Penegakan Hak Asasi Manusia

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Fadhilah Jum'at BERNAS JOGJA, Jum'at 22 Januari 2010
Berpikir jernih, tidak semua hak asasi manusia (HAM) di negeri ini mendapatkan perlakukan selayaknya. Di negeri ini masih dijumpai anak-anak usia sekolah yang kesulitan biaya dan tak mampu melanjutkan pendidikan formalnya. Para pekerja yang bekerja dan mendapatkan upah secara tidak layak sering kali mencuatkan persoalan genting. Kita juga sering kali menyaksikan ada seorang ibu yang harus menangis karena bayi yang dilahirkannya ditahan rumah sakit akibat tidak mampu menyetor biaya persalinan. Tidak bisa dilupakan adalah kemiskinan penduduk yang masih menimbulkan keprihatinan di negeri ini sehingga standar hidupnya jauh dari kewajaran.

Selain disebutkan di atas, persoalan-persoalan lainnya jelas masih terbentang meskipun kita tidak memungkiri ada hal-hal positif dalam penegakan dan penghormatan HAM di negeri ini. Ditinjau secara mendalam, Allah SWT telah memuliakan manusia sebagai ciptaan-Nya yang bertugas untuk beribadah dan memakmurkan kehidupan di muka bumi. Pesan-pesan kenabian juga menegaskan pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Konsep hak asasi manusia menemukan maknanya ketika Islam diwahyukan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.

Dalam Islam, tak ada perbedaan antarmanusia kecuali didasarkan ketakwaannya (QS. Al-Hujurat :13). Allah SWT berfirman, ”Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (QS. Al-Balad : 12-13). Manusia pada dasarnya dilahirkan merdeka dan tidak layak untuk mendapatkan perlakuan sewenang-wenang. Pembunuhan pun dilarang kecuali dilakukan secara hak dan sesuai dengan syariat. Siapapun diwajibkan untuk melindungi kehidupan manusia. Dalam surat Al-Maidah ayat 32, Allah SWT berfirman, “...barangsiapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”

Islam juga menganjurkan siapa pun untuk memperhatikan kehidupan golongan lemah, ”Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Ma`un : 1-3). Saat Haji Wada’ (haji perpisahan), Rasulullah SAW bersabda, ”Tak ada seorang pun yang lebih tinggi derajatnya kecuali berdasarkan atas ketakwaan dan kesalehannya. Semua manusia adalah anak keturunan Adam dan Adam itu diciptakan dari tanah liat. Keunggulan itu tidak berarti orang Arab berada di atas orang non-Arab dan begitu juga bukan non-Arab di atas orang Arab. Keunggulan juga tidak dimiliki oleh orang kulit putih lebih dari orang kulit hitam dan begitu juga bukan orang kulit hitam di atas orang kulit putih. Keunggulan ini berdasarkan atas ketakwaannya”.

Banyak perintah-perintah Allah SWT yang berkaitan dengan HAM yang dengan sendirinya menjadi kewajiban. Perbedaan konsep HAM antara Barat dan Islam, menurut Yusuf Qardhawy, adalah Barat memandangnya sebagai hak sedangkan Islam memandangnya sebagai kewajiban agama yang harus dilaksanakan. Seorang cendekiawan muslim Mohammad Al-Ghazali pernah berkata bahwa Islam memandang HAM sebagai konsep yang bersumber dari Allah SWT. Menjaga HAM adalah kewajiban bagi setiap muslim yang percaya kepada Allah SWT. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Ibu, Kunci Pendidikan Anak

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Kamis 14 Januari 2010

BEGITU banyak problematika kontemporer yang menyita perhatian kita. Permasalahan itu begitu memprihatinkan ketika pelaku utamanya adalah anak-anak muda yang masih tumbuh berkembang. Tawuran antarpelajar, misalnya, sering kali mencuat, bahkan sampai menimbulkan kematian jiwa. Aksi-aksi kekerasan jalanan juga dilakukan anak-anak muda. Pun, anak-anak muda merupakan sebagian dari pelaku utama kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan kriminalitas.

Menyaksikan fakta yang terjadi, solusi jitu coba ditawarkan. Kunci utama mengatasi kenakalan remaja adalah dengan cara mendidik mereka secara baik. Wacana pendidikan moral sudah lama bergaung meskipun sebenarnya masih mengalami kesulitan dalam penerapannya. Pendidikan agama juga tidak terlepas dari upaya revitalisasi agar memberikan makna bagi pembentukan moralitas. Tak ketinggalan pula anjuran memberikan keteladanan sebagai sarana pembangunan karakter dan pendidikan anak-anak.

