Izinkanlah Rakyat Menikmati Kemerdekaan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Kamis, 20 Agustus 2009

Senin, 17 Agustus 2009, lalu kita memperingati 64 tahun kemerdekaan Indonesia. Seperti biasa, setiap hari kemerdekaan selalu terjadi dialektika: benarkah negeri ini sudah merdeka? Sebagian dari kita mengatakan Indonesia belumlah merdeka karena ternyata kehidupan rakyat tak pernah mencapai kemakmuran. Kesemrawutan negeri ini seolah-olah tak pernah bisa diatasi dan terus silih berganti menghantam. Di lain pihak, sebagian kita menyatakan bahwa negeri ini sudah merdeka. Hanya saja kemerdekaan yang telah diraih belum kuasa menata sepenuhnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apapun perbincangan soal itu, kita tentu saja menyadari bahwa negeri ini telah lepas dari belenggu penjajahan negara asing. Semenjak diproklamasikan kemerdekaan Indonesia, negeri ini telah tercatat sebagai negara merdeka. Meskipun kita boleh saja mengatakan kemerdekaan negeri ini sebatas de jure dan belumlah secara de facto, bukan berarti kita lupa untuk mensyukuri. Pun, kita pasti tidak menutup mata bahwa negeri ini dimerdekakan dengan perjuangan mahadahsyat para pahlawan kita tempo dulu.

Perjuangan para pahlawan yang berkorban jiwa dan raga memerdekakan negeri ini sepatutnya kita syukuri dengan bekerja dan berkarya nyata menata negeri. Indonesia merdeka, kata Bung Karno dalam bukunya bertajuk Dibawah Bendera Revolusi, adalah suatu jembatan emas untuk membangun gedung Indonesia yang sempurna. Dari pernyataan Bung Karno itu mengandung pengertian jika Indonesia pasca-proklamasi 1945 belumlah berada dalam kondisi ideal. Dengan kata lain, perjalanan lebih lanjut harus dilalui bangsa ini untuk mencapai kondisi Indonesia yang dicita-citakan.

Untuk itu, mewujudkan tatanan Indonesia yang lebih baik tak boleh berhenti. Diperlukan kerja keras dan komitmen bersama agar Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur benar-benar tercapai. Dari sudut penjajahan secara fisik, Indonesia memang dikatakan telah merdeka pada 1945, namun pencapaian kemerdekaan secara hakiki masih membutuhkan perjuangan panjang. Pertanyaannya, kapankah kemerdekaan secara hakiki mampu diraih bangsa ini?

Negeri ini jelas terlalu lelah untuk terus-menerus menghadapi badai permasalahan. Tak menjadi soal bagi kalangan elite yang duduk manis di lingkaran kekuasaan, pedihnya permasalahan justru dialami oleh rakyat yang berada di lapisan bawah. Mereka yang terhitung lapisan rakyat kecil cenderung tak berdaya menjalani kehidupan yang tidak memihak padanya. Elite kekuasaan bisa nyaman saja menikmati segala fasilitas supermewah, tapi rakyat kecil terhimpit tak kepalang. Kesusahan bertubi-tubi dihadapi rakyat kecil akibat negara tak mampu memenuhi hak dasarnya. Disadari atau tidak, para penyelenggara negara acap kali kurang peka merasakan dan memahami penderitaan rakyat. Yang sering kali tampak dari sikap dan perilaku para penyelenggara negara adalah orientasi kepentingan pragmatis.

Ketidakpekaan kalangan elite kekuasaan sebegitu parahnya sehingga tidak malu penderitaan rakyat kecil di negeri ini disaksikan negara luar. Dilihat secara bening dan jernih, sepertinya hampir tidak ada bedanya hidup di zaman koloni maupun hidup di alam kemerdekaan. Di alam kemerdekaan, kita bisa melihat rakyat kecil masih kerepotan sekadar untuk memenuhi kebutuhan primer. Kenaikan harga kebutuhan pokok di luar batas pendapatan jelas-jelas membebani rakyat miskin. Setiap harga-harga kebutuhan pokok naik, pemerintah tak pernah berpikir sejauhmana telah menciptakan penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi rakyatnya. Begitu pula kita bisa melihat fakta pendidikan di negeri ini. Jika di zaman penjajahan hanya kaum elite atau priyayi yang bisa mengenyam bangku pendidikan, kini malah tak jauh berbeda. Fenomena terus naiknya biaya masuk jenjang pendidikan adalah kenyataan yang terus membuat rakyat kecil terhimpit. Setiap tahun lembaga pendidikan menaikkan biaya sehingga tanpa disadari kian menghambat akses lapisan masyarakat miskin.

Entah apa lagi yang bisa kita ceritakan terkait kondisi negeri ini. Memang kita bangga jika negeri ini dikatakan memiliki sumber daya yang melimpah, namun kebanggaan itu hanya menyisakan kepiluan. Sumber daya yang semestinya bisa untuk memakmurkan negeri ini justru tidak menghasilkan manfaat. Kita melihat betapa teganya para pengendali kekuasaan menjual aset-aset strategis negara kepada pihak asing seakan-akan tidak merasa bersalah terhadap para pahlawan yang dahulu bersusah payah merebut Tanah Air ini dari cengkeraman negara asing.

Di usia 64 tahun kemerdekaan RI, pemerintah sebagai representasi negara seyogianya bersedia melalukan introspeksi terkait dengan kinerja-kinerjanya selama ini. Sebagaimana dijelaskan dalam Pembukaan UUD 1945, ada cita-cita negara Indonesia yang hendak diwujudkan, yakni Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Tanpa basa-basi, kita mengajak pemerintah menyadari fungsi dan kewajibannya. Pastinya, Indonesia yang benar-benar merdeka akan tercapai jika pemerintah mampu menjalankan fungsinya secara baik. Benar-benar merdeka artinya rakyatnya juga merdeka, tidak hanya negara merdeka secara yuridis-formal.

Ya, izinkanlah rakyat untuk menikmati kemerdekaan di negeri ini yang dahulu diperjuangkan para pahlawan. Dirgahayu Republik Indonesia dan selamat berkarya membangun “gedung” Indonesia yang sempurna. Wallahu a'lam.

HENDRA SUGIANTORO
pegiat Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta