli.

Masyarakat yang masa bodoh dengan pelantikan Presiden-Wakil Presiden tentu sah-sah saja. Tak ada efeknya menyaksikan atau tidak menyaksikan prosesi pelantikan. Mungkin ada yang mengatakan akan menjadi saksi sejarah dengan menyaksikan hajatan pelantikan. Menjadi saksi sejarah boleh-boleh saja, namun perlahan prosesi pelantikan akan terlupakan. Yang penting bagi masyarakat adalah pemimpin nasional periode 2009-2014 menunjukkan kiprah nyata membangun bangsa dan negara. Masyarakat tak akan merekam acara seremonial, tapi akan merekam secara tajam kontribusi kepemimpinan SBY-Boediono yang mampu menciptakan kemaslahatan kehidupan

Dengan berlangsungnya prosesi pelantikan, masyarakat ingin agar pemimpin menyadari tanggung jawab kepemimpinannya. Sumpah/janji jabatan yang diikrarkan bukan sekadar ucapan formalitas, tapi kesadaran adanya pekerjaan besar menjadikan negeri ini lebih berjati diri dan bermartabat. Pemimpin nasional dengan mengucapkan sumpah/janji jabatan berarti menerima sepenuh jiwa pekerjaan besar membangun negeri ini. Pekerjaan besar untuk mengentaskan kemiskinan dan menjamin kelayakan hidup masyarakat yang masih tertindas dan terpinggirkan. Pemimpin nasional memiliki pekerjaan besar mewujudkan tujuan didirikannya pemerintahan negara Republik Indonesia. Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian, kemerdekaan abadi, dan keadilan sosial.

Setelah pelantikan, amanah kepemimpinan negeri ini lima tahun ke depan tentu saja berada di pundak SBY-Boediono. Amanah kepemimpinan yang juga dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Dengan kekuasaannya, SBY-Boediono harus menggunakannya untuk kebenaran. SBY-Boediono harus berlaku dan bertindak lurus membangun negeri ini untuk menggapai rahmat dan berkah Ilahi. Untuk Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono, selamat memimpin negeri ini. Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro
Karangmalang Yogyakarta 55281

http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009102106160845

Membangun “Parlemen Lebah”, Mungkinkah?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Forum Media Indonesia, Selasa 20 Oktober 2009
Pelantikan anggota DPR telah dilakukan (1/10). Pertanyaannya, mampukah anggota-anggota legislatif ke depan menunjukkan kinerja positif? Harapan terwujudnya parlemen yang bersih, bertanggung jawab, profesional, dan kontributif tentu tak boleh pupus. Pada titik ini, ada harapan agar wajah parlemen periode mendatang seperti sekawanan lebah. Parlemen harus menjadi ”parlemen lebah”. Ada beberapa sifat lebah yang perlu dimiliki anggota DPR.

Pertama, lebah menyukai kebersihan. Lebah hinggap di tempat yang bersih, menyerap hanya yang bersih, dan mengeluarkan sesuatu yang bersih. Artinya, anggota DPR berkewajiban mewujudkan lembaga parlemen yang bersih dan tidak terkotori oleh perilaku kebusukan, seperti korupsi, manipulasi, perselingkuhan, dan penyalahgunaan jabatan. Tidak seperti binatang lainnya, lebah mengeluarkan sesuatu yang bermanfaat dari dalam tubuhnya. Madu yang dikeluarkan lebah bermanfaat bagi kesehatan manusia, bahkan konon air liurnya juga memiliki manfaat. Dengan memegang filosofi lebah, anggota DPR harus mampu mengeluarkan produk yang berkontribusi bagi terwujudnya kemaslahatan kehidupan masyarakat. Produk hukum dan perundang-undangan yang dihasilkan harus memperhatikan kepentingan bangsa dan negara.