Pastinya, solusi apapun yang ditawarkan itu tentu saja sangat bermanfaat. Anak-anak muda jelas perlu diarahkan dan dididik menjadi generasi yang memiliki kecerdasan akal sekaligus memiliki perilaku mulia. Namun, disadari atau tidak, ada yang kita lupakan terkait dengan pendidikan anak-anak muda. Kita boleh saja menerapkan pendidikan moral dalam lingkungan sekolah ataupun seperti yang dilakukan saat ini dengan mendirikan kantin kejujuran untuk menegakkan perilaku antikorupsi, tapi akan kontraproduktif jika melalaikan pendidikan dalam lingkungan rumah tangga.

Tentu saja, siapa pun tidak memungkiri jika pendidikan terhadap anak akan efektif jika dilakukan semenjak dini. Anak pada usia 0-6 tahun dikatakan berada dalam usia emas (golden age). Menurut Elizabeth B Hurlock (1978), anak mengalami tahapan perkembangan fisik, perkembangan motorik, perkembangan bicara, perkembangan emosi, perkembangan sosial, perkembangan bermain, perkembangan kreativitas, dan perkembangan moral pada usia emas tersebut. Jadi, pada titik inilah perhatian kita perlu ditujukan dalam upaya melahirkan generasi masa depan Indonesia yang berkualitas.

Dengan menyadari pentingnya pendidikan anak sejak dini, kita juga perlu berpikir bijak sekaligus jernih. Pendidikan anak usia dini yang saat ini cenderung diformalkan tentu layak diapresiasi. Tapi, pernahkah kita berpikir bahwa pendidikan anak pada usia dini membutuhkan guru yang terbaik? Guru yang terbaik untuk mendidik anak-anak agar memiliki ketangguhan akal, fisik, dan hati tidak lain adalah seorang ibu. Ibulah yang sebenarnya menjadi pendidik utama dan pertama yang dimulai sejak anak menghembuskan nafas dalam kehidupan ini. Bahkan, pendidikan yang dilakukan ibu sudah berlangsung ketika anak masih dalam kandungan.

Pernyataan di atas tidaklah mengada-ada. Seorang ibulah yang memiliki kedekatan psikologis dengan anaknya. Bagaimana tidak, sekian bulan anak yang masih berupa janin ada di rahim ibunya. Ibulah yang telah bersusah payah mengandung dan melahirkan anak sehingga bisa lahir dalam kehidupan di dunia ini. Diakui atau tidak, kedekatan psikologis itu merupakan modal dasar bagi ibu untuk mendidik anaknya. Kasih sayang dan perhatian intensif yang diberikan ibu akan mampu membentuk kepribadian anak. Erich Fromm dalam The Art of Loving (1962) mengartikan ibu dengan metafor liris: “Ibu adalah rumah dari mana manusia datang. Ibu adalah alam, tanah, lautan.” Metafor itu mengingatkan manusia pada fragmen-fragmen peradaban dari referensi-referensi alam. Ibu sebagai rumah adalah asal dan tujuan. Rumah tentu memberi limpahan nilai dan anutan untuk hidup dalam absorsi cinta dan kasih. Ibu dalam pengertian alam, tanah, dan lautan mengandung makna kompleks. Ibu sebagai alam tentu mengajarkan hidup secara produktif dan konstruktif. Ibu sebagai tanah mengajarkan keimanan atas sumber hidup dan kerja. Ibu sebagai lautan adalah khazanah dalam keluasan dan kedalaman nilai-praksis hidup (Bandung Mawardi:2009)

Ibulah pendidik yang sebenarnya bagi seorang anak yang masih berusia dini. Ada pengalaman dari negeri Jepang yang menarik diperhatikan. Seorang perempuan Jepang bernama Nobo Asakawa yang pernah menjadi duta besar di Paris pernah mengatakan bahwa kekuatan Jepang dewasa ini adalah karena para ibu memperhatikan sepenuhnya anak-anak mereka (Muhammad Thalib: 1999). Jadi, ibu sudah selayaknya diposisikan sebagai manusia yang mulia dengan mendidik anaknya secara baik. Kaum perempuan tidak dilarang untuk bekerja di luar rumah, tapi seyogianya tidak mengabaikan intensitas perhatian dan kasih sayangnya untuk anak. Pada usia dini, ibu dibutuhkan anak agar selalu dekat dengannya. Bekerja di luar rumah boleh saja dilakukan, tapi hak anak mendapatkan air susu ibu sampai usianya menginjak sekitar 2 tahun tidak boleh dilalaikan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta