Kampus, Harapan akan Perubahan?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Kampus Suara Merdeka, Sabtu 4 September 2010
Kampus merupakan salah satu wahana yang memiliki peran dan fungsi. Dalam perjalanannya, kampus telah memberikan pengajaran dan pendidikan bagi ribuan mahasiswa sekaligus mencetak lulusan dari beragam disiplin ilmu. Sebagai bagian dari ruang pendidikan formal, kampus tentu berkontribusi bagi pembangunan bangsa.

Terlepas dari problematika mahasiswa dan lulusan yang dihasilkan, kampus tetap menjadi harapan bagi perbaikan dan perubahan bangsa ke arah positif. Begitu banyak lulusan dari kampus yang menorehkan prestasi dan karya-karya cemerlang. Pikiran dan gagasan besar kerap muncul dari kampus sebagai ikhtiar pencerahan dan solusi problematika bangsa. Kajian riset bisa dikatakan tak terhitung yang memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran.

Memperbincangkan kampus, ada banyak sisi bisa diutarakan. Salah satu sisi itu adalah mahasiswa sebagai subjek pendidikan yang akhirnya lulus dan bergerak di masyarakat. Dalam kehidupan, sepak terjang mahasiswa diakui tak selalu diapresiasi. Kritik juga menerpa mahasiswa meski harapan senantiasa digantungkan kepada mahasiswa. Di sisi lain, mahasiswa mampu menunjukkan prestasi dan mencerminkan jati diri mahasiswa yang excellent.

Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, kampus tetap berupaya mencetak mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kampus tak sekadar membentuk dan mengembangkan kecakapan intelektual mahasiswa, namun juga perlu mencerdaskan sisi emosional dan spiritual mahasiswa. Hal ini telah menjadi kesepakatan umum sebagai refleksi kritis dunia pendidikan yang hanya menjejali subjek pendidikan pada wilayah kognitif semata. Pendidikan karakter yang marak mengemuka akhir-akhir ini tentu bertalian juga dengan dunia kampus agar kuasa melahirkan mahasiswa yang berkarakter.

Dalam pendidikan di kampus, penanaman dan pembangunan nilai-nilai (transfer of values) menjadi niscaya. Begitu pula kesadaran transendental perlu dimiliki mahasiswa sebagai manusia yang dititahkan untuk beribadah kepada Tuhan dan memakmurkan kehidupan. Tak hanya memiliki wawasan berpikir luas, mahasiswa juga harus memiliki keyakinan lurus, mampu beribadah secara benar dan berbudi mulia. Di samping itu, mahasiswa juga harus memiliki kekuatan jasmani, kuasa memanajemen urusan kehidupannya, mampu menundukkan keburukan nafsunya, kreatif dan mandiri, mampu memelihara waktunya, dan mampu berkontribusi positif bagi kebangunan masyarakat.

Dalam hal ini, catur pusat pendidikan kampus menjadi menarik didiskusikan. Ada empat ruang kampus yang perlu berjalan sinergis dan saling mendukung, yakni ruang kuliah, perpustakaan, organisasi kemahasiswaan, dan tempat ibadah. Empat ruang inilah yang perlu dioptimalkan sebagai upaya mendidik mahasiswa.

Berbicara ruang kuliah, maknanya luas tak hanya di dalam kelas. Kuliah adalah pembelajaran yang bisa dilakukan di mana pun, termasuk juga di laboratorium atau tempat terbuka. Kajian dan penelitian ilmu sosial dan ilmu alam terus digalakkan sebagai upaya pengembangan sisi keilmuan dan pemikiran mahasiswa. Tradisi keilmuan harus senantiasa dipupuk. Diskusi, membaca, meneliti, dan menulis menjadi standar baku perkuliahan yang dilakukan dosen terhadap mahasiswa. Budaya berkunjung ke perpustakaan juga digalakkan. Perpustakaan perlu menjadi pusat pendidikan kampus sebagai ruang mahasiswa membaca, menelaah, dan mengkaji literatur-literatur.

Fungsi perpustakaan sangat penting bagi mahasiswa dalam memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan, wawasan, dan pemikiran. Begitu juga keberadaan organisasi kemahasiswaan selayaknya dapat menjadi ruang pembelajaran mahasiswa. Termasuk dalam hal ini adalah tempat ibadah seperti masjid yang berdiri di kampus-kampus tak boleh dilupakan dalam sistem penyelenggaraan pendidikan di kampus. Kajian-kajian ataupun kegiatan yang diselenggarakan masjid kampus bisa menjadi bagian dari kurikulum pendidikan mahasiswa.

Empat pusat pendidikan kampus yang disebutkan di atas pastinya harus berjalan sinergis. Pertanyaannya, apakah “catur pusat pendidikan kampus” itu telah menjadi kesatuan organik? Atau malah terkesan bergerak sendiri-sendiri? Wallahu a’lam.

