Mengoreksi Politik Praktis Kiai

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada Koran Jakarta, Rabu 15 April 2009

Judul Buku : Kiai di Tengah Pusaran Politik
Penulis : Ibnu Hajar
Penerbit : IRCiSoD Yogyakarta
Cetakan I : Februari 2009
Tebal : 163 halaman
SEJAK era reformasi terjadi, dunia perpolitikan di negeri ini memang terkesan riuh. Kini siapa pun dari berbagai kalangan seolah-olah ingin terlibat dalam politik kekuasaan. Dalam riuhnya dunia perpolitikan itu, kita sering kali melihat kiai berpolitik praktis dengan memberikan dukungan kepada calon tertentu. Dukungan terhadap calon pemimpin ini boleh jadi berbeda antara kiai satu dengan kiai lainnya. Bahkan, ada juga kiai yang masuk ke ranah kekuasaan dengan menggalang massa lewat ajang kampanye. Saat ini tidak sedikit kiai yang menduduki posisi di lingkaran kekuasaan, baik di tingkat daerah maupun nasional. Keterlibatan kiai dalam politik praktis tak dimungkiri juga akan terjadi di Pemilu 2009.
Melalui buku ini, Ibnu Hajar mencoba mengoreksi keterlibatan kiai dalam politik praktis. Meskipun keterlibatan dalam politik praktis merupakan hak setiap warga negara, namun menimbulkan pertanyaan jika dilakukan oleh kiai. Dengan terlibat politik praktis, kiai cenderung dimiliki satu kelompok, padahal kiai adalah sosok milik masyarakat tanpa tersekat golongan dan partai politik. Disadari atau tidak, kondisi seperti itu justru mengurangi kewibawaan kiai di mata masyarakat. Masyarakat yang menaruh hormat kepada kiai malah dimungkinkan antipati.

Dijelaskan Ibnu hajar, sebagai pewaris para nabi, kiai memiliki tugas serta tanggung jawab besar untuk menerjemahkan visi dan misi kenabian, sehingga tidak bisa hanya disempitkan dengan urusan politik praktis. Yang perlu direnungkan, selama ini kiai merupakan sosok panutan dan pengayom bagi masyarakat. Kiai dengan kehidupan pesantrennya telah mendidik dan memberdayakan masyarakat. Kiai pun dianggap sebagai sosok mumpuni yang senantiasa dijadikan rujukan masyarakat dalam menyelesaikan problem tidak hanya persoalan di wilayah keagamaan, tetapi juga di berbagai bidang lainnya. Peran dan posisi kiai yang tampak selama ini bisa redup jika kiai berorientasi politik kekuasaan dan cenderung pada kepentingan kelompok tertentu.
Kegelisahan jika kiai akan ditinggalkan masyarakat karena terlibat politik praktis sebagaimana dipaparkan buku ini memang muncul sejak lama. Menurut penulis, keterlibatan kiai ke dalam gelanggang politik praktis merupakan pilihan tergesa-gesa dan terkesan dipaksakan, tanpa mempertimbangkan banyak hal, terutama posisi kiai sebagai kiblat kultural masyarakat. Hal ini bukan berarti kiai tidak boleh berpolitik, namun politik kiai pemaknaan harus lebih luas dengan melakukan pendidikan, pemberdayaan, dan pengayoman terhadap masyarakat. Politik yang selayaknya menjadi garapan kiai adalah politik yang bervisi kerakyatan dan kebangsaan.
Maka, kiai memang perlu kembali ke masyarakat. Sesungguhnya masyarakat yang masih diliputi problem pelik dalam kehidupannya merindukan hadirnya kiai di tengah-tengah mereka. Kiai tetap memiliki peran besar membangun kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara tanpa harus disibukkan urusan politik praktis. Sebagai pewaris para nabi, kiai adalah milik seluruh masyarakat. Kiai akan selalu berjuang menegakkan nilai-nilai agama dan membangun kehidupan yang dipenuhi ketenangan dan kebahagiaan di tengah-tengah masyarakat.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Forum El-Pena di Yogyakarta