Tegakkan Kedisiplinan Berlalu Lintas!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bebas Bicara BERNAS JOGJA, Sabtu, 4 Februari 2012

Peristiwa tragis kembali terjadi di jalan raya. Sebuah mobil menewaskan sembilan orang di Jalan Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat, Minggu (22/1) silam. Selain sembilan orang tewas, tiga orang lainnya mengalami luka-luka. Apa yang terjadi itu kian menandakan belum aman dan nyamannya jalan raya. Jalan raya telah menjadi saksi bisu sederet tangis dan luka.

Ketika berada di jalan raya, kekhawatiran dan kegelisahan memang dimungkinkan muncul. Sebuah kecelakaan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Namun, kita tak serta-merta mengamininya sebagai kewajaran. Ada sikap dan perilaku manusia yang mengakibatkan jalan raya berwajah menakutkan. Lihatlah pengemudi mobil yang menabrak orang-orang di
halte Tugu Tani itu. Sungguh meresahkan apabila pengguna narkotika dan obat-obatan terlarang mengemudikan kendaraan. Mengemudi dalam keadaan mata mengantuk saja diarahkan untuk tidak berkendara, bagaimana mungkin pengemudi yang terpengaruh zat adiktif bisa mengemudikan kendaraan?

Siapa pun kita memiliki hak mendapatkan keamanan dan keselamatan di jalan raya. Tak hanya pengendara, tetapi juga pengguna jalan raya lainnya. Selain sebagai hak, keselamatan dan keamanan di jalan raya juga menuntut tertunainya kewajiban. Para pengguna jalan raya berkewajiban menciptakan jalan raya sebagai tempat kondusif bagi manusia beraktivitas dan berlalu lalang.

Dalam hal ini, penegakan kedisiplinan berlalu lintas tak mungkin ditawar-tawar. Pihak yang berwenang perlu menindak siapa pun yang melakukan pelanggaran di jalan raya secara tegas. Indonesia telah memiliki UU No. 22/2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang perlu ditaati dalam pelaksanaannya. Kedisiplinan berlalu lintas juga mensyaratkan para pengemudi kendaraan untuk memperhatikan kondisi fisik dan kendaraannya. Kesadaran masyarakat untuk berlaku disiplin, tertib, dan patuh terhadap peraturan di jalan raya tentu saja sebuah keniscayaan. Jalan raya adalah milik umum yang tak sepantasnya digunakan tanpa memperhatikan kepentingan para pengguna jalan raya lainnya. Pada titik ini, pendidikan berlalu lintas yang ditujukan kepada masyarakat perlu juga dilakukan. Sesungguhnya menciptakan jalan raya yang ramah bagi siapa saja adalah kewajiban kita bersama. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Yogyakarta

Waspadai Leptospirosis

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA, Jum'at, 3 Februari 2012

Begitu ragamnya nama penyakit. Kita kerap terkejut atau mungkin terpana mendengar nama-nama penyakit. Salah satu penyakit itu adalah leptospirosis. Jika kita mengenal penyakit pes akibat tikus, penyakit leptospirosis juga diakibatkan oleh tikus.

Leptospirosis diakibatkan bakteri leptospirosa yang disebarkan melalui tikus. Fita Yulia (2010) memaparkan bahwa memberantas tikus merupakan langkah penting mengatasi penyakit ini. Leptospirosis berasal dari bakteri yang dibawa pada urine tikus. Dihimbaunya agar warga bisa memutus akses tikus di rumah. Selain itu, warga yang akan beraktivitas ke sawah perlu memakai alat pelindung diri seperti sarung tangan serta cuci tangan dengan air mengalir. Agar bakteri tidak berkembang biak, di lingkungan perumahan juga diusahakan tidak ada tempat becek karena bakteri bisa berkembang biak di tempat becek selama 30 hari (Harian Jogja, 18/3/2010).

Adanya penyakit leptospirosis tentu perlu diwaspadai. Masyarakat jelas harus diberi informasi perihal leptospirosis ini. Penyemprotan untuk mematikan bakteri yang sebabkan leptospirosis bisa dilakukan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Yogyakarta

Pendidikan Agama Islam di UN-kan?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa REPUBLIKA DIY-JATENG, Kamis, 2 Februari 2012

Dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Bab I Pasal 1). Itu artinya, penyelenggaraan proses pendidikan tak bisa mengabaikan sisi kecerdasan sosial dan kecerdasan ruhani peserta didik.

