Merindukan Pemimpin Peduli Rakyat

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini SUARA KARYA, Jum'at, 28 Juni 2013 

Betapa seringnya kita mendengar soal krisis kepemimpinan. Tak cuma terkait dengan kaderisasi kepemimpinan, tetapi juga karakter kepemimpinan. Pemimpin-pemimpin di negeri ini acapkali diragukan integritasnya. Terkait karakter kepemimpinan, kita tentu saja tak bisa melakukan generalisasi. Di tengah pemimpin-pemimpin yang dinilai buruk, masih ada pemimpin-pemimpin yang terpuji. Di negeri ini masih terdapat pemimpin-pemimpin yang bertanggungjawab membangun kehidupan masyarakatnya.

Yang perlu disadari, menjadi pemimpin itu sebenarnya merupakan tanggung jawab yang tak ringan. Pemimpin harus mampu membawa masyarakatnya pada kehidupan yang baik, adil, sejahtera, dan senantiasa dalam limpahan berkah Ilahi. Mungkin adakalanya pemimpin itu lupa dengan tanggung jawabnya. Kekuasaan acapkali melenakan, sehingga pemimpin lalai mengurusi masyarakatnya. Maka, sesungguhnya pemimpin itu harus terus-menerus melakukan evaluasi diri. Sebagai manusia, kekurangan memang bisa dimaklumi, namun pemimpin yang baik harus senantiasa memperbaiki sikap dan perilaku kepemimpinannya. Pemimpin yang rendah hati pun harus menerima teguran dan kritik masyarakat agar lebih bisa mengaca diri untuk melakukan perbaikan.

Di sisi lain, tak salah apabila kita juga dituntut memotivasi, memberikan inspirasi, dan membangun spirit kepada pemimpin agar bekerja secara baik dan bertanggung jawab. Yang namanya manusia itu mudah lupa, maka kita mengingatkan pemimpin untuk memegang teguh janji setianya sebagai pemimpin untuk membangun kemaslahatan kehidupan masyarakat. Pemimpin tak hanya pada lingkup negara, tetapi juga pemimpin dalam lingkup daerah, seperti gubernur, bupati, walikota, bahkan ketua RT. Begitu juga anggota DPR/DPRD adalah pemimpin yang bertanggung jawab memperhatikan kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, penulis mencoba menceritakan sebuah kisah dari khazanah literatur Islam. Ada pelajaran berharga di dalamnya yang bisa dijadikan cermin oleh para pemimpin di negeri ini.

Dikisahkan, ketika itu Khalifah Umar bin Khaththab berkeliling Madinah dan menjumpai anak-anak menangis di malam hari karena perutnya kosong. Agar anak-anaknya terdiam dan tertidur, sang ibu yang anak-anaknya menangis itu berpura-pura membuatkan makanan, padahal tungku yang dipanasi hanya berisi air dan batu. Umar bin Khaththabpun bertanya dan bercakap-cakap dengan sang ibu yang tak tahu kalau yang berbicara itu adalah sang khalifah. Jawaban menyentuh sang ibu sungguh menghentak ketika Umar bin Khaththabbertanya, “Engkau tak memberi tahu Khalifah Umar?”. Pernyataan dari jawaban sang ibu yang juga menegur siapa pun pemimpin di negeri ini. Apakah jawaban sang ibu yang anak-anaknya menangis karena kelaparan itu? “Dialah yang seharusnya mengetahui keadaan kami. Dia memiliki kuda dan juga ribuan pegawai dan tentara. Dia seharusnya tak tidur nyenyak di rumahnya, sementara ada rakyatnya seperti kami yang kedinginan dan kelaparan,” jawab sang ibu.

Siapa pun pemimpin memang seyogianya menyadari bahwa kekuasaan yang dipegangnya mengandung kewajiban untuk menyejahterakan masyarakat. Seperti  Umar bin Khaththab yang tersentuh dengan jawaban sang ibu, pemimpin tak bisa begitu saja melihat penderitaan rakyatnya tanpa tindakan nyata. Tanpa menunggu esok hari, Umar bin Khaththabyang menyadari amanah kepemimpinan langsung bertindak cepat mengambil bahan makanan. Ketika pembantunya mencegah Umar bin Khaththabmembawa sendiri bahan makanan itu di pundaknya, Umar bin Khaththabberucap, ”Apakah kamu juga akan memanggul dosaku di hari kiamat kelak!”. Dialah Umar bin Khaththabyang tetap membingkai kepemimpinannya dengan nafas akhirat.

Diakui atau tidak, kehidupan sebagian masyarakat di negeri ini belum sepenuhnya terjamin secara layak. Kemiskinan dan kelaparan masih dirasakan sebagian masyarakat. Ketika menjumpai seorang ibu yang anak-anaknya kelaparan,  Umar bin Khaththabtak mengabaikan kehidupan masyarakat yang dipimpinnya. Umar bin Khaththabmenyadari amanah kepemimpinannya dan ingin hidup bersama masyarakat sehingga beliau berkeliling Madinah. Tak sekadar mengandalkan laporan, Umar bin Khaththabterjun sendiri menyaksikan wajah masyarakatnya meskipun larut malam. Mungkin istilah yang populer belakangan ini adalah blusukan kampung.

Sebagaimana Umar bin Khaththab, pemimpin seharusnya merasa takut kepada Allah SWT ketika mendengar kasus gizi buruk dan busung lapar. Bertindak nyata bagi kehidupan masyarakat perlu ditunjukkan oleh pemimpin yang tak membiarkan kasus kelaparan di negeri ini mencuat setiap tahunnya. Pemimpin dengan kekuasaannya seharusnya bisa melindungi masyarakatnya dari keterpurukan dan ketidakberdayaan. Tentu saja, sebagian masyarakat yang hidupnya kurang layak di negeri ini membutuhkan kepedulian dan tindakan nyata dari pemimpinnya. Pernah Aisyah berkata: ”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda dalam rumahku,”Ya Allah, barangsiapa yang menguasai sesuatu dari urusan pemerintahan umatku kemudian ia membuat kesengsaraan pada mereka, maka berilah kesengsaraan kepada orang itu sendiri, sedangkan barangsiapa yang menguasai sesuatu dari urusan pemerintahan umatku kemudian ia menunjukkan kasih-sayang kepada mereka, baik ucapan ataupun perbuatannya, maka kasih sayangilah orang itu."(HR. Muslim). Dari apa yang dituturkan Rasulullah SAW, pemimpin memang hendaknya mengurusi masyarakatnya secara baik. Pemimpin harus memberikan kasih sayangnya kepada masyarakat yang dipimpinnya.

Pungkasnya, tanggung jawab pemimpin amatlah berat. Pemimpin adalah pemelihara kehidupan masyarakatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban terkait kehidupan masyarakatnya secara vertikal moral di hadapan Allah SWT. Seorang pemimpin bukanlah dinilai dari retorika yang diucapkan, tetapi tindakan nyata untuk menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat. Selain memajukan kesejahteraan masyarakat, pemimpin bertanggung jawab mencerdaskan masyarakatnya. Pemimpin bertanggungjawab menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang senantiasa diselimuti keberkahan Ilahi. Wallahu a’lam.(HENDRA SUGIANTORO).

Mari Menegakkan Keteladanan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini KORAN MERAPI PEMBARUAN, Rabu, 19 Juni 2013 

Siang hari, seorang ayah memboncengkan anaknya yang berseragam Sekolah Dasar (SD). Di perempatan jalan, lampu lalu lintas akan berwarna merah sekian detik lagi. Dengan jarak yang masih jauh, ayah itu melajukan sepeda motornya sepenuh daya agar terhindar dari lampu merah. Namun, sebelum kesampaian, lampu merah telah menyala. Ayah itu selayaknya berhenti, menunggu nyala lampu hijau berikutnya. Entah apa yang ada di balik pikiran, ayah itu tetap saja menerjang lampu merah. Nanggung mungkin. 

Ilustrasi di atas kerapkali kita jumpai. Bahkan, lampu belum benar-benar hijau pun, setiap kendaraan terburu-buru ingin bergegas. Sekian detik lagi lampu akan hijau, bunyi klakson telah berdesingan. Kita seolah-olah lupa kewajiban untuk tertib di jalan raya. Mematuhi rambu-rambu lalu lintas adalah salah satu etika sosial, karena menyangkut kenyamanan dan keselamatan pengguna jalan lainnya. Disadari atau tidak, apa yang dilakukan sang ayah dalam ilustrasi di atas memberikan keteladanan kurang positif. Anaknya yang membonceng sedikit banyak telah belajar sikap dan perilaku di jalan raya dari ayahnya. Konsep nilai-nilai yang ditanamkan di bangku sekolah tak sejalan dengan contoh yang ditemuinya. 

Kita ambil kasus lain. Ada seorang guru terlambat mengajar. Dengan penuh kesabaran, siswa-siswanya menanti. Masih lebih baik apabila guru tersebut memohon maaf atas keterlambatannya. Namun, ketika tiba di kelas, guru cenderung tak ada perasaan bersalah. Padahal, kalau ada siswa yang terlambat, urusannya kerapkali lebih ribet, seperti harus izin ke guru piket, ditanyai alasannya terlambat, dan semacamnya. Siswa dimintai tanggung jawab, namun jarang diteladankan oleh guru-gurunya yang (pernah) terlambat masuk kelas. Terlambat lima menit pun, guru selayaknya bertanggung jawab di hadapan siswa-siswanya. Tak hanya menyampaikan alasan, tetapi perlu meminta maaf. Pasalnya, ketika guru terlambat mengajar, ada hak siswa terkait waktu belajar di sekolah yang terkurangi. Disiplin waktu perlu menjadi budaya sekolah yang dicontohkan guru.

Siapa pun tentu memahami betapa pentingnya keteladanan. Pendidikan bukan sekadar teori, petuah, dan rumus-rumus. Dalam arti luas, ujar Fuad Hassan (2004), pendidikan terjadi melalui tiga upaya utama, yakni pembiasaan, pembelajaran, dan peneladanan. Malah, menurut penulis, peneladanan memegang posisi penting. Pembiasaan dan pembelajaran membutuhkan peneladanan. Peneladanan sikap dan perilaku positif perlu dilakukan kepada anak-anak kita. 

Ketika orangtua ingin membiasakan anaknya menjaga kebersihan di rumah, misalnya, maka berilah keteladanan terlebih dahulu. Amat naif apabila lebih suka menyuruh anak menyapu dan mengepel lantai, tetapi orangtua tak pernah melakukan pekerjaan tersebut. Orangtua juga perlu memberi contoh untuk selalu membuang sampah pada tempatnya. Membiasakan anak mencuci piring setelah makan juga perlu peneladanan. Begitu juga dengan urusan terkait kewajiban agama seperti shalat, orangtua harus memberikan contoh. Menurut psikolog Lina Erliana (2011), anak disebut sebagai peniru ulung. Entah itu sikap dan perilaku yang baik atau buruk dari orangtua, anak bisa mencontohnya. Apa yang dicontohkan orangtua lebih kuat pengaruhnya ketimbang apa yang diajarkan atau dikatakan. Satu contoh yang berbicara tentu lebih baik daripada seribu patah kata! Disadari atau tak disadari, sikap dan perilaku anak lebih terbentuk dari apa yang dicontohkan orangtuanya. 

Begitu pula dengan guru di sekolah, siswa akan belajar dari apa yang dicontohkan guru. Hal yang menarik dikemukakan adalah tentang himbauan kepada siswa untuk rajin belajar. Setiap hari guru menghimbau siswa-siswanya untuk rajin belajar, tetapi dirinya malah lupa melaksanakan himbauan itu. Guru meminta siswanya tekun membaca, namun tak pernah terlihat menyambangi perpustakaan atau membaca buku di ruang guru. 

Anak memang boleh jadi tak mendapatkan keteladanan di rumah, tetapi dari lingkungan di luar rumah. Keteladanan bisa didapatkan dari mana saja. Maka, tak perlu heran apabila anak bisa bersikap dan berperilaku baik meskipun orangtua bersikap dan berperilaku buruk. Mungkin kekuatan pengaruh keteladanan itu diperoleh dari guru, tokoh masyarakat, tokoh idola, atau malah Nabi Muhammad SAW. Bukankah ada ayat berbunyi, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu…?”(QS. Al-Ahzab (33): 21). 

Terlepas dari itu, siapa pun tentu perlu refleksi diri. Menarik merenungkan kata Friedrich Froebel (1782-1852), “Pendidikan adalah semata-mata teladan dan cinta”. Mari kita mengaca diri. Mari kita menjadi teladan yang baik bagi anak-anak kita, bagi siswa-siswa kita. Siapa pun yang bisa memberikan pengaruh teladan yang baik, pahala akan dicatat-Nya. Wallahu a’lam.(HENDRA SUGIANTORO).

Sosok Teladan Sosial

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu, 16 Juni 2013 
 
Judul Buku: Utsman bin Affan, Si Super Dermawan Penulis: Nor Fadilah Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta Cetakan: I,  2013 Tebal: 178 halaman ISBN: 978-602-255-127-0

 

Kehidupan sehari-hari masih menampakkan ketimpangan sosial. Ada sebagian kita yang begitu kaya dengan segala kemewahan. Ada yang pusing tujuh keliling sekadar makan sehari-hari. Sesungguhnya masih banyak yang hidup kekurangan. Di sisi lain, ada sekelompok orang yang terus bermegahan dengan hartanya. Menyaksikan fakta itu, kepedulian sosial perlu senantiasa ditanamkan. Motivasi, inspirasi, dan spirit sosial itu disajikan buku ini dengan meneladani Utsman bin Affan.

Sebagai tokoh sejarah, namanya tak asing lagi. Salah satu sahabat Nabi Muhammad Saw itu dikenal kaya raya dari hasil dagangnya. Namun, bagi beliau, kekayaan bukanlah tujuan, tetapi modal menabur kebajikan dan sarana mencapai kebahagiaan akhirat (hlm. 21-24). Dengan kekayaan harta, beliau tak hidup mewah. Beliau berpakaian apa adanya, makan apa adanya pula. Padahal, kalau mau, beliau bisa saja membeli ribuan unta dan sekian hektar tanah dengan hartanya (hlm. 47).