HENDRA SUGIANTORO

Pegiat Transform Institute Yogyakarta

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/09/04/122704/Kampus-Harapan-akan-Perubahan

Guru di Titik Persimpangan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Warga Suara Merdeka, Sabtu 14 Agustus 2010
Ada pernyataan menarik dari Mustainah Ssi dalam rubrik Suara Guru Suara Merdeka edisi Senin, 19 Juli 2010. Dia mengeluhkan posisi guru yang berada di titik persimpangan.

Guru PAUD Griya Nanda UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta lewat artikel berjudul “Guru sebagai Sahabat” itu menuliskan, "dalam proses belajar mengajar, keberadaan guru berperan strategis bagi keberhasilan tujuan pendidikan. Namun, sistem pendidikan yang kita anut menempatkan guru pada sosok yang terlampau agung. Guru atau dosen sengaja didesain sebagai manusia luar biasa, yang harus ”digugu lan ditiru” dalam setiap laku dan ucapannya. Sistem yang demikian membuat corak pendidikan kita indoktrinatif yang menempatkan siswa pada posisi lemah.”

Penggalan artikel anggitan Mustainah Ssi di atas menarik direnungkan pada kalimat: “...sistem pendidikan yang kita anut menempatkan guru pada sosok yang terlampau agung. Guru atau dosen sengaja didesain sebagai manusia luar biasa, yang harus ”digugu lan ditiru” dalam setiap laku dan ucapannya.”

Penulis pernah melakukan refleksi terkait posisi guru. Entah mengapa penulis merasakan “ada yang tidak wajar” ketika guru dalam konstruksi masyarakat ditempatkan sebagai “malaikat”. Atau dalam bahasa Mustainah Ssi, guru ditempatkan sebagai sosok yang terlampau agung.

Memang benar jika unsur keteladanan menjadi salah satu keniscayaan dalam upaya mendidik. Ketika guru mendidik murid-muridnya untuk berlaku baik, maka guru harus satu kata dan perbuatan. Guru harus menjadi sosok yang digugu lan ditiru. Tingkah laku guru seyogianya dapat menjadi teladan bagi murid-muridnya. Yang menjadi persoalan, guru sering kali dikonstruksikan sebagai manusia sempurna. Guru tidak boleh salah dan khilaf. Adanya kewajiban guru berperilaku mulia memang tidak bisa diganggu gugat, namun kita tetap harus memposisikan guru sebagai manusia biasa.

Dalam hal ini, pernyataan di atas sekiranya layak direnungkan. Bagaimana pun, guru tetap harus dimuliakan oleh siapa pun. Sikap memuliakan guru tetap dengan memosisikan guru sebagai “manusia biasa” yang kadang berbuat salah dan juga memiliki kelemahan. Bagaimana menurut Anda? Wallahu a’lam.

Hendra Sugiantoro,
Koordinator Forum Indonesia
http://citizennews.suaramerdeka.com/?option=com_content&task=view&id=1257

Di Balik Tradisi Mudik

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Kedaulatan Rakyat, Rabu 1 September 2010
BANYAK orang dari perantauan berduyun-duyun pulang ke kampung halaman pada hari-hari terakhir Ramadan atau menjelang hari Lebaran. Lalu lintas jalan raya pun akan penuh sesak dengan angkutan umum darat dan juga kendaraan pribadi. Tak hanya di darat, transportasi laut pun digunakan untuk memenuhi tujuan bersua dengan keluarga, sanak saudara, dan siapa pun di kampung halaman.

Fenomena khas tradisi mudik memang telah berlangsung bertahun-tahun di negeri ini. Bahkan, menurut Umar Kayam (2002), mudik telah terjadi berabad-abad lalu. Dikatakan Umar Kayam bahwa mudik awalnya merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah ada jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Dahulu kegiatan itu digunakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur yang disertai upacara doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan. Tujuannya adalah agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tak dirundung petaka. Apa yang dilakukan itu akhirnya terkikis ketika Islam masuk ke tanah Jawa. Kegiatan itu merupakan perbuatan sia-sia dan masuk dalam kategori syirik. Meski demikian, peluang kembali ke desa setahun sekali itu muncul kembali lewat momentum Idul Fitri. Mudik digunakan oleh kaum perantau untuk bersilaturahmi dengan keluarga, sanak saudara, dan siapa pun di tempat kelahiran.