Kedua, lebah tidak merusak dan tidak melukai jika tidak diganggu. Lebah tidak mematahkan ranting yang dihinggapinya dan tidak melakukan perusakan, bahkan justru melakukan perbaikan-perbaikan. Dengan demikian, anggota DPR harus terus-menerus menciptakan perbaikan-perbaikan, menentang kezaliman, dan menghentikan kemungkaran. Seperti lebah yang hanya menyerang jika diganggu, anggota-anggota parlemen akan menyerang setiap tindakan yang merugikan masyarakat, bangsa, dan negara. Anggota-anggota parlemen siap mempertahankan aset-aset strategis negara agar bisa dimanfaatkan sebesar-sebesar untuk kesejahteraan masyarakat. Ketiga, lebah adalah pekerja keras. Dalam proses kehidupannya, lebah tidak pernah surut bekerja sejak menetas. Dengan semangat mengabdi, anggota DPR harus memiliki spirit beramal bagi kepentingan masyarakat. Anggota DPR perlu merasakan penderitaan masyarakat dan bekerja nyata penuh pengabdian.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281

Mengupas Pemikiran Pendidikan Soekarno

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Buku Harian Jogja, Kamis 15 Oktober 2009


Judul Buku:Pendidikan di Mata Soekarno; Modernisasi Pendidikan Islam dalam Pemikiran Soekarno Penulis: Syamsul Kurniawan Penerbit: Ar-Ruzz Media, Yogyakarta Cetakan: I, Juli 2009 Tebal: 224 hlm

Nama Soekarno tidak hanya disegani di Indonesia, tapi juga di dunia. Sebagai pejuang kemerdekaan dan presiden pertama negeri ini, Soekarno sangat menentang setiap bentuk imperialisme dan neokolonialisme. Kiprah dan pemikiran Soekarno terekam dalam catatan-catatan sejarah. Telah banyak diterbitkan buku yang menceritakan perjuangan dan kehidupan Soekarno. Dari sekian banyak buku itu ternyata kurang menggali pemikiran Soekarno dalam aspek pendidikan. Buku “Pendidikan di Mata Soekarno; Modernisasi Pendidikan Islam dalam Pemikiran Soekarno” yang disusun Syamsul Kurniawan ini pastinya menjelaskan kenyataan jika Soekarno juga menaruh perhatian pada aspek pendidikan dan terutama pendidikan Islam.

Ketika Soekarno menaruh perhatian terhadap pendidikan Islam mungkin ada yang keheranan. Pasalnya, Soekarno selama ini tidak dikenal sebagai tokoh dan pemimpin muslim. Keheranan itu setidaknya perlu dihilangkan karena sebenarnya Soekarno juga mendalami Islam, bahkan pernah berkecimpung dalam salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di negeri ini. Bahkan, tokoh Islam dari luar Indonesia seperti Jamaluddin Al-Afghani diakui memberikan pengaruh pada pemikiran Soekarno.

Dikatakan penulis buku, pendidikan Islam menjadi salah satu perhatian Soekarno karena dapat dipakai sebagai sarana transformasi masyarakat muslim Indonesia. Dalam pandangan Soekarno, pendidikan Islam merupakan arena untuk mengasah akal, mempertajam akal, dan mengembangkan intelektualitas. Integrasi ilmu ditekankan Soekarno dimana pendidikan Islam tidak harus mendikotomikan ilmu agama dan ilmu umum. Esensi ilmu agama dan ilmu umum pada dasarnya tidak berbeda yang bertujuan mengabdi pada Tuhan sebagai jalan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Ditelisik lebih mendalam, peran akal bagi Soekarno memiliki posisi penting dalam setiap langkah kehidupan manusia. Bagi Soekarno, hanya dengan cara tersebut kemajuan di bidang ilmu dan teknologi dapat diraih yang pada gilirannya membawa kebangkitan Islam. Soekarno menyebut bahwa ”motor” hakiki dari semua rethinking of Islam adalah kembalinya penghargaan terhadap akal. Soekarno menegaskan perlu difungsikannya akal agar umat Islam mampu bangkit dari keterlelapan. Umat Islam harus berani melepaskan diri dari ”penjara taqlid” dan memberanikan diri untuk menatap masa depan yang sarat dengan kompetisi dan kompleksitas kultur dan ilmu pengetahuan (hlm 26).

Pemikiran Soekarno terkait aspek pendidikan juga menyoroti posisi perempuan. Perempuan harus diberi hak yang sama dengan laki-laki untuk mampu memberdayakan diri dan berkontribusi bagi kehidupan. Soekarno menentang pendidikan Islam yang memarjinalkan kaum perempuan. Tak kalah menariknya, Soekarno membahas pentingnya guru dalam proses pendidikan. Menurut Soekarno, guru tidak sekadar ahli dalam bidangnya, tapi hendaknya mampu menjadi teladan. Soekarno pernah berkata, ”Hanya guru yang benar-benar Rasul Kebangunan dapat membawa anak ke dalam alam kebangunan. Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan dapat ”menuntun” kebangunan ke dalam jiwa anak...”.

Apa yang dipaparkan penulis buku yang mengupas pemikiran Soekarno terkait aspek pendidikan (Islam) tentunya menarik untuk disimak. Mungkin saja apa yang disuguhkan dalam buku ini menyimpan kekurangan, maka tak ada salahnya muncul buku-buku selanjutnya yang mengupas pemikiran Soekarno terkait pendidikan. Pun, tak ada salahnya muncul pula buku yang melakukan pendekatan kritis terhadap pemikiran pendidikan Soekarno untuk menambah dialektika pemikiran di bidang pendidikan.
HENDRA SUGIANTORO
Peresensi bergiat di Transform Institute Yogyakarta

Harga Mati Kabinet Profesional

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Forum Media Indonesia, Selasa 13 Oktober 2009

Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono melenggang menuju tampuk kepemimpinan nasional lima tahun ke depan. Salah satu pekerjaan yang kini menanti adalah penyusunan komposisi kabinet. Pada dasarnya, pembentukan kabinet tidak melulu berkutat pada personal menteri yang akan ditunjuk, tapi juga penilaian terhadap efektivitas jalannya pemerintahan.

Dalam hal ini, presiden terpilih sekiranya juga perlu mengevaluasi jalannya pemerintahan lima tahun lalu dan membaca realitas dan tantangan di masa depan dalam pembentukan kabinet. Departemen yang tumpang tindih tidak ada salahnya digabung demi efisiensi anggaran dan efektivitas dalam kinerja. Sebut saja Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian bisa digabung menjadi Departemen Perdagangan dan Industri atau Departemen Kehutanan dan Departemen Pertanian digabung menjadi Departemen Kehutanan dan Pertanian karena memiliki wilayah kerja tidak berbeda.

Pembentukan kabinet berdasarkan kebutuhan dan efektivitas tentu presiden terpilih yang memiliki hak prerogatif. Begitu juga dengan orang-orang yang mengisi pos-pos menteri. Pada titik ini, kabinet profesional dengan menteri-menteri yang kapabel mengurusi bidangnya merupakan keniscayaan. Presiden terpilih seyogianya memilih pembantunya berdasarkan kapabilitas dan kapasitas. Menurut peneliti LIPI, Syamsuddin Haris, bahwa kabinet yang diisi kaum profesional akan membuat pemerintahan lebih fokus dan mampu meningkatkan kinerja.

Pada dasarnya, orang yang profesional bisa diambil dari kalangan manapun. Tidak menutup kemungkinan orang profesional itu berasal dari parpol. Maka, jika nantinya harus mengambil menteri dari parpol harus benar-benar orang yang profesional alias tidak sekadar bagi-bagi kursi tanpa jelas kualitasnya. Pihak parpol juga harus memiliki kesadaran tidak merengek meminta jabatan menteri. Alangkah lebih baik jika komposisi kabinet mendatang didominasi kalangan profesional nonparpol untuk meminimalisasi konflik antara kepentingan parpol dan kepentingan negara.

