Dimuat di Aspirasi HARIAN JOGJA, Selasa 11 Oktober 2011
Siapa pun kita memiliki emosi. Bentuk emosi kita bermacam-macam, seperti senang, marah, benci, suka, cinta, dan sebagainya. Bahkan, emosi dalam diri kita tak bersifat tunggal, tetapi bisa merupakan kombinasi dari berbagai macam emosi. Sebut saja misalnya kita menyukai seseorang, lalu kita mencintainya. Kita juga bisa memiliki emosi marah sekaligus benci.
Pembahasan terkait emosi ini menarik, karena keseharian kita pada dasarnya tak terlepas dari aspek emosi. Sebagaimana kasus-kasus yang kerap diberitakan di media massa, aspek emosi pada seseorang begitu kentara. Sebut saja ada remaja putri yang mencintai lawan jenisnya, lalu orang yang dicintainya itu pergi begitu saja. Akibat kurang mampu mengendalikan emosi ke arah positif, remaja putri itu lantas menzalimi dirinya dengan tak sudi makan, bahkan ada yang sampai melakukan perbuatan bunuh diri. Kasus tawuran antar-siswa sekolah ataupun antar-warga kampung juga ada pelibatan aspek emosi di dalamnya. Ada pula orang yang sedih berlarut-larut dan merasa bosan menjalani hidup.
Dalam hal ini, ada yang perlu diluruskan terlebih dahulu. Kita kerapkali mengartikan emosi dengan marah. Jika ada orang yang marah, kita seketika mengatakan orang itu emosi. Padahal, marah hanya bagian dari bentuk emosi. Jika kita menyaksikan korban bencana alam lantas kita tergugah untuk memberikan bantuan, maka hal itu juga bagian dari emosi. Mohamad Surya (2003) menjelaskan bahwa emosi merupakan warna afektif yang menyertai setiap perilaku individu, yang berupa perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi situasi tertentu. Artinya, perilaku kita merupakan gambaran dari emosi yang ada pada diri kita.
Dalam diri kita, emosi tak berdiri sendiri. Pada umumnya, emosi memiliki hubungan dengan kognisi dan tindakan. Interaksi antara kognisi, emosi, dan tindakan mencerminkan satu sistem hubungan sebab akibat. Albert Ellis mengungkapkan bahwa kognisi sangat penting dalam memberikan kontribusi terhadap emosi dan tindakan, emosi juga berkontribusi atau menjadi sebab terhadap kognisi dan tindakan, serta tindakan berkontribusi atau menjadi sebab kognisi dan emosi. Bila seseorang mengalami perubahan dalam salah satu dari tiga ranah itu, maka cenderung akan mengalami perubahan dua lainnya (Mohamad Surya: 2003)
Untuk menjelaskan hal di atas, kita bisa melihat beberapa contoh berikut ini: (1). Seorang siswa memahami bahwa mendapatkan nilai baik itu penting. Pentingnya mendapatkan nilai baik tertanam dalam kognisinya, maka ia memiliki emosi menyukai setiap apa yang diterangkan oleh guru di depan kelas dan menyukai pelajaran apapun. Ia pun melakukan tindakan dengan giat belajar, (2). Seseorang melakukan tindakan membakar sampah sembarangan, lalu terjadi kebakaran. Karena kejadian itu, ia mungkin akan memiliki emosi membenci api. Bahaya api terekam dalam pikirannya.
Emosi memang tak terpisahkan dalam diri seseorang. Ekspresi dari emosi bisa positif, bisa pula negatif. Ekspresi negatif dari emosi, misalnya suporter sepakbola tak terima tim yang didukungnya kalah lantas marah dan menghujat atau melempari wasit di lapangan. Ekspresi dari emosi yang negatif tentu tak baik. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa menyaksikan dampak dari emosi yang ditunjukkan secara tak positif, sehingga berakibat buruk terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan sekitar. Maka, pengendalian emosi menjadi niscaya.
