Saatnya Menjadi Pemilih yang Cerdas

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Kamis 2 April 2009

Hal yang menyedihkan jika Pemilu 2009 tidak menghasilkan perubahan signifikan. Tak ada jaminan pemilihan anggota legislatif pada 9 April nanti mampu melahirkan anggota-anggota dewan yang amanah. Kemungkinan terburuk pun bakal terjadi ketika anggota-anggota dewan yang terpilih justru tidak lebih baik dari sebelumnya. Lebih menyedihkan lagi, kehadiran anggota-anggota dewan yang tidak baik itu diakibatkan oleh pemilih yang tidak tepat dalam menentukan pilihan.
Entah disadari atau tidak, parlemen yang korup dan tidak bertanggung jawab sedikit banyak diakibatkan oleh masyarakat. Anggota-anggota dewan yang korup juga dipilih masyarakat ketika Pemilu. Masyarakat justru memberi jalan korupsi bagi anggota-anggota dewan ketika membiarkan money politics terjadi. Kecerdasan pemilih untuk menentukan pilihan berdasarkan rekam jejak dan program-program caleg tentu saja menjadi hal yang penting. Tidak sekadar memilih karena pernah mendapatkan uang dari caleg, tapi memilih berdasarkan pertimbangan kualitas caleg. Pemilih yang cerdas tidak memilih karena pernah memperoleh kaos dan sembako gratis, tapi karena memang melihat prestasi dan kapabilitas caleg.
Dengan demikian, kinerja parlemen yang buruk tidak sekadar kesalahan parpol dan anggota dewan semata. Ada peran masyarakat yang membuat parlemen diisi anggota-anggota dewan yang tidak bertanggung jawab. Upaya mereformasi parpol agar dapat melahirkan kader-kader yang berkemampuan dan berkepribadian memang perlu dilakukan, tapi kecerdasan masyarakat dalam memilih tidak boleh dilupakan. Masyarakat yang semakin cerdas akhirnya menyeleksi keberadaan parpol. Artinya, parpol yang memang tidak berkomitmen dan tidak mengabdi bagi kemaslahatan masyarakat akan tidak berdaya karena ditinggalkan masyarakat.

Pada dasarnya, parpol seharusnya berfungsi melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Parpol tidak hanya memobilisasi masyarakat untuk menguatkan dukungan, tapi menjadikan masyarakat berpartisipasi secara rasional. Ketika masyarakat mendukung sebuah parpol, itu didasarkan pada pengetahuan masyarakat terhadap parpol. Pengetahuan dimaksud meliputi visi dan misi parpol, tujuan parpol, rekam jejak parpol, rekam jejak kader-kader parpol, program dan strategi dari program parpol. Jika masyarakat tidak melihat parpol mampu memperjuangkan kemaslahatannya, masyarakat berhak untuk tidak memilih. Masyarakat tentu saja memiliki hak menilai parpol untuk dijadikan pertimbangan pilihan. Dalam hal ini, transparansi parpol menjadi tuntutan sehingga dukungan masyarakat tidak sekadar dukungan buta.

Namun demikian, kenyataan menunjukkan lain. Parpol selama ini masih belum melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Iklan-iklan kampanye, misalnya, memberi kesan bahwa parpol menganggap masyarakat bodoh. Parpol seolah-olah tidak bersalah mengelabuhi masyarakat dengan iklan-iklan kampanye. Jika parpol belum bisa menjadikan masyarakat cerdas, pihak nonparpol yang sebenarnya perlu turun ke lapangan. Pendidikan politik kepada masyarakat menjadi keniscayaan untuk melahirkan pemilih-pemilih yang cerdas. Sosialisasi politisi busuk, misalnya, seharusnya diintensifkan sampai masyarakat mengetahui secara jelas. Pihak media massa juga bisa berperan optimal mencerdakan masyarakat, seperti memuat rekam jejak parpol dalam pemberitaannya. Media massa bisa saja melakukan kontrol terhadap parpol dan juga caleg. Tentu saja, waktu masih tersedia untuk menjadikan masyarakat menjadi pemilih yang cerdas sampai 9 April 2009 nanti.

Bagi masyarakat, pemilu legislatif hendaknya dijadikan momentum untuk melakukan perubahan. Jika masyarakat berperan memperburuk wajah parlemen jika asal-asalan memilih caleg, maka masyarakat juga berperan memperbaiki wajah parlemen. Untuk itu, masyarakat perlu memikirkan secara matang pilihan politiknya. Masyarakat tetap harus kritis dan tidak mudah tertipu terhadap setiap kampanye para caleg. Masyarakat perlu memeriksa lebih lanjut rekam jejak pengabdian sosial caleg. Rekam jejak berupa pengabdian sosial akan menentukan perilaku politiknya ketika terpilih. Jika selama ini miskin pengabdian yang dilakukan di kehidupan masyarakat, maka caleg itu layak dipertanyakan. Pun, masyarakat perlu mengetahui apakah caleg terlibat dalam kasus korupsi ataupun tindak pidana lainnya untuk selanjutnya berani untuk tidak memilih caleg bersangkutan.

Selain itu, masyarakat juga perlu mengetahui lebih mendalam kehidupan keluarga dari caleg. Kehidupan keluarga bisa menjadi gambaran kepemimpinan dari caleg. Jika memimpin kehidupan keluarga saja kurang baik, maka dimungkinkan tidak baik pula kepemimpinannya dalam skala lebih luas. Kepemimpinan dalam keluarga adalah miniatur kepemimpinan dalam lingkup negara. Tak kalah penting lagi yang perlu diketahui masyarakat adalah keimanan dan ketakwaan dari caleg yang mampu menumbuhkan kesadaran bahwa jabatan politiknya juga dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Semoga dengan memilih secara cerdas, masyarakat mampu menghasilkan anggota legislatif yang bersih, bertanggung jawab, dan peduli terhadap masyarakat. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute pada Universitas Negeri Yogyakarta