Singkat kata, kabinet profesional merupakan harga mati. Selain diisi oleh menteri-menteri yang memiliki kapasitas dan kapabilitas, kabinet profesional juga menghendaki menteri-menteri yang berintegritas moral. Dalam menjalankan tugasnya, kabinet mendatang disatukan dalam cita-cita mulia: membangun gedung Indonesia agar lebih sempurna dan mewujudkan kemaslahatan masyarakat. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281

Surat untuk Pemimpin

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan Harian Jogja, Jum'at 9 Oktober 2009

Setelah pelantikan anggota DPR (1/10), presiden-wakil presiden terpilih berdasarkan hasil Pilpres 2009 lalu akan menyusul dilantik. Tentu saja, tidak ada harapan lain bagi kita agar pemimpin nasional negeri ini nantinya mampu menjalankan roda pemerintahan sebaik-baiknya. Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dalam periode 2009-2014 harus siap berjuang dan berkorban untuk terwujudnya kemaslahatan kehidupan rakyat. Menjadi kewajiban pemimpin untuk tidak boleh membiarkan kehidupan rakyatnya tertindas dan diliputi kenestapaan.

Maka, pemimpin nasional sudah sewajarnya hidup bersama rakyat dan merasakan keprihatinan rakyatnya. Jika ada rakyatnya yang hidup kekurangan, pemimpin tentu harus merasa bersalah. Pemimpin akan merasakan kesedihan jika masih ada dari sebagian rakyatnya kelaparan. Jika sebagian rakyat di negeri ini masih hidup terpuruk tanpa kepastian masa depan, pemimpin pastinya tidak bisa tidur nyenyak. Tidak berhenti pada kesedihan dan merasakan penderitaan semata, pemimpin harus segera bertindak nyata membebaskan rakyatnya dari penderitaan dan keterpurukan.

Sebagaimana Rasulullah SAW pernah berkata bahwa kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan, maka presiden-wakil presiden 2009-2014 nantinya harus siap mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Pemimpin perlu menyadari bahwa pertanggungjawaban kepemimpinannya tidak kepada manusia semata, tapi juga kepada Allah SWT. Apapun kebijakan yang diambil pemimpin pasti dimintai pertanggungjawaban sehingga sudah sepatutnya menggariskan kebijakan yang tidak menyengsarakan rakyatnya. Pemimpin harus benar-benar menyejahterakan rakyat. Tidak sekadar retorika, tapi benar-benar bertindak nyata agar seluruh rakyat di negeri ini bisa hidup secara layak. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281

Pengusaha, Pemimpin Nasional?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Telaah KR Bisnis, Jum'at 9 Oktober 2009

Pembicaraan mengenai pengusaha menjadi pemimpin boleh jadi tak asing lagi. Pada dasarnya, seorang pengusaha adalah pemimpin dalam usaha atau kegiatan dagangnya. Yang menjadi pembicaraan menarik adalah jika seorang pengusaha menjadi pemimpin dalam lingkup negara. Artinya, seorang pengusaha menjadi pemimpin nasional. Para pengusaha yang menempati posisi-posisi penting dalam pemerintahan memang sudah terlihat sejak lama, namun belum pernah seorang pengusaha berada di posisi pemimpin negara. Mungkinkah seorang pengusaha bisa menjadi pemimpin nasional?

Pertanyaan di atas menarik untuk disimak. Fenomena pengusaha akan menempati posisi kepemimpinan nasional sebenarnya mulai terasa gelagatnya beberapa tahun belakangan ini. Jusuf Kalla yang masih menjabat sebagai wakil presiden pun adalah pengusaha meskipun mengakui meninggalkan kegiatan usahanya ketika menjadi orang nomor dua di republik ini. Bahkan, beliau pun menjadi salah satu capres pada Pilpres 2009 lalu meskipun akhirnya gagal melenggang ke Istana Negara.

Yang teraktual, fenomena pengusaha menjadi pemimpin tidak terbatas dalam lingkup perusahaan tampaknya semakin menguat ketika pekan ini terjadi pertarungan menuju tahta puncak Partai Golongan Karya. Seperti diketahui, Musyawarah Nasional parpol pohon beringin itu telah dimulai sejak Senin (5/10)lalu dan berakhir Kamis (8/10)di Pekan Baru, Riau. Ada tiga kandidat kuat menuju posisi nomor satu Partai Golkar, yakni Surya Paloh, Aburizal Bakrie, dan Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto). Ketiga orang itu dikenal malang-melintang dalam usaha dan pengembangan usahanya. Siapa pun yang terpilih, tokoh pengusaha seolah-olah telah menjadi “manusia pilihan” untuk mengendalikan organisasi politik. Pertanyaannya kemudian, apakah mencuatnya nama-nama pengusaha menjadi pemimpin organisasi politik merupakan “takdir zaman”? Akankah kepemimpinan nasional negeri ini pada periode mendatang dipegang oleh tokoh pengusaha?

