Tak Usainya Nestapa Palestina




Oleh:HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bedah Buku Kedaulatan Rakyat, Minggu, 22 Februari 2009

Judul Buku
Air Mata Palestina
Penyusun
Ahmad Ghazali Khairi&Amin Bukhari
Penerbit
Hi-Fest Publishing Jakarta
Cetakan I
2009
Tebal
300 halaman
DALAM setiap peperangan selalu menghadirkan korban. Yang menyedihkan, korban dari peperangan itu adalah anak-anak kecil yang masih memiliki hari depan. Seperti kita saksikan sekitar awal tahun 2009 ini, anak-anak Palestina harus menerima perlakuan di luar batas manusiawi. Anak-anak Palestina harus berguguran diterpa mesin perang, entah dari udara, laut ataupun darat.
Apa yang terjadi di awal tahun ini di Palestina, khususnya Jalur Gaza, tentu saja merupakan episode panjang kepiluan. Sejak berpuluh-puluh tahun lalu, Palestina senantiasa berkobar. Tidak hanya anak-anak, perempuan pun harus menjemput kematian akibat serangan militer Israel. Ide Zionisme yang berkehendak mendirikan negara di atas tanah bangsa lain telah menimbulkan luka mendalam bagi rakyat Palestina.

Dilihat dari sudut pandang sejarah, Zionis Israel Yahudi sebenarnya tidak memiliki akar sejarah sebagai penduduk asli Palestina. Kedatangan mereka di tanah Palestina pada akhir periode sebelum lahirnya Isa bin Maryam sampai permulaan masehi bukanlah sebagai pemilik, tetapi sebagai imigran dari Mesir. Begitu juga kedatangan mereka ke tanah Palestina saat ini yang berujung pada kolonialisasi. Sebelum masuknya bangsa Israel, Palestina telah dihuni oleh bangsa Kanaan yang merupakan nenek moyang bangsa Arab Palestina saat ini. Ini disebutkan dalam Kitab Bilangan XIII ayat 17-18, ”Maka Musa menyuruh mereka mengintai tanah Kanaan...dan mengamat-amati keadaan negeri itu; apakah bangsa yang mendiaminya kuat atau lemah, apakah mereka sedikit atau banyak.” (hal. 16).
Maka, tak heran jika Menlu Hassan Wirajuda pernah mengatakan bahwa masalah inti di Palestina adalah penjajahan Israel. Oleh karena itu solusinya adalah pembentukan negara Palestina merdeka. Tentu saja, solusi itu menjadi tekad dan cita-cita bersama masyarakat bijak yang memahami makna sebuah kehidupan aman, damai, dan dipenuhi kebaikan. Masyarakat yang bijak tidak menghalalkan penindasan dan penjajahan, tapi justru berupaya menciptakan tatanan kehidupan dimana masing-masing bangsa saling menghormati dan bergerak bersama menuju tatanan dunia penuh berkah Ilahi.
Meskipun belum mendekati kesempurnaan, buku ini paling tidak bisa memperkaya referensi pembaca terkait negeri Palestina. Kondisi geografi Palestina coba dijelaskan termasuk keberadaan tempat-tempat suci di bumi Palestina. Buku ini juga memaparkan sejarah konflik Palestina-Israel. Pun, sejarah singkat berdirinya Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Fatah, dan Hamas diulas dalam buku ini. Melalui buku ini, kita diajak untuk menyelami persoalan Palestina dan menyadari bahwa Palestina adalah sebuah negara yang tentu berhak hidup merdeka tanpa terus tercekam akibat penindasan Israel. Mungkinkah air mata Palestina berhenti mengalir?
HENDRA SUGIANTORO,
Pegiat forum El-Pena di Yogyakarta

Satu Cita Palestina Merdeka

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca Lampung Post, Jum'at 20 Februrai 2009
MASALAH inti di Palestina adalah penjajahan Israel atas Palestina. Oleh karena itu, solusinya adalah pembentukan negara Palestina merdeka.
Pernyataan tersebut disampaikan Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda pada acara Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri di Departemen Luar Negeri, Jakarta, Sabtu (6-1).
Apa yang disampaikan Hassan Wirajuda itu jelas menjadi tekad dan cita-cita bersama masyarakat bijak yang memahami makna sebuah kehidupan aman, damai, dan dipenuhi kebaikan. Masyarakat yang bijak tidak menghalalkan penindasan dan penjajahan, tapi justru berupaya menciptakan tatanan kehidupan di mana masing-masing bangsa saling menghormati dan bergerak bersama menuju tatanan dunia penuh berkah Ilahi.

Namun sayangnya, cita-cita masyarakat bijak itu sepertinya menjauh dari pandangan para pembesar negara Israel atas perilaku tidak bijaknya membombardir Jalur Gaza Palestina. Para pembesar negara Israel seolah-olah tidak kapok melakukan pembantaian sadis terhadap ratusan nyawa manusia.
Tidak hanya di Jalur Gaza saat ini, kita juga melihat ratusan nyawa berguguran pada tahun-tahun sebelumnya oleh pasukan perang Israel. Para pembesar negara Israel sepertinya tidak merasa berdosa menginstruksikan pasukan perangnya melakukan perbuatan tidak beradab di tanah bangsa lain.
Di titik awal 2009 ini, ratusan penduduk Jalur Gaza seperti hendak ditenggelamkan dalam memori kesadisan dan kebiadaban panjang negeri ide gila paham Zionis itu.
Menatap dengan air mata tragedi di negara Palestina, Richard Falk pun tak mau membisu. Pakar HAM PBB di wilayah Palestina itu secara lantang menyatakan bahwa para pimpinan pemerintahan Israel telah absah diseret ke Pengadilan Kriminal Internasional.
Richard Falk yang juga seorang profesor hukum Amerika keturunan Yahudi menyatakan bahwa Israel pantas dituntut secara hukum dengan tuduhan melakukan "kejahatan terhadap kemanusiaan". Apa yang diungkapkan Richard Falk itu tentu saja mewakili perasaan jutaan manusia bernurani ciptaan Tuhan di muka bumi ini.
Yang terang, para pembesar Israel berwatak Zionis amat berbahaya bagi kebahagiaan kehidupan. Otak para pembesar Israel harus dicuci bersih dari paham zionisme yang sejatinya jauh dari agama. Harun Yahya mengatakan orang-orang Yahudi yang merupakan para mentor ideologis utama dari zionisme memiliki keimanan yang lemah terhadap agama mereka, bahkan kebanyakan dari mereka adalah ateis.
Zionisme yang muncul pada abad ke-19 menganggap agama Yahudi bukan sebagai sebuah agama, melainkan sebagai nama suatu ras. Mereka meyakini bahwa masyarakat Yahudi mewakili suatu ras tersendiri dan terpisah dari bangsa-bangsa Eropa.
Dan karena itu, mustahil bagi orang Yahudi untuk hidup bersama mereka, sehingga bangsa Yahudi memerlukan tanah air tersendiri bagi mereka. Ide kepemilikan tanah air itulah yang menciptakan tangis pilu dan darah di wilayah Palestina dan wilayah Timur Tengah.
Dengan tekad dan cita-cita mewujudkan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, masyarakat bijak perlu menyingkirkan paham zionisme itu dari panggung kehidupan.
Tiar Anwar Bachtiar (2006) dalam catatannya menjelaskan bahwa sejak awal didirikan sampai saat ini gerakan zionisme bukanlah murni gerakan keagamaan Yahudi, melainkan menggunakan doktrin-doktrin agama Yahudi yang sering dipaksakan agar sesuai dengan keinginan mereka. Maka, kita pun tidak heran jika ada kalangan Yahudi yang justru anti-Zionis dan menentang Israel.
Pungkasnya, kita jelas berharap agar warga Palestina umumnya dan warga Gaza khususnya dapat menikmati indahnya menatap masa depan tanpa cekaman rasa takut akibat konflik dan perang senjata.
Konstitusi negara ini pun telah menegaskan bahwa penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Palestina adalah sebuah negara yang tentu berhak hidup merdeka tanpa terus tercekam akibat penindasan pihak Israel. Wallahualam.
Hendra Sugiantoro
Aktivis Profetik Student Center Universitas Negeri Yogyakarta
Karangmalang, Yogyakarta

