Soekarno dan Kebudayaan Bangsa

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu 30 Januari 2011


Judul Buku: Soekarno: Visi Kebudayaan&Revolusi Indonesia Penulis: Nurani Soyomukti Penerbit: Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2010 Tebal: 260 halaman

Bagi Soekarno, kebudayaan adalah sarana membangun bangsa. Kebudayaan berjalin kelindan dengan segala aspek kehidupan. Kebudayaan berkaitan dengan aspek ekonomi dan politik. Bagaimana pun, kebudayaan tak mungkin bersifat netral. Melalui buku ini, kita sedikit banyak akan memperoleh gambaran tentang visi kebudayaan presiden pertama Republik Indonesia itu.

Ada konsep Tri Sakti Bung Karno yang terus melekat hingga kini, yakni mandiri di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Jiwa Soekarno yang hendak membebaskan bangsa ini dari penindasan dan penjajahan memang telah terbentuk sejak masa pergerakan nasional. Ketika menjadi presiden, jiwa tersebut tidaklah pudar. Penjajahan di bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan terus terjadi yang kadang tanpa disadari, sehingga membuat lenyapnya kepercayaan diri, jati diri, dan kebanggaan bangsa. Di masa kepemimpinan Soekarno, istilah neokolonialime kentara didengungkan demi menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap musuh bersama.

Dalam menjabarkan konsep kebudayaan dari Soekarno, penulis buku ini mencoba melakukan analisis dan interpretasi. Penulis buku berusaha memudahkan penjelasan terkait visi kebudayaan dan revolusi dari seorang Soekarno. Dalam masa pemerintahan Soekarno, kita tentu teringat dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol). Manipol yang merupakan orasi Soekarno pada 1959 ini oleh MPRS ditetapkan sebagai “Garis-Garis Besar Haluan Negara” lewat ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960. Intisari dari Manipol meliputi UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia yang disingkat USDEK. Setiap tahun Manipol-USDEK ini diberi pedoman dalam pidato Soekarno pada tanggal 17 Agustus.

Di kalangan budayawan dan seniman, apa yang dilakukan Soekarno mendudukkan dua kubu secara diametral. Ada budayawan dan seniman yang mendukung kebijakan Soekarno dan berusaha menyukseskannya, namun juga ada yang kurang bersepakat. Polemik kebudayaan antara Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pun muncul. Kelompok kebudayaan Manikebu mengganggap kebudayaan bersifat netral dan tidak boleh dikait-kaitkan dengan politik. Lekra menganggap kebudayaan tidak dapat dipisahkan dari aspek kehidupan, termasuk ekonomi dan politik. Lekra menjadikan seni budayanya sebagai alat perjuangan politik revolusioner. Terkait kentaranya keperpihakan Soekarno terhadap Lekra, penulis buku mencoba menjelaskan berkenaan dengan konstelasi politik ketika itu.

Banyak hal dipaparkan buku ini. Soekarno menurut penulis buku hanya berobsesi membangun kepribadian bangsa. Perlawanan Soekarno terhadap musik “ngak-ngik-ngok” di masa pemerintahannya hendaknya dibaca dalam konteks itu. Aliran musik itu dianggap dapat merusak kepribadian bangsa dan kontra-revolusioner oleh Soekarno dan pendukungnya. Dilakukan tindakan tegas terhadap masyarakat yang masih mendengarkan dan memainkan musik “ngak-ngik-ngok”. Terjadi pula razia dan penyitaan alat perekam dan kaset The Beatles, Rolling Stones, dan lainnya. Para artis ataupun seniman yang menyanyikan dan bergaya alat Barat ditegur. Pernah pada peringatan 17 Agustus 1965, Soekarno menyindir Koes Bersaudara, “Jangan seperti kawan-kawanmu, Koes Bersaudara. Masih banyak lagu-lagu Indonesia, kenapa mesti Elvis-Elvisan.” Sebelum itu, pada 1 Juli 1965, sepasukan tentara telah menangkap kakak beradik Tony, Yon, dan Yok Koeswoyo dan memenjarakannya.

Selain mengundang sikap pro, kebijakan yang dibuat Soekarno juga dibarengi sikap kontra. Malah Anda bisa saja terbawa pada sikap pro dan kontra setelah membaca buku ini.
HENDRA SUGIANTORO

Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta

Sayang Ibu

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Cernak SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu 23 Januari 2010

BEL jam istirahat siang berbunyi. Ibu guru mempersilahkan anak-anak untuk istirahat. Ada murid yang keluar kelas untuk bermain, ada juga yang jajan makanan dan minuman. Tak seperti biasa, Yosi hanya diam di kelas, tak ikut bermain bersama teman-temannya.

”Ada apa, Yosi?’ tanya Ibu guru. Yosi tidak segera menjawab, pikirannya terbayang terus dengan ibunya di rumah.
”Yosi mau berbagi cerita dengan Ibu?” Ibu guru bertanya kembali dengan bijak.
”Ya, Bu. Yosi teringat dengan ibu di rumah. Ibu begitu sayang. Setiap pagi ibu membangunkan Yosi, memasakkan makanan, dan membantu Yosi mempersiapkan keperluan untuk sekolah,” jawab Yosi.
”Ibu memang sayang kepada Yosi. Tugas ibu memang berat membesarkan anaknya, mendidik dan merawat anaknya. Ketika anaknya sekolah, ibu selalu menyiapkan segala sesuatunya. Kasih sayang ibu ke anaknya memang luar biasa,” kata Ibu guru.
”Yosi juga sayang dengan ibu. Yosi ingin memberi sesuatu buat ibu. Kira-kira apa ya, Bu?” Yosi menjelaskan keinginannya untuk memberi sesuatu ke ibunya. ” Yosi ingin membahagiakan ibu.”
”Oh begitu. Kalau menurut Yosi, kira-kira apa?” tanya Ibu guru.
”Nah itu, Bu. Yosi sedang memikirkan sesuatu sebagai ungkapan sayang ke ibu. Yosi bingung mencari sesuatu yang tepat buat ibu,” tutur Yosi menjelaskan ke ibu gurunya.
”Boleh saja Yosi memberi sesuatu. Apapun sesuatu itu pasti membuat ibu senang,” kata Ibu guru.
”Yang bisa membuat ibu bahagia apa ya, Bu?” tanya Yosi yang masih bingung memikirkan sesuatu yang akan diberikan ke ibunya. Ibu guru mencoba memahami apa yang ada dalam pikiran Yosi.
”Yosi bisa membuat ibu Yosi bahagia dengan apapun. Yosi rajin belajar juga akan membuat ibu Yosi bahagia. Kalau menurut ibu, Yosi memberi sesuatu itu dengan cara berbakti,” kata Ibu guru mencoba mengarahkan pikiran Yosi.
”Berbakti? Seperti apa ya, Bu” tanya Yosi.
“Ya, berbakti kepada ibu. Ibu akan bahagia jika Yosi menjadi anak yang baik dan salihah. Jika Yosi berperilaku baik, ibu pasti bahagia. Yosi yang tidak nakal, bisa menaati orang tua dan tidak membentak-bentak orang tua akan memberikan kebahagiaan tersendiri buat ibu,” kata Ibu guru.
“Berarti Yosi harus berbakti agar ibu bahagia. Apakah dengan berbakti, kasih sayang ibu akan terbalas?” tanya Yosi.
”Kasih sayang ibu sebenarnya tidak mungkin terbalas. Seperti Yosi lihat sendiri, begitu sayangnya ibu kepada Yosi. Dulu ketika mengandung dan melahirkan Yosi, ibu harus berjuang amat berat. Ketika Yosi kecil dan sekolah, kasih sayang ibu tidak pudar, bahkan sampai nanti Yosi dewasa. Yosi ingin ibu bahagia ’kan?”
”Ya, Bu. Yosi ingin melihat ibu bahagia. Dari kata-kata Bu guru, Yosi harus berbakti sebagai ungkapan sayang ke ibu. Berbakti adalah sesuatu yang harus diberikan kepada ibu,” tutur Yosi yang semakin menyadari betapa besar kasih sayang ibu.
“Ya, Yosi memang anak yang cerdas. Ibu akan bahagia jika Yosi rajin belajar, rajin beribadah, dan tidak nakal. Yosi perlu membantu pekerjaan ibu di rumah sebagai ungkapan sayang ke ibu. Yosi tidak boleh berkata kasar ke ibu, tapi harus berbicara dengan lemat lembut. Setiap saat Yosi juga harus mendoakan ibu. Jika Yosi bisa seperti itu, ibu pasti akan bahagia,” Ibu guru menjelaskan lebih lanjut.
“Ya, Bu. Kalau begitu Yosi akan selalu berbakti kepada ibu. Yosi akan terus sayang pada ibu agar ibu selalu bahagia,” kata Yosi yang ingin cepat-cepat pulang sekolah untuk mencium pipi ibunya.
HENDRA SUGIANTORO

Jejak Perjalanan Sri Sultan HB IX

Oleh: HENDRA SUGIANTORO Dimuat di Resensi Buku Harian Jogja, Kamis 13 Januari 2011

Judul Buku: Hamengkubuwono IX Penulis: K. Tino Penerbit: NAVILA IDEA, Yogyakarta Cetakan: I, 2010 Tebal: vi+197 halaman

Sri Sultan Hamengkubuwono IX(1912-1988) tak sekadar pernah menjadi raja Kasultanan Yogyakarta, namun juga tokoh pejuang dan negarawan. Dukungannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak diragukan.

Kontribusinya terhadap RI jelas tak dinafikan. Sebagaimana diketahui, kondisi Indonesia belumlah stabil pada awal kemerdekaan, apalagi Belanda masih hendak melakukan intervensi. Dalam keadaan genting, pusat pemerintahan dari Jakarta pun dipindahkan ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946. Sultan HB IX turut membantu perjuangan RI mempertahankan kemerdekaan.

Saat perang kemerdekaan, Yogyakarta juga menjadi sasaran penyerbuan Belanda. Para pemimpin Indonesia menjadi target penangkapan. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi sempat didirikan. Aksi Belanda mendapatkan kecaman dunia internasional. Namun, Belanda bersikap pongah, bahkan menganggap Indonesia telah tiada dengan keberhasilan menangkap para pemimpin RI. Belanda mengira Indonesia tak bisa melakukan perlawanan. Sri Sultan HB IX mengatur siasat agar eksistensi RI tetap terjaga. Dengan inisiasi Sri Sultan HB IX, Belanda mendapatkan perlawanan lewat strategi terpadu bertajuk Serangan Umum 1 Maret 1949. Hal ini sedikit banyak membuka mata dunia internasional bahwa eksistensi RI masih berlanjut.


Sri Sultan HB IX memiliki karir politik di tingkat nasional. Ia pernah menjabat Menteri Negara dalam Kabinet Sjahrir (2 Oktober 1946-27 Juni 1947), Menteri Negara dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947-11 November 1947) dan Kabinet Amir Sjarifuddin II (11 November 1947-29 Januari 1948). Pada masa Kabinet Hatta I (29 Januari 1948-4 Agustus 1949), ia tetap menjadi Menteri Negara. Dalam Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949-20 Desember 1949), ia menjadi Menteri Pertahanan atau Koordinator Keamanan Dalam Negeri. Jabatan ini tetap dipegangnya dalam Kabinet Hatta saat pemerintahan RIS. Dalam Kabinet Natsir (6 September 1950-27 April 1951), ia menjabat Wakil Perdana Menteri.

Karir politik nasional Sri Sultan HB IX terus berjalan di era Soeharto. Selama Orde Baru, jabatannya dalam kabinet lebih dominan mengurusi bidang keuangan dan ekonomi sampai akhirnya menjadi Wakil Presiden pada 1973-1978. Pada masa Orde Baru muncul istilah triumvirat (Tiga Serangkai): Soeharto, Sri Sultan HB IX, dan Adam Malik. Buku ini mencoba menjelaskan soal tiga serangkai ini yang kadang dianggap pro Amerika Serikat. Mungkin saja Sri Sultan HB IX dimanfaatkan Soeharto mengawal transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Buku ini juga menjelaskan duduk perkara beberapa pihak yang menyebut tiga serangkai ini sengaja dibentuk sebagai pemerintahan bayangan di tengah agenda CIA menggulingkan Soekarno dengan memanfaatkan situasi krisis pasca-G 30/S. Yang jelas, Sri Sultan HB IX menolak perpanjangan sebagai Wakil Presiden pada 1978.


Membaca buku ini, kita diajak menelusuri kiprah Sri Sultan HB IX. Ada banyak kisah terpapar. Sri Sultan HB IX adalah tokoh nasional yang telah menciptakan fenomena dan meninggalkan nama.

HENDRA SUGIANTORO

Pegiat Pena Profetik, tinggal di Yogyakarta

Guru dan Keteladanan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Rabu 12 Januari 2011

Perilaku guru yang dinilai tidak baik sering kali menyeruak ke permukaan. Oknum guru yang melakukan tindakan kurang terpuji akhirnya dianggap tidak mampu memberikan keteladanan. Apapun tindakan guru yang tak terpuji pastinya tidak dibenarkan. Tidak hanya guru, tapi siapa pun tidak dibenarkan melakukan tindak kejahatan ataupun melanggar hukum.

Pada titik ini, kita hendaknya mendudukkan persoalan secara jernih. Sosok guru yang menjadi salah satu komponen penyelenggaraan pendidikan memang memiliki tanggung jawab besar mengajar sekaligus mendidik murid-muridnya. Dalam upaya mendidik, unsur keteladanan menjadi salah satu keniscayaan. Ketika guru mendidik murid-muridnya untuk berlaku baik, maka guru harus satu kata dan perbuatan. Guru harus menjadi sosok yang digugu lan ditiru. Tingkah laku guru seyogianya dapat menjadi teladan bagi murid-muridnya.

Yang menjadi persoalan, guru sering kali dikonstruksikan sebagai manusia sempurna. Guru tidak boleh salah dan khilaf. Adanya kewajiban guru berperilaku mulia memang tidak bisa diganggu gugat, namun kita tetap harus memposisikan guru sebagai manusia biasa. Dalam menjalani kehidupan, guru pun tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Adanya guru melakukan perbuatan tidak terpuji bisa saja karena faktor internal dalam dirinya. Kepribadian guru ada yang baik, ada juga yang kurang baik. Tidak semua guru berkarakter baik dan menghayati profesinya. Di sisi lain, faktor eksternal juga sering kali mempengaruhi guru bertindak kurang mulia. Ketertekanan ekonomi sering kali mengakibatkan seorang guru melakukan tindakan di luar kewajaran. Dengan gaji pas-pasan, guru juga manusia yang harus memenuhi kebutuhan keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya.

Maka, terkait faktor eksternal, pemerintah tidak boleh membiarkan kehidupan guru terkatung-katung. Kesejahteraan guru harus mendapatkan perhatian. Siapa pun tak ingin akibat minimnya penghasilan menyebabkan seorang guru mengambil jalan pintas agar asap dapur keluarganya bisa terus mengepul. Adanya anak guru yang justru tidak dapat bersekolah sungguh ironis dan tidak perlu terjadi jika pemerintah benar-benar memperhatikan kesejahteraan finansial guru. Hal yang perlu ditegaskan adalah penggajian guru tidak mengenal diskriminasi antara guru tetap dan guru tidak tetap. UNESCO dan ILO dalam Recommendation Concerning The Status of Teachers yang dirumuskan pada 5 Oktober 1966 menghendaki agar guru tetap maupun guru tidak tetap memperoleh penggajian yang sama secara proporsional (Pasal 60). Artinya, semua guru digaji tanpa memperhatikan embel-embel: PNS atau non-PNS, guru tetap atau tidak tidak tetap.