Tak dimungkiri jika politik tidak mungkin berjalan tanpa modal. Modal yang dimaksud salah satunya adalah sumber daya finansial. Kehadiran pengusaha seakan-akan dibutuhkan agar parpol bisa terus eksis. Pada titik ini, anggapan beberapa pihak bahwa telah terjadi pragmatisme politik tak terhindarkan. Kekuatan modal finansial dijadikan ukuran menentukan keberlayakan seseorang menjadi pemimpin. Politik segalanya diukur dengan uang, uang, dan uang. Anggapan seperti itu sah-sah saja meskipun tidak sepenuhnya tepat. Disadari atau tidak, kemampuan finansial sepertinya akan menjadi acuan dalam menentukan calon pemimpin disamping kapabilitas dan integritas.

Naiknya tokoh pengusaha menduduki posisi kepemimpinan nasional seolah-olah menegaskan tesis Anies Baswedan (2006). Disebut Rektor Universitas Paramadina itu bahwa ”mereka” yang pada era 1990-an ke atas berkecimpung dalam dunia pasar/bisnis akan menjadi ruling elite di negeri ini pada 2020-an ke atas. Adapun maksud ruling elite adalah sekelompok elite—di antara elite lain—yang berkuasa menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Itu bisa diartikan bahwa kelompok pengusaha akan menempati posisi utama mengendalikan kehidupan berbangsa dan bernegara sekitar 20 tahun mendatang.

Yang menarik, ”mereka” yang disebut Anies Baswedan adalah kaum muda. Kaum muda yang saat ini bergelut dan menekuni dunia bisnis akan bersinar cemerlang menjadi penentu arah bangsa dan negara pada saat mendatang. Mereka akan berada dalam formasi elite negeri ini. Tesis ini didasarkan pada trend utama bangsa. Trend utama bangsa berubah dari satu masa ke masa berikutnya seiring perjalanan sejarah. Artinya, anak-anak muda yang pada masa mudanya terlibat dalam trend utama akan menjadi aktor-aktor di dalam ruling elite setelah mencapai kematangan. Bagaimana trend utama bangsa ini dari waktu ke waktu dijelaskan?

Jika melihat sejarah, maka akan ditemukan fakta bahwa keturunan (hereditas) dan derajat sosial menjadi formasi elite negeri ini sebelum abad 19. Trend bergeser dengan munculnya lembaga pendidikan modern sejak 1901. Kaum muda yang mendapatkan pendidikan modern pada era 1900-an sampai 1930-an akhirnya menjadi ruling elite pada 1940-an sampai 1960-an. Bung Karno, Bung Hatta, dan Syahrir adalah tokoh yang bisa disebut di sini. , tren utama bangsa lebih pada upaya mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan wilayah negara, maka rekrutmen anak muda untuk memasuki ranah militer dilakukan. Anak muda yang tertempa dalam perjuangan fisik dan pendidikan militer pada 1940-an sampai 1960-an mengalami kematangan pada 1970-an ke atas. Di era 1970-an sampai 1990-an formasi elite Indonesia akhirnya beralih di tangan militer. Maka, bukan hal yang aneh ketika di masa Orde Baru begitu didominasi militer dalam pusat-pusat kekuasaan. Soeharto sendiri sebagai presiden saat itu juga dilahirkan dari rahim militer.