http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009022005555681

Sultan Gila Kekuasaan?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Koran Wawasan, Selasa, 17 Februari 2009
Menjelang hajatan Pemilu 2009, masyarakat Indonesia bisa dikatakan merasakan nuansa berbeda dibandingkan Pemilu sebelumnya. Meskipun dua kali Pemilu telah dilewati selama era reformasi, Pemilu 2009 memberikan gereget tersendiri terkait calon pemimpin nasional. Kini seolah-olah tidak ada rasa minder bagi siapa pun untuk menyatakan diri siap memimpin negeri ini lima tahun ke depan. Salah satu yang menyita perhatian soal kesiapan maju sebagai presiden itu adalah kehendak Sri Sultan HB X yang disuarakan dalam Pisowanan Ageng pada Oktober tahun lalu.
Pada dasarnya, tanda-tanda Sultan akan menuju pentas nasional sudah terbaca jauh-jauh hari. Pada tahun 2007 pun Sultan pernah mengisyaratkan untuk berhenti dari jabatan Gubernur DIY. Pada saat itu, muncul beraneka rupa penafsiran masyarakat. Penafsiran yang mungkin mendekati kebenaran adalah pernyataan Sultan terkait dengan terkatung-katungnya pembahasan RUU Keistimewaan DIY di parlemen pusat. Namun demikian, sikap Sultan terus saja menimbulkan tanda tanya. Setelah Pisowanan Ageng pada 2008 lalu, sikap Sultan akhirnya menjadi benderang meskipun sebagian kalangan merasa kurang menerima. Ada yang ”ngeman” Sultan jika terjun ke ranah politik kekuasaan nasional. Logika yang digunakan adalah posisi Sultan sebagai raja di wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat. Jika Sultan maju menuju RI-1, maka kedudukan sebagai raja yang dinilai terhormat akan jatuh derajatnya. Disadari atau tidak, logika seperti itu amatlah berlebihan. Bukankah posisi Sultan sebagai Gubernur DIY yang bertanggung jawab kepada presiden juga merendahkan posisi Sultan sebagai raja? Yang perlu di tegaskan, Sultan memang menjadi raja, tapi raja dalam wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat. Adapun wilayah kepemimpinan presiden adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didalamnya termasuk Provinsi DIY.

Jika berpikir jernih, sikap Sultan selama ini sebenarnya tidak membingungkan. Hanya saja (sebagian) masyarakat terutama di DIY yang masih belum siap menerima realitas setelah beratus-ratus tahun hidup di alam kerajaan yang cenderung feodalistik. Padahal, Sultan sudah menyatakan dengan jelas bahwa beliau bukanlah sosok agung yang hidup di abad lampau, tapi beliau adalah manusia yang hidup di zaman modern. Sikap DIY pada tahun 1945 yang mendukung tegaknya eksistensi NKRI perlu dimaknai secara dinamis. Jika saat ini Indonesia tengah berada di iklim demokratisasi, maka Sultan ingin mengajak masyarakat DIY menjadi bagian dari upaya demokratisasi itu.
Pastinya, Sultan bertindak dan berucap dengan pertimbangan yang matang. Deklarasi Sri Sultan HB X untuk maju sebagai presiden adalah hak beliau sebagai salah satu warga negara di republik ini. Berbagai kalangan memang ada yang menilai bahwa Sultan telah dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu. Menurut penulis, anggapan seperti itu tidaklah tepat. Sultan mendeklarasikan diri sebagai calon presiden 2009 berangkat dari kegelisahan jiwa sehingga terpanggil untuk memberikan pengabdian dalam lingkup yang lebih luas di republik ini. Tanpa kepemilikan jabatan di tingkat pusat pun Sultan sudah memiliki kedudukan mapan, bahkan reputasinya diakui di berbagai daerah di negeri ini. Menurut Boni Hargens (2008) dalam analisisnya, kehendak Sultan menjadi presiden memperkuat fakta bahwa kondisi politik nasional memang sudah sangat memprihatinkan dengan berbagai persoalan dan krisis yang tak kunjung terselesaikan. Kekuasaan politik tidak menciptakan suatu perubahan konkret dalam kaitan dengan perbaikan mutu hidup masyarakat. Sultan sebagai representasi dari kekuatan kultural barangkali mau memperlihatkan kepedulian yang tinggi terhadap keadaan bangsa dan negara mengingat model kepemimpinan politik yang dijalankan oleh elite partai politik telah terbukti gagal. Sri Sultan juga membaca perlunya memunculkan tokoh alternatif di tengah masa transisi politik selama ini yang tidak jelas arahnya di tangan elite lama.
Jika pun akhir-akhir ini Sultan tampak ikut dalam ”permainan politik”, itu hanyalah ”kehebatan” media dalam pengopinian. Sebut saja ketika Sri Sultan HB X diisukan menjadi cawapres PDIP beberapa waktu lalu, pengopinian media memang diakui luar biasa meskipun terlalu berlebihan. Bagaimana pun, silaturahmi Sri Sultan HB X ke Megawati atau Megawati bersilaturahmi mengunjungi Sri Sultan HB X adalah kewajaran. Karena terjadi menjelang hajatan besar 2009, peristiwa tersebut disetting sedemikian rupa sehingga menjadi isu politik yang menonjol. Pun, kunjungan Sultan ke berbagai daerah sudah dilakukan beliau sejak lama dimana Sultan sering kali menjadi pembicara dalam berbagai forum dan menghadiri acara-acara adat di berbagai daerah. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa FIP Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=29348&Itemid=62