Pada titik ini, pengendalian dari emosi marah penting ditekankan. Pasalnya, perilaku tak bijak umumnya akibat ekspresi dari emosi marah yang tak terkendali. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabat, “Menurut kalian, siapakah orang yang paling kuat?” Para sahabat menjawab, “Orang yang tak dapat dikalahkan oleh orang lain.” Rasulullah SAW berkata, “Bukan. Orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah.”(HR. Muslim dan Abu Dawud). Dari hadits tersebut, ada pelajaran agar kita bisa mengendalikan emosi marah. Orang dikatakan kuat bukan karena ditakuti oleh orang lain, tetapi kemampuan mengendalikan diri untuk tak meluapkan kemarahan.
Mungkin bagi sebagian kita masih begitu sulit mengendalikan emosi marah. Jika kita menyadari, emosi marah cenderung membuat kita tak mampu berpikir dengan akal sehat. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Hendaklah salah seorang di antara kalian tidak menjatuhkan putusan hukum di antara dua orang saat ia sedang marah.”(HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i). Dalam konteks luas, kita hendaknya tak membuat putusan apapun ketika marah karena pikiran kita cenderung tidak jernih saat marah. Kasus pembunuhan yang kerapkali terjadi dimungkinkan akibat putusan-putusan yang diambil ketika marah. Karena keinginan tak terpenuhi, ada anak yang marah dan mengambil putusan membunuh orangtuanya. Ada pula orang yang membunuh saudaranya atau orang lain karena sakit hati dan faktor lainnya.
Untuk mengendalikan emosi marah, ada sabda Rasulullah SAW yang kerapkali kita dengar, “Sungguh, marah adalah setan. Dan sungguh, setan diciptakan dari api. Api hanya dapat dipadamkan dengan air. Maka, jika salah seorang dari kalian marah, wudhulah.”(HR. Abu Dawud). Berwudhu boleh jadi bisa mengatasi emosi marah kita. Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian marah, dan saat itu ia dalam keadaan berdiri, maka duduklah, karena itu akan menghilangkan amarahnya. Jika belum reda, maka berbaringlah.”(HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Pemaparan di atas terkait dengan emosi marah. Ada emosi lainnya, seperti benci, dengki, sedih, dan lainnya. Emosi senang dan cinta pun perlu dikendalikan dan diarahkan, karena bisa juga berefek buruk apabila berlebihan. Beragam bentuk emosi itu wajar terdapat pada diri kita. Hanya saja kita perlu mengendalikan dan mengarahkan ke hal-hal positif. Kita yang dapat mengendalikan dan mengarahkan emosi secara positif berarti memiliki kepribadian yang sehat. Kita akan terus belajar untuk itu. Wallahu a’lam.(HENDRA SUGIANTORO, Pegiat Transform Institute, Yogyakarta).
Judul Buku: Sendratari Mahakarya Borobudur Penulis: Timbul Haryono dkk Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta Cetakan: I, Mei 2011 Tebal: x+142 halaman
Membaca buku ini kita diajak mengenal lebih jauh dan lebih mendalam tentang Candi Borobudur. Mungkin tak banyak yang mengetahui jika di Candi Borobudur juga terdapat karya seni budaya dalam bentuk drama tari. Tarian tersebut dipentaskan dengan melibatkan hampir sekitar 200 seniman.
Diawali dengan pemaparan sejarah Candi Borobudur, buku ini memaparkan data dan fakta semenarik mungkin. Candi yang berlatar belakang agama Buddha ini berdekatan dengan pertemuan dua sungai, yakni Sungai Elo dan Sungai Progo. Konon Candi Borobudur dibangun sekitar tahun 800 M. Laporan pertama tentang candi ini pada abad XIX ditulis saat Thomas Stamford Raffles berkunjung ke Semarang tahun 1814. Kala itu bangunan candi sudah berupa reruntuhan. Perbaikan terhadap bangunan candi pun digagas dan dilakukan.
Candi Borobudur tak sekadar bangunan candi, namun menyimpan nilai-nilai filosofis. Untuk mengungkap makna filosofis tersebut diadakanlah Sendratari Mahakarya Borobudur. Karya tari kolosal ini merupakan perpaduan tarian istana Surakarta dan tarian rakyat yang hidup dan berkembang di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Kedua genre tersebut merupakan warisan seni yang telah berkembang sejak zaman Mataram Kuno abad VII. Tema yang diangkat sebagai pijakan adalah sejarah dibangunnya Candi Borobudur di masa kejayaan Maharaja Samaratungga. Alur ceritanya meliputi lima adegan: (1). Kehidupan Masyarakat di Bukit Menoreh, (2). Kebesaran Kerajaan Mataram Kuno, (3). Gotong Royong Masyarakat di Bukit Menoreh, (4). Pembangunan Candi Borobudur, dan (5). Berdoa.