Terlepas dari faktor kesejahteraan, guru yang diharapkan masyarakat memang guru yang mampu berperilaku mulia. Guru mampu memberikan keteladanan dalam sikap dan perilaku mulia yang ditunjukkannya. Guru yang memiliki moralitas nan tangguh jelas diharapkan. Itulah konsekuensi logis ketika seseorang menjadi guru. Maka, Soekarno sangat menekankan pentingnya guru menjadi ”Rasul Kebangunan”. Dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, presiden pertama Republik Indonesia itu mengatakan, ”Alangkah hebatnya, kalau tiap-tiap gurunya bukan saja memenuhi syarat-syarat teknis yang orang biasanya tuntutkan dari seorang guru, tetapi benar-benar Rasul Kebangunan yang sejati,--Rasul Kebangunan bukan saja secara “formal” tetapi Rasul Kebangunan di dalam tiap-tiap sepak terjangnya, di dalam sekujur badan dan tulang sumsumnya,--Rasul Kebangunan sampai ke ujung tiap-tiap getaran ruhnya dan jiwanya! Hanya guru yang benar-benar Rasul Kebangunan dapat membawa anak ke dalam alam kebangunan. Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan dapat ”menuntun” kebangunan ke dalam jiwa anak...”. Bagi Soekarno, keteladanan guru harus ditunjukkan dalam setiap gerak-gerik guru. Profesionalisme guru tidak hanya ditunjukkan dengan kepemilikan gelar kependidikan dan penguasaan pengetahuan, tapi juga keanggunan sikap dan perbuatan. Pengaruh keteladanan guru malah bisa lebih ampuh ditiru murid-muridnya ketimbang sebentuk nasihat lewat lisan.

Dalam UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, prinsip profesionalitas juga menghendaki guru memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Guru berkewajiban menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika. Mugi Muryadi Harna (2004) pernah mengatakan bahwa salah satu ciri utama profesionalitas adalah adanya moral, etika, dan perilaku yang baik. Sebagai tenaga profesional, tugas yang diemban seorang guru tidak sekadar mengajar, melatih, dan memberi nilai, tapi juga mendidik, membimbing, dan mengarahkan. Guru adalah teladan bagi murid-muridnya. Di tangan seorang guru, murid dididik menjadi manusia muda yang beretika, berperilaku mulia, dan memiliki keanggunan moral.

Pada titik ini, besarnya kewajiban guru agar mampu memberikan keteladanan kepada murid-muridnya tentu merupakan tantangan. Bagaimana pun, menjadi seorang guru tidaklah mudah. Guru juga manusia yang pastinya tak luput dari kekhilafan dan kesalahan. Guru bukan malaikat. Namun demikian, pilihan menjadi guru adalah pilihan berat sekaligus mulia untuk mendidik generasi bangsa. Ketika seseorang memilih menjadi guru, pilihan itu juga menghendaki guru agar satu kata dan perbuatan. Untuk itu, guru perlu memiliki benteng moral yang menjadi perisai dari perbuatan-perbuatan tercela. Sekali lagi, tak mudah menjadi guru yang bisa digugu lan ditiru. Tapi, di balik itu ada kemuliaan seorang guru yang akan melahirkan generasi bangsa yang tangguh secara intelektual dan moral. Di tengah krisis keteladanan di negeri ini, guru sudah saatnya tampil sebagai teladan bagi murid-muridnya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute&Pena Profetik Yogyakarta

Membangkitkan Tradisi Menulis

Oleh: HENDRA SUGIANTORO Dimuat di Pustaka Kedaulatan Rakyat, Minggu 9 Januari 2011
Judul Buku: Menulis, Tradisi Intelektual Muslim Penulis: Dwi Suwiknyo, Edo Segara, Ifa Avianty, dkk Penerbit: Youth Publisher, Yogyakarta Cetakan: I, November 2010 Tebal: X+183 halaman

Laku menulis di kalangan intelektual muslim sejauh yang kita tahu tak pernah berhenti. Di Indonesia saja selalu muncul tulisan-tulisan dari para tokoh yang disebut sebagai cendekiawan muslim, intelektual muslim, ataupun istilah sejenisnya. Namun, di sisi lain, laku menulis di kalangan umat Islam boleh diasumsikan mengalami degradasi dan perlu ditumbuhkan.
Buku yang berisi kumpulan artikel ini mungkin saja benar jika berkehendak membangkitkan tradisi menulis di kalangan umat Islam.

Pada dasarnya, rendahnya laku menulis menjadi persoalan umum meskipun tanpa menyertakan identitas muslim. Meskipun kita akui karya-karya ulama dan intelektual muslim tetap mengalir, namun belumlah seberapa dilihat dari kuantitas umat Islam yang besar di Indonesia.


Untuk itu, melalui buku ini, umat Islam diajak mengambil spirit dari ulama dan intelektual muslim yang memiliki tradisi menulis dalam hidupnya. Dalam agama pun, laku menulis begitu ditekankan, sehingga umat Islam seharusnya memiliki motivasi besar untuk menulis.

Dengan membaca buku ini, pembaca juga bisa mengetahui pengalaman beberapa penulis yang telah menghasilkan karya-karya kepenulisan. Ada sekitar 25 penulis yang telah malang-melintang di dunia kepenulisan Indonesia memberikan kontribusi tulisan dalam buku ini. Di tengah adanya kekurangan dan kelemahan yang mungkin disengaja, buku ini bisa dijadikan bacaan untuk menggiatkan laku menulis. Begitu.

HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Pena Profetik Yogyakarta

Ketika Socrates Mati

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Forum Harian Jogja, Sabtu 8 Januari 2011

Ada banyak nama yang selalu tercatat dalam perjalanan sejarah. Dari sekian banyak nama itu salah satunya adalah Socrates. Kematiannya bisa dikatakan dengan jalan tidak wajar.

Banyak referensi yang memaparkan peristiwa kematian Socrates. Salah satu referensi itu bisa didapatkan dalam buku Masalalu Selalu Aktual karya P. Swantoro (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, cetakan I Januari 2007). Berikut pemaparan P. Swantoro dalam tulisan Hukuman Mati dalam buku itu pada halaman 35: “Socrates, seorang filsuf Yunani yang sangat menonjol, meninggal dunia pada usia 70 tahun secara tidak wajar. Ia harus mengakhiri hidupnya dengan minum racun atas putusan pengadilan Athena karena dituduh mengesampingkan dewa-dewa yang menjadi pujaan negara-kota itu, dan menyebarkan ajaran baru.

Kegiatannya itu dianggap merusak generasi muda. Tetapi Socrates sendiri menyatakan tidak pernah melakukan kesalahan yang dituduhkan itu. Malahan sebaliknya, ia sebenarnya harus diberi hadiah karena jasa-jasanya. Namun demikian, ia menolak ajakan kawannya, Crito, untuk melarikan diri. Alasannya, meskipun putusan pengadilan itu bertentangan dengan fakta-nyata tetapi lembaga tersebut sah. Jadi, putusannya harus dipatuhi. Peristiwa ini terjadi tahun 399 sebelum Masehi.”

Catatan mengenai akhir hayat Socrates tentu bisa diperoleh lewat referensi lain. Dari pemaparan P. Swantoro di atas, kita mengetahui Socrates harus minum racun atas putusan pengadilan Athena. Yang menjadi menarik adalah pernyataan Socrates bahwa ia tetap harus mematuhi putusan pengadilan meskipun merasa tak bersalah. Socrates mematuhi putusan pengadilan itu karena lembaga itu sah.
Bagi kita, apa yang dinyatakan Socrates itu tetap bisa ditafsirkan. Terlepas benar atau salah, itulah sikap dan pendirian Socrates. (*)