Taat Aturan Saat Kampanye, Bung!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa Harian Jogja, Selasa, 17 Februari 2009
MENJELANG pemilihan calon anggota legislatif, alat peraga kampanye kian meramaikan hampir seluruh ruang publik. Bendera, spanduk, baliho, pamflet, dan sejenisnya terlihat semarak, baik dari parpol maupun caleg yang mencalonkan diri. Itu semua tentu saja merupakan kewajaran. Sebagai salah satu bentuk komunikasi politik, alat peraga kampanye masih dinilai relevan diterapkan. Harapannya, masyarakat sedikit banyak terpengaruh dengan alat peraga kampanye yang ditebar parpol dan para caleg. Ruang publik tentu perlu digunakan semaksimal mungkin agar parpol dan para caleg dapat mengenalkan diri melalui media nonverbal. Termasuk dalam kategori ruang publik ini adalah area Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) di Alun-alun Utara Jogja.
Meskipun pemasangan alat peraga kampanye di ruang publik merupakan keniscayaan, namun persoalan terjadi jika parpol dan para caleg tidak mengindahkan peraturan. Area PMPS yang semestinya bersih dari alat peraga kampanye berdasarkan Peraturan Walikota No 2/2009 tentang Pemasangan Alat Peraga Kampanye Legislatif justru dilanggar oleh (sebagian) parpol dan caleg. Tindakan penertiban oleh Dinas Ketertiban Kota, KPU dan Panwaslu serta dibantu oleh pihak kepolisian jelas perlu dilakukan.

Berpikir jernih, tindakan sebagian parpol dan caleg memasang alat peraga dan atribut kampanye di area PMPS bisa dikatakan sebagai ”catatan hitam”. Pasalnya, ada aturan yang jelas-jelas tidak dipatuhi. Dalam Peraturan KPU No 19/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD disebutkan bahwa caleg bisa melakukan kampanye dimanapun asalkan tidak melanggar larangan kampanye dan peraturan perundang-undangan (Pasal 12 poin g). Perumusan Perwal No 2/2009 yang merupakan revisi dari Perwal No 36/2008 tentu memiliki legalitas. Dalam Peraturan KPU No 19/2008 Pasal 13(5) poin d dijelaskan bahwa pemerintah daerah bisa membuat peraturan agar pemasangan alat peraga kampanye tetap mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat.
Dengan demikian, pihak-pihak yang memasang alat peraga kampanye di area PMPS amat perlu dipertanyakan kredibilitas dan integritasnya. Area PMPS seolah-olah dijadikan ajang kampanye, bahkan ada petugas wahana permainan yang mengenakan kaos terpampang gambar caleg tertentu. Memang benar area PMPS yang dijejali banyak masyarakat pengunjung cukup efektif untuk ajang kampanye, tapi peraturan tidak boleh ditebas semaunya. Justru perilaku seperti itu mencerminkan rendahnya kualitas caleg dan juga parpol. Anehnya, ada pihak yang sudah mendapatkan peringatan dari Panwaslu Kota Jogja, tapi tetap saja ngeyel. Pihak parpol dan caleg seharusnya tahu diri sebelum Dinas Ketertiban Kota membersihkan alat peraga kampanye.
Bagi sebagian pihak, pemasangan alat peraga kampanye di area PMPS mungkin dianggap masalah sepele. Pelanggaran-pelanggaran kampanye dinilai lumrah mengingat sudah bukan rahasia lagi. Tidak hanya di area PMPS, di luar arena PMPS pun ditemukan pelanggaran-pelanggaran. Yang perlu ditegaskan, apapun alasannya pelanggaran adalah wujud ketidaktaatan. Memang lambat laun pelanggaran-pelanggaran seperti itu akan terlupakan, tapi pelanggaran dari hal yang bersifat sepele dimungkinkan akan merembet ke pelanggaran-pelanggaran lainnya yang lebih besar.
Dalam hal ini, Panwaslu bisa saja mengumumkan pihak-pihak yang melakukan pelanggaran sebagai salah satu bentuk pendidikan politik. Masyarakat sebagai subjek perubahan perlu mengetahui siapa saja yang tidak taat aturan selama kampanye. Panwaslu bekerjasama dengan KPU bisa mengkategorikan pelanggar-pelanggar kampanye sebagai caleg bermasalah. Caleg-caleg bermasalah selama kampanye itu diumumkan kepada publik sebagai sanksi sosial. Entah nanti masyarakat akan memilihnya atau tidak, itu hak prerogatif masyarakat pemilih. Masyarakat yang kian cerdas pastinya akan memilih caleg yang memiliki kredibilitas dan integritas yang salah satunya terlihat dari ketaatan terhadap peraturan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

Ibu, Kunci Pendidikan Anak


Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Pembaca Duta Masyarakat, Rabu 11 Februari 2009

Begitu banyak problematika kontemporer yang menyita perhatian kita saat ini. Permasalahan itu begitu memprihatinkan ketika pelaku utamanya adalah anak-anak muda yang masih tumbuh berkembang. Tawuran antarpelajar, misalnya, sering kali mencuat, bahkan sampai menimbulkan kematian jiwa. Aksi-aksi kekerasan jalanan juga dilakukan anak-anak muda. Pun, anak-anak muda merupakan sebagian dari pelaku utama kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan kriminalitas.
Menyaksikan fakta yang terjadi, solusi jitu coba ditawarkan. Kunci utama mengatasi kenakalan remaja adalah dengan cara mendidik mereka secara baik. Wacana pendidikan moral sudah lama bergaung meskipun sebenarnya masih mengalami kesulitan dalam penerapannya. Pendidikan agama juga tidak terlepas dari upaya revitalisasi agar memberikan makna bagi pembentukan moralitas. Tak ketinggalan pula anjuran memberikan keteladanan sebagai sarana pembangunan karakter dan pendidikan anak-anak.

Pastinya, solusi apapun yang ditawarkan itu tentu saja sangat bermanfaat. Anak-anak muda jelas perlu diarahkan dan dididik menjadi generasi yang memiliki kecerdasan akal sekaligus memiliki perilaku mulia. Namun, disadari atau tidak, ada yang kita lupakan terkait dengan pendidikan anak-anak muda. Kita boleh saja menerapkan pendidikan moral dalam lingkungan sekolah ataupun seperti yang dilakukan saat ini dengan mendirikan kantin kejujuran untuk menegakkan perilaku antikorupsi, tapi akan kontraproduktif jika melalaikan pendidikan dalam lingkungan rumah tangga.
Tentu saja, siapa pun tidak memungkiri jika pendidikan terhadap anak akan efektif jika dilakukan semenjak dini. Anak pada usia 0-6 tahun dikatakan berada dalam usia emas (golden age). Menurut Elizabeth B Hurlock (1978), anak mengalami tahapan perkembangan fisik, perkembangan motorik, perkembangan bicara, perkembangan emosi, perkembangan sosial, perkembangan bermain, perkembangan kreativitas, dan perkembangan moral pada usia emas tersebut. Jadi, pada titik inilah perhatian kita perlu ditujukan dalam upaya melahirkan generasi masa depan Indonesia yang berkualitas.
Dengan menyadari pentingnya pendidikan anak sejak dini, kita juga perlu berpikir bijak sekaligus jernih. Pendidikan anak usia dini yang saat ini cenderung diformalkan tentu layak diapresiasi. Tapi, pernahkah kita berpikir bahwa pendidikan anak pada usia dini membutuhkan guru yang terbaik? Guru yang terbaik untuk mendidik anak-anak agar memiliki ketangguhan akal, fisik, dan hati tidak lain adalah seorang ibu. Ibulah yang sebenarnya menjadi pendidik utama dan pertama yang dimulai sejak anak menghembuskan nafas dalam kehidupan ini. Bahkan, pendidikan yang dilakukan ibu sudah berlangsung ketika anak masih dalam kandungan.
Pernyataan di atas tidaklah mengada-ada. Seorang ibulah yang memiliki kedekatan psikologis dengan anaknya. Bagaimana tidak, sekian bulan anak yang masih berupa janin ada di rahim ibunya. Ibulah yang telah bersusah payah mengandung dan melahirkan anak sehingga bisa lahir dalam kehidupan di dunia ini. Diakui atau tidak, kedekatan psikologis itu merupakan modal dasar bagi ibu untuk mendidik anaknya. Kasih sayang dan perhatian intensif yang diberikan ibu akan mampu membentuk kepribadian anak.
Ya, ibulah pendidik yang sebenarnya bagi seorang anak yang masih berusia dini. Ada pengalaman dari negeri Jepang yang menarik diperhatikan. Seorang perempuan Jepang bernama Nobo Asakawa yang pernah menjadi duta besar di Paris pernah mengatakan bahwa kekuatan Jepang dewasa ini adalah karena para ibu memperhatikan sepenuhnya anak-anak mereka (Muhammad Thalib: 1999). Jadi, ibu sudah selayaknya diposisikan sebagai manusia yang mulia dengan mendidik anaknya secara baik. Kaum perempuan tidak dilarang untuk bekerja di luar rumah, tapi seyogianya tidak mengabaikan intensitas perhatian dan kasih sayangnya untuk anak. Pada usia dini, ibu dibutuhkan anak agar selalu dekat dengannya. Bekerja di luar rumah boleh saja dilakukan, tapi hak anak mendapatkan air susu ibu sampai usianya menginjak 2 tahun tidak boleh dilalaikan.
Hendra Sugiantoro
Karangmalang Yogyakarta 55281
e-Mail: hendra_lenteraindonesia@yahoo.co.id

http://dutamasyarakat.com/1/02dm.php?mdl=dtlartikel&id=10887

Iklan Politik Tak Obral Janji

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Surat Pembaca Jurnal Nasional, Selasa, 10 Februari 2009

TUJUAN perebutan pengaruh menjelang ajang Pemilu merupakan keniscayaan. Dengan waktu yang kurang dari tiga bulan ini, para caleg dan juga parpol tentu saja harus berusaha sekuat daya untuk dapat menggaet perhatian masyarakat. Salah satu upaya yang ditempuh untuk menarik perhatian masyarakat dan meraih suara dalam Pemilu adalah melalui pembuatan iklan politik. Sebagai salah satu bentuk komunikasi politik, pembuatan iklan politik tentu merupakan kewajaran.

Maka, kini masyarakat memang tidak perlu risau menyaksikan maraknya iklan-iklan politik yang ditebar parpol dan juga para caleg. Parpol dan para caleg perlu melakukan komunikasi lewat iklan politik. Disadari atau tidak, pembuatan iklan politik masih dinilai efektif, bahkan juga dilakukan di luar negeri sekalipun.
Namun demikian, yang perlu diperhatikan, pembuatan iklan politik bukan berarti menghendaki propaganda dan janji-janji kampanye yang tidak terukur. Misalnya iklan politik yang menawarkan pengentasan kemiskinan memang menimbulkan rasa senang masyarakat, tapi parpol dan para caleg perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa pengentasan kemiskinan membutuhkan proses yang tidak seketika. Diakui atau tidak, iklan-iklan politik selama ini lebih menitikberatkan pada apa yang akan diperjuangkan dan biasanya bersifat klise. Parpol dan para caleg sepertinya hanya jor-joran mengeluarkan pernyataan ingin memperjuangkan kepentingan masyarakat, tapi tidak melakukan analisis jitu terhadap akar permasalahan yang dialami masyarakat berikut pemecahan rasionalnya.
Terkait iklan politik, pertanyaan lebih lanjut adalah benarkah iklan politik menjadi pengikat komitmen parpol dan para caleg? Yang jelas, masyarakat sudah cerdas memberikan penilaian. Masyarakat akan memberikan penilaian tersendiri terhadap iklan-iklan politik dan tidak mudah begitu saja dikelabuhi.
Untuk itu, kini sudah saatnya bagi politisi untuk menghayati kembali peran politiknya. Politik memang identik dengan kekuasaan, namun kekuasaan bukanlah tujuan utama. Kemiskinan, pengangguran, hak asasi manusia, dan pendidikan bukanlah komoditas politik yang dijual murah lewat iklan-iklan politik di hadapan masyarakat. Politisi selayaknya sudah menyadari bahwa membangun kehidupan bangsa dan negara adalah kewajiban sekaligus keharusan. Artinya, berpikir, berjuang, dan berkarya bagi kebangunan dan keberlanjutan negeri ini sudah dengan sendirinya merupakan kewajiban bagi politisi tanpa harus dikampanyekan di hadapan masyarakat.
Hendra Sugiantoro
Karangmalang, Yogyakarta 55281

Sekolah Gratis Layak Diapresiasi

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bebas Bicara Bernas Jogja, Selasa, 10 Februari 2009

Dikatakan Walikota Yogyakarta Herry Zudianto jika biaya sekolah untuk jenjang SD dan SMP/MTs Negeri mulai awal bulan pada tahun 2009 ini tidak ada penarikan biaya dari orang tua siswa. Pemerintah kota Jogja telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 28,7 miliar dalam APBD Kota Yogyakarta agar kebijakan penggratisan biaya sekolah dapat terlaksana secara baik. Anggaran dalam APBD Kota Yogyakarta itu akan ditambah sekitar Rp 7 miliar yang harapannya berasal dari pemerintah provinsi DIY sehingga kebutuhan dana sebesar Rp 35,7 miliar dapat terpenuhi. Di lain pihak, DPRD Sleman juga mengusulkan agar Dinas Pendidikan Sleman bisa menerapkan pendidikan gratis secepatnya.

Tentu saja, kebijakan penggratisan biaya sekolah bagi siswa SD dan SMP bukanlah hal yang luar biasa. Pasalnya, amanat konstitusi telah tegas menyatakan bahwa pendidikan dasar bagi anak-anak Indonesia dibiayai oleh negara. Dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 2 tertera bahwa warga negara wajib memperoleh pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Kata “wajib” dalam teks tersebut mengandung penekanan yang amat kuat agar pemerintah sebagai representasi negara tidak mengabaikannya. Dengan kata lain, pemerintah berkewajiban menopang kebutuhan sekolah agar tidak memungut biaya sepeser pun dari orang tua siswa pada jenjang pendidikan dasar. Dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab VI Pasal 17 (2) disebutkan pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat.
Dengan demikian, penggratisan biaya sekolah pada jenjang pendidikan dasar merupakan langkah progresif pemerintah dalam menaati UUD 1945 dan ketentuan perundangan lainnya. UU No 20/2003 tentang Sisdiknas Bab VIII Pasal 34 (2) menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Jadi, apa yang dilakukan pemerintah kota Jogja dan (mungkin) pemerintah kabupaten lainnya di wilayah DIY dengan tidak memungut biaya dari orang tua siswa pada jenjang pendidikan dasar merupakan amanat yang memang harus dilaksanakan. Bahkan, penggratisan biaya sekolah pada jenjang pendidikan dasar tidak membedakan antara sekolah negeri dan sekolah swasta. Apalagi pada jenjang pendidikan dasar dimana pemerintah dan pemerintah daerah memang berkewajiban menyelenggarakannya.
Pastinya, penggratisan biaya sekolah bagi siswa SD dan SMP layak diapresiasi. Meskipun demikian, hal penting yang perlu diperhatikan adalah pendidikan tidak hanya menyangkut persoalan biaya. Pendidikan adalah—meminjam istilah Anis Matta–seni membentuk manusia. Pendidikan untuk membangun kualitas manusia tidak terlepas dari faktor lainnya, seperti guru, kurikulum, dan bahan pembelajaran. Kebijakan sekolah gratis sebagai ketaatan terhadap konstitusi tentu saja merupakan proses berkelanjutan untuk membangun kualitas individu manusia. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Profetik Student Center UNY

“Mengkursikan” Politisi

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
DImuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Kamis, 5 Februari 2009

Di tengah bising bunyi knalpot kendaraan, puluhan bendera partai politik berkibar. Melambai menjadi pemandangan siapa pun yang mengitari jalanan. Beragam warna bendera parpol tampak begitu indah dengan lambang-lambang yang indah pula. Lambang yang tentunya memiliki makna filosofis. Apapun makna filosofis dari lambang di bendera yang berkibar itu, segenap parpol umumnya bertekad akan memperjuangkan kepentingan kawula alit. Selain itu, iklan politik juga semarak di setiap sudut jalan di kota ini. Para calon anggota legislatif alias caleg telah mempromosikan dirinya agar kelak di pilih masyarakat.
Tak bisa dimungkiri jika setiap parpol mengklaim calegnya yang terbaik di antara yang terbaik. Politisi-politisi yang bakal dikursikan di gedung dewan adalah terbaik. Tentu saja terbaik menurut kacamata parpol itu. Di kaca mata lain, politisi hitam ternyata masih bertebaran. Parpol pun tak sudi mengganti kacamata dan tetap mengatakan calegnya tak hitam. Rayuan-rayuan parpol dan juga para caleg memang memikat. Siapa pun bisa bertekuk lutut meskipun kerap kali hanya rayuan gombal. Betapa pintarnya parpol dan para caleg merias wajah untuk sekadar mencuri hati masyarakat. Seketika masyarakat terpikat, parpol dan caleg masih menahan untuk menampakkan ceria. Menunda keceriaan atas kian tegapnya perolehan kursi di legilatif dan membiarkan masyarakat terhanyut dalam buaian tentang impian negeri di awan. Menebar pesona dengan manis mulut dan pentas tokoh, parpol dan caleg merangkul masyarakat agar memasuki sangkarnya.

Para caleg memang akan terus mencoba menduduki kursi di rumah DPR/D. Tak ada kursi lain yang serupa kursi itu sehingga setiap parpol tak lelah merebutnya. Kursi di DPR/D tetap tak ada bandingannya, apalagi kursi RI-1. Parpol yang sudah memiliki kursi di DPR/D tetap perlu mati-matian mempertahankannya. Betapa mahalnya kursi itu ketika memiliki. Kursi yang menyediakan gaji berlimpah, fasilitas dan tunjangan beraneka rupa. Menduduki kursi itu bisa berdasi bangga saat bersafari, menyusuri negeri manca, dan meraup rupiah dari rapat berkali-kali. Kursi yang kuasa mengangkat status sosial di mata sekitar. Naasnya, menjadi anggota dewan ternyata tak sekira mata memandang. Politisi yang sedari cilik pontang-panting memegahkan bangunan parpolnya, nyatanya tak sedikit yang ditepikan. Karena kursi itu mahal, calegnya harus mahal pula. Caleg yang berkelas murah tak menjamin memperoleh kursi yang mahal. Di sebagian parpol, drama pun diputar dengan akhir cerita tercantumnya nama politisi yang hanya mengandalkan kantong tebal. Di sudut cerita lain, aktor layar kaca pun dipinang parpol untuk turut serta memperebutkan kursi yang mahal. Sebuah pembacaan partai yang tidak meleset karena masyarakat saat ini cenderung memprimadonakan aktor layar kaca. Namun demikian, tanpa disadari parpol jika itu justru menampakkan murahnya politisi parpol bersangkutan. Politisi parpol yang murah karena selama ini tak cakap mengelola rahim parpol untuk melahirkan sosok yang mumpuni.
Pastinya, perjalanan masih terus berlanjut. Derap parpol dan para caleg belum berhenti karena titik pemberhentian itu pada perhelatan Pemilu nanti. Parpol akan terus mengibarkan bendera yang ke depan tentunya lebih hingar-bingar lagi. Begitu juga para caleg akan mempromosikan dirinya lewat iklan-iklan politik yang ditebar. Kampanye akan terus menggeliat ke depan. Di ruang-ruang manapun akan membahana lidah tak bertulang parpol dan para caleg untuk membujukrayu masyarakat. Janji-janji disuarakan untuk masyarakat mendengar. Tak ada waktu lagi berleha-leha bagi parpol dan para caleg untuk selekas mungkin memikat hati masyarakat. Parpol dan para caleg akan mengeluarkan amunisi program kesejahteraan di tengah kehidupan masyarakat yang masih penuh kepiluan.
Pilihan akhirnya di tangan masyarakat. Meskipun tak mau menggerakkan tangan untuk memilih, di antara barisan caleg itu tetap saja menuju gedung dewan. Memilih atau tidak memilih, masyarakat tetap mengkursikan politisi. Tentu di barisan caleg itu tidak seluruhnya hitam. Ada yang putih benderang untuk menuntaskan perubahan. Untuk itu, debu yang menempel di kaca mata selaiknya dibersihkan agar dapat melihat seterang-terangnya barisan caleg yang beredar. Dengan kaca mata itu, masyarakat perlu menilai seberapa putihnya caleg yang dijajakan parpol di etalase Pemilu 2009. Tak usah terlalu cepat jatuh hati terhadap setiap bujuk rayu parpol dan juga caleg karena boleh jadi akan membuat sakit hati di kemudian hari. Masyarakat dengan kacamata yang bersih akan melihat senyata-nyata caleg terbaik. Kacamata yang bersih semoga mampu mengkursikan politisi yang nyata-nyata putih. Jika ternyata caleg yang terpilih tidak putih, kaca mata masyarakat yang mungkin pecah satu sehingga tak mampu melihat dengan jernih. Atau boleh jadi kacamata parpol yang pecah satu karena terlanjur mengklaim calegnya yang terbaik. Jika dengan kacamata yang utuh dan bersih masih sulit mendapatkan caleg terbaik, kita hanya mengelus dada, beristighfar, mendendangkan lagu kesedihan, dan barkata: tanyakan saja pada bendera parpol yang berkibar. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Staf Educinfo FIP Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