Namun demikian, kenyataan yang terjadi selama ini, kecerdasan akademik lebih ditonjolkan dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang mendewakan angka-angka menjadi primodona pemangku kepentingan pendidikan. Padahal jelas, pendidikan tak hanya mengembangkan potensi kognitif semata, t
etapi juga mengembangkan kepribadian dan membentuk akhlak mulia peserta didik. Pada titik ini, Pendidikan Agama Islam (PAI) sebenarnya berkontribusi melahirkan peserta didik yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, dan akhlak mulia. Dalam kurikulum, PAI telah menjadi mata pelajaran tersendiri. Pertanyaannya, haruskah mata pelajaran PAI diikutsertakan dalam ujian nasional (UN)?

Kebijakan mengujikan mata pelajaran PAI dalam UN dengan dibuat standar secara nasional selayaknya perlu ditinjau ulang. Tidaklah tepat alasan yang mengatakan mata pelajaran PAI menjadi materi UN agar juga diperhatikan sebagaimana mata pelajaran dalam UN lainnya. Jika pun diperhatikan, maka penghargaan terhadap mata pelajaran PAI hanyalah semu. Peserta didik mempelajari mata pelajaran PAI sekadar berebut kelulusan. Tentu saja esensi mata pelajaran PAI akan menghilang dan tereduksi pada angka-angka kuantitatif semata. Siapa pun akan sulit membayangkan jika mata pelajaran PAI justru terjebak pada target perolehan angka. Mata pelajaran PAI dipelajari sekadar fokus pada target lulus UN. Dengan tujuan sukses UN, program pendalaman dan pengayaan materi dilakukan, bahkan digelar tryout untuk menguji kemampuan peserta didik. Akhirnya yang terjadi adalah perburuan nilai kuantitatif
.

Jika kita mau merenung sejenak, mata pelajaran PAI sebenarnya tak sekadar bertujuan agar peserta didik bisa bersyahadat, melaksanakan salat, berzakat, dan berpuasa.
Peserta didik mempelajari mata pelajaran PAI tak sekadar bertujuan menghafal materi-materi yang diajarkan. Mungkin bisa saja peserta didik menghafal doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi mata pelajaran PAI memiliki tujuan lebih dari itu. Mata pelajaran PAI seharusnya menjadi energi menumbuhkan akhlak mulia dan menjadikan peserta didik mampu berkontribusi bagi kehidupan berdasarkan landasan agama. Memang bisa saja materi akhlak dijadikan soal-soal ujian dan peserta didik menjawabnya dengan tepat, tetapi itu takkan bermakna jika akhlak tidak terinternalisasi dalam kepribadian. Tantangan sebenarnya bukanlah pada apakah mata pelajaran PAI diperhatikan atau tidak, tetapi mampukah mata pelajaran PAI menjadi inspirasi membangun mentalitas peserta didik.

Entah disadari atau tidak, dimasukkannya mata pelajaran PAI dalam UN akan cenderung menjadikan agama sekadar angka-angka. Peserta didik mempelajari mata pelajaran PAI sekadar agar bisa lulus tanpa mampu menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Salah satu faktor terjadinya fenomena kemerosotan moral dan meredupnya nurani dalam masyarakat akibat belum terinternalisasikannya ajaran agama secara mendalam. Seperti kita saksikan, kalangan generasi muda pun semakin hari semakin tak terkontrol perilakunya. Sikap mental pragmatis yang menyukai perilaku instan dijumpai di kalangan generasi muda. Adanya kondisi itu seharusnya menantang para pelaku pendidikan untuk merevitalisasi mata pelajaran PAI agar memiliki jiwa memperbaiki akhlak generasi muda. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pembelajar pada FKIP
Universitas PGRI Yogyakarta
bisnis syariah

Refleksi Jurnalisme Seorang Wartawan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Media MAJALAH PEWARA DINAMIKA UNY Edisi Februari 2012

Judul Buku: ‘Agama’ Saya Adalah Jurnalisme Penulis: Andreas Harsono Penerbit: Kanisius, Yogyakarta Cetakan: I, Desember 2010 Tebal: 268 halaman