Mudik memang bisa dikatakan semacam peluang bagi siapa pun yang merantau untuk merekatkan kembali tali kekeluargaan dan persaudaraan di daerah asalnya. Setelah bekerja di tempat rantau, kerinduan terhadap kampung halaman menemukan kesempatan bersamaan dengan libur Lebaran. Tradisi mudik yang telah berlangsung bertahun-tahun tentu tak lepas dari pertanyaan yang mungkin sulit dicari jawabannya. Sebut saja pengeluaran finansial yang tidak sedikit harus rela dikeluarkan demi pulang ke kampung halaman. Bagi kaum perantau yang berhasil secara finansial mungkin tak menjadi masalah, namun berbeda dengan kaum perantau yang tidak berkecukupan. Meskipun pergi ke luar daerah/kota-kota besar bertujuan mendapatkan pekerjaan layak, kaum perantau tidak semuanya mengalami keberhasilan. Namun demikian, seberapa pun uang dikeluarkan untuk mudik seolah-olah tidak menjadi persoalan. Bahkan, gaji selama setahun disisihkan dan dialokasikan untuk biaya mudik yang hanya mungkin dilakukan sekali setahun. Lewat tradisi mudik, kita menyaksikan betapa kerinduan kembali ke kampung halaman tak bisa dibendung. Dalam perjalanan, keselamatan jiwa sering kali menjadi taruhan, tapi mereka yang merantau yakin dengan keamanan perjalanan. Apapun dilakukan untuk dapat bersua dengan keluarga dan sanak saudara di kampung halaman meskipun mengeluarkan biaya besar dan nyawa menjadi taruhan.

Fenomena mudik yang mentradisi dalam masyarakat negeri ini pastinya dapat dilihat dari beragam sudut pandang. Mudik memiliki arti pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari Lebaran. Mudik dilakukan oleh mereka yang merantau ke luar daerah asal. Kota-kota besar menjadi tujuan yang diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup lebih baik. Hal ini disebabkan di daerah asal atau pedesaan kurang menjamin akses pekerjaan yang layak sehingga orang-orang berketetapan hati untuk pergi ke luar daerah dan kota-kota besar. Tak hanya terkait pekerjaan, tujuan merantau juga bisa terkait dengan aspek pendidikan. Setelah lama di kota, kerinduan bersua dengan keluarga, sanak saudara, dan kerabat di kampung halaman tak terelakkan. Mungkin saja kesempatan bersua itu hanya setahun sekali sehingga momentum Lebaran menjadi saat yang tepat untuk pulang ke kampung halaman. Dikatakan Emha Ainun Nadjib (2004), para pemudik yang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman itu sedang memenuhi tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya.

Dengan melakukan mudik, orang-orang yang bekerja di kota berkehendak kembali ke jati dirinya. Muhammad Muhyidin (2008) menyatakan bahwa orang-orang kota mengalami tingkat penurunan spritualitas terhadap cara ibadah dan intensitasnya untuk taat kepada Allah SWT. Karena disibukkan dengan urusan pekerjaan ataupun urusan yang bersifat duniawi, orang-orang yang berada di kota merasakan kekeringan hati. Nurani terasa mati sehingga sulit membedakan kebaikan dan keburukan. Pada titik ini, mudik menjadi ajang mencari ketenangan batin dan memperlembut jiwa. Suasana alam pedesaan atau kampung halaman yang asri dan masih jauh dari cengkeraman modernitas semu merupakan ruang kondusif bagi lahirnya konsep diri yang asli. Kesadaran bertuhan, kesadaran sebagai makhluk Tuhan, kesadaran sebagai makhluk sosial, dan kesadaran memakmurkan kehidupan ditumbuhkan ketika menikmati kampung halaman. Kembali ke asal-usul menemukan maknanya bersamaan dengan momentum Idul Fitri di mana setiap manusia kembali ke dalam kondisi fitrah yang suci setelah sebulan berpuasa.

Tradisi mudik yang menjadi fenomena sosio-religius ini seakan-akan menyimpan kearifan kultural. Namun demikian, tradisi mudik juga menandakan ketimpangan kemakmuran daerah. Tradisi mudik yang kentara di negeri ini menunjukkan kurang meratanya akses penghidupan yang layak. Lahan pekerjaan dan jaminan hidup layak tidak didapatkan di pedesaan atau kota-kota kecil. Kota-kota besar menjadi pelarian dari keterhimpitan hidup meskipun mengais nafkah di kota-kota besar tidak selalu menjamin keberhasilan. Paradigma kota-kota besar adalah sumber pengharapan akhirnya menciptakan dampak lanjutan dari tradisi mudik: urbanisasi. Tradisi mudik selalu diikuti arus perpindahan orang-orang pedesaan menuju perkotaan.

Dalam hal ini, tradisi mudik hendaknya menyadarkan pemerintah untuk memeratakan pembangunan dan akses penghidupan di masing-masing daerah. Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya harus diberi tanda seru. Artinya, cukup sudah perpindahan penduduk menyerbu kota-kota besar. Mereka yang merantau ke kota-kota besar perlu juga bertanggung jawab memajukan daerahnya seperti diteriakkan lantang oleh Pramoedya Ananta Toer dalam esainya berjudul ”Jakarta”: Tinggallah di daerah dan saatnya membangun daerah menjadi sumber kegiatan sosial, sumber kesadaran politik, dan sumber penciptaan dan latihan kerja. Begitu.
HENDRA SUGIANTORO
Peneliti Transform Institute Yogyakarta