Yogyakarta, Kota Pendidikan?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Harian Umum Pelita, Selasa 3 Februari 2009
SEKIAN lama kota Yogyakarta menyandang predikat sebagai kota pendidikan. Adanya predikat itu tentu memberikan kebanggaan bagi masyarakatnya. Pertanyaan pun akhirnya mencuat, atas dasar apa kota Yogyakarta disebut sebagai kota pendidikan? Karakter seperti apakah yang diperlihatkan kota Yogyakarta sehingga menyandang predikat tersebut? Sebagian kalangan boleh jadi mencari jawab atas pertanyaan itu.
Untuk mencari jawab atas pertanyaan itu salah satunya bisa lakukan dengan menyaksikan wajah kota . Apa yang kita saksikan? Ketika melintasi jalan-jalan di kota ini selalu jumpai anak-anak mengais nafkah. Setiap kali mata memandang, hati kita mungkin menaruh iba menyaksikan mereka ‘hidup belum saatnya’. Pemandangan anak-anak di jalan-jalan kota harus diakui memang memilukan, tapi itulah fakta yang kerap kali kita saksikan. Di kota pendidikan itu, anak-anak usia sekolah ternyata belum sepenuhnya menempuh bangku pendidikan. Di jalan-jalan kota, kita juga menyaksikan iklan-iklan luar ruang yang harus diakui jauh dari unsur mencerahkan. Berjejal iklan produk rokok menyingkirkan pesan-pesan moral di ruang publik. Dapat dikatakan, unsur yang bersifat mendidik dari iklan luar ruang di kota itu sangatlah minim.

Untuk mencari jawab atas pertanyaan di muka, kita juga bisa melakukan observasi di sekolah-sekolah. Diutarakan guru Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah, perilaku kurang santun ternyata banyak dilakukan siswa. Perilaku coret-mencoret meja dan kursi tak lagi sungkan dilakukan sebagian dari mereka, lebih-lebih perilaku itu dilakukan di kamar mandi atau pun toilet.
Bahkan, di luar gedung sekolah, kita mungkin sempat menyaksikan ‘perilaku tak biasa’ yang dilakukan sebagian siswa. Malah di warung-warung di dekat sekolah yang tak terpantau gurunya, anak-anak sekolah tak segan menyulut rokok. Tak cuma itu, ada juga di antara mereka berpasangan dengan lawan jenis dan tak merasa malu menunjukkan hubungan intimnya. Perilaku yang mereka praktikkan mungkin bukan hal yang aneh, tapi perilaku itu menimbulkan tanda tanya jika dilakukan oleh anak-anak sekolah seusia SMP. Boleh jadi ada juga yang mengatakan bahwa perilaku mereka adalah wajar dengan dalih modernitas. Namun, apakah tolok ukur dari modernitas? Anak-anak usia sekolah sudah berani berciuman dan berpelukan di muka umum. Tubuh tidak lagi disakralkan, tetapi diumbar begitu saja. Jika dahulu bagian tubuh perempuan disentuh laki-laki terasa jijik, namun sekarang diremas-remas menjadi biasa. Ini kenyataan yang tak bisa dimungkiri. Anak-anak usia sekolah berbeda jenis kelamin saling berdekapan erat layaknya suami-istri. Bukan maksud menggeneralisir, tetapi kenyataan seperti itu terjadi di kota pendidikan Yogyakarta.
Di kalangan mahasiswa ternyata tak jauh berbeda. Kos-kos mahasiswa sering kali digunakan untuk menginap dan tidur bersama antarlawan jenis. Lagi-lagi bukan untuk menggenelisir, tetapi setidaknya membuka mata kita terhadap kenyataan yang mengkhawatirkan. Masih banyak kos-kos mahasiswa di kota Yogyakarta tidak ada induk semang atau pemilik kos yang tinggal bersama dengan anak-anak kos. Lalu, bagaimana dengan tawuran antarpelajar?
Ada cerita dari aparat polisi, tawuran dan adu kekuatan biasanya dilakukan sebagian siswa antarsekolah di tempat-tempat yang sepi dan lapang di malam hari. Biasanya warga sekitar yang tempatnya dijadikan ajang tawuran langsung melapor ke kantor polisi terdekat. Laporan warga tidak hanya terkait dengan tawuran, pesta minuman keras aliasa miras yang dilakukan beberapa siswa sekolah di tempat-tempat sepi kadang tak luput dari perhatian warga. Ya, ada pesta miras yang dilakukan anak-anak sekolah di kota ini. Penyalahgunaan narkoba? Tidak bisa dimungkiri jika pelajar dan mahasiswa di kota Yogyakarta ada juga yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba. Berbagai pihak pun prihatin dengan fakta yang memperlihatkan maraknya penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa di kota pendidikan Yogyakarta.
Dari apa yang dipaparkan di atas, kita mungkin belum menemukan jawab atas pertanyaan mengapa kota Yogyakarta disebut sebagai kota pendidikan. Dari hasil ujian nasionalkah? Dari data yang ada, kota ini tidak masuk dalam urutan tiga besar peraih hasil terbaik dalam ujian nasional. Kita mungkin malah terhenyak membaca berita di koran ini beberapa waktu silam. Kasus korupsi dana sekolah menimbulkan keprihatinan karena pernah terjadi di kota Yogyakarta yang mendapat predikat sebagai kota pendidikan.
Sebenarnya jawaban atas pertanyaan di atas tidaklah sulit. Berdialog dengan beberapa kalangan, ada jawaban mengapa kota Yogyakarta disebut sebagai kota pendidikan. Jawabnya sederhana, karena di kota ini banyak pelajar dan mahasiswa yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Kota Yogyakarta memiliki daya tarik tersendiri bagi warga luar kota atau luar daerah untuk mencari sekolah dan perguruan tinggi. Ada lagi jawaban selain itu, yakni banyak tokoh-tokoh nasional dulunya pernah menempuh pendidikan di kota ini. Atas dasar itulah kota Yogyakarta mendapat predikat sebagai kota pendidikan.
Namun demikian, jawaban tersebut sepertinya belum memuaskan. Terkait dengan upaya mempertahankan kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan, banyak berita yang menyebutkan bahwa pihak perguruan tinggi di kota ini tak henti-hentinya mempromosikan institusinya. Bencana gempa bumi 2006 silam, misalnya, memunculkan tantangan bagi dunia pendidikan di kota ini untuk mencitrakan diri kembali. Maraknya seks bebas dan penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar-mahasiswa tak luput menjadi pemantik untuk mencitrakan Yogyakarta yang tetap save dan kondusif untuk melanjutkan jenjang pendidikan. Lalu, apakah sekadar berjubelnya pelajar dan mahasiswa yang belajar di kota Yogyakarta yang mendasari kota tersbut sebagai kota pendidikan? Masih tepatkah memaknai kota pendidikan sekadar dari banyaknya gedung-gedung sekolah dan perguruan tinggi?
Kita mungkin masih mencoba mencari jawab, masih layakkah Yogyakarta disebut sebagai kota pendidikan? Jika tak ada yang memberi jawab, kita cukup bertanya pada bendera parpol yang berkibar di sepanjang jalan.. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Penulis adalah peneliti muda pada FIP Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=63803

