Perempuan yang Teguh dalam Cita-cita

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Senin, 13 Mei 2013 
 
Judul Buku: Pesona Izmir Penulis: Putri Indri Astuti Penerbit: DIVA Press Cetakan: I, Maret 2013 Tebal: 415 halaman ISBN: 978-602-7663-98-5 

Jejak perempuan terkadang menghadirkan wajah getir. Sosok perempuan acapkali terhambat dalam aktualisasi diri akibat pandangan keliru lingkungannya. Lebih memilukan lagi, lingkungan yang menghambat itu justru lingkungan keluarga. Itulah yang dialami Pia Cristallayne dalam novel ini. 

Pia bercita-cita menuntut ilmu setinggi-tingginya dan menjadi peneliti. Namun, ayahnya selalu membuat mentalnya down. Cita-cita Pia kerapkali dicibir. Selain peneliti, Pia juga ingin menjadi penulis, pencipta lagu, dan petani. Menurut ayahnya, Pia sebagai anak perempuan di dapur saja, belajar memasak, cuci-cuci, mengurus rumah, belajar sebelum berumah tangga sendiri nantinya. Itulah kodratnya wanita, kata ayah Pia. Yang menyesakkan, ayahnya selalu membanding-bandingkan Pia dengan anak-anak seusianya yang bekerja mapan dengan penghasilan materi mencukupi (hlm. 81-98). 

Pada dasarnya, setiap anak memiliki potensi unik dan aspirasi cita-cita. Tak ada hak orangtua membanding-bandingkan anaknya dengan anak-anak orang lain. Pekerjaan sebagai peneliti memang tak langsung terlihat hasilnya secara kasat mata. Ayahnya benar-benar tak menghargai sepak-terjang Pia yang ingin mengembangkan diri. Perlakuan ayahnya membuat Pia tak sekadar pusing, tetapi juga depresi. Untungnya, Pia tak berlarut-larut menderitakan diri dalam tekanan emosional. Ia bersikukuh dengan impiannya. Bangku perguruan tinggi S1 pun berhasil ditempuh Pia dengan mengambil jurusan teknologi pangan. Maksud Pia ingin menjadi petani lebih pada pengembangan teknologi di bidang pertanian yang juga berkorelasi dengan keinginannya sebagai peneliti. 

Novel ini tak menceritakan kisah Pia bak “malaikat” yang selalu tegar dan tanpa cacat. Sisi manusiawi Pia juga ditonjolkan. Yang mengesankan, ketabahan dan konsistensi Pia dengan segala cita-citanya. Ia tetap bertahan dengan keinginan hati dan prinsip hidupnya. Pergaulannya tak terbatas di Indonesia. Teman-teman Pia di negeri manca relatif banyak yang dikenalnya lewat dunia maya, salah satunya adalah Osman Yazici asal Turki. Fitrah cinta lawan jenis pun muncul. Perlahan, Pia menaruh hati dengan Osman, bahkan berharap bisa menjadi pendamping hidupnya. Awalnya, hubungan cinta mereka berjalan mulus. Keluarga Osman pun telah memberi restu dan menganggap Pia sebagai bagian keluarga. Namun, kenyataan pahit harus dihadapi Pia ketika Osman justru menduakan dirinya dengan Beyza. Bahkan, Osman berencana melangsungkan pernikahan. 

Perjalanan cinta Pia yang menyayat hati ini membuatnya tak berpikir jernih. Di Laut Bosporus,Turki, Pia berniat bunuh diri. Ia menekan nadi tangan kirinya dengan sebuah gunting. Takdir belum menghendaki Pia tamat hidup. Ia berhasil diselamatkan meskipun harus kehilangan banyak darah.  Meskipun duka akibat cinta, Pia tak mengalpakan impiannya untuk kuliah setinggi-tingginya. Pia menyadari kesalahannya yang memutuskan bunuh diri. Ia melanjutkan kuliah di Jerman yang dilaksanakan di Fulda University of Applied Sciences dan sebagian besar di Kassel University (hlm. 136). 

Untuk menopang finansialnya, ia bekerja part time dan tentu saja fokus belajar demi menjadi mahasiswa berprestasi. Pia yang cerdas tak sulit melakukannya. Di tengah kuliahnya, Pia mampu menjaga dirinya tak terlibat pergaulan bebas yang umumnya melanda teman-teman kuliahnya. Prinsip hidupnya dipegang teguh sampai berhasil lulus dengan memuaskan.

Lewat perjalanan Pia dalam novel ini, selain kondisi di Jerman, kita akan banyak disuguhi keindahan pesona Turki. Kota-kota seperti Istanbul, Antalya, dan Izmir dapat kita jejaki peninggalan sejarah dan warisan budayanya. Bagi Pia, Turki seolah-olah negara keduanya setelah Indonesia. Meskipun putus dengan Osman, hubungan Pia dengan keluarga Osman di Turki tetap berlangsung baik. Bahkan, Pia akhirnya menikah dengan Onur Yildiz yang membawanya bertempat tinggal di kota Izmir. Pia pun juga berhasil melanjutkan S3 di Jerman. Ambisi Pia studi lanjut dan belajar serius akhirnya menemui kegamangan ketika menyadari keberadaan suaminya di Turki. Sebagai seorang istri, Pia luluh pada prinsip sebagai pendamping di sisi sang suami. Dalam proyek penelitiannya berjangka waktu tiga tahun, Pia mengundurkan diri (hlm. 325-338). Ia kembali ke Turki dan hidup bersatu dengan Onur di Izmir.

Ambisi dan prestasi Pia dalam studi terbilang menakjubkan. Jalinan cinta Pia yang terkesan rumit dan unik menambah kesegaran novel ini. Terlebih lagi, kita dapat menelusuri sudut-sudut Turki dengan pesona keindahannya. Di Izmir, selain keindahan pantai, banyak peninggalan Yunani Kuno, sebab Izmir dahulunya bagian dari Yunani yang direbut kerajaan Turki. Di Izmir ada juga House of  Virgin Mary yang konon tempat Maria/Siti Maryam (Ibunda Isa/Yesus) menutup usia.(HENDRA SUGIANTORO).

Yogyakarta, Kota Membaca?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini KORAN MERAPI PEMBARUAN, Rabu, 8 Mei 2013 

Menyusuri kota Yogyakarta, kita akan dibuat terkesima dengan spanduk-spanduk perhelatan pameran atau pasar buku. Hampir setiap bulan senantiasa terselenggara. Biasanya bertempat di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama, Jogja Expo Center (JEC), bahkan belakangan ini bertempat di Gedung Olahraga Universitas Negeri Yogyakarta (GOR UNY). Tema pameran buku beragam. Intinya, ingin menggiatkan perbukuan di kota pendidikan ini. 

Yogyakarta dengan buku tentu tidak mengagetkan lagi. Di kota ini, penerbit-penerbit buku bertebaran. Sepakat dengan pernyataan Herry Zudianto (2011), ketika kita berbicara tentang Yogyakarta sebagai kota pelajar atau kota pendidikan, maka tentunya tidak dapat dilepaskan dengan ilmu pengetahuan, ide, inovasi, kreatifitas, wawasan lokal maupun wawasan global. Dalam kaitannya dengan itu semua, lanjut mantan Walikota Yogyakarta itu, maka buku merupakan media yang menjadi jembatan yang mampu mengantarkan kita menjadi apa yang sering dikatakan orang sebagai cendekiawan atau kaum terdidik atau kaum yang berwawasan luas. Masyarakat Yogyakarta dengan heterogenitasnya, lanjut Kang Herry, diharapkan mempunyai budaya membaca yang tinggi, sehingga mempunyai ilmu pengetahuan yang luas. 

Dari pernyataan Kang Herry itu, sebenarnya ada sebuah tantangan untuk menjadikan kota Yogyakarta sebagai Kota Membaca, bukan sekadar Kota Buku. Pekerjaan menyelesaikan tantangan itu, menurut penulis, belumlah selesai. Kita masih perlu menanamkan minat membaca bagi setiap warga Yogyakarta. Tentu tidak semua masyarakat Yogyakarta bisa ke Perpustakaan Daerah (Perpusda) DIY atau Perpustakaan Kota (Perpuskot) untuk meminjam atau membaca buku. Maka, keberadaan taman bacaan masyarakat (TBM) di setiap kampung perlu digiatkan. Membaca tidak hanya buku, tetapi bisa surat kabar.

Ketersediaan bahan bacaan akan berbanding lurus dengan budaya membaca masyarakat dicontohkan Jepang. Besarnya minat membaca masyarakat Jepang salah satunya ditopang oleh bahan bacaan yang melimpah. Toeti Adhitama (2008) memaparkan bahwa ribuan buku asing, terutama dari Amerika dan Eropa, diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Seperti orang kehausan, mereka tak henti-hentinya menimba ilmu dan pengetahuan lewat bacaan. Di Jepang, setiap harinya beredar puluhan juta eksemplar surat kabar, setiap bulannya beredar ratusan juta eksemplar majalah dan jenis terbitan serupa, dan setiap tahunnya dicetak lebih dari 1 miliar buku. Lebih dari 50% tenaga kerja menangani industri ilmu pengetahuan. 

Jadi, penumbuhan minat membaca perlu bergerak beriringan dengan penyediaan bahan-bahan bacaan. Masyarakat Yogyakarta perlu terus-menerus ditanamkan kesadaran pentingnya membaca. Gerakan cinta membaca layaklah digalakkan. Tidak kalah penting, membangun budaya membaca di lingkungan keluarga dan sekolah tidak mungkin dialpakan. Kita pun mengingatkan Forum Komunikasi Pengurus OSIS (FKPO) dan Forum Antar-Kerohanian Islam (Farohis) untuk memasifkan Gerakan 10 Menit Membaca sebelum beraktivitas yang tahun 2012 lalu diluncurkan. 

Kita tentu mendambakan setiap warga Yogyakarta suka membaca di mana pun. Pemerintah kota Yogyakarta tentu tidak boleh pasif, minimal membudayakan membaca bagi pejabat birokrasi. Saran penulis, iklan-iklan pentingnya membaca perlu dipasang di berbagai tempat. Itu lebih bermanfaat ketimbang iklan-iklan yang mengundang konsumerisme masyarakat. Yogyakarta perlu menjadi kota yang berbeda dengan kota-kota besar lainnya, minimal memiliki ciri khas budaya membaca di ruang-ruang publik.

Sesungguhnya membaca berdampak besar bagi kehidupan. Dengan membaca, ilmu, pengetahuan, dan wawasan bertambah. Membaca bisa meluaskan pemikiran, cara pandang, dan persepsi seseorang dalam memandang kehidupan agar tidak sempit. Membaca juga bisa meningkatkan kualitas kinerja di tempat kerja. Masih banyak manfaat membaca lainnya, tentu saja dengan membaca bahan-bahan bacaan yang positif dan bergizi. Menarik untuk direnungkan pernyataan Fuad Hassan (2004) berikut ini, “Tak ada pilihan lain untuk hidup dalam masyarakat modern, kecuali bisa dan suka membaca. Kalau modernisasi ditandai pertama-tama oleh ikhtiar untuk mengatasi ignoransi, maka ignoransi teratasi pertama-tama oleh kemampuan dan kemauan membaca. 

Menjadikan Yogyakarta sebagai Kota Membaca harus terus-menerus diupayakan. Membaca tidak hanya aktivitas bagi pelajar, mahasiswa, dan kaum akademisi. Membaca juga perlu menjadi kebutuhan ibu rumah tangga, petani, pedagang, tukang becak, buruh pabrik, dan profesi lainnya. Yogyakarta, Kota Membaca, bisa! Wallahu a’lam.(HENDRA SUGIANTORO).

Cerita Cinta Sepasang Anak Geng

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Buku SUARA MERDEKA, Minggu, 21 April 2013 
 
Judul Buku: Kutunggu Jandamu di Jakarta Penulis: Budi Anggoro Penerbit: Laksana, Yogyakarta Cetakan: I, Januari 2013 Tebal: 293 halaman ISBN: 978-602-7665-73-6 

Keberadaan geng di tengah masyarakat kerapkali dicitrakan negatif. Padahal, mereka tak selalu buruk. Sebagaimana hasrat untuk hidup berkelompok, anak-anak muda yang membentuk geng didasari kesamaan, entah latar belakang keluarga, usia, hobi, tujuan hidup, atau lainnya. Sebagaimana dalam novel ini, kita diajak untuk menelusuri kehidupan anak-anak geng dengan sekelumit lika-likunya. Nama geng itu adalah X-Dancers di Wonosobo, salah satu kota di Jawa Tengah.

Ada sepuluh anak dalam geng itu, yakni Sari, Mega, Amalia, Darmaji, Arif, Abdul, Warik, Farid, dan Satrio. Latar belakang keluarga maupun kehidupan mereka rata-rata berasal dari keluarga yang terpinggirkan secara status sosial. Yang berbeda hanya Farid dan Satrio, yang sebenarnya keluarganya cukup kaya. Rata-rata mereka bisa dikatakan berasal dari keluarga yang broken home. Mereka menyatu dalam geng X-Dancers karena kesukaannya pada musik reggae (hlm. 23-33). 

Sebagai sebuah geng, mereka terbilang kreatif dan inovatif dalam menciptakan tarian-tarian setiap konser musik di alun-alun kota Wonosobo. Persahabatan mereka terjalin tanpa pamrih. Suka-duka dibagi bersama. Di antara mereka tumbuh sikap saling pengertian. Lewat novel ini, kita bisa melihat kehidupan mereka untuk tak menghakimi secara hitam putih. Kebanyakan kita kerapkali menaruh pandangan sinis terhadap anak-anak geng. Padahal, kita bisa belajar memaknai hidup dari mereka. Sebut saja makna kebahagiaan menurut geng X-Dancers. Bagi mereka, kebahagiaan itu tak ada kaitannya dengan sedikit banyaknya harta benda, kedudukan atau jabatan. Yang penting adalah cara menyikapi dan menikmati hidup. Mereka malah berusaha mengendalikan harta benda maupun kebutuhan apapun sesuai dengan kemampuan diri mereka. Yang mereka inginkan adalah kebahagiaan hati semata. 