Empati dan kepedulian sosial beliau justru luar biasa. Beliau sadar ada hak orang lain dalam setiap harta yang dimilikinya. Utsman adalah representasi orang kaya yang peduli sesama. Beliau tidak pernah sedikit pun berpikir untuk menahan hartanya. Bagi beliau, harta adalah titipan Allah Swt yang harus diberikan kepada mereka yang tidak mampu atau yang membutuhkannya (hlm. 81-82).

Dalam hidupnya, Utsman sungguh sangat dermawan. Kisah-kisah kedermawanan Utsman yang tersaji dalam buku ini tentu perlu kita teladani. Buku ini motivasi berharga di tengah krisis kepedulian sosial di tengah masyarakat.(Hendra Sugiantoro).

Menyibak Selimut Hitam Sejarah Bung Karno

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Rabu, 12 Juni 2013 

 

Judul Buku: Bung Karno Difitnah Penulis  : M. Achadi Penerbit : Palapa, Yogyakarta Terbit   : Mei, 2013 Tebal: 320 halaman 
 
Bulan Juni kerap disebut sebagai bulan Bung Karno. Sebagai sosok besar yang pernah lahir di negeri ini, sejarah Bung Karno tentu perlu dipelajari dan dipetik nilai-nilainya bagi setiap generasi bangsa. Namun, yang menjadi kegelisahan adalah adanya berbagai pihak yang justru mencemarkan sejarah Bung Karno tanpa landasan sahih. Bung Karno kerapkali dihantam opini miring, bahkan menjurus fitnah.

 
Disusun oleh Menteri Koperasi dan Transmigrasi pada era Bung Karno, buku ini menarik disimak dalam rangka menjernihkan sejarah Bung Karno dari fitnah. Memang, upaya desukarnoisasi pernah dilakukan era Orde Baru. Tapi, beberapa pihak luar negeri juga melakukannya. Hal ini berbahaya apabila generasi yang sebenarnya tidak paham sejarah Bung Karno justru mempercayainya. Sebut saja fitnah bahwa Bung Karno terlibat dalam G30/S. Fitnah itu setidaknya disebarkan tiga penulis dari luar negeri dengan bukunya masing-masing yang cenderung tak valid. 

 
Tiga penulis itu adalah Antonie C.A. Dake lewat buku Sukarno File, Berkas-berkas Sukarno 1965-1967, Kronologi Suatu Keruntuhan, Lambert Giebels lewat buku Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno, dan Victor Miroslav Fic lewat buku Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi tentang Konspirasi. Membaca buku-buku tersebut, Bung Karno memang terkesan dilecehkan. Tanpa kajian mendalam dan terkesan mengada-ada, mereka melakukan pembunuhan karakter terhadap Bung Karno.

 
Melalui buku ini, M. Achadi yang pernah dipenjara di zaman Orde Baru bukan bermaksud mengkultuskan Bung Karno, namun hendak mendudukkan sejarah beliau secara jernih. Usahanya menyusun buku ini layak diapresiasi. Bertepatan dengan Bulan Bung Karno, kita perlu membaca kembali buku-buku tentang Bung Karno agar tidak gagap menceritakan sejarah Bung Karno kepada anak cucu kita. Jasmerah! (HENDRA SUGIANTORO).
 

Inspirasi Sukses Guru Berprestasi

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Buku KORAN SINDO, Minggu, 2 Juni 2013

Judul Buku: Kisah Dahsyat Guru Berprestasi Selangit Penulis: Marjohan, M.Pd. Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta Cetakan: I, April 2013 Tebal: 187 halaman ISBN: 978-602-255-117-1 
 
Guru adalah kunci sukses pendidikan. Dalam setiap kebijakan pendidikan, guru adalah ujung tombaknya. Keberadaan guru tak mungkin diabaikan terkait maju mundurnya kualitas pendidikan. Sesungguhnya negeri ini menantikan lahirnya guru berkualitas dan berprestasi dalam profesinya.  

Lewat buku ini, inspirasi itu bisa didapatkan dari pengalaman langsung guru berprestasi nasional tingkat SMA versi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) pada tahun 2012. Marjohan, kini guru SMAN 3 Batusangkar Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, menyuntik semangat dan tekad bagi calon guru/guru untuk tak menjadi guru biasa-biasa saja. Atas permintaan berbagai pihak, buku ini dituliskan guna dipetik pelajaran dan motivasi. 

Marjohan, sejak kuliah di Universitas Negeri Padang (dulu IKIP Padang), berusaha mengembangkan diri dan karakter. Ia bekerja part time dengan menjadi pemandu wisata dan memberi les privat bagi anak-anak (hlm. 32). Selain itu, ia rajin membaca dan melatih keterampilan menulis. Perlahan, ia memberi target kepada diri sendiri agar membaca minimal 100 halaman setiap hari. Bila liburan, targetnya menamatkan 4-5 judul buku. Dengan banyak membaca, mengayakan wawasan dan informasi. 

Ketika menjadi guru, ia berprinsip menjadi guru plus. Tak menjadi guru yang aktivitasnya hanya monoton.  Prinsip belajar sepanjang hayat diresapi. Meskipun bidang studi mengajarnya bahasa Inggris, ia juga belajar secara otodidak guna menguasai bahasa Prancis, Arab, dan Spanyol. Bidang sosial dan kemanusiaan digelutinya. Ia ingin menjadi guru yang memiliki kepintaran berganda, yang menguasai bidang studi, seni berkomunikasi, bahasa asing, serta terampil dalam menulis. Tentu tak lupa menguasai kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Di tengah kesibukan mengajar, ia tak alpa membaca buku tentang pedagogik, psikologi, filsafat, biografi, dan kisah-kisah pencerahan. Ia pun produktif menulis di media massa dan menulis buku (hlm. 37-42). 

Kebiasaan membaca dan menulis tentu bermanfaat bagi guru. Diakui atau tidak, guru di negeri ini masih lemah terkait hal tersebut. Hal ini terbukti salah satunya dari mandeknya kenaikan golongan guru yang mensyaratkan karya tulis ilmiah yang berupa artikel ilmiah populer, makalah, buku, diktat, modul maupun karya penelitian. Membuat karya tulis kerapkali menjadi sandungan. Karena tak mampu dan kurang mau menulis, guru mentok di golongan IV/a. Terlalu sedikit guru yang menembus golongan IV/b, apalagi golongan IV/d. Selain itu, dengan tekun membaca dan menulis, guru akan mampu memperkaya dan mengembangkan keilmuannya.  

Untuk dapat menjadi guru berprestasi, pembelajaran kepada siswa tak bisa dialpakan. Bagi Marjohan, menjadi guru dengan hati adalah prinsip. Rasa simpati secara tulus kepada siswa perlu diberikan. Menurutnya, pendekatan humanisme penting bagi guru. Dalam kegiatan belajar-mengajar, aktivitas fun learning perlu diciptakan, yaitu suasana belajar yang membuat siswa selalu bersemangat dalam melakukan eksplorasi intelektual (hlm. 48). Di matanya, tak ada siswa yang nakal, bandel, atau suka mengganggu. Yang ada hanyalah siswa yang mengalami skin hunger atau yang rindu akan belaian kasih sayang, Bila guru melihat seorang siswa dianggap mengganggu, maka jangan dimarahi, dicerca, dihardik, apalagi diusir. Guru harus bersahabat dengan siswa, mencintai siswa secara utuh, dan menerima karakter mereka apa adanya (hlm. 50). 