Trend terus berubah. Pada 1960-an sampai 1990-an, organisasi kemahasiswaan menjadi wahana rekrutmen pemimpin muda. Setelah berkecimpung menjadi aktivis kampus, kaum muda kemudian cukup piawai menjadi aktor politik dan menggerakkan parpol. Akhirnya, pada era 2000-an ke atas menjadi ruling elite menggantikan dominasi militer sebelumnya. Pada 2020-an mendatang, lingkaran elite akan didominasi kalangan entrepreneur dan profesional bisnis. Mungkin hal tersebut bukan berlebihan karena fakta kegiatan paling dominan mewarnai bangsa saat ini adalah aktivitas ekonomi.

Pemimpin nasional dari kalangan pengusaha memang dimungkinkan terjadi. Gelagatnya sudah terasa belakangan ini. Yang perlu diperhatikan, dominasi kalangan pengusaha akhir-akhir ini dalam dunia politik diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi pemberdayaan masyarakat. Dengan kelebihan sumber daya kapitalnya, para pengusaha bisa ikut mendorong laju pembangunan terutama memberdayakan kelompok masyarakat miskin agar bisa mandiri dan berpenghidupan secara layak. Itu yang dinantikan, bukan malah menjadikan arena politik untuk kepentingan pribadi dan memuluskan usaha dagangnya. Jika benar bahwa kalangan pengusaha beberapa tahun mendatang akan menduduki posisi elite, maka saat ini merupakan proses pematangan. Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro
Pegiat Transform Institute, Universitas Negeri Yogyakarta

Berpikir Tidak Membuat Cepat Tua!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca Suara Merdeka, Selasa 6 Oktober 2009

Pernahkah kita mendengar pernyataan, “Berpikir terus, cepat tua lho!” Kalimat itu mungkin sekadar bercanda, tapi memunculkan kegelisahan. Disadari atau tidak, ungkapan seperti itu menandakan adanya cara pandang keliru di benak kita. Yang memprihatinkan, berpikir sering kali dianggap sebagai pekerjaan yang tiada berguna. Mungkin saja dari kita malah tidak pernah berpikir dalam menjalani kehidupan. Kita hanya menjalani rutinitas sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Padahal, berpikir itu penting. Kita sebagai manusia memang dituntut untuk senantiasa berpikir.

Dengan berpikir, kita mampu memandang kehidupan secara bijak. Berpikir tidak membuat kita cepat tua. Kita menjadi tua karena proses penuaan secara alami, bukan karena berpikir. Allah SWT pun menganjurkan kepada kita untuk senantiasa memikirkan penciptaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalamnya. Berpikir bukanlah pekerjaan sia-sia. Kita berpikir tidak terbatas waktu dan ruang. Artinya, kita perlu berpikir dimanapun dan kapanpun. Dengan berpikir, kita mengambil pelajaran.

Sebagai misal ketika kita mendengar berita lelayu dan kematian tetangga kita, kita pun berpikir pasti suatu saat akan mengalami hal serupa. Ketika bangun dari tidur, kita juga berpikir bahwa ternyata kita masih bisa membuka mata dan bernafas. Tujuan dari memikirkan hal itu adalah agar kita senantiasa terbingkai dalam kebaikan, mengingat kematian, dan mensyukuri nikmat Allah SWT. Ketika kita memikirkan kematian seseorang, kita akan takut melakukan korupsi dan berbuat kejahatan karena bisa sewaktu-waktu dijemput kematian. Saat keluar rumah melihat sampah bertumpuk di jalan, kita berpikir menciptakan lingkungan yang bersih. Jika kita memikirkan bencana banjir, maka kita tidak akan membuang sampah sembarangan. Melalui berpikir, kita menyadari bahwa sampah sekecil apapun yang kita buang sembarangan ikut menyebabkan banjir.

Berpikir harus dibedakan dengan angan-angan. Kebanyakan dari kita lebih banyak berangan-angan ketimbang berpikir. Berpikir itu berjalan beriring dengan aktivitas kehidupan kita setiap hari. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, kita perlu berpikir. Ada banyak hal yang perlu kita pikirkan setiap hari, bahkan tiap detik. Daun yang jatuh dari pohon, gempa bumi yang berguncang, kasus kriminalitas, kecelakaan di jalan raya, dan segala sesuatu yang kita lihat, rasakan, dan dengar perlu kita pikirkan. Kita dikatakan telah berpikir secara benar apabila proses berpikir kita semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT, perilaku kita menjadi baik, dan tumbuh kesadaran menjadi solusi dari permasalahan sekitar. Manusia telah dianugerahi akal oleh Allah SWT. Itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Jika kita malas berpikir? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281