Antikorupsi, Budaya Masa Depan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa Harian Jogja, Selasa, 3 Februari 2009

BERITA yang terasa membuat bangga kota ini dikeluarkan Transparansi International Indonesia (TII). Dalam survei terkait Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2008, kota Jogja menduduki peringkat terbersih dengan poin 6,43. Hasil survei ini tentu merupakan prestasi tersendiri karena kota Jogja mampu berada di posisi puncak mengungguli 48 kota lainnya yang disurvei. Namun demikian, persepsi bersih korupsi ini tidak lantas menjadikan kota Jogja harus lupa daratan. Dengan poin 6,43, kota Jogja hanya berselisih 3,46 poin dibandingkan Kupang yang berada di posisi buncit. Pun, kota Jogja belum mencapai poin 10 alias benar-benar bersih dari korupsi

Perang terhadap korupsi
Yang jelas, upaya pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti di kota Jogja ini. Benar apa yang dikatakan Sri Sultan Hamengku Buwono X saat menyaksikan penandatanganan kesepakatan antara pihak kepolisian, kejaksaan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) DIY untuk menuntaskan penanganan kasus korupsi pada Jum’at, 2 Agustus 2008 silam. Tindakan korupsi adalah public enemy. Korupsi mengakibatkan kesengsaraan luar biasa bagi masyarakat dan merupakan musuh masyarakat nomor satu, kata Sri Sultan. Sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), genderang perang terhadap korupsi di kota Jogja ini mutlak harus ditabuh. Tentu saja, selain pemerintah, pemberantasan korupsi juga menjadi tanggung jawab moral seluruh warga masyarakat Jogja. Dengan hasil survei yang dikeluarkan TII, kota Jogja harus terlecut berbuat lebih nyata lagi dalam memerangi tindakan korupsi dan menjadikan kota ini benar-benar bersih korupsi.
Lebih dari itu, pembentukan mentalitas manusia antikorupsi yang berangkat dari kesadaran organis, bukan karena takut dengan hukuman menjadi hal yang penting. Apalagi bagi kota Jogja yang merupakan kota pendidikan, upaya menciptakan kebiasaan antikorupsi melalui proses pendidikan harus terus dilakukan. Sebagaimana kita ketahui, istilah pendidikan antikorupsi sudah lama didengungkan dalam dunia pendidikan kita. Salah satu metode pendidikan antikorupsi yang dilakukan beberapa sekolah akhir-akhir ini adalah dengan membentuk kantin/warung/koperasi kejujuran. Tujuan dari kantin/warung/koperasi kejujuran ini tak lain untuk menanamkan budaya antikorupsi kepada siswa. Selain itu, metode membentuk manusia antikorupsi tentu bisa diciptakan lebih banyak lagi. Jelasnya, pembentukan manusia yang antikorupsi merupakan tugas penting dunia pendidikan. Ada pertanyaan yang layak kita renungkan, kalau memang korupsi di negeri ini tumbuh akibat dibiasakan dan selanjutnya menjadi perilaku yang menggejala, mengapa kita tidak menciptakan kebiasaan antikorupsi untuk menjadi budaya masa depan? Kota Jogja sebagai kota pendidikan tentu saja perlu membangun budaya masa depan itu. Berawal dari Jogja , Indonesia masa depan memiliki budaya antikorupsi lewat pembentukan manusia antikorupsi yang menempuh pendidikan di kota ini.
Pada titik ini, penulis sepakat dengan Moh Yamin (2008) bahwa pendidikan antikorupsi bagi anak-anak negeri yang masih menimba pendidikan, pendekatan diarahkan pada pembentukan moralitas serta penguatan kesadaran sosial, termasuk pembentukan mentalitas dan karakter yang bersih dari perilaku dan tindakan koruptif. Dengan demikian, ketika menjadi pejabat kelak di kemudian hari, mereka tidak melakukan korupsi. Mereka menjadi pejabat yang betul-betul bekerja untuk rakyat (pamong praja). Menggunakan uang negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan kemajuan bangsa.
Pungkasnya, perang terhadap korupsi secara ofensif yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan memang selayaknya dilakukan. Namun, di sisi lain, kita berkewajiban mendidik anak-anak negeri di masa kini agar bersih dari korupsi. Kebiasaan antikorupsi yang ditanamkan akan menjadi budaya Indonesia masa depan, yakni budaya Indonesia yang antikorupsi. Ya, tugas mendesak kita adalah melahirkan generasi masa kini yang memiliki budaya antikorupsi untuk masa depan Indonesia . Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta

Pemilu 2009 dan Peran Mahasiswa

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
DImuat di Jagongan Harian Jogja, Senin 2 Februari 2009

KAMPANYE calon anggota legislatif dan juga partai politik dipastikan menggeliat pada tahun 2009 ini. Pemilu legislatif yang sekitar tiga bulan lagi akan dimanfaatkan para caleg untuk mati-matian mempengaruhi masyarakat. Apalagi dengan digolkannya perolehan suara terbanyak oleh Mahkamah Konstistusi, para caleg berusaha untuk dapat memikat masyarakat agar kemudian memilihnya. Strategi kampanye juga dilancarkan para tokoh yang sudah mendeklarasikan diri menjadi capres pada 2009.
Bagi mahasiswa, Pemilu 2009 selayaknya dijadikan momentum strategis memperbaiki wajah pemerintahan. Hasil Pemilu 2009 jelas akan menentukan wajah bangsa dan negara untuk lima tahun ke depan. Maka, mahasiswa perlu membangun kesadaran masyarakat agar memilih secara bijak dan cerdas. Dengan menggunakan kendaraan organisasi mahasiswa, peran-peran penyadaran masyarakat ini bisa dilakukan secara massif.

