Leutika dalam Pesona Berkarya

Oleh: HENDRA SUGIANTORO

Rata PenuhLeutika. Sebuah nama lembaga penerbitan yang masih anyar berdiri. Ketika muncul kali pertama, aku tak begitu tahu persis waktunya. Namun, Leutika telah menghadirkan fenomena. Perlahan, dalam perkembangannya, Leutika bukanlah lembaga penerbitan biasa-biasa saja. Ada idealisme dalam Leutika, ada misi dari Leutika, yang ingin memberikan kontribusi terkait budaya dan tradisi literasi di Yogyakarta dan Indonesia. Leutika telah terlahir dalam sejarah dan menjelma pesona untuk tiada henti berkarya.

Tak sekadar lembaga penerbitan, Leutika telah menjadi ruang berpikir, berjuang, dan berkarya. Bayangkan saja berapa kali Leutika mengadakan lomba penulisan dan seberapa banyak masyarakat yang mengikuti lomba tersebut. Mereka pun berpikir, berjuang, dan berkarya menghasilkan tulisan yang berkualitas agar dapat menyertakan karya dan namanya dalam sebuah buku terbitan Leutika. Meskipun aku amat sangat jarang sekali mengikuti, tapi aku benar-benar mengetahui ada ajang seperti itu. Ingat, amat sangat jarang sekali. Ya, aku hanya pernah mengikuti sekali saja, saat lomba penulisan dengan tema Curhat Jalan Raya. Aku ketika itu mencoba belajar menulis. Tahukah? Aku ternyata memang tak layak masuk 30 besar!

Lomba penulisan untuk dijadikan buku antologi memang selalu diadakan Leutika. Hal ini merupakan salah satu yang berbeda dari Leutika dibandingkan penerbit-penerbit lainnya. Tak hanya itu, Leutika telah melakukan gebrakan yang 'banyak banget'. Leutika juga menginisiasi Leutikans untuk membentuk komunitas pembaca dan diskusi buku-buku Leutika. Ada juga pembuatan kartu anggota Leutika dengan pelbagai persyaratan dan kemudahan yang akan didapatkan. Yang menarik, Leutika mengadakan sebuah penerbitan sendiri (self publishing) bagi siapa pun yang ingin menerbitkan buku. Leutika Prio, itulah nama dari lini self publishing lembaga penerbitan Leutika. Selain itu, masih banyak hal lainnya yang telah dilakukan Leutika. Bolehlah aku berkata: Dahsyat Leutika!

Dengan kehadiran Leutika, aku seharusnya bisa berkarya lebih hebat dan lebih banyak. Namun, aku sekadar tahu saja apa yang telah dilakukan Leutika. Aku pun bukanlah penulis yang tekun dan produktif menulis. Dengan pelbagai lomba yang diadakan Leutika, aku seharusnya bisa ikut menuangkan karya, tapi aku merasa kesulitan menulis. Aku pun masih harus banyak belajar menghasilkan tulisan secara baik dan bukan biasa-biasa saja. Mohon maaf kepada Leutika jika aku tak terlalu mengikuti event yang diselenggarakan selama ini. Aku sekadar tahu saja.

Selain lewat face book, aku kerap membuka website Leutika. Tapi, informasi dari Leutika lebih up to date di face book. Leutika juga mampir dalam pikiranku lewat mobil. Aku kerap melihat mobil Leutika di jalan-jalan kota Yogyakarta. Ketika aku mengendarai sepeda motor, aku lihat mobil milik Leutika melaju. Entah mau kemana, aku tak mengenal siapa yang di dalam mobil. Aku pun pernah mampir ke kantor Leutika di Jalan Sulawesi No. 7 C, Ring Road Utara, Yogyakarta. Awalnya begitu rumit mencari kantor Leutika. Aku sempat bolak-balik kesana kemari. Yah, dengan perjuangan, kantor Leutika berhasil aku temukan. Mau tahu apa yang aku lakukan di kantor Leutika?

Jujur, aku ke kantor Leutika hanya ingin mendapatkan buku. Siapa tahu juga dapat insentif dalam bentuk uang. Seberapa pun jumlah uang, lumayanlah untuk beli buku baru. Yang aku tahu selama ini, siapa yang meresensi buku di media massa memang akan mendapatkan buku dan/insentif dari pihak penerbit. Nah, aku mencoba datang ke kantor Leutika. Ternyata aku mendapatkan dua buku dan amplop. Apa isi amplop? Tahulah.

Pada dasarnya, aku masih belajar meresensi buku yang baik. Alhamdulillah, beberapa kali buku terbitan Leutika yang aku resensi menembus media massa. Sebut saja buku karya Sudaryanto berjudul Menguangkan Ide: Kaya dengan Menulis Artikel pernah nangkring di rubrik Bedah Buku SKH Kedaulatan Rakyat. Buku Resign And Get Rich: Berhenti Kerja, Jadi Pengusaha karya Edo Segara pernah menembus Harian Jogja dan Koran Jakarta. Ketika aku membuat resensi, aku kadang membuat resensi buku tak hanya satu versi. Versi pertama buku karya Edo Segara itu menembus rubrik Resensi Buku Harian Jogja dengan judul Tak Jadi Pegawai, Bisnis Sendiri!. Adapun di Koran Jakarta menembus rubrik Perada dengan judul Ketika (Di)keluar(kan) dari Kantor. Di Koran Jakarta, buku Jaman Penjor karya GusHar Wegig Pramudito pernah termuat dengan judul Pernak-pernik Pelajaran Hidup.

