Antikorupsi, Budaya Masa Depan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa Harian Jogja, Selasa, 3 Februari 2009

BERITA yang terasa membuat bangga kota ini dikeluarkan Transparansi International Indonesia (TII). Dalam survei terkait Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2008, kota Jogja menduduki peringkat terbersih dengan poin 6,43. Hasil survei ini tentu merupakan prestasi tersendiri karena kota Jogja mampu berada di posisi puncak mengungguli 48 kota lainnya yang disurvei. Namun demikian, persepsi bersih korupsi ini tidak lantas menjadikan kota Jogja harus lupa daratan. Dengan poin 6,43, kota Jogja hanya berselisih 3,46 poin dibandingkan Kupang yang berada di posisi buncit. Pun, kota Jogja belum mencapai poin 10 alias benar-benar bersih dari korupsi

Perang terhadap korupsi
Yang jelas, upaya pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti di kota Jogja ini. Benar apa yang dikatakan Sri Sultan Hamengku Buwono X saat menyaksikan penandatanganan kesepakatan antara pihak kepolisian, kejaksaan, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) DIY untuk menuntaskan penanganan kasus korupsi pada Jum’at, 2 Agustus 2008 silam. Tindakan korupsi adalah public enemy. Korupsi mengakibatkan kesengsaraan luar biasa bagi masyarakat dan merupakan musuh masyarakat nomor satu, kata Sri Sultan. Sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), genderang perang terhadap korupsi di kota Jogja ini mutlak harus ditabuh. Tentu saja, selain pemerintah, pemberantasan korupsi juga menjadi tanggung jawab moral seluruh warga masyarakat Jogja. Dengan hasil survei yang dikeluarkan TII, kota Jogja harus terlecut berbuat lebih nyata lagi dalam memerangi tindakan korupsi dan menjadikan kota ini benar-benar bersih korupsi.
Lebih dari itu, pembentukan mentalitas manusia antikorupsi yang berangkat dari kesadaran organis, bukan karena takut dengan hukuman menjadi hal yang penting. Apalagi bagi kota Jogja yang merupakan kota pendidikan, upaya menciptakan kebiasaan antikorupsi melalui proses pendidikan harus terus dilakukan. Sebagaimana kita ketahui, istilah pendidikan antikorupsi sudah lama didengungkan dalam dunia pendidikan kita. Salah satu metode pendidikan antikorupsi yang dilakukan beberapa sekolah akhir-akhir ini adalah dengan membentuk kantin/warung/koperasi kejujuran. Tujuan dari kantin/warung/koperasi kejujuran ini tak lain untuk menanamkan budaya antikorupsi kepada siswa. Selain itu, metode membentuk manusia antikorupsi tentu bisa diciptakan lebih banyak lagi. Jelasnya, pembentukan manusia yang antikorupsi merupakan tugas penting dunia pendidikan. Ada pertanyaan yang layak kita renungkan, kalau memang korupsi di negeri ini tumbuh akibat dibiasakan dan selanjutnya menjadi perilaku yang menggejala, mengapa kita tidak menciptakan kebiasaan antikorupsi untuk menjadi budaya masa depan? Kota Jogja sebagai kota pendidikan tentu saja perlu membangun budaya masa depan itu. Berawal dari Jogja , Indonesia masa depan memiliki budaya antikorupsi lewat pembentukan manusia antikorupsi yang menempuh pendidikan di kota ini.
Pada titik ini, penulis sepakat dengan Moh Yamin (2008) bahwa pendidikan antikorupsi bagi anak-anak negeri yang masih menimba pendidikan, pendekatan diarahkan pada pembentukan moralitas serta penguatan kesadaran sosial, termasuk pembentukan mentalitas dan karakter yang bersih dari perilaku dan tindakan koruptif. Dengan demikian, ketika menjadi pejabat kelak di kemudian hari, mereka tidak melakukan korupsi. Mereka menjadi pejabat yang betul-betul bekerja untuk rakyat (pamong praja). Menggunakan uang negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan kemajuan bangsa.
Pungkasnya, perang terhadap korupsi secara ofensif yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan memang selayaknya dilakukan. Namun, di sisi lain, kita berkewajiban mendidik anak-anak negeri di masa kini agar bersih dari korupsi. Kebiasaan antikorupsi yang ditanamkan akan menjadi budaya Indonesia masa depan, yakni budaya Indonesia yang antikorupsi. Ya, tugas mendesak kita adalah melahirkan generasi masa kini yang memiliki budaya antikorupsi untuk masa depan Indonesia . Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta

Pemilu 2009 dan Peran Mahasiswa

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
DImuat di Jagongan Harian Jogja, Senin 2 Februari 2009

KAMPANYE calon anggota legislatif dan juga partai politik dipastikan menggeliat pada tahun 2009 ini. Pemilu legislatif yang sekitar tiga bulan lagi akan dimanfaatkan para caleg untuk mati-matian mempengaruhi masyarakat. Apalagi dengan digolkannya perolehan suara terbanyak oleh Mahkamah Konstistusi, para caleg berusaha untuk dapat memikat masyarakat agar kemudian memilihnya. Strategi kampanye juga dilancarkan para tokoh yang sudah mendeklarasikan diri menjadi capres pada 2009.
Bagi mahasiswa, Pemilu 2009 selayaknya dijadikan momentum strategis memperbaiki wajah pemerintahan. Hasil Pemilu 2009 jelas akan menentukan wajah bangsa dan negara untuk lima tahun ke depan. Maka, mahasiswa perlu membangun kesadaran masyarakat agar memilih secara bijak dan cerdas. Dengan menggunakan kendaraan organisasi mahasiswa, peran-peran penyadaran masyarakat ini bisa dilakukan secara massif.

Harapan terhadap mahasiswa untuk berperan signifikan dalam Pemilu 2009 tentu tidaklah berlebihan. Adanya fenomena tawuran akhir-akhir ini memang memunculkan pesimisme terkait peran mahasiswa. Mahasiswa sebagai aktor intelektual ternyata tanpa malu menggunakan cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Mahasiswa juga disinyalir telah terjebak pada pragmatisme sehingga memandulkan gerak idealismenya. Pesimisme tersebut justru terlalu berlebihan. Diakui atau tidak, sampai saat ini kita terperangkap pada pernyataan bahwa mahasiswa merupakan pilar kebangkitan yang seolah-olah menjadi kebenaran. Padahal, pernyataan itu sekadar jargon atau kalimat motivasi untuk membangun kesadaran mahasiswa. Jika mau jujur, mahasiswa hanya bagian dari pilar kebangkitan. Pun, tidak seluruh mahasiswa mampu memainkan peran sebagai aktor perubahan sosial. Yang tidak bisa kita lupakan adalah terdapat proses penempaan sehingga mahasiswa mampu menjadi pilar kebangkitan bagi kehidupan bangsa dan negara. Nah, mahasiswa yang berhasil dalam penempaan bisa dikatakan hanya beberapa mahasiswa saja di antara ratusan ribu mahasiswa lainnya.
Dengan demikian, mahasiswa yang memang pedulilah yang akan turun ke masyarakat untuk melakukan upaya pencerdasan. Selain itu, mahasiswa tentu saja harus konsisten mengawal jalannya proses Pemilu. Mahasiswa melalui organisasinya bisa memantau rekam jejak untuk meneliti lebih lanjut sosok dari para caleg dan calon pemimpin. Mahasiswa perlu menyatukan barisan untuk menolak politisi yang dikategorikan busuk dan kemudian disosialisasikan ke masyarakat.
Pastinya, proses Pemilu 2009 tetap membutuhkan peran mahasiswa pemuda yang kritis dan peduli. Hanya mahasiswa yang memiliki kekokohan idealismelah yang akan turut serta menghadirkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa melalui Pemilu 2009. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281

Barack “Israel” Obama

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Pembaca Duta Masyarakat, Senin 2 Februari 2009

Presiden Amerika Serikat ke-44 telah dilantik (20/1). Pelantikan ini merupakan saat yang ditunggu-tunggu untuk melihat lebih lanjut langkah Barack Obama melakukan perubahan di negaranya, bahkan di dunia. Masyarakat AS berharap agar dampak pemerintahan George W Bush yang meninggalkan krisis keuangan akut di AS dapat terselesaikan di tangan presiden berkulit hitam pertama di AS itu. Selain penyelesaian krisis finansial global, masyarakat dunia juga menaruh harapan agar AS di tangan Obama mampu menciptakan hubungan internasional yang baik dan saling menghormati terutama dengan dunia Islam.
Disadari atau tidak, harapan demi harapan terhadap Obama yang terlalu berlebihan justru bisa menciptakan bumerang. Obama adalah manusia yang jelas bukanlah Tuhan. Jika masyarakat dunia menaruh harapan, Obama juga berharap mampu menjadi presiden AS yang membawa negaranya lebih baik. Obama tetaplah presiden AS yang berada dalam lingkaran sistem dan tradisi di negeri berjulukan Paman Sam itu. Apalagi menyangkut persoalan Palestina yang dibombardir selama tiga pekan oleh Israel beberapa waktu lalu, kebijakan Obama tetaplah mengikuti cara pandang dan paradigma AS selama ini. Pengaruh lobi-lobi Zionis dalam pemerintahan AS tak bisa dielakkan akan mempengaruhi kebijakan Obama. Meskipun Obama dalam pidato pelantikannya menyatakan akan bekerja sama dengan negara-negara Islam dalam bingkai saling menghormati, pernyataan itu masih ambigu. Obama memang berencana memulangkan tentaranya dari Irak dan mengupayakan perdamaian di Afghanistan, namun Obama masih saja berpikiran bahwa AS adalah polisi dunia.

Pada titik ini, kita bisa cermati pernyataan Obama terkait ”terorisme”. Dalam pidato pelantikannya, Obama memperingatkan pihak yang melakukan terorisme bahwa Amerika tetap kuat dan tidak dapat diremehkan. Persoalannya, apa makna terorisme menurut Obama? Banyak definisi tentang terorisme. Asep Syamsul M Romli (2000) mengatakan sulit menemukan definisi terorisme yang diterima secara universal, bahkan di antara para akademisi dan ilmuwan sosial sekalipun. Yang jelas—dan ini pasti disepakati—terorisme merupakan aksi atau tindak kekerasan (violence) yang merusak (destructive). Terrorisme is use of violence and intimidation, especially for political purposes (penggunaan kekerasan dan intimidasi, terutama untuk tujuan-tujuan politik), menurut Oxford Paperback Dictionary terbitan Oxford University Press, 1979.
Sekali lagi, apa makna terorisme menurut Obama? Kita cermati pernyataan Obama yang mengatakan bahwa AS akan tetap mendukung Israel untuk mempertahankan diri dari aksi-aksi teror. Pernyataan yang diucapkan Obama itu menegaskan dukungan butanya terhadap Israel. Israel yang melakukan kekerasan terhadap penduduk Palestina dan mengusir penduduk asli Palestina dari negaranya malah dibela oleh Obama. Padahal jelas, Israel telah melakukan terorisme terhadap penduduk Palestina; tidak hanya saat ini, tapi sudah berpuluh-puluh tahun lamanya.
Pastinya, amat naif jika kita menaruh apresiasi terhadap Obama yang kini menduduki tahta di Gedung Putih AS. Selama kampanye menjadi presiden AS, Obama pun tidak jarang membuat pernyataan bahwa AS akan selalu menjadi teman dekat Israel. Dukungan terhadap Zionis Israel juga tampak nyata ketika Obama mengunjungi dan berdoa di Tembok Ratapan saat masa kampanye presiden AS pada 24 Juli 2008 Obama di hadapan American Israel Public Affairs Council (AIPAC) pernah menyatakan bahwa Yerusalem akan tetap menjadi ibukota Israel.
Jadi, Obama tetap akan mendefiniskan terorisme sesuai akal pikiran AS selama ini yang berstandar ganda. Kerjasama dengan negara-negara Islam dengan prinsip saling menghormati sebagaimana dikatakan Obama saat pelantikan juga akan diselaraskan dengan alam pikiran dan nafsu AS yang merasa menjadi polisi dunia. Hamas yang nyata-nyata berjuang untuk meraih kemerdekaan Palestina malah disebut Obama sebagai organisasi teroris. Yerusalem yang sah wilayah Palestina juga dikatakan menjadi ibukota Israel, padahal Yerusalem adalah tanah Palestina yang diduduki Israel.
Ya, apa mau dikata, Obama adalah Obama yang menjadi presiden di AS. Obama pernah juga mengatakan di depan The National Jewish Democratic Council pada bulan Februari 2007 bahwa jika dia menjadi presiden Amerika maka negaranya akan membantu Israel. Dan, kini Obama telah resmi menjadi Presiden AS ke-44 dan telah bertahta di Gedung Putih. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281
Email: hendra_lenteraindonesia@yahoo.co.id
http://dutamasyarakat.com/1/02dm.php?mdl=dtlartikel&id=10297