Baginya, kesuksesan  perlu  diperoleh melalui proses panjang yang diperkuat dengan motivasi diri secara total, bukan setengah-setengah. Aktifkan motivasi dalam diri. Banyak orang lebih mudah dimotivasi orang lain ketimbang memotivasi dirinya sendiri. Terlalu tergantung pada lingkungan untuk memotivasi tentu hal yang tidak baik. Sebab, bila tak ada orang yang memberikan motivasi, maka kita akan stagnan dan tak berdaya. Apalagi, banyak orang yang kita jumpai malah mematikan karakter dan semangat (hlm. 147-149).

Ia juga menekankan kepemilikan karakter untuk berprestasi yang hebat. Karakter tersebut antara lain bertekad baja, memiliki visi dalam berkarya, tekun dan tabah, selalu berpikir positif, bersemangat dan antusias, memiliki kemampuan relasi antarmanusia, bersikap kreatif, bersikap jujur, pandai berkomunikasi, dan selalu bersikap konsisten. Dalam pesannya, ia mengajak segenap warga sekolah untuk menghargai waktu. Saat semangat kerja keras dan menghargai waktu mulai langka di sekolah, marilah kita menjadi pionir dengan harapan mampu meningkatkan kualitas diri dan bangsa ini (hlm. 156-169).

Buku ini perlu dibaca sebagai inspirasi calon guru/guru untuk tak sekadar puas menjadi guru biasa-biasa saja. Jadilah guru berprestasi dan tak letih belajar mengembangkan diri. Begitu. (HENDRA SUGIANTORO).

Menegakkan Islam yang Ramah, Bukan yang Marah

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka HARIAN BHIRAWA, Jum'at, 24 Mei 2013 

 

Judul Buku: Pedang Rasul Penulis: Jusuf A.N. Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta Cetakan: I, April 2013 Tebal: 352 halaman ISBN: 978-602-255-116-4 
 
Beberapa pekan terakhir ini, kita kembali dihenyakkan dengan liputan berita tentang terorisme. Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror menggebrek tempat persembunyian terduga teroris di berbagai lokasi di daerah-daerah. Karena hampir setiap tahun mendengar dan menyaksikan berita itu, kita mungkin tidak lagi dibuat terkejut. Yang mengejutkan justru pola pikir dan sikap pelaku teroris.

Ketika seseorang memutuskan diri terlibat dalam jaringan dan aksi terorisme, ada landasan berpikir yang mendasari. Pelaku teroris berpikir, bersikap, dan bertindak tidak berangkat dari ruang hampa. Ada pemahaman internal, pengaruh lingkungan, pergulatan pemikiran, dan sebagainya sebelum seseorang membulatkan diri sebagai teroris. Lewat novel Pedang Rasul ini, kita diajak untuk menyelami titik mula seseorang bisa teracuni bibit terorisme. 

Diceritakan novel ini, seseorang dengan nama Umar terlibat dalam gerakan yang melancarkan aksi pengeboman di mana-mana. Motifnya, ideologi kelompok yang telanjur merasuk sampai ruang bawah kesadarannya, bahwa negeri ini layak diperangi karena tidak menjadikan agamanya sebagai dasar negara. Di benaknya, doktrin-doktrin dengan pencuplikan dalil-dalil dari ayat-ayat kitab suci yang ditanamkan oleh kelompok garis keras itu begitu mempesona. Seolah-olah tak ada nalar kritis, Umar menerima saja. Dengan terlibat dalam aksi-aksi kelompok itu, Umar menyimpan kebanggaan telah melaksanakan amanat yang disampaikan Rasulullah Saw. lewat mimpinya. 

Mimpi diberi pedang Al-Ma’thur tentu tak bisa ditafsirkan asal-asalan. Hanya saja, Umar lebih mempercayai tafsiran Wahidin ketimbang Syam, mertuanya. Wahidin memahamkan Umar bahwa mimpi itu adalah anjuran mengangkat pedang, terjun berperang, jihad di medan laga. Wahidin dikenal Umar sebenarnya belumlah lama, namun interaksi yang massif mampu memberikan pengaruh besar. Umar kenal Wahidin ketika dirinya meninggalkan Jakarta dan tinggal di salah satu masjid di Semarang. Bahkan, Umar yang lulusan STM bisa fasih salat belum ada setahun dan belum lancar membaca Al-Qur’an ketika terjun dalam jamaah Laskar Pedang (hlm. 120-130). 

Sebelumnya, Umar adalah pemuda yang jauh dari agama. Di Semarang, Umar bertemu dengan Syam, lalu mendapatkan pekerjaan di bengkel milik Syam. Umar juga diberi tumpangan sementara untuk tinggal di rumah Syam. Di rumah itu, ada perpustakaan khusus milik Syam yang terletak di lantai dua. Kebiasaan Syam yang tekun membaca perlahan diikuti Umar. Selain profesional bekerja sebagai montir, Umar tak alpa menambah ilmu, wawasan, dan pengetahuan lewat buku-buku yang dibacanya. Umar pun berubah menjadi pemuda yang cerdas, salih, dan berkarakter baik. Ketika telah mampu memiliki kontrakan sendiri, Umar masih menyempatkan diri berkunjung ke perpustakaan Syam untuk meminjam buku. Dalam perjumpaan di rumah dan di bengkel, putri Syam bernama Ida menaruh hati kepada Umar. Keinginan bersambut, Umar dan Ida akhirnya menikah. 

Sungguh betapa malangnya Ida. Umar yang terobsesi dengan mimpinya tentang pedang meninggalkan Ida untuk alasan akan berjihad. Sehari menikah, Umar menuju Jakarta dan mengikuti pendidikan dan pelatihan ala Laskar Pedang. Keputusan Umar itu membuat Ida meratap pilu. Kebersamaan dalam rumah tangga yang didambakan Ida punah seketika. Tanpa suami di sisi dan tanpa nafkah suami selama berbulan-bulan. Di Jakarta, Umar ternyata tidak berjihad, tetapi merayapi lokasi-lokasi yang dianggap berbuat dosa. Umar baru menemui istrinya ketika keluar dari penjara akibat menganiaya seorang polisi. 

Pengaruh Wahidin dengan ideologi jihad mengangkat senjata tidaklah hilang. Syam yang memahamkan Umar bahwa mimpinya bermakna untuk mencabut pedang demi membunuh nafsu dalam diri tak digubris. Pedang bukan bermakna menumpahkan darah, bukan memaksakan kebenaran kepada pihak yang berbeda. Sehari bersua istri, Umar malah minggat dari rumah lagi dan terlibat dalam pengeboman di berbagai tempat. Jamaah yang dimasuki Umar bukan Laskar Pedang lagi, tetapi jamaah lebih bergaris keras yang bercita-cita mendirikan negara Islam. 

Kelakuan Umar malah menganiaya jiwa istrinya yang melakoni hidup tanpa tanggung jawab suami. Ketika Ida hamil pun, tak ada suami di sisinya. Penulis novel ini berhasil mengisahkan sisi psikologis perempuan ketika suaminya aktif dalam gerakan terorisme. Umar yang berbangga dengan aksi terorismenya seakan-akan membutakan mata terkait kondisi keluarganya. Tak hanya sang istri, tetapi juga adik kandungnya yang terjerumus perilaku liar anak-anak muda. Umar lupa tanggung jawabnya untuk melindungi dan mendidik keluarga sendiri. Pembaca bisa memetik nilai-nilai dalam novel ini untuk menegakkan Islam yang ramah, bukan Islam yang marah. Islam yang marah justru tak menghasilkan kebaikan, namun menambah daftar panjang kejahatan. Kejahatan terhadap keluarga, salah satunya.(HENDRA SUGIANTORO).
 

Perempuan yang Teguh dalam Cita-cita

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Senin, 13 Mei 2013 
 
Judul Buku: Pesona Izmir Penulis: Putri Indri Astuti Penerbit: DIVA Press Cetakan: I, Maret 2013 Tebal: 415 halaman ISBN: 978-602-7663-98-5 

Jejak perempuan terkadang menghadirkan wajah getir. Sosok perempuan acapkali terhambat dalam aktualisasi diri akibat pandangan keliru lingkungannya. Lebih memilukan lagi, lingkungan yang menghambat itu justru lingkungan keluarga. Itulah yang dialami Pia Cristallayne dalam novel ini. 

Pia bercita-cita menuntut ilmu setinggi-tingginya dan menjadi peneliti. Namun, ayahnya selalu membuat mentalnya down. Cita-cita Pia kerapkali dicibir. Selain peneliti, Pia juga ingin menjadi penulis, pencipta lagu, dan petani. Menurut ayahnya, Pia sebagai anak perempuan di dapur saja, belajar memasak, cuci-cuci, mengurus rumah, belajar sebelum berumah tangga sendiri nantinya. Itulah kodratnya wanita, kata ayah Pia. Yang menyesakkan, ayahnya selalu membanding-bandingkan Pia dengan anak-anak seusianya yang bekerja mapan dengan penghasilan materi mencukupi (hlm. 81-98). 

Pada dasarnya, setiap anak memiliki potensi unik dan aspirasi cita-cita. Tak ada hak orangtua membanding-bandingkan anaknya dengan anak-anak orang lain. Pekerjaan sebagai peneliti memang tak langsung terlihat hasilnya secara kasat mata. Ayahnya benar-benar tak menghargai sepak-terjang Pia yang ingin mengembangkan diri. Perlakuan ayahnya membuat Pia tak sekadar pusing, tetapi juga depresi. Untungnya, Pia tak berlarut-larut menderitakan diri dalam tekanan emosional. Ia bersikukuh dengan impiannya. Bangku perguruan tinggi S1 pun berhasil ditempuh Pia dengan mengambil jurusan teknologi pangan. Maksud Pia ingin menjadi petani lebih pada pengembangan teknologi di bidang pertanian yang juga berkorelasi dengan keinginannya sebagai peneliti. 

Novel ini tak menceritakan kisah Pia bak “malaikat” yang selalu tegar dan tanpa cacat. Sisi manusiawi Pia juga ditonjolkan. Yang mengesankan, ketabahan dan konsistensi Pia dengan segala cita-citanya. Ia tetap bertahan dengan keinginan hati dan prinsip hidupnya. Pergaulannya tak terbatas di Indonesia. Teman-teman Pia di negeri manca relatif banyak yang dikenalnya lewat dunia maya, salah satunya adalah Osman Yazici asal Turki. Fitrah cinta lawan jenis pun muncul. Perlahan, Pia menaruh hati dengan Osman, bahkan berharap bisa menjadi pendamping hidupnya. Awalnya, hubungan cinta mereka berjalan mulus. Keluarga Osman pun telah memberi restu dan menganggap Pia sebagai bagian keluarga. Namun, kenyataan pahit harus dihadapi Pia ketika Osman justru menduakan dirinya dengan Beyza. Bahkan, Osman berencana melangsungkan pernikahan. 

Perjalanan cinta Pia yang menyayat hati ini membuatnya tak berpikir jernih. Di Laut Bosporus,Turki, Pia berniat bunuh diri. Ia menekan nadi tangan kirinya dengan sebuah gunting. Takdir belum menghendaki Pia tamat hidup. Ia berhasil diselamatkan meskipun harus kehilangan banyak darah.  Meskipun duka akibat cinta, Pia tak mengalpakan impiannya untuk kuliah setinggi-tingginya. Pia menyadari kesalahannya yang memutuskan bunuh diri. Ia melanjutkan kuliah di Jerman yang dilaksanakan di Fulda University of Applied Sciences dan sebagian besar di Kassel University (hlm. 136). 

Untuk menopang finansialnya, ia bekerja part time dan tentu saja fokus belajar demi menjadi mahasiswa berprestasi. Pia yang cerdas tak sulit melakukannya. Di tengah kuliahnya, Pia mampu menjaga dirinya tak terlibat pergaulan bebas yang umumnya melanda teman-teman kuliahnya. Prinsip hidupnya dipegang teguh sampai berhasil lulus dengan memuaskan.

Lewat perjalanan Pia dalam novel ini, selain kondisi di Jerman, kita akan banyak disuguhi keindahan pesona Turki. Kota-kota seperti Istanbul, Antalya, dan Izmir dapat kita jejaki peninggalan sejarah dan warisan budayanya. Bagi Pia, Turki seolah-olah negara keduanya setelah Indonesia. Meskipun putus dengan Osman, hubungan Pia dengan keluarga Osman di Turki tetap berlangsung baik. Bahkan, Pia akhirnya menikah dengan Onur Yildiz yang membawanya bertempat tinggal di kota Izmir. Pia pun juga berhasil melanjutkan S3 di Jerman. Ambisi Pia studi lanjut dan belajar serius akhirnya menemui kegamangan ketika menyadari keberadaan suaminya di Turki. Sebagai seorang istri, Pia luluh pada prinsip sebagai pendamping di sisi sang suami. Dalam proyek penelitiannya berjangka waktu tiga tahun, Pia mengundurkan diri (hlm. 325-338). Ia kembali ke Turki dan hidup bersatu dengan Onur di Izmir.

Ambisi dan prestasi Pia dalam studi terbilang menakjubkan. Jalinan cinta Pia yang terkesan rumit dan unik menambah kesegaran novel ini. Terlebih lagi, kita dapat menelusuri sudut-sudut Turki dengan pesona keindahannya. Di Izmir, selain keindahan pantai, banyak peninggalan Yunani Kuno, sebab Izmir dahulunya bagian dari Yunani yang direbut kerajaan Turki. Di Izmir ada juga House of  Virgin Mary yang konon tempat Maria/Siti Maryam (Ibunda Isa/Yesus) menutup usia.(HENDRA SUGIANTORO).

Yogyakarta, Kota Membaca?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini KORAN MERAPI PEMBARUAN, Rabu, 8 Mei 2013 

Menyusuri kota Yogyakarta, kita akan dibuat terkesima dengan spanduk-spanduk perhelatan pameran atau pasar buku. Hampir setiap bulan senantiasa terselenggara. Biasanya bertempat di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama, Jogja Expo Center (JEC), bahkan belakangan ini bertempat di Gedung Olahraga Universitas Negeri Yogyakarta (GOR UNY). Tema pameran buku beragam. Intinya, ingin menggiatkan perbukuan di kota pendidikan ini. 

Yogyakarta dengan buku tentu tidak mengagetkan lagi. Di kota ini, penerbit-penerbit buku bertebaran. Sepakat dengan pernyataan Herry Zudianto (2011), ketika kita berbicara tentang Yogyakarta sebagai kota pelajar atau kota pendidikan, maka tentunya tidak dapat dilepaskan dengan ilmu pengetahuan, ide, inovasi, kreatifitas, wawasan lokal maupun wawasan global. Dalam kaitannya dengan itu semua, lanjut mantan Walikota Yogyakarta itu, maka buku merupakan media yang menjadi jembatan yang mampu mengantarkan kita menjadi apa yang sering dikatakan orang sebagai cendekiawan atau kaum terdidik atau kaum yang berwawasan luas. Masyarakat Yogyakarta dengan heterogenitasnya, lanjut Kang Herry, diharapkan mempunyai budaya membaca yang tinggi, sehingga mempunyai ilmu pengetahuan yang luas. 

Dari pernyataan Kang Herry itu, sebenarnya ada sebuah tantangan untuk menjadikan kota Yogyakarta sebagai Kota Membaca, bukan sekadar Kota Buku. Pekerjaan menyelesaikan tantangan itu, menurut penulis, belumlah selesai. Kita masih perlu menanamkan minat membaca bagi setiap warga Yogyakarta. Tentu tidak semua masyarakat Yogyakarta bisa ke Perpustakaan Daerah (Perpusda) DIY atau Perpustakaan Kota (Perpuskot) untuk meminjam atau membaca buku. Maka, keberadaan taman bacaan masyarakat (TBM) di setiap kampung perlu digiatkan. Membaca tidak hanya buku, tetapi bisa surat kabar.

Ketersediaan bahan bacaan akan berbanding lurus dengan budaya membaca masyarakat dicontohkan Jepang. Besarnya minat membaca masyarakat Jepang salah satunya ditopang oleh bahan bacaan yang melimpah. Toeti Adhitama (2008) memaparkan bahwa ribuan buku asing, terutama dari Amerika dan Eropa, diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Seperti orang kehausan, mereka tak henti-hentinya menimba ilmu dan pengetahuan lewat bacaan. Di Jepang, setiap harinya beredar puluhan juta eksemplar surat kabar, setiap bulannya beredar ratusan juta eksemplar majalah dan jenis terbitan serupa, dan setiap tahunnya dicetak lebih dari 1 miliar buku. Lebih dari 50% tenaga kerja menangani industri ilmu pengetahuan. 

Jadi, penumbuhan minat membaca perlu bergerak beriringan dengan penyediaan bahan-bahan bacaan. Masyarakat Yogyakarta perlu terus-menerus ditanamkan kesadaran pentingnya membaca. Gerakan cinta membaca layaklah digalakkan. Tidak kalah penting, membangun budaya membaca di lingkungan keluarga dan sekolah tidak mungkin dialpakan. Kita pun mengingatkan Forum Komunikasi Pengurus OSIS (FKPO) dan Forum Antar-Kerohanian Islam (Farohis) untuk memasifkan Gerakan 10 Menit Membaca sebelum beraktivitas yang tahun 2012 lalu diluncurkan. 

Kita tentu mendambakan setiap warga Yogyakarta suka membaca di mana pun. Pemerintah kota Yogyakarta tentu tidak boleh pasif, minimal membudayakan membaca bagi pejabat birokrasi. Saran penulis, iklan-iklan pentingnya membaca perlu dipasang di berbagai tempat. Itu lebih bermanfaat ketimbang iklan-iklan yang mengundang konsumerisme masyarakat. Yogyakarta perlu menjadi kota yang berbeda dengan kota-kota besar lainnya, minimal memiliki ciri khas budaya membaca di ruang-ruang publik.

Sesungguhnya membaca berdampak besar bagi kehidupan. Dengan membaca, ilmu, pengetahuan, dan wawasan bertambah. Membaca bisa meluaskan pemikiran, cara pandang, dan persepsi seseorang dalam memandang kehidupan agar tidak sempit. Membaca juga bisa meningkatkan kualitas kinerja di tempat kerja. Masih banyak manfaat membaca lainnya, tentu saja dengan membaca bahan-bahan bacaan yang positif dan bergizi. Menarik untuk direnungkan pernyataan Fuad Hassan (2004) berikut ini, “Tak ada pilihan lain untuk hidup dalam masyarakat modern, kecuali bisa dan suka membaca. Kalau modernisasi ditandai pertama-tama oleh ikhtiar untuk mengatasi ignoransi, maka ignoransi teratasi pertama-tama oleh kemampuan dan kemauan membaca. 

Menjadikan Yogyakarta sebagai Kota Membaca harus terus-menerus diupayakan. Membaca tidak hanya aktivitas bagi pelajar, mahasiswa, dan kaum akademisi. Membaca juga perlu menjadi kebutuhan ibu rumah tangga, petani, pedagang, tukang becak, buruh pabrik, dan profesi lainnya. Yogyakarta, Kota Membaca, bisa! Wallahu a’lam.(HENDRA SUGIANTORO).

Cerita Cinta Sepasang Anak Geng

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Buku SUARA MERDEKA, Minggu, 21 April 2013 
 
Judul Buku: Kutunggu Jandamu di Jakarta Penulis: Budi Anggoro Penerbit: Laksana, Yogyakarta Cetakan: I, Januari 2013 Tebal: 293 halaman ISBN: 978-602-7665-73-6 

Keberadaan geng di tengah masyarakat kerapkali dicitrakan negatif. Padahal, mereka tak selalu buruk. Sebagaimana hasrat untuk hidup berkelompok, anak-anak muda yang membentuk geng didasari kesamaan, entah latar belakang keluarga, usia, hobi, tujuan hidup, atau lainnya. Sebagaimana dalam novel ini, kita diajak untuk menelusuri kehidupan anak-anak geng dengan sekelumit lika-likunya. Nama geng itu adalah X-Dancers di Wonosobo, salah satu kota di Jawa Tengah.

Ada sepuluh anak dalam geng itu, yakni Sari, Mega, Amalia, Darmaji, Arif, Abdul, Warik, Farid, dan Satrio. Latar belakang keluarga maupun kehidupan mereka rata-rata berasal dari keluarga yang terpinggirkan secara status sosial. Yang berbeda hanya Farid dan Satrio, yang sebenarnya keluarganya cukup kaya. Rata-rata mereka bisa dikatakan berasal dari keluarga yang broken home. Mereka menyatu dalam geng X-Dancers karena kesukaannya pada musik reggae (hlm. 23-33). 

Sebagai sebuah geng, mereka terbilang kreatif dan inovatif dalam menciptakan tarian-tarian setiap konser musik di alun-alun kota Wonosobo. Persahabatan mereka terjalin tanpa pamrih. Suka-duka dibagi bersama. Di antara mereka tumbuh sikap saling pengertian. Lewat novel ini, kita bisa melihat kehidupan mereka untuk tak menghakimi secara hitam putih. Kebanyakan kita kerapkali menaruh pandangan sinis terhadap anak-anak geng. Padahal, kita bisa belajar memaknai hidup dari mereka. Sebut saja makna kebahagiaan menurut geng X-Dancers. Bagi mereka, kebahagiaan itu tak ada kaitannya dengan sedikit banyaknya harta benda, kedudukan atau jabatan. Yang penting adalah cara menyikapi dan menikmati hidup. Mereka malah berusaha mengendalikan harta benda maupun kebutuhan apapun sesuai dengan kemampuan diri mereka. Yang mereka inginkan adalah kebahagiaan hati semata. 

Persepsi buruk terhadap anak-anak geng menghinggap pula di benak Pak Iwan. Bapaknya Sari itu menganggap masa depan teman-temannya Sari tak jelas. Konflik pun muncul ketika Pak Iwan memaksa Sari menjadi buruh migran atau menikah dengan laki-laki kaya. Sebagai anak sulung, Sari ditekan bapaknya agar mampu meringankan beban ekonomi keluarga. Apalagi bapaknya usai di-PHK sebagai buruh pabrik. Dengan menikahi suami yang kaya, ekonomi keluarga akan turut tertolong. Sari bingung setengah mati, sebab tak ada rasa cinta sedikit pun dengan laki-laki pilihan bapaknya. Cintanya hanya tertambat pada Satrio. Satrio sendiri juga mencintai Sari. 

Permasalahan Sari menjadi perhatian seluruh anggota gengnya. Namun, Pak Iwan memang kalap. Tanpa persetujuan Sari, ia menerima lamaran Haydar. Perasaan Sari bergoncang. Betapa besar cinta Sari untuk Satrio. “Tapi, aku sangat mencintainya, Pak. Walau hidup Mas Satrio masih susah, tapi aku ikhlas. Aku rela kalau pun nantinya aku dan Mas Satrio harus hidup kekurangan,” ucap Sari di hadapan bapaknya. Pikiran Pak Iwan yang memberhalakan materi merespons kurang bijak, “Ah itu kan teori saja! Teori orang-orang yang lagi dimabuk cinta saja.”(hlm. 215). 

Satrio yang mengetahui kabar pernikahan yang dipaksakan antara Sari dan Haydar dibuat kusut. Setelah pernikahan Sari itu, Satrio memutuskan pergi ke Jakarta, sebab kota Wonosobo membuat dirinya tak mungkin tenang. Lewat ponsel, Satrio berucap kepada Sari, “…maka mulai sekarang ini, aku bertekad akan menunggu jandamu di Jakarta, Sayang. Kutunggu jandamu di Jakarta.”(hlm. 261-270).

Jalan cinta dua sejoli di dunia ini memang tak serupa. Tekad Satrio tetap menantikan Sari adalah keputusan cinta. Bukan kawin lari dengan Sari, tapi menunggu Sari menjadi janda. Ketetapan Satrio ini ternyata digenapkan waktu. Pasalnya, Sari mengajukan gugatan cerai ke suaminya setelah rumah tangganya dipenuhi kekerasan dan jauh dari ketenteraman. Fenomena Satrio dan Sari tak dimungkiri kerapkali terjadi di tengah masyarakat. Maraknya istri yang mengajukan gugutan cerai, salah satunya disebabkan kasus seperti dialami Sari. Itu tentu sebentuk keberanian seorang perempuan untuk menegakkan martabat di hadapan suami yang kerapkali berbuat aniaya. 

Novel ini bisa menjadi pelajaran untuk menguatkan kehidupan keluarga tak sekadar pada faktor materi semata. Kebutuhan emosional dan spiritual juga diperlukan. Adakalanya orangtua merasa telah membesarkan anak, namun ternyata kurang begitu memahami sisi psikologi anak. Kebahagiaan menurut persepsi orangtua kerapkali dipaksakan, padahal anak sama sekali tak merasakan kebahagiaan berdasarkan persepsi orangtuanya itu.(Hendra Sugiantoro).

Negeri yang Tersandera Korupsi

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi MALANG POST, Minggu, 21 April 2013 

Judul Buku: Apapun Partainya, Korupsi Hobinya Penulis: A. Yusrianto Elga Penerbit: IRCiSod, Yogyakarta Cetakan: I,  Maret 2013 Tebal: 176 halaman ISBN : 978-602-7933-01-9

Bung Karno pernah mengatakan bahwa cara melawan kekuatan uang (logistik) adalah kekuatan ideologi. Betapa pun uang sangat menggiurkan, uang tak akan pernah mampu menjebol dinding-dinding ideologi yang terbangun kuat. Pernyataan Presiden RI pertama itu seolah-olah menggelitik kita. Benarkah ideologi tameng dari perbuatan korupsi? Nyatanya, partai politik (parpol) yang mengaku memiliki ideologi justru memproduksi koruptor.

Buku ini hendak menyadarkan pihak mana pun, terutama masyarakat, untuk tidak mudah tergiur dengan kemegahan janji-janji parpol. Apalagi menjelang Pemilu 2014, masyarakat perlu waspada dengan munculnya calon-calon anggota legislatif yang sekadar ingin menumpang kendaraan politik demi mempertebal uang semata. Kita boleh saja mencela Orde Baru dengan ulah korupsinya, namun apakah korupsi di era reformasi yang selalu dikatakan paling demokratis tidak tumbuh subur? Di masa Orde Baru, praktik busuk korupsi hanya terjadi di lingkaran eksekutif dan orang-orang tertentu. Kini, korupsi bukan lagi menyangkut individu atau perseorangan, namun dilakukan secara berjamaah. Selama 2004-2011 saja, berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada sekitar 1.408 kasus korupsi dengan kerugian negara sekitar Rp. 39,3 triliun (hlm. 8-9). 

Diakui maupun tidak, negeri ini dapat dikatakan telah tersandera oleh korupsi. Rakyat dibiarkan merana di tengah politisi-politisi yang menari kekenyangan. Akibatnya, negeri ini hanya berjalan di tempat tanpa kemajuan berarti. Memang setiap parpol memiliki ideologi masing-masing, tetapi kesejahteraan dan keadilan sosial bukan sebagai tujuan mulia. Boleh jadi uang telah menjelma ideologi tersendiri. Perjuangan dan idealisme parpol seharga nilai mata uang. Yang bertambah menyesakkan, parpol yang mengatasnamakan agama terjerembab pula pada pusaran korupsi. Parpol Islam ternyata tidak amanah. Bahkan, kita seakan-akan tak habis pikir, perilaku korupsi yang kini melanda sejumlah kader parpol tidak dianggap sebagai penyimpangan moral (hlm. 25-48).

Maraknya kasus korupsi tentu saja menciderai nilai-nilai Pancasila, terutama sila pertama, kedua, dan kelima. Koruptor tidak menjiwai sepenuhnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. karena melakukan perbuatan yang dilarang Tuhan. Korupsi adalah pelanggaran hak asasi manusia karena menyebabkan rakyat menderita. Padahal, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab selayaknya ditegakkan. Dengan perbuatan korupsi, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia kian tertatih-tatih untuk diwujudkan.

Tentu, politik yang sejatinya mulia perlu dikembalikan ke hakikatnya untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Kalimat Lord Acton dalam suratnya kepada uskup Mandell Creighton pada April 1887 bahwa “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” selayaknya dijadikan sebagai kontrol bagi parpol dan politisi untuk berhati-hati menduduki kursi kekuasaan. Parpol hendaknya berbenah. Menurut penulis buku ini, parpol perlu memberikan perhatian terkait pendidikan antikorupsi terhadap kader-kadernya. Tidak kalah penting, parpol harus proaktif mengawal, mengevaluasi, serta mengingatkan komitmen perjuangan kader-kadernya. Tak dimungkiri apabila parpol jarang mengevaluasi kinerja kadernya yang pernah duduk di lembaga negara.

Buku ini menjadi teguran keras bagi parpol. Sebagai institusi demokrasi, parpol diharapkan menjalankan demokrasi sebagaimana mestinya. Demokrasi sejatinya adalah cara mencapai kemaslahatan kehidupan rakyat. Parpol seyogianya tidak menyandera negeri ini dengan korupsi yang sewaktu-waktu bisa membuat rakyat marah. Kemarahan rakyat bisa memunculkan golputkrasi. Di sisi lain, masyarakat diajak bersikap kritis dan berpikir jernih. Sebagai ikhtiar melawan lupa yang kerapkali menghinggapi benak masyarakat, buku ini pun menguliti kader-kader parpol yang pernah tersangkut korupsi. Tanpa tedeng aling-aling, penulis buku juga membeberkan permainan kotor politik yang biasa dimainkan politisi untuk merampok uang negara.
 
Tentu, tak ada salahnya apabila parpol meneladani jejak organisasi pergerakan nasional tempo dulu yang berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Kepentingan yang diperjuangkan jelas, yakni kepentingan rakyat agar terbebas dari penjajahan. Sesungguhnya rakyat negeri ini merindukan politisi yang berhati nurani dan berdedikasi. Politisi yang benar-benar konsisten memperjuangkan cita-cita luhur bangsa ini dengan rekam jejak politik yang bersih, jujur, dan amanah. Dengan menjamurnya borok korupsi, negeri ini memang harus segera diselamatkan (hlm. 165-170). Bukan hanya doa agar kita bersabar menghadapi praktik busuk korupsi (hlm. 172), namun masyarakat perlu melakukan tindakan. Masyarakat minimal perlu menyatukan gerakan menolak politisi busuk yang menunggangi Pemilu 2014 agar negeri ini tidak lagi disandera korupsi. (HENDRA SUGIANTORO).

Inspirasi Kartini Bagi Mahasiswa

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Kampus SUARA MERDEKA, Sabtu, 20 April 2013 

Pada 21 April, kita memperingati Hari Kartini. Apa pelajaran yang bisa kita petik dari sosok perempuan kelahiran Jepara, Jawa Tengah, itu, khususnya bagi dunia kampus dan mahasiswa? Pendidikan formal Kartini (1879-1904) memang tidak sementereng kakaknya, Sosrokartono. Kakaknya yang tamatan Universitas Leiden Belanda itu konon sarjana pertama negeri ini yang getol dengan kebudayaan Jawa. 

Kartini, meskipun hanya tamatan sekolah rendah, sebenarnya tidaklah kalah dengan sarjana-sarjana di zamannya. Bahkan, dengan sebagian sarjana jebolan perguruan tinggi saat ini. Harus diakui, Kartini yang usia hayatnya hanya seperempat abad mempunyai wawasan, pengetahuan, dan pemikiran yang luas. Tradisi pingit sejak usia 12 tahun bukan berarti “memingit” petualangannya mencari dan menimba ilmu. Kartini tekun dan giat belajar. Sahabat-sahabat penanya juga turut jadi mitra dialektika Kartini. Salah satu media untuk membaca pemikiran-pemikiran Kartini adalah surat-suratnya yang dikumpulkan J.H. Abendanon pada 1911 dan diberi judul Door Duisternis Tot Licht. Dalam edisi Indonesia pernah diterjemahkan, antara lain oleh Armin Pane (Habis Gelap Terbitlah Terang) dan Sulastin Sutrisno (Surat-Surat Kartini, Renungan tentang dan untuk Bangsanya). 

Kalau kita mengkaji kumpulan suratnya, kita akan menemukan begitu ragamnya pemikiran Kartini. Kartini memiliki buah pemikiran yang luar biasa dalam persoalan pendidikan, sosial, kebudayaan, pers, dan pelbagai hal lainnya. Artinya, Kartini tidak melulu membicarakan masalah perempuan. Ketika Kartini kepada Estelle Zeehandelaar (Stella) pada 18 Agustus 1899 menegaskan pentingnya kapasitas pikiran dan moral, Kartini membuktikan hal itu. Terserah pendidikan formal mau sampai jenjang apa, ia tidak ambil pusing. Dengan menjelajahi aneka bahan bacaan, Kartini terus berikhtiar mencapai “keningratan pikiran”.  Tanpa kenal bosan, Kartini bisa menelaah bahan bacaan sampai berkali-kali demi memperoleh pemahaman. 

Ternyata, tak sekadar doyan bacaan, Kartini juga produktif menulis. Membaca dan menulis seolah-olah adalah jiwanya. Perhatikan kalimat berikut ini, Orang dapat merampas banyak dari kami, ya semuanya, tapi jangan pena saya! Ini tetap milik saya dan saya akan berlatih dengan rajin menggunakan senjata itu.”(Kartini, 1902). Sepenggal kalimat Kartini itu begitu heroik. Tak cuma surat-surat, Kartini ketika menulis untuk menuangkan isi pikirannya juga merambah surat kabar.  Dalam majalah sastra seperti Het Nederlansche Lelle, De Gids, De Echo, dan lain-lain, Kartini menyumbangkan tulisan-tulisan yang tandas bunyinya, berbentuk ulasan-ulasan dan analisis sosial. Misalnya, sepenggal prosa brilian diguratkan Kartini dalam De Echo sekitar tahun 1900 di bawah kepala karangan Een Gouverneur Generaalsdag yang melukiskan kedatangan seorang gubernur jenderal di tanah jajahan, yang disambut oleh anak negeri dengan sinis (Suryanto Sastroatmodjo: 2005). 

Becermin pada Kartini, ada spirit intelektualitas dari sosok perempuan yang dimakamkan di Rembang itu.  Kartini memang tidak menamatkan jenjang perguruan tinggi. Namun, menurut penulis, Kartini bisa dikatakan sebagai “sarjana” di masanya. Yang perlu diperhatikan, Kartini tidak sekadar mementingkan kepemilikan pengetahuan. Menurut Kartini (1902), berpengetahuan luas belumlah sekali-kali menjadi ijazah tanda mulia budi pekerti seseorang. Benar kata Kartini bahwa terhadap pendidikan itu janganlah hanya akal saja yang dipertajam, tetapi budi pun harus dipertinggi. Apa yang diutarakan dalam tulisan ini semoga bisa menjadi sepercik inspirasi dan renungan bagi mahasiswa. Wallahu a’lam. (HENDRA SUGIANTORO).