Persepsi buruk terhadap anak-anak geng menghinggap pula di benak Pak Iwan. Bapaknya Sari itu menganggap masa depan teman-temannya Sari tak jelas. Konflik pun muncul ketika Pak Iwan memaksa Sari menjadi buruh migran atau menikah dengan laki-laki kaya. Sebagai anak sulung, Sari ditekan bapaknya agar mampu meringankan beban ekonomi keluarga. Apalagi bapaknya usai di-PHK sebagai buruh pabrik. Dengan menikahi suami yang kaya, ekonomi keluarga akan turut tertolong. Sari bingung setengah mati, sebab tak ada rasa cinta sedikit pun dengan laki-laki pilihan bapaknya. Cintanya hanya tertambat pada Satrio. Satrio sendiri juga mencintai Sari. 

Permasalahan Sari menjadi perhatian seluruh anggota gengnya. Namun, Pak Iwan memang kalap. Tanpa persetujuan Sari, ia menerima lamaran Haydar. Perasaan Sari bergoncang. Betapa besar cinta Sari untuk Satrio. “Tapi, aku sangat mencintainya, Pak. Walau hidup Mas Satrio masih susah, tapi aku ikhlas. Aku rela kalau pun nantinya aku dan Mas Satrio harus hidup kekurangan,” ucap Sari di hadapan bapaknya. Pikiran Pak Iwan yang memberhalakan materi merespons kurang bijak, “Ah itu kan teori saja! Teori orang-orang yang lagi dimabuk cinta saja.”(hlm. 215). 

Satrio yang mengetahui kabar pernikahan yang dipaksakan antara Sari dan Haydar dibuat kusut. Setelah pernikahan Sari itu, Satrio memutuskan pergi ke Jakarta, sebab kota Wonosobo membuat dirinya tak mungkin tenang. Lewat ponsel, Satrio berucap kepada Sari, “…maka mulai sekarang ini, aku bertekad akan menunggu jandamu di Jakarta, Sayang. Kutunggu jandamu di Jakarta.”(hlm. 261-270).

Jalan cinta dua sejoli di dunia ini memang tak serupa. Tekad Satrio tetap menantikan Sari adalah keputusan cinta. Bukan kawin lari dengan Sari, tapi menunggu Sari menjadi janda. Ketetapan Satrio ini ternyata digenapkan waktu. Pasalnya, Sari mengajukan gugatan cerai ke suaminya setelah rumah tangganya dipenuhi kekerasan dan jauh dari ketenteraman. Fenomena Satrio dan Sari tak dimungkiri kerapkali terjadi di tengah masyarakat. Maraknya istri yang mengajukan gugutan cerai, salah satunya disebabkan kasus seperti dialami Sari. Itu tentu sebentuk keberanian seorang perempuan untuk menegakkan martabat di hadapan suami yang kerapkali berbuat aniaya. 

Novel ini bisa menjadi pelajaran untuk menguatkan kehidupan keluarga tak sekadar pada faktor materi semata. Kebutuhan emosional dan spiritual juga diperlukan. Adakalanya orangtua merasa telah membesarkan anak, namun ternyata kurang begitu memahami sisi psikologi anak. Kebahagiaan menurut persepsi orangtua kerapkali dipaksakan, padahal anak sama sekali tak merasakan kebahagiaan berdasarkan persepsi orangtuanya itu.(Hendra Sugiantoro).

Negeri yang Tersandera Korupsi

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi MALANG POST, Minggu, 21 April 2013 

Judul Buku: Apapun Partainya, Korupsi Hobinya Penulis: A. Yusrianto Elga Penerbit: IRCiSod, Yogyakarta Cetakan: I,  Maret 2013 Tebal: 176 halaman ISBN : 978-602-7933-01-9

Bung Karno pernah mengatakan bahwa cara melawan kekuatan uang (logistik) adalah kekuatan ideologi. Betapa pun uang sangat menggiurkan, uang tak akan pernah mampu menjebol dinding-dinding ideologi yang terbangun kuat. Pernyataan Presiden RI pertama itu seolah-olah menggelitik kita. Benarkah ideologi tameng dari perbuatan korupsi? Nyatanya, partai politik (parpol) yang mengaku memiliki ideologi justru memproduksi koruptor.

Buku ini hendak menyadarkan pihak mana pun, terutama masyarakat, untuk tidak mudah tergiur dengan kemegahan janji-janji parpol. Apalagi menjelang Pemilu 2014, masyarakat perlu waspada dengan munculnya calon-calon anggota legislatif yang sekadar ingin menumpang kendaraan politik demi mempertebal uang semata. Kita boleh saja mencela Orde Baru dengan ulah korupsinya, namun apakah korupsi di era reformasi yang selalu dikatakan paling demokratis tidak tumbuh subur? Di masa Orde Baru, praktik busuk korupsi hanya terjadi di lingkaran eksekutif dan orang-orang tertentu. Kini, korupsi bukan lagi menyangkut individu atau perseorangan, namun dilakukan secara berjamaah. Selama 2004-2011 saja, berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada sekitar 1.408 kasus korupsi dengan kerugian negara sekitar Rp. 39,3 triliun (hlm. 8-9). 

Diakui maupun tidak, negeri ini dapat dikatakan telah tersandera oleh korupsi. Rakyat dibiarkan merana di tengah politisi-politisi yang menari kekenyangan. Akibatnya, negeri ini hanya berjalan di tempat tanpa kemajuan berarti. Memang setiap parpol memiliki ideologi masing-masing, tetapi kesejahteraan dan keadilan sosial bukan sebagai tujuan mulia. Boleh jadi uang telah menjelma ideologi tersendiri. Perjuangan dan idealisme parpol seharga nilai mata uang. Yang bertambah menyesakkan, parpol yang mengatasnamakan agama terjerembab pula pada pusaran korupsi. Parpol Islam ternyata tidak amanah. Bahkan, kita seakan-akan tak habis pikir, perilaku korupsi yang kini melanda sejumlah kader parpol tidak dianggap sebagai penyimpangan moral (hlm. 25-48).

Maraknya kasus korupsi tentu saja menciderai nilai-nilai Pancasila, terutama sila pertama, kedua, dan kelima. Koruptor tidak menjiwai sepenuhnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. karena melakukan perbuatan yang dilarang Tuhan. Korupsi adalah pelanggaran hak asasi manusia karena menyebabkan rakyat menderita. Padahal, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab selayaknya ditegakkan. Dengan perbuatan korupsi, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia kian tertatih-tatih untuk diwujudkan.

Tentu, politik yang sejatinya mulia perlu dikembalikan ke hakikatnya untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Kalimat Lord Acton dalam suratnya kepada uskup Mandell Creighton pada April 1887 bahwa “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” selayaknya dijadikan sebagai kontrol bagi parpol dan politisi untuk berhati-hati menduduki kursi kekuasaan. Parpol hendaknya berbenah. Menurut penulis buku ini, parpol perlu memberikan perhatian terkait pendidikan antikorupsi terhadap kader-kadernya. Tidak kalah penting, parpol harus proaktif mengawal, mengevaluasi, serta mengingatkan komitmen perjuangan kader-kadernya. Tak dimungkiri apabila parpol jarang mengevaluasi kinerja kadernya yang pernah duduk di lembaga negara.

Buku ini menjadi teguran keras bagi parpol. Sebagai institusi demokrasi, parpol diharapkan menjalankan demokrasi sebagaimana mestinya. Demokrasi sejatinya adalah cara mencapai kemaslahatan kehidupan rakyat. Parpol seyogianya tidak menyandera negeri ini dengan korupsi yang sewaktu-waktu bisa membuat rakyat marah. Kemarahan rakyat bisa memunculkan golputkrasi. Di sisi lain, masyarakat diajak bersikap kritis dan berpikir jernih. Sebagai ikhtiar melawan lupa yang kerapkali menghinggapi benak masyarakat, buku ini pun menguliti kader-kader parpol yang pernah tersangkut korupsi. Tanpa tedeng aling-aling, penulis buku juga membeberkan permainan kotor politik yang biasa dimainkan politisi untuk merampok uang negara.
 
Tentu, tak ada salahnya apabila parpol meneladani jejak organisasi pergerakan nasional tempo dulu yang berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Kepentingan yang diperjuangkan jelas, yakni kepentingan rakyat agar terbebas dari penjajahan. Sesungguhnya rakyat negeri ini merindukan politisi yang berhati nurani dan berdedikasi. Politisi yang benar-benar konsisten memperjuangkan cita-cita luhur bangsa ini dengan rekam jejak politik yang bersih, jujur, dan amanah. Dengan menjamurnya borok korupsi, negeri ini memang harus segera diselamatkan (hlm. 165-170). Bukan hanya doa agar kita bersabar menghadapi praktik busuk korupsi (hlm. 172), namun masyarakat perlu melakukan tindakan. Masyarakat minimal perlu menyatukan gerakan menolak politisi busuk yang menunggangi Pemilu 2014 agar negeri ini tidak lagi disandera korupsi. (HENDRA SUGIANTORO).

Inspirasi Kartini Bagi Mahasiswa

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Kampus SUARA MERDEKA, Sabtu, 20 April 2013 

Pada 21 April, kita memperingati Hari Kartini. Apa pelajaran yang bisa kita petik dari sosok perempuan kelahiran Jepara, Jawa Tengah, itu, khususnya bagi dunia kampus dan mahasiswa? Pendidikan formal Kartini (1879-1904) memang tidak sementereng kakaknya, Sosrokartono. Kakaknya yang tamatan Universitas Leiden Belanda itu konon sarjana pertama negeri ini yang getol dengan kebudayaan Jawa. 

Kartini, meskipun hanya tamatan sekolah rendah, sebenarnya tidaklah kalah dengan sarjana-sarjana di zamannya. Bahkan, dengan sebagian sarjana jebolan perguruan tinggi saat ini. Harus diakui, Kartini yang usia hayatnya hanya seperempat abad mempunyai wawasan, pengetahuan, dan pemikiran yang luas. Tradisi pingit sejak usia 12 tahun bukan berarti “memingit” petualangannya mencari dan menimba ilmu. Kartini tekun dan giat belajar. Sahabat-sahabat penanya juga turut jadi mitra dialektika Kartini. Salah satu media untuk membaca pemikiran-pemikiran Kartini adalah surat-suratnya yang dikumpulkan J.H. Abendanon pada 1911 dan diberi judul Door Duisternis Tot Licht. Dalam edisi Indonesia pernah diterjemahkan, antara lain oleh Armin Pane (Habis Gelap Terbitlah Terang) dan Sulastin Sutrisno (Surat-Surat Kartini, Renungan tentang dan untuk Bangsanya). 

Kalau kita mengkaji kumpulan suratnya, kita akan menemukan begitu ragamnya pemikiran Kartini. Kartini memiliki buah pemikiran yang luar biasa dalam persoalan pendidikan, sosial, kebudayaan, pers, dan pelbagai hal lainnya. Artinya, Kartini tidak melulu membicarakan masalah perempuan. Ketika Kartini kepada Estelle Zeehandelaar (Stella) pada 18 Agustus 1899 menegaskan pentingnya kapasitas pikiran dan moral, Kartini membuktikan hal itu. Terserah pendidikan formal mau sampai jenjang apa, ia tidak ambil pusing. Dengan menjelajahi aneka bahan bacaan, Kartini terus berikhtiar mencapai “keningratan pikiran”.  Tanpa kenal bosan, Kartini bisa menelaah bahan bacaan sampai berkali-kali demi memperoleh pemahaman. 

Ternyata, tak sekadar doyan bacaan, Kartini juga produktif menulis. Membaca dan menulis seolah-olah adalah jiwanya. Perhatikan kalimat berikut ini, Orang dapat merampas banyak dari kami, ya semuanya, tapi jangan pena saya! Ini tetap milik saya dan saya akan berlatih dengan rajin menggunakan senjata itu.”(Kartini, 1902). Sepenggal kalimat Kartini itu begitu heroik. Tak cuma surat-surat, Kartini ketika menulis untuk menuangkan isi pikirannya juga merambah surat kabar.  Dalam majalah sastra seperti Het Nederlansche Lelle, De Gids, De Echo, dan lain-lain, Kartini menyumbangkan tulisan-tulisan yang tandas bunyinya, berbentuk ulasan-ulasan dan analisis sosial. Misalnya, sepenggal prosa brilian diguratkan Kartini dalam De Echo sekitar tahun 1900 di bawah kepala karangan Een Gouverneur Generaalsdag yang melukiskan kedatangan seorang gubernur jenderal di tanah jajahan, yang disambut oleh anak negeri dengan sinis (Suryanto Sastroatmodjo: 2005). 

Becermin pada Kartini, ada spirit intelektualitas dari sosok perempuan yang dimakamkan di Rembang itu.  Kartini memang tidak menamatkan jenjang perguruan tinggi. Namun, menurut penulis, Kartini bisa dikatakan sebagai “sarjana” di masanya. Yang perlu diperhatikan, Kartini tidak sekadar mementingkan kepemilikan pengetahuan. Menurut Kartini (1902), berpengetahuan luas belumlah sekali-kali menjadi ijazah tanda mulia budi pekerti seseorang. Benar kata Kartini bahwa terhadap pendidikan itu janganlah hanya akal saja yang dipertajam, tetapi budi pun harus dipertinggi. Apa yang diutarakan dalam tulisan ini semoga bisa menjadi sepercik inspirasi dan renungan bagi mahasiswa. Wallahu a’lam. (HENDRA SUGIANTORO).

Inspirasi Bisnis Tiga Tokoh Hebat

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Buku KORAN SINDO, Minggu, 14 April 2013 
 
Judul Buku: Dahsyatnya Gigih! Penulis: T. Wahyu Prasetyahadi Penerbit: Palapa, Yogyakarta Cetakan: I,  Januari 2013 Tebal: 160 halaman ISBN: 978-602-255-032-7 

“Saya dari dulu ingin jadi entrepreneur, dan untuk mencapai tujuan itu, saya terus fokus dan disiplin. Anda pasti juga bisa melakukan itu,” kata Hary Tanoesoedibjo. Siapakah beliau? Bagi kita, nama beliau tak asing lagi. Laki-laki yang lahir di Surabaya, 26 September 1965, itu dikenal sebagai “raja bisnis multimedia”. Julukan itu tidak tiba-tiba jatuh dari langit. Hary Tanoe merintisnya dengan kegigihan. Bayangkan, beliau mulai menekuni bisnis multimedia justru pada saat negeri ini tengah dilanda krisis.

Buku ini menarik dibaca bukan sekadar untuk membuat kita terkesima dengan pencapaian bisnis dan kekayaan Hary Tanoe. Justru kegigihan beliau yang perlu diresapi. Hary Tanoe mengaku dirinya semasa muda sering bekerja sampai pukul dua dini hari. Dari paparan buku ini, kita bisa menimba nilai-nilai sukses dari beliau yang memulai usaha bisnis berlian sejak kuliah. Sejak kuliah, beliau juga bertekad kuat berwirausaha.

Didorong oleh kecintaannya pada dunia pasar modal, selepas dari studinya di Kanada, beliau mendirikan Bhakti Investama pada tahun 1989. Keputusan itu diakui beliau membutuhkan mental kuat. “Menjadi seorang entrepreneur itu butuh keberanian. Diperlukan mental baja dan semangat jangan pernah berhenti belajar untuk menjadi wirausahawan sukses,” ujarnya. Bhakti Investama sebenarnya perusahaan kecil, namun terjadi titik balik saat krisis ekonomi. “Ketika krisis tahun 1998 itu, harga aset dan perusahaan murah-murah. Jadi, saya banyak membeli aset, …,” terangnya.

Kegigihan bisnis Hary Tanoe memang tak berhenti pada satu titik. Sejak mengambil alih PT Bimantara Citra Tbk pada tahun 2000, beliau bermimpi mengepakkan sayap di bisnis media penyiaran dan telekomunikasi. Mimpinya yang disertai aksi yang gigih akhirnya terbukti. Hary Tanoe mempunyai tiga stasiun televisi, yakni RCTI, TPI/MNC TV, dan Global TV, serta stasiun radio Trijaya FM dan media cetak Harian Seputar Indonesia (kini Koran SINDO) dan Ekonomi. Di bawah naungan PT Media Nusantara Citra (MNC), tidak sampai lima tahun, beliau berhasil menguasai saham mayoritas di tiga stasiun televisi tersebut. Beliau mempunyai kemampuan menentukan perusahaan media mana yang berpotensi untuk berkembang. Selain itu, banyak orang mengakui, kunci sukses Hary Tanoe terletak pada kepiawaiannya menata kembali perusahaan yang sudah kusut (hlm. 146-151).

Lewat buku ini, kita bisa menapaki jejak kegigihan Hary Tanoe yang terus mengepakkan sayap di bisnis media. Namun, fokusnya tak hanya di bidang itu. “Untuk saat ini, fokus bisnis saya berada di empat sektor utama, yakni media, batu bara, properti, dan finansial,” ujarnya. Dalam mengembangkan bisnis, kecerdasan membaca momentum memang menjadi prinsip sukses Hary Tanoe. Salah satunya diperlihatkan beliau sebagaimana diterangkan di muka. Di saat krisis ekonomi menerpa negeri ini antara 1998-2002, banyak kalangan pesimis, sehingga tak mau melakukan investasi. Saat pihak lain pindah ke luar negeri, Hary Tanoe dengan sepenuh keyakinan tetap tinggal di Indonesia. Beliau melihat kondisi yang ada sebagai momentum tepat untuk melangkah. Di saat pengusaha lain menjual aset-asetnya, beliau justru membelinya satu per satu.

Selain itu, ada tiga prinsip lainnya yang patut kita teladani dari beliau. Pertama, time big. Jangan memikirkan What is good today, but what is going to be tomorrow. Kedua, focus on quality. Berpikir fokus dan mengedepankan kualitas. Ketiga, speed. Hal yang perlu diperhatikan adalah kecepatan dan percepatan. Jika sudah memiliki ide besar untuk diwujudkan, kita harus bergegas mencari cara dan berusaha mewujudkannya. Jangan menunggu dan menunda hal yang sebenarnya bisa dilakukan sekarang (hlm. 156-157).

Lewat buku ini, selain Hary Tanoe, kita juga bisa melihat kegigihan berwirausaha dari Chairul Tanjung dan Sandiaga Uno. Mereka berwirausaha dari titik nol. Mereka memainkan peran vital bagi kemajuan ekonomi bangsa-negara ini. Menariknya lagi, ketiga tokoh hebat tersebut memiliki satu passion yang sama: kepedulian tinggi terhadap masalah-masalah sosial. Selain kegigihan bisnis, mereka patut menjadi teladan dalam empati sosial. Mereka mendorong siapa pun untuk berwirausaha. Tak bisa dimungkiri apabila kewirausahaan justru menopang laju pembangunan sebuah bangsa dan negara. Di Jepang, misalnya, pembangunannya terbilang berhasil dengan disponsori oleh cukup besarnya jumlah wirausaha. Bahkan, ada data memaparkan bahwa dari 99% orang kaya di Amerika Serikat (AS) sebagian besarnya adalah wirausaha.

Dari Hary Tanoe, Chairul Tanjung, dan Sandiaga Uno, kita perlu meneladani sikap disiplin dan tak mudah putus asa. Ada petuah Lao Tse, “Sekalipun bambu meliuk diterpa angin, ia mempunyai pegangan akar yang kuat menghujam di tanah.” Mereka diakui memiliki filosofi pohon bambu itu. Filosofi ini menunjukkan bahwa hal yang perlu diperhatikan dalam dunia kewirausahaan adalah membangun dasarnya terlebih dahulu. Kesuksesan berwirausaha harus dirintis dengan penuh kegigihan, tidak secara instan. Gigih berwirausaha, siapa takut?(HENDRA SUGIANTORO).

Belajar Kearifan Hidup dari Si Kucing

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Jum'at, 12 April 2013


Judul Buku: Jangan Panggil Aku Kitty Penulis: Samsaimo Paramina Penerbit: FlashBooks Cetakan: I, 2013 Tebal: 188 halaman ISBN: 978-602-7724-34-1

Di sekitar kita, keberadaan kucing bisa dijumpai di mana-mana. Seperti halnya manusia, tabiat dan karakter kucing berbeda-beda. Kucing adalah makhluk Tuhan yang juga punya perasaan dan keinginan. Dalam novel yang menjadikan kucing sebagai tokoh imajiner ini, kita diajak untuk menyelami kehidupan seekor kucing yang diberi nama Kitty. Ternyata, kucing bisa memiliki karakter baik apabila dibesarkan dan dididik secara baik pula.

Awalnya, tokoh kucing dalam novel ini hidup di alam liar setelah lahir. Nama Kitty diberikan oleh Mbak Dinik yang menemukannya di got dekat rumahnya. Saat ditemukan, kucing berbulu hitam pekat itu berusia 3 bulan dengan tubuh yang kurus. Saking telatennya dirawat dan disayangi, Kitty tumbuh tak kerempeng. Bahkan, Kitty selalu dimandikan demi kebersihan. Bulunya yang hitam legam kian mengkilap, sorot mata pun tajam menghunjam (hlm. 14-15). 

Pada umumnya, kucing membenci air. Namun, itu hanya sebentuk ketakutan yang telanjur menjadi mitos bagi bangsa kucing. Ketakutan terkena air malah bisa dikatakan terhunjam di benak pikiran kucing semenjak lahir. Namun, dengan kesabaran Mbak Dinik memandikannya, Kitty mampu melawan ketakutan itu. Novel ini menarik dibaca karena ada pelajaran-pelajaran yang bisa kita resapi. Ketakutan-ketakutan juga kerapkali melanda benak manusia, yang fatalnya membebani masa depan. Padahal, ketakutan itu hanya rekayasa pikiran yang belum terbukti benar. 

Judul novel “Jangan Panggil Aku Kitty” ini mengandung pesan bagi kita agar menjadi manusia yang benar-benar dewasa. Sebagaimana Kitty, ketika menginjak besar, ia tak mau dipanggil dengan nama itu lagi. Menurutnya, Kitty itu nama kucing kecil yang imut. Tapi, kini ia sudah dewasa dan tak lucu lagi (hlm. 107). Karena itu, ia tak ingin selamanya menjadi kucing rumahan. Dengan tekad bulat, ia berkelana. Dengan sesama kucing, ia mengenalkan diri bernama si Hitam. Tantangan pun menghadang. Kalau sebelumnya selalu disiapkan makanan, kini ia sekuat daya mencari tikus di mana-mana. Hebatnya, ia tak sudi mencuri. Ketika melihat orang makan, ia tak mau merintih dengan suara khas agar diberi. Berminggu-minggu di alam bebas, keterampilan mencari makannya terasah.

Kita sebagai manusia juga perlu hidup dalam tantangan. Alam bebas justru membuat kita mampu beraktualisasi diri dan mengembangkan potensi. Sebagaimana manusia mencari nafkah, si Hitam kerapkali kesulitan mendapatkan asupan makanan. Tikus-tikus yang biasanya banyak terkadang menyusut. Menyadari masa paceklik itu, si Hitam trenyuh melihat nasib kucing lainnya. Ketika berhasil mendapatkan makanan, ia membagi makanan ke teman-temannya. Si Hitam tak mau mementingkan dirinya sendiri. 

Dalam masa kesusahan itu, si Hitam mengetahui populasi tikus cepat berkembang di persawahan. Tapi, si Hitam menyadari ada ekosistem yang telah digariskan Tuhan.  Menurutnya, tikus di sawah telah didesain Sang Pencipta sebagai santapan hewan predatornya. Yang membuatnya prihatin, ular sebagai predator tikus juga mulai menyusut karena ditangkap manusia. Bahkan, sengaja dicari karena laku dijual dengan harga setimpal. Kulit ular untuk bahan dompet, ikat pinggang, atau keperluan lainnya. Sedangkan daging dan jeroannya untuk obat. Hidup di alam bebas, si Hitam merasakan ada ekosistem tak seimbang. Panen gagal karena serangan hama tikus, sehingga menyebabkan harga beras melonjak tajam. Manusia yang susah malah bertindak lebih ngawur lagi. Tak terasa, manusia menciptakan bencana di mana-mana. Bencana alam dan bencana sosial (hlm. 137). 

Novel dengan sudut pandang kucing ini menarik disimak karena seolah-olah menyindir kita sebagai manusia. Manusia yang dianugerahi akal acapkali bertindak tanpa mengindahkan etika sosial dan etika lingkungan. Kita sebagai manusia kerapkali tidak dewasa. Tentu, manusia harus lebih arif menjalani kehidupan ketimbang tokoh kucing dalam novel ini! (Hendra Sugiantoro).

Kurikulum 2013, Guru Berjuang Keraslah!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini KORAN MERAPI PEMBARUAN, Rabu, 3 April 2013 

Konon guru belum siap melaksanakan Kurikulum 2013. Kurikulum anyar yang akan diberlakukan mulai Juli nanti dianggap masih kurang dalam hal sosialisasi. Kabarnya, banyak guru yang belum memahami dan dilanda kebingungan. Usulan penundaan pun dikumandangkan. Sebagai ujung tombak keberhasilan implementasi Kurikulum 2013, kondisi ketidaksiapan guru tentu mengkhawatirkan. 

Ditinjau lebih jauh, faktor kesiapan guru sejatinya relatif. Tak seluruh guru merespons kebijakan Kurikulum 2013 dengan kepanikan dan kegelisahan. Ada juga spirit guru menghadapi perubahan kurikulum dengan mengharapkan pelatihan dan pendampingan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Artinya, kita tak bisa serta-merta menyimpulkan bahwa seluruh guru belum siap, apalagi belum ada penelitian valid terkait faktor tersebut terhadap sekitar 2,92 juta guru di negeri ini. Kemdikbud pun telah merencanakan pelatihan bagi guru kelas I, IV, VII, dan  X untuk menguasai konsep Kurikulum 2013. 

Dalam merespons perubahan, setiap kita memiliki sikap berbeda-beda. Begitu pula guru dalam merespons Kurikulum 2013. Disadari atau tidak, ada guru yang enggan diajak melakukan perubahan, karena terlena dengan kondisi nyamannya saat ini. Perubahan senantiasa dipersepsikan tak nyaman. Padahal, seiring proses berjalan, kondisi ketidaknyamanan dari sebuah perubahan perlahan akan memasuki zona nyaman. Bagi guru tipe ini, kontra Kurikulum 2013 adalah pilihan. Kurikulum 2013 disikapi sinis karena menuntut setiap guru menguasai metode pembelajaran secara variatif dan merubah pembelajaran konservatif yang diterapkan selama ini. 

Adanya pro kontra terhadap Kurikulum 2013 tentu wajar. Yang perlu disadari, tak ada kurikulum yang sempurna di negara mana pun. Terlepas dari kelemahan dan kekurangan, konsep Kurikulum 2013 pada dasarnya baik. Kurikulum anyar ini digulirkan untuk mempersiapkan generasi 2045—100 tahun kemerdekaan Indonesia. Pada dasarnya, reformasi kurikulum hanya satu bagian dari idealita generasi emas 2045. Dalam kurikulum anyar itu, metode pembelajaran yang diterapkan guru harus mampu membentuk peserta didik memiliki kompetensi pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang disebut kompetensi inti. Artinya, peserta didik tak hanya cakap dalam hal pengetahuan, tetapi juga memiliki sikap mulia dan keterampilan mumpuni. Kompetensi sikap terbagi lagi menjadi kompetensi sikap spiritual dan kompetensi sikap sosial. 

Adapun terkait formula mata pelajaran dalam Kurikulum 2013, polemik yang muncul bukan hal yang tabu. Kurikulum 2013 masih bisa dievaluasi dan diperbaiki lebih lanjut. Kerangkanya tetap membentuk peserta didik dengan tiga kompetensi sebagaimana diterangkan di muka. Dukungan presiden-wakil presiden RI memperkuat pelaksanaan Kurikulum 2013. Menurut penulis, guru perlu merespons Kurikulum 2013 sebagai tantangan untuk meningkatkan kualitas diri dan kualitas pembelajaran. Ketidaksiapan guru justru mempertaruhkan masa depan peserta didik. Agar mampu mengimplementasikan Kurikulum 2013, guru mutlak berjuang keras! 

Setiap guru harus berjuang keras membuktikan kualitasnya. Fakta menunjukkan masih rendahnya kualitas guru di negeri ini. Rerata uji kompetensi awal (UKA) dan uji kompetensi guru (UKG) yang beberapa waktu silam digelar Kemdikbud tak mencapai angka 50. Tanpa harus mencari kambing hitam, rendahnya kualitas guru disebabkan guru tak melaksanakan filosofi belajar sepanjang hayat. Ada guru yang masih tergagap dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Masih ada guru yang wawasan dan pengetahuannya tertinggal. Setiap hari guru menghimbau peserta didiknya rajin belajar, tetapi dirinya malah lupa melaksanakan himbauan itu. Guru alpa meng-“up-grade” dirinya. Pengalaman penulis dalam satu ruang kelas bersama guru-guru di salah satu universitas di Yogyakarta dari 2011-2012 membuktikan pernyataan I Wayan Artika (2007) bahwa guru-guru Indonesia adalah guru-guru yang tak mau lagi belajar, membaca, dan berpikir. 

Pastinya, Kurikulum 2013 di depan mata. Setiap guru harus berjuang keras untuk menguasainya. Dengan waktu yang mepet, guru dengan penuh inisiatif dan aktif perlu berjuang keras memperbaiki metode pembelajarannya dan tak boleh puas dengan kapasitas keilmuan yang kini dimiliki. Berjuang keraslah, agar peserta didik menguasai kompetensi pengetahuan, sikap, dan keterampilan, sehingga mampu hidup di masa depan dengan tantangan yang kian berat. Kesadaran diri guru untuk belajar tiada henti menjadi niscaya dalam Kurikulum 2013. Wallahu a’lam.(HENDRA SUGIANTORO).

Salat Taubatlah

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu, 31 Maret 2013 
 
Judul Buku: Akibat-Akibat Fatal Meremehkan Shalat Taubat Penulis: Rizem Aizid Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta Cetakan: I, Februari 2013 Tebal: 210 halaman
Kita memahami bahwa tak ada manusia yang luput dari salah dan dosa. Kita tak pernah tahu seberapa banyak dosa yang telah kita lakukan di dunia ini. Untuk menghapus dosa itu, manusia diberi tuntunan agar senantiasa memperbaharui tobat. Yang menjadi pertanyaan, apakah bertobat harus disertai dengan shalat Taubat? Seperti kita tahu, shalat Taubat adalah salah satu dari shalat sunnah.

Pertanyaan itu barangkali berputar-putar di benak kita. Lewat buku ini, kita bisa mencari jawaban. Paling tidak, kita menyadari bahwa shalat Taubat itu penting. Kalau kita meminta ampun, ada istighfar yang biasa diucapkan. Benarkah itu cukup? Allah Swt memang Maha Pengampun, namun kita tak tahu apakah dosa kita benar-benar diampuni. Shalat Taubat hendaknya menjadi pilihan utama ketika kita merasa melakukan dosa. Berdoa dan memohon ampunan setelah perbuatan taat seperti shalat lebih mungkin dikabulkan. Shalat Taubat sangat dianjurkan agar kita mendapatkan ampunan dari Allah Swt. Shalat Taubat memang hukumnya sunnah. Yang wajib adalah bertaubat. Namun, untuk kesempurnaan bertaubat itu, shalat Taubat selayaknya dilakukan (halaman 18-20).

Dengan mengemukan berbagai argumentasi, penulis buku mengajak kita agar tidak meremehkan salat Taubat. Salat Taubat bisa dilakukan kapan pun saat kita benar-benar merasa telah berbuat dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar. Tata cara dan doa dalam salat Taubat tak lupa dijelaskan dalam buku ini. Menurut penulis buku, meremehkan salat Taubat bisa berakibat mengkhawatirkan, seperti dosa tak terampuni, mati dalam kondisi su’ul khatimah karena berbuat dosa, mendapatkan adzab kubur, dan semakin diperbudah hawa nafsu. Tentu, kita perlu berusaha melakukan tobat yang sebenar-benarnya.

Buku ini berusaha menyadarkan kita untuk tidak melalaikan salat Taubat. Melakukan langkah kebaikan terkadang sulit, maka buku-buku agama perlu dibaca agar rohani kita tersirami kesejukan.(Hendra Sugiantoro).

Redefinisi Kuliah

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Peduli Pendidikan SKH KEDAULATAN RAKYAT, Rabu, 27 Maret 2013 

Dengan penuh perhatian, mahasiswa berusaha menyimak apa yang diutarakan dosen di depan kelas. Materi kuliah diterangkan dosen panjang lebar. Mahasiswa pun menuliskannya dalam buku catatan. Dengan teliti, setiap kalimat dicatat agar tak kehilangan satu kata pun. Waktu kuliah hampir selesai, dosen mempersilakan mahasiswa bertanya. Hening, jika pun ada yang bertanya hanya satu-dua-tiga mahasiswa. 

Ilustrasi di atas masih kita temui. Dosen terpacu memberikan materi kuliah untuk dicatat mahasiswa. Materi kuliah diberikan sebanyak-banyaknya dan sedalam-dalamnya dengan asumsi dibutuhkan mahasiswa. Kadangkala dosen di kelas tidak lelah berbicara dan mahasiswa menjadi pendengar setia. Di akhir kuliah, mahasiswa tinggal memfotokopi materi kuliah yang telah diketik rapi oleh dosen. Ukuran keberhasilan proses pembelajaran adalah kemampuan mahasiswa menjawab ujian dengan soal-soal terkait materi kuliah yang diberikan. 

Dalam mengajar, kita akui masing-masing dosen mempunyai karakteristik tersendiri. Namun, ada baiknya apabila dosen menstimulasi mahasiswa untuk giat membaca. Dosen memberikan silabus materi kuliah untuk dicari-temukan mahasiswa lewat telusur literatur. Dalam konsep pembelajaran mahasiswa dikenal istilah andragogi. Dipopulerkan oleh Knowles pada tahun 1986, andragogi artinya the art and science of helping adult learn. Sejatinya mahasiswa perlu diposisikan sebagai subjek aktif. Dosen perlu membelajarkan mahasiswa untuk dapat belajar secara mandiri. Ketergantungan dari dosen selayaknya diminimalisasi. Mahasiswa perlu dilatih memiliki keterampilan belajar. 

Sejatinya mahasiswa di kelas masih bisa diarahkan menjadi pembelajar yang aktif apabila dikondisikan sedari awal. Kebahagiaan dosen bukan terletak pada memberikan materi kuliah sebanyak-banyaknya yang memenuhi buku catatan mahasiswa. Dosen dinilai berhasil apabila mahasiswa mampu mengintegrasikan ilmu, teori, dan pengetahuan yang diolah dari berbagai referensi. Kecakapan berpikir kritis dan berpikir kreatif di benak mahasiswa juga perlu dikembangkan. Dosen selayaknya bangga apabila mahasiswa mampu menghasilkan penemuan ataupun karya tulis ilmiah, bahkan merekonstruksi berbagai ilmu, teori, dan pengetahuan jika memang perlu untuk bisa menciptakan kemaslahatan kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, penulis mendukung pendapat perlunya redefinisi pengertian kuliah. Sebaiknya kuliah adalah forum untuk mengonfirmasi pemahaman mahasiswa dalam proses belajar mandirinya. Wallahu a’lam. (HENDRA SUGIANTORO).

Kisah Inspiratif Para Ibu Hebat

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Jum'at, 22 Maret 2013 

Judul Buku: Story Cake for Amazing Moms: 46 Kisah Hebat dan Penuh Inspiratif Para Ibu Hebat Penulis: Ria Fariana, dkk. Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Terbit: I, 2012 Tebal: x+233 halaman ISBN: 978-979-22-7979-5



Buku ini ditulis sendiri oleh para perempuan yang telah berperan menjadi ibu. Entah pilihannya menjadi ibu rumah tangga atau sembari bekerja di luar rumah, mereka tetaplah perempuan bekerja (working woman). Dengan membaca 46 kisah yang tersaji, kita diingatkan untuk memuliakan perempuan dan menghormati peran dan jasa ibu. 

Sungguh, menjadi ibu tak kenal pensiun. Bahkan, pekerjaan sebagai ibu tak mengenal ukuran waktu, 24 jam terasa tak cukup. Selalu ada yang harus dikerjakan. Begitu sibuknya mengurus rumah tangga, mengasuh dan mendidik anak. Sebut saja Eka Natassa Sumantri, seorang ibu di Medan dengan dua anak. Tamatan perguruan tinggi ini lebih memilih sebagai ibu rumah tangga dengan pekerjaan seabrek. “Ada lagi profesi tambahan unikku di rumah, yaitu sebagai tukang jahit, tukang cat, tukang kayu, dan tukang payung!...Aku pernah membuat kursi taman dari kayu. Aku mengerjakannya dari nol, menggergaji, memaku, dan mengamplasnya. Aku mengecat rumah dan pagar. Aku memperbaiki payung rusak hingga bisa dipakai lagi…,” ungkapnya (hlm. 1-4). 

Menjadi ibu dengan melakukan pekerjaan laki-laki terkadang tak terhindarkan, ketika sang suami tak ada di rumah atau bertugas di luar kota. Begitu banyaknya pekerjaan domestik juga dirasakan Pida Siswanti, ibu dua anak kelahiran Banyumas. Baginya, menjadi ibu rumah tangga perlu jurus jitu mengatur aneka rupa pekerjaan yang tiada akhir, berpikir paralel, multitasking, dan bisa menuntaskan segala hal dengan baik (hlm. 7-9). 

Untuk menjadi ibu yang baik, berbagai keahlian, pengetahuan, dan keterampilan begitu diperlukan. Sebagaimana dituturkan Ofi Tusiana yang harus belajar biologi, agama, tata boga, olahraga, kesehatan, kesenian, fisika, bahasa, psikologi, geografi, desain interior, ekonomi, dan sebagainya. Ibu harus menjadi ahli kesehatan demi melindungi anak dari penyakit. Ibu perlu belajar berbagai gejala penyakit dan berhati-hati memberi obat. Ibu perlu tahu berbagai ramuan tradisional agar anak tak terlalu terpapar obat-obatan kimiawi. Ibu pun perlu belajar psikologi agar memahami keunikan masing-masing anak dan memahami dunia anak. Fisika juga perlu dipelajari demi bisa menjawab pertanyaan sesuai pemahaman dan bahasa anak yang kerap muncul tak terduga, seperti “Kenapa ada banjir?, “Kenapa matahari terbit dan terbenam?”, “Kenapa ada hujan?”, dan sebagainya (hlm. 14-17). 

Kisah Kinanti yang bekerja di ranah kerja yang semestinya milik kaum laki-laki tak kalah menariknya. Akibatnya, ia bukan tipe perempuan yang lemah gemulai dan halus pembawaannya. Ia pun tertawa ketika anaknya pernah berujar, “Mama kalau jalan gagah sekali.” Menjadi ibu bagi tiga anak tak mungkin diabaikannya. Ia bekerja di rumah bukan untuk sebuah tren hidup atau status sosial, tapi untuk mencari nafkah dan perjuangan hidup (hlm. 67-70). Pengalaman indah menjadi ibu juga dituturkan Mukti A. Farid. Sembari mengajar S1 di salah satu universitas di Jakarta, ia menempuh program pascasarjana di universitas yang sama. Ia hamil anak pertama di tengah kesibukan mengajar dan kuliahnya itu. Saat kuliah atau mengajar di dalam kelas, ia rela membawa bayinya. Ia selalu menempati posisi di sudut kelas agar tak terlalu mencolok saat memberikan ASI. Profesor Lexy Moleong, salah seorang dosennya, sempat berkelakar, “Wah, hebat ini. Ada bayi sudah kuliah S2, program studinya pas banget, pendidikan anak usia dini. Hahaha.” (hlm. 74-80).

Diena Ulfaty lain lagi kisahnya. Ia punya anak yang teramat rewel dan perilakunya tak menyenangkan. Di rumah dan di luar rumah, tangisnya bisa kencang berjam-jam tanpa tahu alasannya. Tak ada dokter atau psikolog yang mampu menangani. Ia pun memutuskan untuk belajar ilmu psikologi. Hasilnya, perilaku anaknya berubah lebih baik, bahkan termasuk anak cerdas dan mandiri (hlm. 100-107).

Dalam buku ini, masih banyak kisah lainnya yang menggugah, menakjubkan, dan menggetarkan. Betapa indah dan mulianya pekerjaan seorang ibu. Menjadi ibu adalah anugerah Tuhan yang merupakan kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri. Inspirasi, spirit, dan motivasi itulah yang hendak dinyalakan lewat buku ini.(Hendra Sugiantoro).