Membangun Pendidikan di Daerah 3T

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA, Jum'at, 30 Maret 2012

Indonesia adalah negeri yang luas. Di negeri ini, ada daerah yang telah mencapai kemajuan, ada pula daerah yang masih tertatih-tatih. Kualitas pendidikan di setiap daerah pun berbeda. Kenyataan geografis, ada daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) di negeri ini yang membutuhkan kepedulian dan perhatian.

Untuk memajukan daerah 3T, kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI berupa Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia layaklah diapresiasi. Salah satu dari program itu adalah Program Sarjana Mendidik di Daerah 3T (SM-3T). Di daerah 3 T, sarjana pendidikan yang belum menjadi guru ditugaskan selama setahun. Ada empat tujuan dari Program SM-3T. Pertama, m
embantu daerah 3T dalam mengatasi permasalahan pendidikan terutama kekurangan tenaga pendidik.

Kedua, memberikan pengalaman pengabdian kepada sarjana pendidikan sehingga terbentuk sikap profesional, cinta tanah air, bela negara, peduli, empati, terampil memecahkan masalah kependidikan, dan bertanggung jawab terhadap kemajuan bangsa, serta memiliki jiwa ketahanmalangan dalam mengembangkan pendidikan pada daerah-daerah tergolong 3T. Ketiga, menyiapkan calon pendidik yang memiliki jiwa keterpanggilan untuk mengabdikan dirinya sebagai pendidik profesional pada daerah 3T. Keempat, mempersiapkan calon pendidik profesional sebelum mengikuti Program Pendidikan Profesi Guru.
Selain program tersebut, Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia lainnya adalah Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi dengan Kewenangan Tambahan (PPGT), Program Kuliah Kerja Nyata di Daerah 3T-dan PPGT (KKN-3T PPGT), Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi Kolaboratif (PPGT Kolaboratif), (5) Program S-1 Kependidikan dengan Kewenangan Tambahan (S-1 KKT).

Dengan program yang digulirkan Kemendikbud RI di atas, daerah 3T harapannya dapat mempercepat pembangunan pendidikannya. Program yang digulirkan semoga dapat berlangsung secara baik. Segala kekurangan dan kelebihan perlulah dievaluasi. Sebagai satu bangsa, setiap daerah di Indonesia tentunya harus maju bersama-sama. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Warga Daerah Istimewa Yogyakarta

Mengajar, Sebuah Pekerjaan Mulia

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa REPUBLIKA DIY-JATENG, Kamis, 29 Maret 2012

Cicero (dalam Suyanto: 2006) mengatakan, “Pekerjaan apakah yang lebih mulia, atau yang lebih bernilai bagi negara, daripada mengajar generasi yang sedang tumbuh?” Pertanyaan tersebut, menurut penulis, bukan mengajak kita berpikir untuk menjawabnya, tetapi justru menegaskan bahwa mengajar adalah pekerjaan yang mulia dan bernilai. Dalam konteks lebih luas, tak hanya mengajar, tetapi juga mendidik.

Dengan sebuah pengajaran, generasi bangsa akan memiliki kecakapan dan keterampilan yang bermanfaat bagi kehidupannya. Ilmu, wawasan, dan pengetahuan didapatkan generasi bangsa melalui pengajaran. Secara formal, pengajaran diinstitusionalisasikan ke dalam sebuah lembaga bernama sekolah. Adapun pekerjaan mengajar dilakukan oleh guru. Di tengah berbagai kritik dan koreksi, sesungguhnya guru dan lembaga sekolah dibutuhkan dalam menempa dan mendidik generasi bangsa. Apa yang telah diberikan guru untuk generasi bangsa layaklah dihargai. Seiring gerak dan kemajuan zaman, guru harus terus belajar mengembangkan kemampuan dan kapasitasnya. Sampai kapan pun, negeri ini tetap membutuhkan kehadiran guru yang profesional dan memiliki dedikasi.

Di sisi lain, pemerataan guru di negeri ini ternyata masih menimbulkan persoalan pelik. Ada daerah yang kelebihan guru, ada pula yang justru kekurangan guru. Di wilayah DIY-Jawa Tengah, persoalan ini tak dimungkiri masih kentara. Bahkan, untuk jenjang pendidikan dasar, persoalan juga terkait dengan jumlah guru kelas dan guru bidang studi. Belum lagi ditambah dengan kondisi geografis di Indonesia. Di daerah yang terpencil, terdepan, dan tertinggal, guru yang memenuhi kualifikasi masih kurang.

