Pernak-pernik Pelajaran Hidup

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada Koran Jakarta, Sabtu 9 Oktober 2010

Judul Buku: Jaman Penjor: 80 Kisah Inspiratif dan Mencerahkan Penulis: GusHar Wegig Pramudito Penerbit: Leutika Yogyakarta Cetakan: I, April 2010 Tebal: viii+260 hlm Harga: Rp. 48.000,00

DALAM hidup, kita bisa belajar pada sosok Petruk, salah satu tokoh punakawan dalam dunia wayang. Sebagaimana kita ketahui, Petruk mempunyai ilmu “Kanthong Bolong” alias kantong yang berlubang. Semua bisa masuk tanpa mengubah bentuk kantong tersebut. Bayangkan, kita mempunyai sebuah kantong yang bawahnya berlubang dan tidak dijahit, uang yang kita masukkan akan langsung jatuh dan tidak mampir di kantong. Sebuah filosofi yang sangat tinggi. Jika kita mempunyai kantong yang tertutup, semakin lama kita mengisi kantong akan semakin gemuk kantong kita. Ketika kantongnya sudah penuh tidak bisa lagi diisi dengan uang. Artinya, jika kantong kita tidak bolong, suatu saat justru akan menutup pintu rezeki kita karena sudah tidak ada tempat lagi untuk menampungnya. Tetapi, jika kantong itu bolong, kantong tidak pernah bisa penuh seberapa pun kita memasukkan uang. Setiap saat masih bisa diisi berapa pun (hlm. 27).

Boleh dibilang bahwa kita justru berbeda dengan Petruk. Yang kita miliki adalah “Kantong Buntet”. Setiap saat kita hanya menumpuk-numpuk harta, bahkan didapatkan dengan jalan tak halal. Pikiran kita diburu dengan obsesi memiliki harta berlimpah. Harta yang kita miliki kerapkali bukan gambaran kebutuhan kita yang sebenarnya. Kita malah menjadi manusia yang menghamba pada harta dan enggan mendermakan harta kepada orang lain yang lebih membutuhkan.

Membuka setiap halaman buku ini, kita memang diajak untuk merenung. Termasuk halnya merenungkan benda bernama penjor. Bagi kebanyakan kita, penjor mungkin benda remeh-temeh. Penjor adalah umbul-umbul yang berbentuk rumbai-rumbai bambu. Dari amatan sekilas, penjor sepertinya hanya berfungsi sebagai penanda kemeriahan. Setelah bambu dipasangi berbagai hiasan, kita menanamnya ke dalam tanah dengan kuat agar tak roboh. Jadi, harus dibuat lubang tanah yang sangat dalam untuk menanam pokok batang bambunya. Pokok batang bambu yang paling bawah adalah yang paling tebal, kuat, dan lurus. Semakin ke atas semakin menipis, bahkan bengkok pada ujungnya. Pada pucuk yang bengkok dan banyak rantingnya itulah yang dihiasi dengan beragam hiasan agar terlihat meriah. Bagian atas ini pulalah yang kerap dipamer-pamerkan agar dilihat dan dikagumi banyak orang. Penjor akan dirobohkan jika masa perayaaan usai. Nah, dalam mencabut pokok bambu yang tertanam di tanah ternyata perlu kerja keras lebih dibandingkan saat menanamnya. Jika semangat dan kesabaran habis, biasanya terpaksa digergaji dan dipotong mepet dengan tanah, meninggalkan begitu saja pokok batang bambu yang kuat dan lurus. Adakah nilai falsafah dalam penjor? Coba kita pandangi penjor yang menari-nari ditiup angin. Kita hiasi, kagumi, dan pamerkan bagian atasnya yang tipis, bengkok, dan bercabang-cabang. Bagian yang lurus dan kuat, kita tanam ke dalam tanah dan tak dihiraukan. Mungkin penjor ini adalah gambaran zaman. Zaman di mana orang-orang yang teguh dan lurus telah kita lupakan dan ditanam dalam-dalam, sedangkan yang bengkok justru kita kagumi (hlm. 200-201).

Tanpa kita sadari, setiap yang kita jumpai dalam kehidupan mengandung berbagai hikmah, pelajaran, kritik, dan refleksi. Benarkah pejabat birokrasi memahami makna dari kalimat Sanskerta “Tan Hana Dharma Mangrwa”? yang berarti “tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan dengan posisi mendua”? Tugas birokrat adalah melayani masyarakat. Agar bisa melayani dengan baik, maka bikrokrat harus berada pada posisi sebagai pelayan, bukan majikan. Jika dalam melayani publik masih bermental majikan, maka sulit melayani sepenuh hati. Birokrat bisa melayani dengan baik jika tak berada dalam dua posisi: setengah pelayan, setengah majikan.

Banyak hal lainnya yang dipaparkan penulis lewat 80 kisah dalam buku ini. Pelajaran-pelajaran berharga coba digali. Mungkin saja ada pemaknaan penulis yang berbeda dengan kita. Apapun pemaknaannya, tak ada tujuan lain kecuali kita bisa menjadikan kehidupan lebih baik. Selamat membaca.
HENDRA SUGIANTORO
Penulis lepas, tinggal di Yogyakarta
http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=64587