Penting, Mahasiswa Antikorupsi!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Kampus Suara Merdeka, Sabtu 3 Oktober 2009
Gerakan Mahasiswa Peduli Antikorupsi (Gempar) dideklarasikan di kampus Universitas Negeri Semarang (Sabtu. 12/9). Deklarasi yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) Unnes beserta mahasiswa baru ini dilakukan di gedung Auditorium Unnes dan disaksikan Pembantu Rektor III Unnes Drs Masrukhi MPd, staf fungsional KPK Yudi Purnomo Harahap, dan Ditjen Dikti Ir Hendarman MSc (Suara Merdeka, 14/9).

Pendeklarasian sebuah gerakan antikorupsi di kampus pastinya layak diapresiasi. Meskipun bukan hal yang baru, pendeklarasian Gempar menandakan spirit kepedulian terhadap kondisi faktual korupsi di negeri ini. Munculnya sebuah gerakan dari kampus, maka kian menguatkan agenda pemberantasan korupsi. Dalam deklarasi Gempar di kampus Unnes disebutkan bahwa mahasiswa siap mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, mendorong pemerintah dan aparat penegak hukum agar terus melakukan pemberantasan korupsi, melaporkan segala bentuk tindakan korupsi yang terjadi di dalam masyarakat, mendukung Aliansi Gempar sebagai lembaga pusat kajian antikorupsi BEM KM Unnes, mendukung disahkannya RUU Tipikor, serta menolak untuk melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan korupsi.

Dengan lahirnya sebuah gerakan perlawanan terhadap korupsi seperti terjadi di Unnes dan kampus-kampus lainnya setidaknya juga menjadi refleksi bagi mahasiswa sendiri. Hal ini sekiranya perlu ditekankan mengingat lahirnya sebuah gerakan antikorupsi tak otomatis menjamin pribadi mahasiswa bersih dari korupsi. Sikap kritis memang perlu dilakukan, namun mengkritisi diri sendiri merupakan modal awal dalam sebuah gerakan. Dengan tidak menaruh apriori, mahasiswa sering kali malah melegalkan korupsi dalam sikap dan perilakunya. Benarkah mahasiswa sudah benar-benar bersih dari korupsi?

Pertanyaan reflektif yang pastinya hanya bisa dijawab oleh masing-masing mahasiswa. Ada banyak hal yang bisa kita sebut di sini. Dalam mid semester dan ujian akhir semester yang menuntut close book, apakah mahasiswa telah menghindari perilaku mencontek? Fakta tak dimungkiri jika perilaku mencontek telah menggejala. Jika pangkal dari antikorupsi adalah kejujuran, maka mahasiswa seyogianya menegakkan kejujuran dalam dirinya. Tanpa harus diawasi, nurani mahasiswa menolak ketidakjujuran.

Sikap perlawanan terhadap korupsi terhadap kemelut permasalahan korupsi di negeri ini hendaknya dibarengi dengan kebersihan diri secara personal. Di sinilah, gerakan antikorupsi di kampus menemukan maknanya. Gerakan antikorupsi juga berarti melawan korupsi dalam diri. Plagiatisme tentunya adalah korupsi! Mahasiswa dituntut memiliki kejujuran akademik dalam penyelesaian tugas-tugas kuliahnya. Menggunakan fasilitas organisasi kemahasiswaan (Ormawa) bukan untuk kepentingan organisasi juga korupsi. Meskipun hanya dua lembar kwarto untuk kepentingan pribadi tetaplah korupsi karena kertas itu adalah milik organisasi.

Gerakan antikorupsi yang dipelopori mahasiswa adalah sebentuk tanggung jawab intelektual. Begitu juga membersihkan korupsi di dalam kampusnya sendiri. Meskipun gerakan antikorupsi lahir dari kampus bukan berarti kampusnya lantas bersih dari korupsi. Birokrasi kampus selayaknya dibersihkan dari korupsi. Budaya kerja tertib dan bertanggung jawab harus dibangun dalam lingkup birokrasi kampus.

Nyata senyatanya, korupsi memang wajib diberantas. Pemberantasan korupsi dalam lingkup negara harus dibarengi dengan pemberantasan korupsi dalam lingkup kampus. Mahasiswa wajib memberantas dirinya dari perilaku korupsi. Pun, bersihkan birokrasi kampus dari korupsi.

Sebagai iron stock alias cadangan masa depan, mahasiswa adalah generasi penerus kepemimpinan negeri ini. Mata rantai korupsi harus diputus selekas mungkin. Para pejabat negara yang tersangkut korupsi adalah keluaran dari bangku pendidikan/kampus. Ketika menjadi mahasiswa teriak-teriak antikorupsi, tapi malah korupsi ketika dilenakan kekuasaan. Jangan sampai mahasiswa yang saat ini duduk di bangku kuliah dan berteriak-teriak antikorupsi justru melanggengkan perilaku korupsi ketika duduk di kursi kekuasaan. Kuncinya, lawan korupsi dalam diri sendiri. Mahasiswa wajib membentuk perilaku antikorupsi dalam dirinya. Jika setiap mahasiswa menginternalisasikan nilai-nilai antikorupsi dalam dirinya, maka menjadi sinergi kekuatan masa depan negeri ini. Antikorupsi, jalan terus! Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Profetik Student Center (Pro-SC) Universitas Negeri Yogyakarta

Memaafkan Sepanjang Waktu

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan Harian Jogja, Kamis 1 Oktober 2009

Kita adalah manusia yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Kesalahan kita bisa bersifat horisontal kepada sesama manusia. Dalam melakukan interaksi sosial, kita sebagai manusia sering kali mengalami gejolak dan konflik. Mungkin saja di antara kita merasa tersakiti dan terzalimi oleh perkataan, sikap, dan perbuatan orang lain. Pun, kita sering kali menyakiti dan menzalimi orang lain. Maka, saling memaafkan merupakan sikap yang tepat untuk meleburkan kesalahan. Kearifan sikap saling memaafkan itu senantiasa mengemuka saat momentum Lebaran dan Syawalan.

Meskipun saat Lebaran dan Syawalan identik dengan maaf-memaafkan, namun sikap saling memaafkan pada dasarnya tidak terbatas pada momentum tertentu. Artinya, saling memaafkan bisa dilakukan setiap saat. Jika kita merasa telah berbuat salah kepada orang lain, kita pun sesegera mungkin meminta maaf. Bahkan, sebuah kemuliaan tersendiri jika kita bisa memaafkan kesalahan orang lain. Meskipun mungkin orang lain tidak meminta maaf, kita dengan sendirinya memaafkan kesalahannya tanpa harus menyimpan perasaan sakit hati atau dendam. Kita bisa memaklumi dan memaafkan orang lain tanpa harus mencaci-maki atau mengumpat orang lain yang berbuat salah kepada kita.

Jika kita mau merenung, sungguh tak layak bagi kita mencaci-maki, bahkan mengungkapkan kesalahan orang lain kepada khalayak. Bukankah kita juga sering kali berbuat kesalahan? Mengapa kesalahan orang lain dibesar-besarkan, padahal kita sendiri tidak luput dari kesalahan? Kita justru harus berbahagia jika bisa memaafkan kesalahan orang lain dan tidak berkeberatan meminta maaf jika berbuat salah. Dalam Al-Qur’an, memaafkan kesalahan orang lain begitu ditekankan. Kita sebagai manusia semestinya bisa menahan amarah dan bersabar terhadap kesalahan orang lain. Allah SWT berfirman, “...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. An-Nuur:22). Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman, “…orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.”(Qs. Asy-Syura:43).

Dengan suka memaafkan orang lain insya Allah memberikan pahala tersendiri. Bahkan, hasil dari berbagai penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kerelaan dan kerendahan hati untuk memaafkan berdampak bagi kesehatan fisik dan kejiwaan kita. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281