Harapan terhadap mahasiswa untuk berperan signifikan dalam Pemilu 2009 tentu tidaklah berlebihan. Adanya fenomena tawuran akhir-akhir ini memang memunculkan pesimisme terkait peran mahasiswa. Mahasiswa sebagai aktor intelektual ternyata tanpa malu menggunakan cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Mahasiswa juga disinyalir telah terjebak pada pragmatisme sehingga memandulkan gerak idealismenya. Pesimisme tersebut justru terlalu berlebihan. Diakui atau tidak, sampai saat ini kita terperangkap pada pernyataan bahwa mahasiswa merupakan pilar kebangkitan yang seolah-olah menjadi kebenaran. Padahal, pernyataan itu sekadar jargon atau kalimat motivasi untuk membangun kesadaran mahasiswa. Jika mau jujur, mahasiswa hanya bagian dari pilar kebangkitan. Pun, tidak seluruh mahasiswa mampu memainkan peran sebagai aktor perubahan sosial. Yang tidak bisa kita lupakan adalah terdapat proses penempaan sehingga mahasiswa mampu menjadi pilar kebangkitan bagi kehidupan bangsa dan negara. Nah, mahasiswa yang berhasil dalam penempaan bisa dikatakan hanya beberapa mahasiswa saja di antara ratusan ribu mahasiswa lainnya.
Dengan demikian, mahasiswa yang memang pedulilah yang akan turun ke masyarakat untuk melakukan upaya pencerdasan. Selain itu, mahasiswa tentu saja harus konsisten mengawal jalannya proses Pemilu. Mahasiswa melalui organisasinya bisa memantau rekam jejak untuk meneliti lebih lanjut sosok dari para caleg dan calon pemimpin. Mahasiswa perlu menyatukan barisan untuk menolak politisi yang dikategorikan busuk dan kemudian disosialisasikan ke masyarakat.
Pastinya, proses Pemilu 2009 tetap membutuhkan peran mahasiswa pemuda yang kritis dan peduli. Hanya mahasiswa yang memiliki kekokohan idealismelah yang akan turut serta menghadirkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa melalui Pemilu 2009. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281

Barack “Israel” Obama

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Pembaca Duta Masyarakat, Senin 2 Februari 2009

Presiden Amerika Serikat ke-44 telah dilantik (20/1). Pelantikan ini merupakan saat yang ditunggu-tunggu untuk melihat lebih lanjut langkah Barack Obama melakukan perubahan di negaranya, bahkan di dunia. Masyarakat AS berharap agar dampak pemerintahan George W Bush yang meninggalkan krisis keuangan akut di AS dapat terselesaikan di tangan presiden berkulit hitam pertama di AS itu. Selain penyelesaian krisis finansial global, masyarakat dunia juga menaruh harapan agar AS di tangan Obama mampu menciptakan hubungan internasional yang baik dan saling menghormati terutama dengan dunia Islam.
Disadari atau tidak, harapan demi harapan terhadap Obama yang terlalu berlebihan justru bisa menciptakan bumerang. Obama adalah manusia yang jelas bukanlah Tuhan. Jika masyarakat dunia menaruh harapan, Obama juga berharap mampu menjadi presiden AS yang membawa negaranya lebih baik. Obama tetaplah presiden AS yang berada dalam lingkaran sistem dan tradisi di negeri berjulukan Paman Sam itu. Apalagi menyangkut persoalan Palestina yang dibombardir selama tiga pekan oleh Israel beberapa waktu lalu, kebijakan Obama tetaplah mengikuti cara pandang dan paradigma AS selama ini. Pengaruh lobi-lobi Zionis dalam pemerintahan AS tak bisa dielakkan akan mempengaruhi kebijakan Obama. Meskipun Obama dalam pidato pelantikannya menyatakan akan bekerja sama dengan negara-negara Islam dalam bingkai saling menghormati, pernyataan itu masih ambigu. Obama memang berencana memulangkan tentaranya dari Irak dan mengupayakan perdamaian di Afghanistan, namun Obama masih saja berpikiran bahwa AS adalah polisi dunia.

Pada titik ini, kita bisa cermati pernyataan Obama terkait ”terorisme”. Dalam pidato pelantikannya, Obama memperingatkan pihak yang melakukan terorisme bahwa Amerika tetap kuat dan tidak dapat diremehkan. Persoalannya, apa makna terorisme menurut Obama? Banyak definisi tentang terorisme. Asep Syamsul M Romli (2000) mengatakan sulit menemukan definisi terorisme yang diterima secara universal, bahkan di antara para akademisi dan ilmuwan sosial sekalipun. Yang jelas—dan ini pasti disepakati—terorisme merupakan aksi atau tindak kekerasan (violence) yang merusak (destructive). Terrorisme is use of violence and intimidation, especially for political purposes (penggunaan kekerasan dan intimidasi, terutama untuk tujuan-tujuan politik), menurut Oxford Paperback Dictionary terbitan Oxford University Press, 1979.
Sekali lagi, apa makna terorisme menurut Obama? Kita cermati pernyataan Obama yang mengatakan bahwa AS akan tetap mendukung Israel untuk mempertahankan diri dari aksi-aksi teror. Pernyataan yang diucapkan Obama itu menegaskan dukungan butanya terhadap Israel. Israel yang melakukan kekerasan terhadap penduduk Palestina dan mengusir penduduk asli Palestina dari negaranya malah dibela oleh Obama. Padahal jelas, Israel telah melakukan terorisme terhadap penduduk Palestina; tidak hanya saat ini, tapi sudah berpuluh-puluh tahun lamanya.
Pastinya, amat naif jika kita menaruh apresiasi terhadap Obama yang kini menduduki tahta di Gedung Putih AS. Selama kampanye menjadi presiden AS, Obama pun tidak jarang membuat pernyataan bahwa AS akan selalu menjadi teman dekat Israel. Dukungan terhadap Zionis Israel juga tampak nyata ketika Obama mengunjungi dan berdoa di Tembok Ratapan saat masa kampanye presiden AS pada 24 Juli 2008 Obama di hadapan American Israel Public Affairs Council (AIPAC) pernah menyatakan bahwa Yerusalem akan tetap menjadi ibukota Israel.
Jadi, Obama tetap akan mendefiniskan terorisme sesuai akal pikiran AS selama ini yang berstandar ganda. Kerjasama dengan negara-negara Islam dengan prinsip saling menghormati sebagaimana dikatakan Obama saat pelantikan juga akan diselaraskan dengan alam pikiran dan nafsu AS yang merasa menjadi polisi dunia. Hamas yang nyata-nyata berjuang untuk meraih kemerdekaan Palestina malah disebut Obama sebagai organisasi teroris. Yerusalem yang sah wilayah Palestina juga dikatakan menjadi ibukota Israel, padahal Yerusalem adalah tanah Palestina yang diduduki Israel.
Ya, apa mau dikata, Obama adalah Obama yang menjadi presiden di AS. Obama pernah juga mengatakan di depan The National Jewish Democratic Council pada bulan Februari 2007 bahwa jika dia menjadi presiden Amerika maka negaranya akan membantu Israel. Dan, kini Obama telah resmi menjadi Presiden AS ke-44 dan telah bertahta di Gedung Putih. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281
Email: hendra_lenteraindonesia@yahoo.co.id
http://dutamasyarakat.com/1/02dm.php?mdl=dtlartikel&id=10297