Meskipun hanya meresensi buku, aku merasa telah ikut berkarya bersama Leutika. Kalau boleh bercerita, buku-buku terbitan Leutika yang telah aku resensi tak seluruhnya bisa menembus media massa. Yah, aku masih belajar menulis resensi yang baik dan bekualitas. Ke depan, moga aku bisa berkarya lebih baik dan banyak lagi bersama Leutika Bukan Penerbit Buku Biasa! Wallahu a’lam.

http://leutikaprio.com/

Mengenal Tokoh Intelijen Dunia

Oleh: HENDRA SUGIANTORO Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu 20 Maret 2011

Judul Buku: 100 Tokoh Intelijen Dunia Penulis: Hanu Lingga Penerbit: Navila Idea, Yogyakarta Cetakan: I, 2011 Tebal: viii+314 halaman

Di setiap negara, keberadaan intelijen memang dianggap penting demi kepentingan negaranya. Pengalaman yang mumpuni dengan jenjang karir panjang kerapkali mentakdirkan seseorang sebagai agen sebuah badan intelijen.

Vladimir Putin yang pernah menjadi pemimpin Rusia pun sebelumnya terlibat dalam dunia penuh rahasia ini. Setelah lulus dari kuliahnya di bidang hukum di universitas negeri di St Petersburg sekitar tahun 1975, Putin bekerja di KGB (Badan Intelijen Uni Soviet) sebagai mata-mata dan ditugaskan di Jerman. Ia mundur dari KGB sekitar tahun 1990. Putin naik sebagai pejabat kepresidenan setelah Boris Yeltsin mengundurkan diri pada akhir tahun 1999. Putin turun tahta dari posisi presiden pada tahun 2008.


Pastinya, ada tokoh intelijen yang memang dipublikasikan keluar, sehingga diketahui khalayak luas. Di sisi lain, tak dimungkiri jika ada yang disembunyikan namanya. Selain yang terlibat di KGB, ada juga yang bernaung di CIA (Amerika Serikat), Mossad (Israel), Asio (Australia), M16 (Britania Raya), dan sebagainya. Adapun lembaga intelijen negara di Indonesia bernama Badan Intelijen Nasional (BIN).

Dirunut dari keberadaan BIN, sosok Soebandrio (1914-2004) tak bisa dilepaskan. Ia adalah orang pertama yang memimpin Badan Pusat Intelijen, cikal bakal BIN. Selain di badan intelijen, Soebandrio juga memegang jabatan-jabatan lainnya semasa Orde Lama. Dari begitu banyaknya tokoh intelijen, kita tentu mengingat sosok bernama Ali Moertopo. Sosok ini penuh kontroversi mengingat keterlibatannya dalam operasi-operasi untuk memberantas lawan-lawan politik pemerintahan Soeharto.
Selain yang tersebut di atas, ada begitu banyak tokoh intelijen lain dipaparkan buku ini.

Secara umum, intelijen bergerak secara aktif dalam pengumpulan informasi terutama yang terkait dengan masalah negara. Begitu juga intelijen berupaya mengatasi ancaman terhadap negara. Dari pengalaman selama ini, kepentingan negara kerapkali disesuaikan dengan kebijakan pemegang kekuasaan, terlepas baik atau buruk. Intelijen bisa juga digunakan untuk membasmi kriminalitas dan kejahatan di masyarakat. Melalui buku ini, kita bisa sejenak mencermati tokoh intelijen dengan sekelumit aksinya, baik dari Indonesia maupun negeri manca.

HENDRA SUGIANTORO

Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta

Wajah (Buram) Buku di Sekolah

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Harjo Forum HARIAN JOGJA, Sabtu 19 Maret 2011

Seorang guru di Salatiga, Jawa Tengah, memaparkan tentang buku-buku yang terdapat di sekolahnya. Beliau mengutarakan, “Di buku paket dari tahun ke tahun materinya sama, terlebih buku paket dari pemerintah, biasanya hanya diganti cover.”

Beliau menambahkan, “Untuk isi juga tak mengalami perubahan sesuai keadaan sekarang. Kalau buku pelajaran dari penerbit yang dijual di luar, harganya mahal. Jadi, kadang menjadikan dilema orang tua.” Apa yang beliau keluhkan ini disampaikan penulis pada Kamis (10/3).

“Kalau buku bacaan cerita umum di perpustakaan sekolah lebih banyak dipenuhi cerita rakyat zaman dahulu, sehingga anak tak tertarik. Coba kalau banyak buku cerita berisi fenomena sosial kemasyarakatan yang terjadi kini, mungkin akan meningkatkan minat baca anak. Mau mencoba membuatnya?” tutur beliau.

Apa yang diutarakan seorang guru di Salatiga, Jawa Tengah, di atas menarik direnungkan. Nama seorang guru tersebut sengaja penulis rahasiakan, karena yang penting adalah subtansi dari yang beliau sampaikan. Fenomena yang diutarakan di atas tampaknya dijumpai di setiap sekolah mana pun. Setiap tahun buku pelajaran tak mengalami “perubahan”, sehingga siswa di sekolah asing dengan fakta sosial dan bangsa yang lagi berkembang. Boleh jadi yang dipaparkan dalam buku pelajaran adalah fakta-fakta usang yang cenderung tak relevan dengan kondisi kekinian.

Solusi mengatasi hal tersebut memang bisa dilakukan oleh guru. Misalnya guru Bahasa Indonesia memberikan pelajaran dengan menggunakan surat kabar untuk ditelaah bersama siswanya. Bisa juga siswanya dianjurkan membaca novel-novel kontemporer yang dinilai edukatif, sehingga memiliki referensi tak hanya novel-novel terbitan lama. Ada banyak cara lainnya yang bisa dilakukan guru.

Namun demikian, guru sepertinya juga menghadapi dilema. Pasalnya, apa yang disajikan dalam buku paket pelajaran akan menjadi bahan soal dalam ujian (nasional). Guru dimungkinkan tak mau ambil risiko. Pikiran guru tentu pada materi pelajaran yang harus diselesaikan tepat waktu.

Dalam hal ini, kita tentu menginginkan agar siswa-siswa Indonesia memiliki ilmu, wawasan, dan pengetahuan yang luas. Apakah kita bisa menjamin buku paket pelajaran IPA, misalnya, mengikuti perkembangan penemuan-penemuan kontemporer terkait fenomena alam? Entahlah, Anda memiliki solusi? Wallahu a’lam.

Guru untuk Anak

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA, Jum'at 18 Maret 2011

Dalam upaya mendidik anak, orang tua di lingkungan keluarga jelas merupakan pendidik pertama, bahkan pendidik utama. Namun demikian, orang tua juga tetap perlu memiliki pendidik-pendidik lain untuk anaknya. Orang tua dan pendidik-pendidik lainnya itu adalah mitra bersama demi memaksimalkan pendidikan bagi anak. Pendidik-pendidik lain itu di antaranya adalah guru di sekolah.

Dengan adanya guru di sekolah selain orang tua di lingkungan keluarga, anak harapannya memang bisa memperoleh pendidikan yang baik. Namun demikian, orang tua tak bisa begitu saja memasrahkan pendidikan anaknya kepada guru yang belum tentu memiliki jaminan kualitas. Untuk menilai kualitas guru memang tidak mudah. Mungkin orang tua bisa menilai kualitas guru dari latar belakang pendidikan ataupun tempatnya mengajar. Namun, hal tersebut ternyata tak juga mudah. Belum tentu seluruh guru yang mengajar di sekolah menjalankan pengabdian secara profesional dan baik. Ada juga guru yang asal-asalan menjadi guru. Lalu, bagaimana orang tua harus mencari guru bagi anaknya?

Diutarakan Ibnu Sina (908-1037 M) bahwa sebaiknya seorang anak itu dididik oleh seorang guru yang memiliki kecerdasan dan agama, piawai dalam membina akhlak, cakap dalam mengatur anak, jauh dari sifat ringan tangan dan dengki, dan tidak kasar di hadapan muridnya. Apa yang dikatakan Ibnu Sina itu tampaknya tepat. Pasalnya, orang tua tentu tak hanya mengharapkan anaknya memiliki kecerdasan akademik, tapi juga mampu berperilaku mulia. Orang tua juga tak ingin anaknya mendapatkan guru yang berlaku kasar menggunakan kekerasan. Maka, orang tua perlu memasukkan anaknya ke sekolah yang baik, sehingga nasib pendidikan anak dimungkinkan juga baik. Ukuran baik bukan berarti harus mahal.

Selain itu, orang tua juga perlu melakukan kontrol. Cara kontrol bisa dilakukan dengan menjalin komunikasi dengan anak tentang guru-gurunya di sekolah. Lewat kontrol ini, orang tua bisa mengadukannya ke kepala sekolah. Pada titik ini, kepala sekolah harus bijak menerima masukan dengan tetap mengedepankan chek and rechek, karena informasi dari orang tua boleh jadi tak terlalu tepat. Ada tugas kepala sekolah yang perlu diperhatikan, yakni mengontrol dan memastikan guru-guru di sekolah menjadi guru yang baik.

Disadari atau tidak, guru yang kurang baik bisa mempengaruhi perkembangan jiwa anak tanpa pernah disadari. Hal ini juga menjadi tantangan dan motivasi guru untuk lebih baik lagi dalam mendidik anak-anak di sekolah. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Pena Profetik Yogyakarta

Menjadi Manusia Profetik

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Kamis 17 Maret 2011

Proses menjadi manusia telah bermula dari kehidupan di alam rahim. Manusia terus berproses tanpa jeda sebelum titik akhir kematian. Dalam proses ini, jalan manusia tidaklah mulus. Manusia telah mendapat titah beribadah, namun dunia menghadirkan godaan. Sepenuh perjalanan manusia melangkah, ujian adalah keniscayaan. Manusia hidup di dunia bukan tanpa tantangan. Manusia mesti menghadapi ujian sebagai pembuktian. Manusia memang bukan malaikat, bahkan bukan jin ataupun setan. Manusia adalah makhluk dengan jenis dan rupa tersendiri yang dihadirkan menjadi khalifah fil ardh.

Persoalan menjadi manusia ini ternyata memang tak mudah. Dalam melewati kehidupan di alam dunia, manusia berhadapan dengan pilihan-pilihan. Manusia bisa mencapai taraf tertinggi, manusia bisa berada di titik terendah. Hal ini merupakan pilihan bebas manusia ingin menjadi apa dan seperti apa. Kehidupan dunia dengan keniscayaan ujian menghadirkan jalan kebaikan dan keburukan. Manusia bebas menentukan pilihan, namun juga mengerti takkan bebas tanpa pertanggungjawaban.

Wajah kebaikan dan keburukan memang mewarnai dunia semenjak pada mulanya manusia diciptakan. Pertarungan antara yang benar dan yang salah terus bertalu. Sejak zaman Adam, kebaikan dan keburukan ada. Tuhan dengan kemahaan-Nya tak pernah tinggal diam ketika manusia lupa pada hakikat penciptaan. Diutusnya “manusia-manusia pilihan” menjadi kehendak Tuhan untuk mengingatkan dan menjelaskan kebenaran.

Manusia-manusia pilihan Tuhan (baca: para Nabi) diutus menjadi pelita yang menerangi kegelapan. Dalam teks sejarah dan agama telah berlalu banyak Nabi dengan kerja-kerjanya membangun kehidupan. Musa yang bekerja dengan arahan Tuhan, Nuh yang beratus-ratus tahun melakukan kerja kenabian. Ibrahim yang bekerja sebagai Nabi, begitu pula dengan Isa. Selain mereka, ada begitu banyak Nabi yang terungkap dalam teks atau tak pernah tersebutkan. Pegangan hidup berupa kitab suci pun diturunkan, seperti Daud dengan Zabur, Musa dengan Taurat, Isa dengan Injil, Muhammad dengan Al-Qur’an.

Setiap Nabi yang diberi wahyu oleh Tuhan bertugas menjalankan kerja kenabian (profetik). Misi utama dari kerja profetik itu adalah mengajak dan mengarahkan manusia untuk satu penyembahan kepada Tuhan semata. Jika kini ada kecenderungan manusia menghamba pada materi, itu sebenarnya telah berlangsung berabad-abad. Bentuk-bentuk penghambaan materi ini memiliki ragam sesuai wajah, kondisi, dan perkembangan zaman. Para raja dan penguasa pun bisa menjadi “berhala”. Intinya, manusia meninggalkan Tuhan, mengabaikan dan alpa terhadap titah untuk hanya menyembah kepada Sang Pencipta. Sejak zaman dahulu, manusia juga kerapkali menghamba pada uang dan tahta. Dengan kerja profetik, manusia diarahkan untuk mentauhidkan Tuhan.

Kerja profetik yang memiliki misi utama agar manusia beriman kepada Tuhan tentu membangun keimanan penuh makna. Artinya, keimanan dapat mengarahkan manusia untuk bergerak membangun kehidupan. Percaya kepada Tuhan tidak berhenti pada pengakuan hati dan lisan semata. Keimanan harus menjadi landasan dan arah dari kerja profetik selanjutnya. Adanya keimanan berarti mengakui tak ada kebesaran selain kebesaran Tuhan. Manusia diciptakan tanpa perbedaan dan setara dalam pandangan Sang Pencipta. Tugas manusia untuk beribadah dan memakmurkan kehidupan. Atas kesadaran itu, humanisasi dan liberasi dijalankan. Dengan mengacu pada surat Ali ‘Imran ayat 110, Kuntowijoyo merumuskan amar ma’ruf sebagai humanisasi, nahi munkar sebagai liberasi, dan tu’minuna billah sebagai transendensi. Transendensi, humanisasi, dan liberasi sebagai kerja-kerja profetik saling bertalian dan saling menopang untuk melakukan transformasi kehidupan.

Meskipun kini Tuhan tak lagi menghadirkan Nabi, bukan berarti kerja profetik usai. Risalah kenabian tidaklah tamat setelah “manusia-manusia pilihan” wafat, namun terus menjadi pedoman hingga kiamat. Manusia-manusia yang hidup di zaman kini adalah penerus dan pelanjut dari cita-cita dan risalah kenabian. Kehidupan terus berjalan, manusia-manusia perlu juga menjalankan kerja profetik. Ketika mampu menjadi manusia profetik, maka proses menjadi manusia telah mencapai taraf tertinggi. Hal ini bukan berarti manusia zaman kini menjadi Nabi. Manusia zaman kini jelas bukan Nabi dan takkan mungkin menjadi Nabi. Namun, manusia profetik menyadari adanya kerja-kerja profetik untuk membangun kehidupan. Persoalan kini, adakah manusia-manusia profetik?

Pertanyaan di atas tentu menjadi refleksi. Menjadi manusia profetik meniscayakan peneladanan terhadap sifat dan karakter Nabi sebagai sosok teladan. Begitu pula diperlukan penghayatan dan pemaknaan dari kerja-kerja profetik. Di tengah kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang masih berada dalam “terowongan gelap”, negeri ini merindukan hadirnya manusia-manusia profetik yang menjalankan proses humanisasi yang bersifat transendental. Manusia profetik yang membangun kehidupan dengan misi pembebasan, mengangkat derajat manusia agar memiliki daya yang tak ada perbedaan kecuali pada kadar ketakwaan. Manusia profetik dituntut untuk mampu mempersembahkan kontribusi positif bagi kehidupan.