Dalam hal ini, kita pastinya sepakat bahwa pengajaran kepada generasi bangsa tak mungkin diabaikan. Pendidikan diperlukan bagi seluruh generasi bangsa untuk menghadapi kehidupan di masa kini dan di masa mendatang. Kita menginginkan agar seluruh generasi bangsa memiliki kecakapan, kecerdasan, keterampilan, sikap, dan perilaku yang memadai untuk hari depannya. Untuk mengatasi kebutuhan guru, tanggung jawab memang berada di pundak negara. Sesuai amanat konstitusi, negara mengemban kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang salah satunya ditempuh dengan menyediakan guru yang berkualitas.

Di tengah kekurangan, pemerintah sebagai representasi negara tentu telah berusaha mengatasi persoalan tersebut.
Salah satu program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI yang tentunya perlu diapresiasi adalah menerjunkan sarjana pendidikan yang belum menjadi guru untuk bertugas di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) di Indonesia selama setahun. Di daerah tersebut juga ada program kuliah kerja nyata bagi mahasiswa. Dengan tajuk Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia, Kemendikbud juga berusaha memajukan guru-guru di daerah 3T.

Kebutuhan guru tentu tak hanya di bangku pendidikan formal, tetapi juga di ranah nonformal. Coba kita lihat, di negeri ini penduduk yang buta aksara masih menjadi persoalan pelik. Pendidikan berbasis masyarakat juga membutuhkan kehadiran guru. Bahkan, diperlukan pula guru yang memiliki kompetensi membina dan mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Tentu saja, pengajaran dan pendidikan harus diberikan kepada seluruh generasi bangsa tanpa terkecuali.

Untuk kebangunan dan kemajuan negeri ini, panggilan menjadi guru terus menggema setiap saat. Jika Kaisar Hirohito saat Hiroshima dan Nagasaki di bom atom Amerika Serikat bertanya berapa jumlah guru yang masih hidup, Indonesia pun bertanya siapakah yang bersedia untuk menjadi guru? Guru yang tulus mengabdi dan memberikan ilmu yang bermanfaat akan berpahala meskipun telah tiada. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Universitas PGRI Yogyakarta

Anak Putus Sekolah Tanggung Jawab Negara

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bebas Bicara BERNAS JOGJA, Selasa 27 Maret 2012

Anggota Komisi X DPR RI Raihan Iskandar mengungkapkan bahwa kinerja pemerintah di bidang pendidikan tak menunjukkan hasil signifikan selama tahun 2011. Salah satu indikatornya adalah masih banyaknya anak putus sekolah. Mengutip data, Raihan Iskandar menyebut ada sekitar 10,268 juta siswa yang tak menuntaskan jenjang SD dan SMP. Di sisi lain, ada sekitar 3,8 juta siswa yang tak dapat melanjutkan ke jenjang SMA (www.kompas.com, 26/12/2011).

Fakta di atas menarik dicermati. Pada tahun 2012 ini, anak putus sekolah masih dimungkinkan terjadi. Faktor ekonomi kerapkali menjadi hambatan. Meskipun ada bantuan operasional sekolah (BOS), dana tersebut ternyata belum mampu mengatasi anak putus sekolah. Mendikbud, Mohammad Nuh, malah akan meningkatkan dana BOS tahun 2012 untuk menekan siswa drop out dan tak dapat melanjutkan sekolah.

Harus diakui persoalan kemiskinan di negeri ini masih pelik. Siswa dari keluarga miskin cenderung menjadi korban dari mahalnya biaya pendidikan di sekolah. Ukuran mahal dan tidak mahal memang relatif, namun kenyataan menunjukkan sebagian masyarakat belum mampu menopang tuntutan finansial untuk menyekolahkan anak-anaknya. Padahal, setiap anak bangsa dari kalangan mana pun berhak mengembangkan kemampuan dan kapasitas dirinya melalui penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang berkualitas. Pertanyaan, apakah anak menempuh pendidikan di sekolah hanya tanggung jawab negara?

Dalam konstitusi, negara memang berkewajiban menyelenggarakan pendidikan bagi warga negaranya. UUD 1945 Pasal 31 (2) malah menegaskan kewajiban pemerintah membiayai pendidikan dasar warga negaranya. Mengacu pada UU No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan dasar adalah SD/MI dan SMP/MTs. Bahkan, dalam Bab VIII Pasal 34 (2) UU tersebut disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya itu, negara tentu tak harus bekerja dan bergerak sendiri. Negara bisa saja mengajak peran masyarakat atau menggandeng pihak perusahaan dalam upaya mengentaskan anak-anak putus sekolah. Adapun cara lainnya, negara tentu harus lebih cerdas melaksanakan tanggung jawabnya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Yogyakarta