Ketekunan Belajar

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Fadhilah Jum'at Bernas Jogja, Jum'at 14 Agustus 2009

KETIKA duduk di bangku sekolah, anak-anak selalu diminta oleh guru-gurunya untuk rajin belajar. Belajar merupakan aktivitas yang niscaya dilakukan agar berhasil menempuh jenjang pendidikan. Aktivitas belajar ini tidak terbatas di lingkungan sekolah. Orang tua di rumah juga sering kali menasehati anak-anaknya rajin belajar. Pada dasarnya, belajar merupakan aktivitas yang harus dilakukan siapa pun tidak hanya anak-anak. Siapa pun kita diwajibkan untuk belajar sebagai sarana menuntut ilmu. Anak-anak, orang dewasa, dan orang tua dituntunkan untuk senantiasa belajar menuntut ilmu sebagai bekal kehidupan di dunia dan akhirat.

Pentingnya belajar menuntut ilmu ini tentu saja perlu menjadi kesadaran bagi siapa pun. Dalam surat Az-Zumar ayat 9, Allah SWT secara tegas mengatakan bahwa tidaklah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui. Dengan belajar menuntut ilmu, kita beroleh kemuliaan sebagai hamba Allah SWT. Maka, kita dapat melihat generasi Islam zaman awal yang begitu gigih belajar karena menyadari pentingnya ilmu. Bahkan, aktivitas belajar yang dilakukan ulama-ulama tempo dulu tidak terpaku pada satu tempat, tapi melakukan perjalanan dari satu tempat menuju tempat lain. Dalam buku Rihlatul ’Ulama fi Thalabil ’Ilmi, Abu Anas Majid al-Bankani mengatakan bahwa salah satu kehebatan generasi awal Islam dalam menuntut ilmu adalah mereka memiliki kemauan kuat atas ilmu yang bermanfaat lantas mereka mengembara, menjelajah dunia, dan menempuh perjalanan yang jauh demi mencari ilmu.

Ketekunan belajar menuntut ilmu generasi Islam zaman dahulu bisa menjadi teladan bagi kita. Ibnu ’Abbas, misalnya, terkenal akan keluasan ilmunya dan menjadi rujukan. Ada sekitar 1600 hadits yang diriwayatkan Ibnu ’Abbas. Contoh lain yang bisa disebut adalah Imam an-Nawawi. Dikatakan al-Qathbu al-Yunini, ”An-Nawawi adalah orang yang tidak mau membuang-buang waktu, baik siang maupun malam. Ia selalu menyibukkan diri dengan urusan ilmu. Bahkan, saat sedang dalam perjalanan pun ia tetap sibuk menghafal dan membaca buku.” Hasrat belajar yang begitu tinggi juga dicontohkan Abu Raihan al-Biruni yang masih bertanya perihal fikih menjelang detik-detik kematiannya karena sakit parah. Pastinya, ada banyak keteladanan lainnya perihal ketekunan belajar yang bisa kita temukan ketika membaca sejarah ulama-ulama Islam pada masa silam,
Pada titik ini, kita bisa melakukan introspeksi terkait aktivitas belajar kita dalam menuntut ilmu. Mungkin saja dalam sehari tidak ada ilmu apapun yang kita dapatkan. Kita mungkin terlalu disibukkan dengan berbagai urusan remeh-temeh yang tidak memberikan kemanfaatan apapun. Dengan kesadaran pentingnya ilmu, kita perlu menggiatkan aktivitas belajar sehingga memperoleh ilmu yang bermanfaat. Kewajiban belajar menuntut ilmu tidak terbatas usia. Artinya, anak-anak, orang dewasa, dan orang tua perlu belajar. Dalam belajar, kata Imam Syafi’i, kita perlu mengerahkan segenap jerih payah, sabar menghadapi kesulitan yang menghadang, ikhlas karena Allah dalam mencari ilmu-Nya, dan selalu memohon pertolongan Allah. ”...dan katakanlah: ”Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (Qs. Ath-Thaha (20):114). Wallahu’alam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute pada Universitas Negeri Yogyakarta