Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka HARIAN BHIRAWA, Jum'at, 22 Maret 2013
Judul Buku: I Love Maghrib Penulis: Arini Hidajati Penerbit:
DIVA Press, Yogyakarta Cetakan: I, Januari 2013 Tebal: 238 halaman ISBN:
978-602-7663-84-8
Kehidupan di dunia hanyalah
temporer. Tidak ada yang kekal kecuali Dzat Yang Maha Kekal. Namun, tarikan pesona
dunia kerapkali menggelincirkan jalan lurus manusia. Kita seolah-olah memiliki
dunia, bahkan ingin menguasai segala isi dunia demi memuaskan nafsu semata. Padahal,
sejatinya kita lahir di dunia ini tidak memiliki apa-apa. Kita pun juga akan
mati tanpa membawa apa-apa kecuali iman dan amal ikhlas. Lewat perjalanan hidup
Umi Salimah dalam novel I Love Maghrib
ini, kita pun diajak untuk menyelami hakikat kehidupan dunia secara lebih
mendalam.
Bagi Umi Salimah, segala yang
terbentang di alam ini adalah ayat-ayat-Nya. Begitu pula dengan waktu Maghrib
yang sebenarnya telah menjelaskan kefanaan dunia secara terang-benderang. Waktu
Maghrib adalah garis pemisah antara siang dan malam. Waktu Maghrib adalah garis
pemisah dari terang menuju gelap. Waktu Maghrib menjadi tanda kepastian
keterpisahan kita dari alam dunia ke alam akhirat yang misteri. Waktu Maghrib
menjadi ruang bagi Umi Salimah untuk menakar baik dan buruk kehidupannya.
Kematangan jiwa Umi Salimah itu
berproses berkat petuah dan teladan hidup ayah dan ibunya. Hidup dalam balutan
kesederhanaan, mereka merasa cukup dengan rezeki yang Tuhan limpahkan. Cukup
artinya tidak kurang, tidak berlebih. Meskipun sebenarnya mampu membangun rumah
yang megah, mereka tidak melakukannya. Ayahnya yang tak mau mempercantik rumah
adalah pelajaran akan prinsip tidak terikat dan tidak mau terikat dengan
seluruh kepemilikan dunia. Mereka menempatkan dunia tidak di hati. Umi Salimah
meresapi nasehat ibunya, “Kuatkan
ikatanmu dengan Tuhan. Pastilah Ia akan menolongmu dalam segala perkara. Susah
gembira. Sedih dan senang,” (hlm. 33-49).
Tidak ingin terikat dengan dunia
bukan berarti mengabaikan kehidupan dunia. Untuk mencukupi kebutuhan hidup,
ayah Umi Salimah mengolah sebidang sawah dan memelihara sebuah kebun. Bangunan
rumahnya tidak luas dan megah, tetapi kebunnya mampu menghasilkan berbagai
pohon, buah, dan sayur-mayur. Ibunya pun tekun menanam di sekeliling rumah
dengan tanaman-tanaman yang membuat rindang. Tak hanya untuk keluarganya, hasil
kebun yang diolah ayahnya selalu saja dibagikan kepada tetangga. “Jika kau masak dan tetanggamu membaui
masakanmu, maka berilah…,” pesan ayahnya. Itu bisa pula dimaknai, apabila
kita memiliki harta yang kelihatan, orang lain tentu akan bergembira apabila
menerimanya. Tanpa harus dilisankan, laku hidup ayah dan ibunya itu telah mengajari
Umi Salimah kebersatuan dengan alam dan lingkungan.
Ketika menikah pada usia 27 tahun
dan hidup berumah tangga, kebersahajaan hidup tetap dimiliki Umi Salimah. Umi
Salimah sadar, bahwa dirinya juga harus mampu mendidik anaknya secara baik. Ia
sadar bahwa apapun yang ia lakukan adalah cermin bagi anaknya. Ia tidak ingin
menjadi cermin yang buruk muka. Merasa cukup dengan rezeki Tuhan, kepedulian
terhadap alam dan lingkungan, dan menguatkan syukur, sabar, dan ikhlas sebagai
kunci kekuatan hidup ditularkan kepada anaknya. “Jika saja bunga sedang bermekaran, maka tunggulah ia sampai jatuh ke
bumi. Mekarnya bunga adalah saat ia lahir dan melihat semesta. Biarkan sejenak
ia bertasbih di antara usianya yang tak lama. Merasakan indahnya alam dan
keagungan Tuhan. Dan, jika saja kau petik, pastilah ia akan mati. Kau memotong
lidahnya yang tengah berdzikir, Sophia,” salah satu pesan Umi Salimah
kepada anaknya yang kedua. Naurin, nama anaknya yang pertama. Umi Salimah pun
menasehati anaknya untuk tak boleh berandai-andai akan sesuatu yang tak ada. Sebab,
hal itu akan membuat kita menyesali nasib dan tidak bersyukur atas karunia-Nya
(hlm. 87-89).
Ujian
kehidupan Umi Salimah semakin terasa ketika kedua anaknya meninggalkannya untuk
menuntut ilmu. Suaminya yang jarang berada di rumah menambah kesepiannya.
Namun, ia memasrahkan hidupnya pada kehendak Tuhan. Ia memang berusaha untuk
tidak terikat dunia. Meskipun begitu, sebagai seorang ibu, kerinduannya kepada
anak-anaknya tetap bersemayam. Waktu yang akhirnya memberikan pemahaman kepada
dirinya bahwa rindu kepada suami dan anak-anaknya tidak boleh melebihi
kerinduannya kepada Tuhan.
Tuhan sebenarnya yang layak dirindu.
Waktu Maghrib pun menjadi ruang bagi Umi Salimah menakar kedekatannya terhadap
Sang Pencipta. Ketika malam tiba dan mata terlelap, ruh kita mengembara. Apakah
ruh itu hinggap kembali ke jasad kita ataukah kembali menuju-Nya? Kita takkan
tahu. Novel ini bisa menjadi perenungan jiwa kita untuk hanya menempatkan dunia
di tangan, bukan di hati kita. Inspiratif sebagai renungan jiwa kita.
Hendra Sugiantoro
Pegiat Pena Profetik
0 komentar:
Posting Komentar