Sendratari Mahakarya Borobudur dipentaskan di malam hari dengan durasi sekitar 60 menit. Dalam adegan awal digambarkan kehidupan masyarakat yang masih labil keyakinan hidupnya. Kondisi mulanya memang damai dan tenteram, lalu berubah brutal, penuh keserakahan, angkara murka, dan saling menindas yang menyebabkan suasana mencekam. Muncullah tokoh spiritual Rakai Pancapana Panangkaran yang mampu mengendalikan situasi dan tanggap terhadap perbuatan manusia yang tak terpuji. Ia membina umatnya kembali ke jalan yang benar dengan mengajarkan jalan kehidupan yang baik. Ajaran itu mampu diserap dan dikuasai oleh putranya bernama Samaratungga yang kemudian diaplikasikan di batu berundak berupa “candi”, berisi ajaran hidup “kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu”. Samaratungga lalu diangkat sebagai Raja Mataram Kuno. Setelah itu, cerita mengalir menggambarkan kehidupan masyarakat di zaman Mataram Kuno sampai bisa membangun Candi Borobudur secara gotong royong (halaman 27-87).
Dari adegan demi adegan itu, kisah historis dan nilai filosofis Candi Borobudur coba dikisahkan. Buku ini mencoba memaparkannya kepada pembaca.(HENDRA SUGIANTORO, pembaca buku, tinggal di Yogyakarta).
Artinya, maaf-memaafkan hendaknya tidaklah seremonial belaka. Ngaku lepat juga harus bersedia memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain karena setiap manusia tak luput dari salah dan khilaf. Saling maaf-memaafkan jika masih ada kebencian berarti belum saling memaafkan. Meminta maaf atas kesalahan terhadap sesama memang harus dinyatakan langsung kepada manusia bersangkutan. Azyumari Azra (2005) menuturkan bahwa pemaafan tidak sekadar aktualisasi sikap moral bernilai tinggi yang terisolasi, tetapi berkaitan dengan tujuan yang tak kurang mulianya, yakni perbaikan hubungan antar-manusia yang sebelumnya tercabik-cabik penuh kebencian dan dendam. Dengan kandungan mulia seperti itu, pemaafan secara implisit juga berarti menunjukkan kesiapan untuk kembali hidup berdampingan secara damai di antara manusia yang berbeda dengan segala kelemahan dan kekeliruan masing-masing.
Dalam tradisi syawalan, laku saling maaf-memaafkan dengan konsekuensi sebagaimana diutarakan di atas harapannya memang benar-benar dijalankan. Di sisi lain, tradisi syawalan hendaknya kian mempererat hubungan sosial dan meneguhkan kesadaran sosial. Apa yang kita saksikan selama ini terasa janggal. Sebut saja misalnya wajah ceria dan penuh senyuman dalam acara syawalan. Yang kaya dan yang miskin menampakkan keceriaan dalam semangat persaudaraan seolah-olah tak ada kesenjangan sosial. Namun, apa yang kita lihat senyatanya? Suasana persaudaraan itu seperti kamuflase ketika dalam kehidupan justru menonjol semangat individualisme. Kepedulian dan empati sosial seakan-akan hilang usai lebaran dan syawalan.
Maka, kerukunan hidup dan kekeluargaan perlu senantiasa terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tradisi syawalan seyogianya menguatkan kepekaan, kepedulian, rasa kebersamaan sosial, dan mengembangkan jiwa-jiwa sosial untuk berbagi dengan sesama. Keimanan kita seyogianya menjadi landasan dan arah bagi pemuliaan kemanusiaan. Saat Syawalan, semoga tumbuh kesadaran kita untuk merealisasikan titah Tuhan: menegakkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, menciptakan keadilan sosial, dan menjadi rahmat bagi semesta. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO, Pegiat Pena Profetik, tinggal di Yogyakarta