Di tengah negeri ini yang masih berkubang kemiskinan, ketidakberdayaan, dan keterbelakangan, kehadiran manusia profetik dirindukan. Di negeri ini, penyembahan terhadap uang dan kekuasaan menggejala, politik tak dijalankan untuk kemaslahatan, hukum tak ditegakkan untuk keadilan, kehidupan masyarakat terpuruk, kesenjangan sosial menganga, maka siapakah manusia profetik? Aku, kamu, dan kita perlu mulai belajar menjadi manusia profetik. Kita memperbaiki diri dan mengajak siapa pun untuk memaknai ibadah kepada Tuhan dan memakmurkan kehidupan secara lebih sejati. Sesungguhnya kitalah sang pengubah zaman. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Yogyakarta

Manfaat Daging Kelinci

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di jagongan HARIAN JOGJA, Sabtu 12 Maret 2011

Kelinci adalah salah satu jenis binatang. Tak begitu mudah untuk menemukan binatang ini kecuali di tempat-tempat tertentu. Berbeda dengan ayam, kelinci belum tentu dipelihara oleh penduduk sekampung pun. Apalagi mendapatkan daging kelinci, kita dimungkinkan harus penat mencari sampai dapat. Di pasar, daging ayam mudah diperoleh ketimbang daging kelinci.

Entah seberapa banyak dari kita yang pernah memakan daging kelinci. Mungkin Anda pernah memakannya? Daging kelinci cenderung panas dan kering. Dengan memakan daging kelinci ternyata bisa memperkuat otot perut. Hal ini diutarakan Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya berjudul Thibbun Nabawi. Selain itu, daging kelinci juga bisa melancarkan buang air kecil dan menghancurkan batu ginjal. Daging kelinci, tutur Ibnu Qayyim al-Jauziyah, lebih baik dipanggang. Adapun bagian yang terbaik dari daging kelinci adalah pinggul.

Dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah memakan daging kelinci. Anas bin Malik menceritakan, “Kami pernah kehilangan kelinci. Akhirnya kami kirim orang untuk mencarinya kembali sampai berhasil kami tangkap. Abu Thalhah mengirimkan bagian pinggul kelinci itu yang telah dimasak, lalu beliau SAW menerimanya.”

Dalam kitab Thibbun Nabawi, Ibnu Qayyim al-Jauziyah juga menuturkan bahwa bagian kepala dari kelinci jika dimakan dapat membantu mengatasi kedinginan. Apa yang diutarakan Ibnu Qayyim al-Jauziyah ini dimungkinkan cocok atau mungkin dipraktekkan di daerah-daerah tertentu. Di Indonesia, mengatasi kedinginan bisa dengan cara lain, tak harus mencari bagian kepala dari kelinci untuk dimakan.

Begitulah daging kelinci yang memberikan manfaat untuk kesehatan. Ada pernyataan menarik dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah bahwa daging kelinci bisa menghancurkan batu ginjal. Dengan izin Allah SWT, batu ginjal dapat dihancurkan dengan memakan daging kelinci. Entah seberapa rupiah harus dikeluarkan untuk membeli daging kelinci. Ada yang tahu harganya? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Pena Profetik Yogyakarta

Mengaji Sosok Ibu

Oleh: HENDRA SUGIANTORO

Dimuat di Surat Pembaca SUARA KARYA, Selasa 8 Maret 2011

Membaca sosok ibu, ada kandungan makna luas. Ibu tak sekadar dimaknai sebagai perempuan yang telah mengandung dan melahirkan. Mendalami makna ibu, ada peran dan tanggung jawab yang telah diemban. Perjalanan ibu adalah perjalanan dunia ini semenjak manusia ditakdirkan berketurunan. Dari sosok ibu, terbentang perjalanan kasih sayang, perjuangan, pengorbanan, kebahagiaan, keharuan, bahkan kepiluan. Bahkan, dari sosok ibu (mungkin saja) juga menggoreskan air mata, kesedihan, dan luka.


Menggali makna ibu mungkin tak cukup tertampung dalam lembaran kertas. Bagi seorang anak, ibu telah termaknai sejak berabad-abad silam. Entah tersurat atau tidak, setiap anak telah memaknai kehadiran ibu dalam kehidupan. Anak merasakan dan menghayati sosok ibu yang telah mengandung, melahirkan, membesarkan, dan mendidiknya.


Untuk menelusuri pemaknaan ibu dalam benak anak, kita tentu bisa memasuki relung hati kita. Masing-masing kita sebagai seorang anak memiliki pemaknaan tersendiri terhadap seorang ibu. Pemaknaan ini boleh jadi berbeda meskipun tak menutup kemungkinan berada dalam kesimpulan serupa. Perbedaan pemaknaan sosok ibu dalam benak anak lumrah terjadi akibat perbedaan pengalaman dan perjalanan hidup. Lalu, seperti apakah kita memaknai ibu?


Bung Karno, presiden pertama Indonesia, dengan berterus-terang pernah berkata bahwa ia barangkali bisa membanggakan dirinya dalam hal cinta, hormat, bakti kepada ibu. Bung Karno berkata, “Bung Karno kalau sowan sama Ibunya itu, saya tidak bisa membicarakan Ibu tanpa haru dalam hatiku. Kalau tak ada Ibu, Soekarno tidak jadi seperti sekarang ini. Segala apa yang saya miliki sekarang ini, memiliki sebagai kedudukan, sebagai isi mental, sebagai kecakapan memimpin, sebagai kepintaran, sebagai apa pun, sebenarnya asalnya dari Ibu saya. Ibu yang memimpin aku, Ibu yang membuat aku menjadi manusia seperti sekarang ini. Jikalau aku sudah dipanggil Tuhan ke akhirat, saya minta diberi oleh Tuhan mencium kaki Ibuku sekali lagi. Jelas, kalau tidak ada Ibu, aku tidak jadi manusia seperti sekarang ini.”(Bung Karno, 16 Juli 1964, dalam Bung Karno Mencari dan Menemukan Tuhan oleh H.A. Notosoetardjo).


Begitulah Bung Karno mengekspresikan perasaannya terhadap ibu lewat kata-kata. Ibu memang menghadirkan kesan dalam diri anak. Siapa pun boleh mengekspresikan hatinya. Azzam, tokoh dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman el-Shirazy, juga mendalami dan menghayati keberadaan ibu. Begitu cinta Azzam terhadap ibunya. Ada satu fragmen dalam novel yang menarik disimak ketika Azzam memboncengkan ibunya dalam perjalanan ke tempat Kiai Kamal Delanggu. Tanpa sadar, Azzam menyenandungkan sajak cinta: Ibu,/aku mencintaimu/seperti laut/mencintai airnya/tak mau kurang/selamanya.


Memaknai kehadiran dan keberadaan ibu yang diekspresikan lewat kata-kata mungkin pernah juga kita lakukan. Ada cinta, rindu, dan sejuta perasaan terhadap ibu dalam hati kita. Ehm, atau kau ingin mengekspresikannya dalam ungkapan kalimat? Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO

Aktivis Pena Profetik Yogyakarta

Makan Pisang, Mau?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA,Senin 7 Maret 2011

Buah menyehatkan memang benar. Begitu banyak buah bisa kita makan, salah satunya adalah pisang. Siapa tak tahu pisang? Pisang adalah jenis buah yang tak sulit ditemukan. Setiap saat selalu tersedia pisang di pasar atau warung penjual makanan. Bahkan, di antara kita ada yang menanam pohon pisang di kebun rumah.

Bagi kita yang sedang sakit, pisang kadang digunakan untuk memasukkan obat ke tubuh. Jika penyakit hilang, itu memang guna pisang sebagai jalan untuk menyehatkan. Tapi, pisang menyehatkan tak hanya untuk urusan seperti itu. Pisang benar-benar menyehatkan, betul!

Tanpa kita sadari, pisang ternyata dapat mengobati penyakit tekanan darah tinggi, memperkuat dan menstimulasi perkembangan sel lambung, menurunkan kadar kolesterol darah dan melindung jantung, mendukung proses relaksasi otot, dan menangkal serangan radikal bebas yang sebabkan pelbagai penyakit degeneratif. Ada komposisi gizi yang terkandung dalam pisang, yakni terdiri dari energi, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, dan air. Pisang juga mengandung vitamin A, B1, dan C (Latifa Anjarpratiwi, 2009).

Pisang yang biasa kita makan ternyata mengandung banyak manfaat ‘kan? Sudahkah makan pisang? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Aktivis Pena Profetik Yogyakarta

Sastra Tak Sekadar Karya

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Koran Merapi, Minggu 6 Maret 2011

Sastra adalah kehidupan. Sastra telah menjalani periode sejarah panjang. Di negeri ini, sastra telah ada dan mengada semenjak Indonesia belum ada. Begitu rupa karya sastra hadir menyemarakkan kehidupan publik. Sastra telah menjadi wahana beragam tujuan dan kepentingan. Sastra tak sekadar karya, tapi menjadi jalan bagi gagasan dan pikiran. Masing-masing penulis sastra bekerja dalam imajinasi dan nalar untuk mempersembahkan buah tangannya.

Karya sastra, apapun bentuknya, menemui publik dengan konsekuensi apresiasi, ekspresi, dan interpretasi. Sebagai sebuah karya, interpretasi publik tak mungkin terhindarkan. Pun, ekspresi publik dimungkinkan berbeda. Apresiasi sastra tak melulu soal larisnya penjualan. Publik mengapresiasi sastra dengan menikmati dan terlibat dalam karya. Apresiasi juga memberikan kritik dan/ pujian. Masing-masing kita tidak dilarang menginterpretasikan apapun terkait karya sastra sesuai alam pikiran. Pun, setiap kita bebas berekspresi ketika menikmati karya sastra, sekaligus berhak memetik hikmah dan pelajaran.

Berbicara karya sastra tak dimungkiri telah didahului pergulatan batin, daya pikiran, dan imajinasi. Lewat “lautan kata”, karya sastra diakui memiliki pengaruh, entah positif atau negatif. Daya jangkau pengaruh sebuah karya sifatnya relatif. Besar kecilnya efek dari karya sastra memang tak bisa diukur secara kuantitatif. Bahkan, ukuran kualitatif juga sulit dilakukan. Seberapa banyak orang yang terpengaruh, kita tak tahu. Seberapa besar perubahan sosial akibat karya sastra juga sulit dipastikan. Namun, pengaruh itu tetap ada. Kata Yudi Latif (2009), pengaruh kesusastraan terhadap kehidupan tak bisa diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerapkali mempengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, dan bahkan mengubah dunia.

Daya pengaruh karya sastra malah bisa mengarahkan jalan menuju masa depan. Ada kekuatan dari karya sastra yang memberi efek bagi manusia/masyarakat. Karya sastra bisa memberi terang bagi proses refleksi kehidupan, sekaligus mengimajinasikan masa depan. Ada tiga efek dari sebuah karya: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sedikit atau banyak, karya sastra memberikan efek kognitif, afektif, dan psikomotorik kepada khalayak. Dalam penggambaran ini, Lazar dkk (dalam Yudi Latif:2009) memaparkan contoh. Kisah Rosie The Riveter, yang melukiskan sepak terjang seorang pekerja pabrik kerah biru menjadi pengungkit bagi Woman’s Liberation Movement. Kisah Siegfried, ksatria-pahlawan legendaris dan nasionalisme Teutonik, bertanggung jawab mengantarkan Jerman pada dua perang dunia. Kisah Barbie, boneka molek, yang menjadi role model bagi jutaan gadis-gadis cilik, dengan memberikan standar gaya dan kecantikan.

Karya sastra di negeri ini dengan beragam jenis dan bentuknya tentu menghadirkan daya pengaruh. Sejak berpuluh-puluh tahun lalu, karya sastra yang telah dihasilkan di negeri ini berbilang-bilang jumlahnya. Bahkan, beberapa karya sastra anak negeri juga diapresiasi sampai ke negeri manca. Di dalam negeri, karya sastra sebenarnya tak miskin apresiasi meskipun rendahnya pembelajaran sastra di sekolah mungkin menjadi problem tersendiri. Di ranah empirik, kita justru banyak menyaksikan masyarakat menggandrungi ciptaan karya sastra dari pelbagai pengarang.

Kemunculan karya sastra di negeri ini semenjak zaman silam hingga zaman kini tentu telah menghadirkan sedikit banyak perubahan dan pengaruh, baik terhadap pemikiran, pandangan, dan perilaku masyarakat. Karya sastra memiliki perjalanan sejarah yang panjang semenjak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Pada titik ini, kita perlu mengakui bahwa karya sastra sarat nilai. Terlepas apa ideologinya, setiap pengarang memiliki konsep nilai dan misi dalam setiap karyanya. Pengarang yang menghasilkan karya sastra sekadar meletupkan perasaan dan emosinya tetap memiliki ideologi. Bagaimana pun, karya sastra tak berangkat dari ruang kosong. Sekecil apapun realitas sosial yang dialami dan dihayati pengarang menggerakkan jemari untuk menuangkannya dalam sebentuk karya. Di tangan sastrawan, karya sastra bisa menjadi alat perlawanan, alat pencerahan, alat penyadaran, alat pembelaan, alat untuk mendidik masyarakat.

Pertanyaan menarik, bagaimana sastrawan mengimajinasikan masa depan negeri ini untuk dituangkan dalam karya sastranya? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Pena Profetik Yogyakarta

Mahasiswa dan Forum Kepenulisan

Oleh: HENDRA SUGIANTRO
Dimuat di Majalah Pewara Dinamika UNY Edisi Februari 2011

Hampir dalam berbagai kesempatan mengemuka perihal rendahnya budaya menulis di perguruan tinggi. Hal ini kerapkali memunculkan keprihatinan dan menjadi kegelisahan. Perguruan tinggi yang notabene dihuni kalangan akademisi-intelektual ternyata belum mampu menunjukkan sebuah budaya menulis yang baik. Padahal, menulis merupakan salah satu bagian dari tradisi intelektual yang selayaknya dimiliki warga perguruan tinggi. Pertanyaannya, benarkah budaya menulis di perguruan tinggi memang rendah?

Secara kuantitatif, tak ada data konkret mengenai seberapa rendah budaya menulis di perguruan tinggi. Yang perlu diperhatikan, masyarakat perguruan tinggi bukan berarti tidak menulis sama sekali. Dosen dan mahasiswa memiliki tugas akademik, salah satunya menulis. Sebut saja misalnya mahasiswa yang kerapkali mendapatkan tugas menulis makalah dan/ paper terkait mata kuliahnya. Sebagian dosen pun sering menulis di jurnal-jurnal ilmiah. Dengan mengetahui fakta ini, opini masih rendahnya budaya menulis di perguruan tinggi memang perlu dicermati lebih lanjut. lantas, bagaimana memandang opini rendahnya budaya menulis di perguruan tinggi?

Memang terdapat aktivitas menulis di perguruan tinggi, namun hal ini lebih dikarenakan tugas akademik. Mahasiswa cenderung menulis hanya memenuhi tuntutan kuliah. Selain tugas kuliah, mahasiswa amat jarang menghasilkan karya tulis. Jika pun ada mahasiswa yang mengikuti lomba karya tulis atau kerapkali muncul di rubrik-rubrik surat kabar, maka boleh dikatakan masih bisa dihitung dengan jari. Mahasiswa memang menulis di surat kabar, tapi hanya berkutat pada nama-nama yang itu-itu saja. Begitu pula mahasiswa yang mengikuti dan tertarik dengan ajang penulisan karya tulis ilmiah hanya mahasiswa-mahasiswa tertentu. Artinya, tidak seluruh mahasiswa memandang aktivitas menulis sebagai bagian dari tugas pokok mereka.

Bahkan, aktivitas menulis bagi sebagian besar mahasiswa justru menjadi beban. Fatalnya, mahasiswa yang sudah malas menulis malah tak bersedia belajar menulis. Plagiarisme pun menjadi siasat mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas menulisnya. Plagiarisme yang saat ini telah menjadi permasalahan nasional memang berusaha diberantas, namun bukanlah pekerjaan mudah. Pasalnya, hampir tidak dimungkinkan bagi dosen memeriksa tugas-tugas menulis dari sekian banyak mahasiswa. Dalam satu mata kuliah, satu dosen bisa mengajar ratusan mahasiswa berbeda kelas. Malah dimungkinkan satu dosen tidak hanya mangampu satu mata kuliah, bahkan mengajar lebih dari satu fakutas dan/ perguruan tinggi. Pada titik ini, integritas dan kejujuran mahasiswa menjadi hal utama dan penting untuk mengatasi plagiarisme.

Untuk membangun integritas dan kejujuran mahasiswa dalam menulis kiranya penting untuk menciptakan ruang-ruang pembinaan agar mahasiswa memiliki ketrampilan menulis. Upaya membangun budaya menulis di kalangan mahasiswa tidak berhenti pada ceramah dan nasihat, tetapi juga diperlukan ruang pembinaan yang berkesinambungan. Pelatihan-pelatihan kepenulisan yang kerapkali dilaksanakan layak diapresiasi. Yang perlu menjadi catatan, pelatihan-pelatihan kepenulisan tidaklah cukup. Pelatihan kepenulisan yang berlangsung beberapa jam atau beberapa hari belum menjamin mahasiswa memiliki minat dan konsisten mengasah kemampuan menulisnya. Ruang pembinaan berupa forum kepenulisan yang rutin dilaksanakan merupakan strategi tersendiri membangun budaya menulis. Lewat forum kepenulisan, mahasiswa bisa saling belajar dan memotivasi untuk mengasah kemampuan menulis. Dorongan berkarya akan terasa di kalangan mahasiswa dengan adanya forum kepenulisan.

Lewat forum kepenulisan, potensi menulis mahasiswa juga dimungkinkan mengalami aktualisasi. Adanya opini masih rendahnya budaya menulis di perguruan tinggi boleh jadi akibat minimnya ruang-ruang pembinaan. Mahasiswa tidak memiliki pandangan luas terkait dunia kepenulisan. Yang diketahui mahasiswa mungkin hanyalah mengerjakan tugas-tugas menulis kuliahnya. Dengan adanya forum kepenulisan, masing-masing mahasiswa bisa berbagi ilmu, pengetahuan, dan pengalaman mengenai dunia kepenulisan.

Terkait dengan potensi menulis mahasiswa boleh jadi tidak terbatas. Artinya, mahasiswa sebenarnya memiliki potensi menulis yang luar biasa, namun tidak ada ruang untuk mengaktualisasikan potensi itu. Maka, penggalian dan pengembangan potensi menulis tentu tidak sekadar menulis dalam konteks akademik. Mahasiswa memiliki potensi menulis tidak hanya pada ranah kepenulisan ilmiah, tapi juga kepenulisan non-ilmiah. Ranah kepenulisan fiksi juga seyogianya bisa dikembangkan. Potensi-potensi inilah yang menuntut adanya ruang pembinaan agar setiap potensi menulis mahasiswa terwadahi dan terorganisasi maksimal. Dengan adanya forum kepenulisan, mahasiswa diarahkan untuk menulis di mana pun sesuai potensinya. Tidak hanya mengikuti lomba-lomba kepenulisan, tapi juga bisa menghasilkan tulisan untuk bisa dikonsumsi publik secara luas. Mahasiswa perlu memiliki kepercayaan diri untuk menghasilkan tulisan sebagai kontrol sosial. Tulisan-tulisan yang dihasilkan mahasiswa merupakan bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan masyarakat.

Dengan terpacunya mahasiswa menulis, ide, gagasan, dan pemikirannya tentu bisa terbaca luas. Apalagi bagi mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), tulisan-tulisannya sedikit banyak akan bisa mencitrakan kampus ini. Jika kita saksikan, geliat menulis di kalangan mahasiswa cenderung terasa di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta. UNY tentu tidak akan kalah jika mahasiswa-mahasiswanya terus-menerus ditumbuhkan spirit menulis, termasuk dengan adanya ruang-ruang pembinaan memadai. Mahasiswa UNY tidak hanya berprestasi di ajang kompetisi penulisan karya ilmiah, tapi juga bisa menghasilkan karya tulis lainnya dalam bentuk buku. Begitu membanggakan jika banyak mahasiswa UNY menerbitkan buku-buku yang akan menjadi warisan intelektual. Begitu juga mahasiswa UNY bisa merajai media massa dengan tulisan-tulisannya yang termuat. Bukankah begitu? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Aktivis Pena Profetik Yogyakarta