Jurnalisme memiliki kontribusi penting bagi masyarakat. Dengan jurnalisme, masyarakat dibangun. Jika jurnalisme berjalan baik, maka menjadi baiklah suatu masyarakat. Mungkin hal ini terkesan utopis di tengah laku jurnalisme yang pragmatis dan kerapkali terjebak pada urusan bisnis. Kepada siapa wartawan menempatkan loyalitasnya menjadi salah satu dari sembilan elemen jurnalisme yang dipopulerkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel sekitar tahun 2001. Ada keprihatinan ketika wartawan berubah menjadi orang bisnis dan mengabaikan tanggung jawab sosialnya.

Dalam buku ini, sembilan elemen jurnalisme menjadi pintu gerbang pembahasan untuk menyimak lebih lanjut isi pikiran Andreas Harsono. Pengetahuan dan pengalamannya sebagai wartawan, baik di dalam negeri maupun di negeri manca, coba direfleksikan dan disajikan. Tentu menjadi kisah hidup mengesankan bagi Andreas Harsono yang pernah menerjemahkan buku-buku karya Kovach, bahkan menimba ilmu langsung dari Kovach. Ketika berkunjung ke Indonesia, Kovach kerapkali didampingi Andreas Harsono dalam melakukan perjalanan. Kovach yang merupakan seorang wartawan asal Amerika Serikat telah diakui reputasinya. Kovach memiliki “karier yang panjang dan terhormat” sebagai wartawan, kata Thomas E. Patterson dari Universitas Havard. Goenawan Mohammad mengatakan merasa “sulit mencari kesalahan” Kovach. Banyak hal berkenaan dengan Kovach ditemukan dalam buku ini.

Dalam kaitan kepentingan masyarakat dengan kepentingan bisnis, harian The New York Times dan The Washington Post bisa dijadikan model. Ketika membeli The New York Times pada tahun 1893, Adolph Ochs berkomitmen menyajikan surat kabar yang serius dan mengutamakan kepentingan publik. Eugene Meyer yang pada tahun 1933 membeli Washington Post berani bersikap mengorbankan kepentingan material apabila memang diperlukan demi kepentingan masyarakat. Ternyata mendahulukan kepentingan masyarakat yang dilakukan dua surat kabar ini tidak berdampak buruk terhadap bisnisnya (halaman 18).

Dalam paparannya, Andreas Harsono juga menyinggung tentang pendidikan jurnalisme di Indonesia. Menurutnya, pendidikan jurnalisme di negeri ini perlu ditinjau ulang dan dievaluasi. Banyaknya sekolah jurnalisme ternyata kurang dan belum mampu menyediakan wartawan sesuai kebutuhan media massa. Banyak media massa menomorduakan lulusan dari jurusan atau program studi jurnalisme. Hal ini tentu harus menjadi tanda tanya sekaligus tanda seru. Selain itu, keterlibatan wartawan dalam dunia politik juga menjadi pembahasan. Menurut Andreas Harsono, hal itu sah-sah saja. Banyak wartawan yang terlihat berafiliasi ke partai politik atau tokoh politik tertentu. Wartawan terlibat dalam politik praktis bisa saja mempengaruhi independensi. Tetapi, menurutnya, wartawan boleh menjadi politikus, namun jangan lagi menjadi wartawan!

Buku ini terbagi dalam empat bagian, yakni laku wartawan, penulisan, dinamika ruang redaksi, dan peliputan. Investigasi reporting menjadi hal yang ditekankan oleh Andreas Harsono. Kemampuan wartawan soal ini perlu diasah. Begitu pula masalah byline. Dalam surat kabar di Indonesia jarang digunakan byline dalam penulisan, padahal merupakan bagian dari pertanggungjawaban. Wartawan bisa bertanggungjawab terhadap isi laporannya karena publik akan mengetahui siapa wartawan yang konsisten menghasilkan berita-berita yang bermutu dan siapa wartawan yang menghasilkan berita kurang bermutu.

Melalui buku ini, Andreas Harsono memaparkan beragam pendapatnya terkait jurnalisme. Apa yang diutarakannya mungkin memunculkan pro kontra. Namun, hal ini tampaknya positif untuk membangkitkan dialektika jurnalisme Indonesia. Mau memberikan tanggapan?
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta