Hardiknas, Apa Kabar Guru?

Nguda Rasa Koran Merapi, Jum'at 1 Mei 2009
Setiap tanggal 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Peringatan Hardiknas bisa menjadi titik refleksi terkait pendidikan di negeri ini. Siapa pun tentunya tidak membantah jika aspek pendidikan memainkan peranan signifikan dalam upaya mendidik generasi bangsa. Bahkan, kita bisa mengatakan bahwa wajah pendidikan saat ini adalah wajah bangsa di masa mendatang. Baik buruknya peradaban di negeri ini amat ditentukan oleh aspek pendidikan yang diberikan kepada anak-anak bangsa sebagai cikal bakal generasi di masa mendatang. Maka, pendidikan jelas merupakan faktor penting mewujudkan tatanan berbangsa dan bernegara yang bermartabat. Pendidikan diselenggarakan agar anak-anak bangsa mampu beradaptasi dan berkontribusi positif membangun peradaban di masa depan.

Berbicara aspek pendidikan tentu ada beragam hal yang bisa dikemukakan. Salah satu dari beragam hal itu adalah sosok guru. Meskipun guru bukan satu-satunya komponen pendidikan, namun posisi guru dalam proses pendidikan tetaplah penting. Mantan Mendiknas Fuad Hasan pernah mengatakan bahwa sebaik apapun kurikulum jika tidak didukung guru yang berkualitas, maka semua akan sia-sia. Sebaliknya, kurikulum yang kurang baik, kekurangannya akan dapat ditopang oleh guru yang berkualitas.

Pentingnya kehadiran guru bagi maju mundurnya peradaban bangsa memang disadari segenap pihak. Di pendidikan formal persekolahan, guru adalah ”orang tua” bagi anak-anak didiknya. Guru memiliki tanggung jawab besar menyiapkan anak-anak didiknya agar kelak menjadi manusia yang positif bagi kehidupan. Guru berperan membimbing anak-anak didiknya menjadi manusia dewasa yang bernurani, cendekia sekaligus memiliki kemandirian. Betapa pentingnya guru sehingga dua badan PBB pun merumuskan rekomendasi pada 5 Oktober 1966 bertajuk Recommendation Concerning The Status of Teachers. Rekomendasi berisi 13 bab dan 146 pasal itu dikeluarkan UNESCO dan ILO untuk memperhatikan lebih seksama posisi dan peran guru sebagai pendidik sekaligus pekerja.

Pastinya, guru sebagai aktor pendidikan dituntut profesional dan memiliki kompetensi memadai. Berdasarkan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, guru merupakan tenaga profesional yang memiliki hak dan juga kewajiban profesional. Dijelaskan dalam Bab IV, guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Pasal 8). Adapun kualifikasi akademik guru diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat (Pasal 9). Guru juga harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (Pasal 10).

Dengan demikian, kedudukan guru bukanlah main-main. Artinya, guru tidak sekadar mengajar dan mengevaluasi belajar anak-anak didiknya, tetapi juga membimbing, mengarahkan, dan mendidik. Guru berperan mendidik anak-anak didik agar berkembang potensinya menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang kontributif serta bertanggung jawab. Meskipun tugas yang diemban guru tidaklah ringan, tapi merupakan tugas yang mulia.

Dengan menyaksikan fakta kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, guru semestinya terpanggil jiwanya untuk menyelamatkan wajah negeri. Menyelamatkan Indonesia bukan terletak di pundak parpol atau presiden sekali pun, tapi di pundak guru yang mendidik anak-anak bangsa. Justru dari tangan-tangan gurulah akan terlahir anak-anak bangsa yang kelak akan mampu menampilkan Indonesia lebih bermartabat. Di tengah krisis keteladanan, guru dituntut menjadi teladan bagi anak-anak didiknya. Pada saat ini guru harus mampu membangun paradigma bahwa baik buruknya wajah Indonesia mendatang ditentukan oleh hasil didikan guru kepada anak-anak didiknya.

Maka, guru harus senantiasa menyadari perannya untuk mendidik generasi bangsa. Perubahan teks lagu Hymne Guru karya Sartono yang awalnya ”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” menjadi ”Pahlawan Pembangun Insan Cendekia” pada peringatan Hari Guru tahun 2008 lalu perlu dimaknai secara substantif oleh guru. Guru tentu saja dapat menjadi pahlawan yang perlu juga diberi tanda jasa. Guru juga manusia yang membutuhkan tanda jasa berupa immateri maupun materi. Ungkapan ”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” perlahan tapi pasti tidak akan melekat lagi pada sosok guru. Namun demikian, guru tidak serta-merta menuntut tanda jasa tanpa pengabdian. Justru pengabdian yang menjadi prioriotas utama agar sebutan pahlawan tak sekadar kata. Adapun ungkapan ”Pahlawan Pembangun Insan Cendekia” selayaknya menjadi cermin guru untuk terus meningkatkan profesionalitasnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cendekia mengandung arti: (1) tajam pikiran, lekas mengerti (kalau diberi tahu sesuatu), cerdas, pandai; (2) cepat mengerti situasi dan pandai mencari jalan keluar atau pandai menggunakan kesempatan; (3) terpelajar; cerdik pandai, cerdik cendekia. Insan yang cendekia adalah manusia yang terpanggil melakukan perbaikan terhadap kehidupan sosial. Tidak hanya berwacana saja, insan cendekia adalah manusia yang dapat menawarkan strategi jitu untuk memecahkan permasalahan yang berkembang di masyarakat secara solutif.

Pada dasarnya, membangun insan cendekia saja tidaklah cukup. Guru harus melampaui ungkapan itu dengan membangun anak-anak bangsa yang tidak hanya cendekia, tapi juga memiliki nurani dan kesadaran ber-Tuhan. Tentu saja, guru harus menjadi sosok yang cendekia, bernurani, beriman, dan bertakwa terlebih dahulu. Menjadi tantangan guru untuk melahirkan generasi Indonesia masa depan yang mampu berpikir dan bertindak besar membangun kemaslahatan kehidupan. Bersamaan dengan peringatan Hardiknas, kita haturkan selamat berjuang teruntuk guru di negeri ini. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Penulis adalah Pegiat Transform Institute pada Universitas Negeri Yogyakarta

Ujian Nasional dan Kelulusan Siswa

Opini Suara Karya, Rabu 29 April 2009
Pekan ini Ujian Nasional (UN) dihadapi siswa-siswa SMP/MTs (27-30 April 2009). UN sudah dilaksanakan untuk siswa-siswa SMA/MAN/SMK pada 20-24 April 2009 lalu. Adapun untuk tingkat SD yang bertajuk UASBN akan diselenggarakan 11-13 Mei 2009. Berbicara mengenai UN tampaknya tak akan pernah membosankan. Ditengah polemik UN yang pasang surut menerpa, pihak sekolah tetap harus menyelenggarakan perhelatan UN.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, pihak sekolah dalam persiapan menghadapi UN menyelenggarakan program pengayaan melalui penambahan jam pelajaran, bahkan tak ketinggalan menggandeng lembaga bimbingan belajar agar para siswanya sukses UN. Jika kita saksikan, pihak sekolah dan para siswa cukup tertantang dengan pergelaran UN. Entah apakah direkayasa atau berangkat dari kesadaran pribadi, siswa terus mempersiapkan diri dengan tekun belajar. Pihak sekolah pun tak mengenal bosan untuk memberikan pendalaman terhadap materi pelajaran yang akan di-UN-kan. Bahkan, dengan target lulus UN, siswa tingkat akhir terus di-drill dengan menjawab soal-soal multiple choice yang diprediksi keluar di UN. Terkait pola menghadapi UN seperti itu, pro kontra diakui terus muncul sampai detik ini.

Disadari atau tidak, dari pengalaman selama ini, standar kelulusan yang ditetapkan Depdiknas tak dimungkiri menjadi momok tersendiri. Motivasi pihak sekolah menggulirkan kebijakan penambahan jam pelajaran dan program tryout UN lebih disebabkan adanya standar kelulusan yang ditetapkan Depdiknas. Asumsi ini tentu tak berlebihan karena tak pernah pihak sekolah membuat kebijakan seperti itu saat diselenggarakan ujian sekolah. Dengan adanya standar kelulusan yang harus dicapai, pihak sekolah pun tidak bisa main-main lagi karena berkaitan dengan masa depan siswa. Berbeda dengan ujian sekolah, pihak sekolah tak pernah “terbebani” dengan target standar kelulusan, bahkan pengatrolan nilai tidak dimungkiri sering kali dilakukan. Memang tak dimungkiri jika UN dengan standar kelulusan yang dipatok secara nasional telah menyebabkan pihak sekolah berorientasi pada UN ansich. Kendati masih ada ujian yang diselenggarakan pihak sekolah, otoritas UN dalam meluluskan siswa tetap besar. Dengan kata lain, ujian sekolah belum bertaji berhadapan dengan standar kelulusan UN yang dipatok Depdiknas. Pada tahun ini, standar kelulusan UN 2009 dari sebelumnya 5,25 dinaikkan menjadi 5,5 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan nilai minimal 4,00 paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Dikatakan Kepala Pusat Penelitian Pendidikan (Puspendik) Depdiknas Burhanudin Tolla bahwa pemerintah daerah dan satuan pendidikan dapat menetapkan batas kelulusan di atas nilai standar kelulusan. Sedangkan UASBN, kriteria kelulusannya murni ditetapkan oleh pihak sekolah. Adapun untuk SMK, nilai mata pelajaran kompetensi keahlian kejuruan minimal 7,00.

Berbicara lebih lanjut, dengan melihat fakta di lapangan dan berita-berita di surat kabar, tampaknya ada beberapa hal yang perlu dijernihkan mengenai UN. Pertama, apakah UN merupakan penentu tunggal kelulusan? Kedua, apakah mata pelajaran yang tidak di-UN-kan tidak penting untuk meluluskan siswa? Jika UN dikatakan sebagai penentu tunggal kelulusan boleh jadi akibat dari standar nasional yang ditetapkan. Dengan adanya standar nasional, para siswa dituntut untuk berjuang maksimal agar bisa lulus. Adanya kondisi seperti itu akhirnya berkembang persepsi bahwa kelulusan siswa hanya ditentukan lewat UN. Padahal, penentuan kelulusan siswa memiliki berbagai persyaratan—tidak hanya lulus UN.

Persyaratan kelulusan siswa itu telah dijelaskan dalam PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Pada Pasal 72 (1) PP No. 19/2005 disebutkan bahwa peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah: a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran; b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; c. lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan d. lulus ujian nasional.

Pada poin a, b, dan c yang menentukan kelulusan siswa itu sepertinya agak dilupakan. Yang terjadi selama ini adalah kejar target lulus UN dengan menempatkan mata pelajaran non-UN secara kurang proporsional. Dengan mencermati isi Pasal 72 (1) PP No. 19/2005 itu seharusnya pihak sekolah mendudukkan setiap mata pelajaran pada posisi sederajat karena sama-sama menentukan kelulusan siswa.

Dari uraian di atas akhirnya menjawab pertanyaan kedua, apakah mata pelajaran yang tidak di-UN-kan tidak penting untuk meluluskan siswa? Jawabannya kian jelas bahwa semua mata pelajaran memegang posisi penting dalam meluluskan siswa. Pertanyaan selanjutnya, apakah pihak sekolah berani untuk tidak meluluskan siswa jika siswa tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tertera pada poin a, b, dan c Pasal 72 (1) PP No. 19/2005? Apakah pihak sekolah tidak akan meluluskan siswa jika hasil ujian sekolahnya terhitung di bawah rata-rata? Tentu saja hanya pihak sekolahlah yang berhak menjawabnya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Peneliti pada Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta.
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=225667

Sultan Menuju Istana Negara?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bedah Buku Kedaulatan Rakyat, Minggu 26 April 2009

Judul : Pemimpin Dengan Tahta Rakyat Penulis : Femi Adi Soempeno Penerbit : Galang Pers Yogyakarta Cetakan : I, 2009 Tebal : 164 halaman
Setahun atau dua tahun lalu, kita mungkin tidak pernah berpikir jika Sri Sultan Hamengku Buwono X akan meramaikan bursa capres dan menjadi sosok yang diperhitungkan. Meskipun Sultan pada 2004 pernah ikut dalam konvensi Partai Golkar lalu tiba-tiba mengundurkan diri, fenomena Sultan pada 2009 bisa dikatakan lebih ”menggetarkan” dan turut menyentuh sisi emosi masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Sentuhan emosi ini mulai tampak terasa ketika Sultan menyatakan tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai Gubernur DIY pada 2007 silam. Masyarakat DIY pun terus memutar tanya sekaligus membuat tafsiran-tafsiran terhadap pernyataan Sultan itu. Apabila dikatakan pernyataan Sultan terkait dengan masih terkatung-katungnya RUU Keistimewaan DIY boleh jadi ada benarnya. Namun demikian, Sultan memang terus membuat masyarakat DIY bertanya-tanya. Apalagi ketika pada peringatan 80 tahun Sumpah Pemuda tahun 2008 lalu Sultan mendeklarasikan dirinya siap menjadi presiden, masyarakat DIY terpecah dalam dua kubu: kubu pertama yang ”ngeman” Sultan dan kubu kedua memahami keinginan luhur Sultan memimpin negeri ini.

Membaca buku ini, kita memang diajak menelusuri perjalanan Sultan yang sampai detik ini masih terus menancapkan strategi agar berhasil menjadi capres 2009. Femi Adi Soempeno, penulis buku ini, mengumpulkan catatan berserak tentang Sultan yang nyapres dengan dinamika perpolitikan yang terus terjadi. Jika mau jujur, peluang Sultan menjadi capres 2009 belumlah menunjukkan kepastian. Kendaraan politik Sultan agar bisa melenggang dalam kontestasi pemilihan presiden masih belum jelas sampai detik ini. Namun, penulis mencoba memunculkan optimisme. Tentu kita tidak bakal menduga Partai Demokrat yang hanya dibentuk 10 bulan menjelang pemilu bisa mendapatkan kursi dalam Pemilu 2004 dan menempatkan andalannya Susilo Bambang Yudhoyono di kursi RI-1.

Seperti kita saksikan, dukungan terhadap Sultan menduduki kursi presiden terus saja mengalir, bahkan dukungan akan bertambah lagi sebelum pemilihan presiden digelar. Tanpa diminta pun, Sultan dengan sendirinya memiliki tim sukses yang siap menyokong dan menyukseskan kehendak Sultan ke kancah nasional. Karena berisi percikan-percikan perjalanan Sultan menuju RI-1, buku ini bisa dikatakan merupakan dokumentasi. Tidak seluruh pembahasan dalam buku ini mengutarakan tentang Sultan, tetapi juga perkembangan politik dari waktu ke waktu terkait pelaksanaan pemilu 2009. Dengan dikemas secara menarik, penulis sedikit banyak berhasil mendokumentasikan peristiwa politik yang terkait langsung dengan Sultan atau yang memiliki keterkaitan dengan nasib perjalanan Sultan menjadi presiden.

Yang perlu dicatat, Sultan nyapres tidak sekadar maju tanpa konsep. Jika kita terus mengikuti pernyataan-pernyataan Sultan selama ini, kita menemukan gagasan beliau tentang Indonesia dan kebangunannya. Penulis buku ini pun mendokumentasikannya agar bisa terbaca dan ditelaah oleh publik seperti konsep negara maritim yang selalu didengungkan Sultan dalam berbagai kesempatan. Strategi maritim dilandasi posisi Indonesia yang dikelilingi laut. Kecenderungan selama ini yang hanya berorientasi ke daratan dan hasilnya menimbulkan ketimpangan selayaknya dievaluasi. Stategi maritim dengan memaksimalkan potensi kekayaan laut perlu dilakukan.

Buku ini tampaknya memang belum selesai dalam arti kiprah Sultan memang masih terus berlanjut sampai pemilihan presiden 2009. Dalam pemilihan presiden 2009 itulah kita bisa menyaksikan apakah Sultan menjadi salah satu capres atau tidak.
HENDRA SUGIANTORO
peneliti Transform Institute pada Universitas Negeri Yogyakarta

Mengoreksi Politik Praktis Kiai

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada Koran Jakarta, Rabu 15 April 2009

Judul Buku : Kiai di Tengah Pusaran Politik
Penulis : Ibnu Hajar
Penerbit : IRCiSoD Yogyakarta
Cetakan I : Februari 2009
Tebal : 163 halaman
SEJAK era reformasi terjadi, dunia perpolitikan di negeri ini memang terkesan riuh. Kini siapa pun dari berbagai kalangan seolah-olah ingin terlibat dalam politik kekuasaan. Dalam riuhnya dunia perpolitikan itu, kita sering kali melihat kiai berpolitik praktis dengan memberikan dukungan kepada calon tertentu. Dukungan terhadap calon pemimpin ini boleh jadi berbeda antara kiai satu dengan kiai lainnya. Bahkan, ada juga kiai yang masuk ke ranah kekuasaan dengan menggalang massa lewat ajang kampanye. Saat ini tidak sedikit kiai yang menduduki posisi di lingkaran kekuasaan, baik di tingkat daerah maupun nasional. Keterlibatan kiai dalam politik praktis tak dimungkiri juga akan terjadi di Pemilu 2009.
Melalui buku ini, Ibnu Hajar mencoba mengoreksi keterlibatan kiai dalam politik praktis. Meskipun keterlibatan dalam politik praktis merupakan hak setiap warga negara, namun menimbulkan pertanyaan jika dilakukan oleh kiai. Dengan terlibat politik praktis, kiai cenderung dimiliki satu kelompok, padahal kiai adalah sosok milik masyarakat tanpa tersekat golongan dan partai politik. Disadari atau tidak, kondisi seperti itu justru mengurangi kewibawaan kiai di mata masyarakat. Masyarakat yang menaruh hormat kepada kiai malah dimungkinkan antipati.

Dijelaskan Ibnu hajar, sebagai pewaris para nabi, kiai memiliki tugas serta tanggung jawab besar untuk menerjemahkan visi dan misi kenabian, sehingga tidak bisa hanya disempitkan dengan urusan politik praktis. Yang perlu direnungkan, selama ini kiai merupakan sosok panutan dan pengayom bagi masyarakat. Kiai dengan kehidupan pesantrennya telah mendidik dan memberdayakan masyarakat. Kiai pun dianggap sebagai sosok mumpuni yang senantiasa dijadikan rujukan masyarakat dalam menyelesaikan problem tidak hanya persoalan di wilayah keagamaan, tetapi juga di berbagai bidang lainnya. Peran dan posisi kiai yang tampak selama ini bisa redup jika kiai berorientasi politik kekuasaan dan cenderung pada kepentingan kelompok tertentu.
Kegelisahan jika kiai akan ditinggalkan masyarakat karena terlibat politik praktis sebagaimana dipaparkan buku ini memang muncul sejak lama. Menurut penulis, keterlibatan kiai ke dalam gelanggang politik praktis merupakan pilihan tergesa-gesa dan terkesan dipaksakan, tanpa mempertimbangkan banyak hal, terutama posisi kiai sebagai kiblat kultural masyarakat. Hal ini bukan berarti kiai tidak boleh berpolitik, namun politik kiai pemaknaan harus lebih luas dengan melakukan pendidikan, pemberdayaan, dan pengayoman terhadap masyarakat. Politik yang selayaknya menjadi garapan kiai adalah politik yang bervisi kerakyatan dan kebangsaan.
Maka, kiai memang perlu kembali ke masyarakat. Sesungguhnya masyarakat yang masih diliputi problem pelik dalam kehidupannya merindukan hadirnya kiai di tengah-tengah mereka. Kiai tetap memiliki peran besar membangun kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara tanpa harus disibukkan urusan politik praktis. Sebagai pewaris para nabi, kiai adalah milik seluruh masyarakat. Kiai akan selalu berjuang menegakkan nilai-nilai agama dan membangun kehidupan yang dipenuhi ketenangan dan kebahagiaan di tengah-tengah masyarakat.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Forum El-Pena di Yogyakarta

Menggugat Caleg Busuk

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Tulisan ini dimuat di Suara Pembaca Duta Masyarakat (Selasa, 14/4), jagongan Harian Jogja (Rabu, 15/4)
Pemilihan umum legislatif telah usai dilakukan. Hasil hitung cepat (quick count) yang dipublikasikan memperlihatkan perolehan suara masing-masing parpol secara nasional. Meskipun hasil penghitungan suara secara resmi merupakan wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU), masyarakat sudah bisa menyaksikan seberapa besar perolehan suara parpol yang didukungnya. Namun demikian, hasil hitung cepat tentu saja tidak bisa menggambarkan berapa banyak perolehan kursi setiap parpol dan siapa caleg terpilih untuk duduk di parlemen.
Yang menjadi catatan, pemilihan umum legislatif 2009 ternyata begitu kental dengan fenomena politik uang. Amat disayangkan, harapan terciptanya pemilihan umum yang jujur dan bersih ternodai dengan kasus jual beli suara. Tingkah polah oknum caleg yang berpolitik busuk merupakan cermin bobroknya integritas calon-calon anggota dewan yang akan duduk di parlemen pada periode mendatang. Politik uang jelas merupakan tamparan keras bagi sebuah cita-cita menciptakan wajah parlemen yang lebih bermartabat. Mungkin saja caleg yang bermain uang ada yang tidak terpilih, tapi tetap dimungkinkan hadir di kursi anggota dewan.

Dengan demikian, bayang-bayang pesimisme masih terasa terkait wajah parlemen periode mendatang. Upaya menembus gedung dewan dengan cara-cara tidak jujur merupakan pertanda mencemaskan. Di sisi lain, upaya mengembalikan modal kampanye bisa dilakukan caleg-caleg terpilih ketika nantinya duduk di kursi dewan. Ada sebagian caleg yang sekadar berburu kekuasaan tanpa memaknai sebuah kekuasaan sebagai pengabdian. Padahal, tugas berat parlemen ke depan adalah menegakkan kembali kewibawaannya dan memulihkan kembali citranya. Jangan jauh dari aspirasi rakyat. Jangan larut dalam kepentingan sesaat dan sempit yang menyandera kepentingan lebih luas (Alfan Alfian:2008). Pertanyaannya, apakah hal itu mungkin dilakukan setelah melihat drama politik busuk (sebagian) caleg menuju gedung dewan periode 2009-2014?
Jika mau menangis, maka menangislah. Siapa pun yang masih memiliki nurani akan merasakan kegetiran menyaksikan geliat busuk (sebagian) caleg. Jika harapan parlemen bermartabat masih ada, harapan itu adalah agar caleg-caleg pragmatis yang beruntung terpilih menyadari bahwa amanah anggota dewan bukan main-main. Di tengah jabatan anggota dewan, ada jutaan masyarakat yang tidak bisa dipermainkan nasib hidupnya. Silakan jika Anda ingin menjadikan parlemen sebagai ajang mencari nafkah, tapi ingatlah ada masyarakat yang hidup dalam kemiskinan struktural. Ingatlah anak-anak bergizi buruk yang masih bertebaran jika Anda hanya ingin berfoya-foya. Anda boleh saja memakan harta negara, tapi ingatlah masyarakat yang kelaparan tanpa perhatian negara. Masyarakat memang bisa dipermainkan dengan permainan politik busuk yang Anda lakukan, tapi suatu saat masyarakat akan bangkit kesadarannya untuk melakukan perlawanan. Drama politik busuk menjelaskan Indonesia dalam kondisi darurat. Adakah bisa menjamin kesabaran masyarakat untuk menghadirkan wajah parlemen benar-benar bermartabat sampai lima tahun mendatang? Jika Anda tidak berniat mengabdi, ambil langkah bijak mengundurkan diri daripada membuat malapetaka. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Email: lpmtransformasi_uny@yahoo.co.id

Indonesia Memilih untuk Perubahan


Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Pembaca Duta Masyarakat, Kamis 9 April 2009

Hari ini, Kamis (9/4), adalah momentum perubahan. Masyarakat Indonesia menuju tempat pemungutan suara untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk di kursi DPR/DPRD/DPD periode 2009-2014. Dengan segenap kesadaran, pilihan politik yang dilakukan di bilik suara berpengaruh terhadap perjalanan bangsa dan negara. Maka, tak ada pilihan lain kecuali memilih caleg secara cerdas dan tidak asal-asalan.
Dalam hal ini, masyarakat hendaknya tidak mudah dibohongi begitu saja dengan janji-janji para caleg. Masyarakat tentu memahami bahwa setiap kampanye para caleg selalu menjanjikan suatu perbaikan. Tidak mungkin ada caleg malah berkampanye yang tidak prorakyat. Masyarakat perlu menilai rekam jejak caleg selama ini untuk menentukan pilihan secara cerdas. Pengabdian sosial caleg menjadi salah satu kriteria yang menentukan layak tidaknya caleg dipilih. Amat naif ada caleg yang menampakkan kepedulian terhadap masyarakat saat kampanye, tapi selama ini tidak pernah terjun nyata di tengah masyarakat. Jika ada caleg menggunakan jargon-jargon prorakyat saat kampanye, maka itu adalah kewajaran. Pertanyaannya, apakah selama ini caleg tersebut hidup bersama masyarakat?
Tak bisa dilupakan, masyarakat hendaknya tidak terpengaruh dengan politik uang (money politics) yang mungkin dilakukan caleg. Masyarakat berhak memilih tanpa tekanan dan paksaan. Masyarakat hendaknya memilih bukan karena sejumlah uang yang diterima untuk memilih caleg tertentu. Perlu menjadi kesadaran bahwa uang yang diterima hanya kenikmatan sesaat, tapi berefek buruk bertahun-tahun lamanya. Dengan melakukan money politics, caleg ketika terpilih akan menyandera negeri ini dengan perilaku korupsi.

Disadari atau tidak, Pemilu 2009 bisa dikatakan merupakan taruhan bagi masyarakat. Artinya, salah memilih akan berdampak buruk lima tahun ke depan dan begitu juga sebaliknya. Tentu saja masyarakat tidak bisa menggeneralisir seluruh caleg jelek. Di antara banyaknya caleg tentu masih ada yang baik, tulus mengabdi, dan peduli. Masyarakat berhak menilai siapa caleg yang memang benar-benar tepat untuk menjadi wakilnya di gedung dewan. Kini saatnya masyarakat menghadirkan lembaga legislatif yang bersih dan yang benar-benar bekerja bagi kepentingan masyarakat. Ketika nantinya menuju tempat pemungutan suara, masyarakat perlu menguatkan tekad bahwa pilihan politik yang diambil adalah pilihan perubahan untuk membawa Indonesia lebih baik. Pilihan perubahan bahwa Indonesia harus menapak ke depan dalam kemajuan. Masyarakat berkewajiban menjadikan lembaga legislatif lebih bermartabat dengan memilih caleg secara tepat. Ya, saatnya Indonesia memilih untuk perubahan! Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat LPM Transformasi UNY
http://dutamasyarakat.com/1/02dm.php?mdl=dtlartikel&id=14628

Memilih dengan Cerdas

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan Harian Jogja, Kamis 9 April 2009

Pemilu legislatif digelar hari ini. Kita berharap agar pelaksanaan pemilu berjalan baik. Dengan waktu tersisa sehari, sosialisasi dan pendidikan politik kepada masyarakat masih bisa dilakukan. Tingkat partisipasi politik aktif masyarakat merupakan sesuatu yang penting. Adapun pendidikan politik dilakukan agar masyarakat mampu menghasilkan anggota legislatif yang berkualitas. Pada titik ini, seluruh elemen seyogianya mampu memberikan pencerdasan politik kepada masyarakat di waktu tersisa ini. Harus diakui jika tidak seluruh masyarakat memahami perpolitikan sehingga begitu mudahnya dipermainkan parpol ataupun caleg. Politik uang (money politics) tak dimungkiri sering kali dilakukan sebagian parpol dan caleg di masa hari tenang dan menjelang menuju tempat pemungutan suara.

Dalam hal ini, apresiasi layak diberikan kepada elemen-elemen yang berikhtiar agar pemilu 2009 berkualitas. Bagaimana pun, pemilu merupakan mekanisme memilih dan mendudukkan caleg di kursi DPR/DPRD/DPD. Caleg-caleg yang terpilih menjadi anggota dewan nantinya harapannya benar-benar bersih, profesional, dan memiliki sense of crisis terhadap penderitaan masyarakat. Logika kelompok tertentu dengan menolak pemilu 2009 dengan alasan selama ini kepemimpinan tak kunjung menyejahterakan sungguh berlebihan. Jika kesejahteraan masyarakat menjadi sebuah cita-cita, maka memilih anggota dewan dan pemimpin yang berkualitas adalah kuncinya. Setiap kebijakan yang berhubungan dengan nasib hidup masyarakat akan berkait kelindan dengan kinerja anggota dewan dan pemimpin yang terpilih dalam pemilu 2009. Maka, masyarakat perlu memiliki kesadaran kritis melihat pemilu 2009 sebagai momentum perubahan.
Menjelang hari pemilihan, masyarakat seyogianya bisa mempertimbangkan pilihan. Tepat atau tidaknya melakukan pilihan akan menentukan nasib bangsa dan negara ke depan. Jika masyarakat merindukan kehidupan yang lebih baik, maka pilihan yang tepat menjadi keniscayaan. Masyarakat perlu menjadi subyek perubahan dengan menghasilkan anggota-anggota legislatif yang bersih, bertanggung jawab, dan mampu bekerja maksimal bagi kemaslahatan hidup masyarakat. Jadi, saatnya menjadi pemilih yang cerdas. Suara kita adalah suara untuk menciptakan wajah parlemen yang lebih bermartabat. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Karangmalang Yogyakarta 55281

PEMILU

Masyarakat negeri ini akan menjemput PERUBAHAN

Indonesia Memilih untuk Perubahan







Negeri yang Disandera Korupsi

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Koran Wawasan, Selasa 7 April 2009

Tak terasa kampanye pemilu legislatif yang memakan ongkos begitu mahal telah selesai. Dengan biaya yang tidak sedikit itu ternyata kampanye belum menempatkan masyarakat sebagai subjek perubahan. Masyarakat masih diposisikan sebagai objek bagi parpol dan caleg untuk berburu kekuasaan. Iklan-iklan kampanye yang memakan biaya tinggi terlihat meremehkan sisi intelektualitas masyarakat. Dengan iklan-iklan yang ditebarkan, parpol dan caleg sekadar berpikir memikat masyarakat dan kalau memungkinkan memperdayai masyarakat.
Iklan yang dibuat meyakinkan memang bisa memikat masyarakat. Sisi emosi masyarakat disentuh dengan iklan-iklan politik yang seakan-akan peduli kehidupan masyarakat. Di sisi lain, mobilisasi massa begitu kentara dalam kampanye. Parpol dan caleg ternyata tidak mampu menggerakkan titik kesadaran masyarakat untuk memberikan dukungan atas dasar partisipasi dan afiliasi. Bahkan, bukan rahasia lagi jika sebagian parpol dan caleg memberi masyarakat sejumlah uang agar turut serta menyemarakkan kampanye. Jika parpol dan caleg beralasan masyarakat tak bisa digerakkan tanpa ”iming-iming”, itu sebenarnya bukanlah alasan yang masuk akal. Melihat realitas masyarakat, parpol dan caleg semestinya tidak bodoh dan bisa berpikir kreatif. Parpol dan caleg seharusnya tidak mempertahankan model kampanye yang bersifat pengerahan massa, tapi memformat kampanye dalam model lain. Kampanye yang bersifat memberdayakan masyarakat bisa dilakukan ketimbang menghamburkan uang untuk kampanye mobilisasi massa yang belum tentu jelas sisi manfaatnya.

Pastinya, masyarakat bukanlah objek untuk meraih kekuasaan. Hal yang cenderung berlebihan jika ada parpol dan juga caleg mengasumsikan masyarakat pragmatis dan tidak peduli dengan visi, misi, dan program parpol dan caleg. Justru parpol dan caleg yang berasumsi seperti itu layak disalahkan karena turut mempertahankan kultur pragmatisme masyarakat. Sikap mental pragmatis yang seharusnya dirombak malah dilanggengkan dengan model kampanye yang terkesan membodohkan masyarakat. Jika memang berkehendak kuat menghilangkannya, politik uang (money politics) bukannya tidak bisa dihindari.
Kekhawatiran kampanye yang mengeluarkan dana berlimpah akan menyandera negeri ini dengan perilaku korupsi tentu saja beralasan. Dengan merogoh kantong jutaan, bahkan miliaran tidak menutup kemungkinan menjadikan caleg terpilih berpikir pragmatis di kursi kekuasaan. Upaya mengembalikan modal yang pernah dikeluarkan selama kampanye dimungkinkan terjadi dan akhirnya melanggengkan perilaku korupsi. Yang menimbulkan kegawatan, caleg-caleg terpilih malah bermain dalam ranah konstruksi undang-undang untuk menutupi perilaku korupsinya. Jika saat ini pemberantasan korupsi dinilai sudah berjalan menuju baik, maka tidak ada jaminan terjadi kesinambungan di masa mendatang. Pasalnya, pemberantasan korupsi juga terkait dengan produk undang-undang dan hukum yang merupakan hasil pikiran manusia perumusnya.
Memang kita tidak bisa menggeneralisir kondisi caleg. Di samping ada caleg yang berpikir pragmatis, ada juga caleg yang berkomitmen menjalankan kinerja di parlemen sebaik-baiknya. Yang perlu ditegaskan, politik membutuhkan modal. Begitu juga caleg membutuhkan modal untuk memasuki ruang kekuasaan. Hanya saja tidak banyak caleg yang memaknai pengeluaran modal sebagai pengorbanan. Dalam hal ini, caleg pragmatis yang bertujuan menjadikan parlemen sebagai lahan mencari nafkah perlu dihindari dengan kecerdasan masyarakat menentukan pilihan. Masyarakat bisa membebaskan negeri ini dari sandera korupsi dengan memilih caleg yang jujur, amanah, bersih, dan memiliki kredibilitas. Caleg yang mengeluarkan modal dengan hutang tanpa mengukur kemampuan modal mandirinya adalah salah satu indikasi penyanderaan negeri ini dengan perilaku korupsi. Begitu juga caleg yang melakukan money politics akan membuka peluang perilaku korupsi. Masyarakat hendaknya berpikir jernih bahwa uang yang didapatkan selama kampanye hanya dinikmati sesaat, tapi berefek panjang ke depan.
Pungkasnya, lebih baik masyarakat menjadikan caleg gila daripada negeri ini disandera korupsi. Biarkan caleg pragmatis memasuki rumah sakit jiwa karena gagal meraih kekuasaan daripada memasuki gedung dewan dan melakukan korupsi di dalamnya. Kini saatnya masyarakat menjadi pemilih yang cerdas agar negeri ini tidak disandera korupsi. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa FIP Universitas Negeri Yogyakarta (UNY
)
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=29829&Itemid=62

Memilih untuk Parlemen Lebih Baik

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Suara Karya, Selasa 7 April 2009

Kampanye usai dan pemilihan umum anggota legislatif di depan mata. Di tengah minimnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja parlemen, kita tetap berharap agar para caleg yang kelak terpilih mampu mengemban amanah sebaik-baiknya. Wajah bangsa dan negara ini ke depan sedikit banyak ditentukan mereka yang kelak duduk di parlemen. Maka, kita senantiasa membentangkan optimisme bahwa harapan itu masih ada. Harapan agar tercipta wajah parlemen yang lebih baik, bersih, kontributif, dan bermartabat.
Adanya harapan sedikit banyak telah menjadi modal perubahan. Harapan itu tentunya harus berlanjut pada dua titik: komitmen caleg dan kecerdasan pemilih. Dua hal ini perlu dilakukan untuk menciptakan parlemen yang bersih, mampu bekerja maksimal, dan bertanggung jawab. Caleg yang selama masa kampanye diperkenankan mengutarakan program-programnya hendaknya tidak berhenti pada tataran kata-kata. Janji-janji perubahan tidak sekadar retorika untuk memikat hati pemilih. Lebih dari itu, caleg harus menyuguhkan apa yang pernah disampaikan selama kampanye di alam realitas ketika nantinya terpilih. Asumsinya, caleg adalah sosok yang cerdas sehingga program-program dan janji-janji selama kampanye dipikirkan secara matang. Program-program yang diutarakan selama kampanye memang didasarkan pada analisis kondisi masyarakat yang mencita-citakan kehidupan penuh kemapanan dan kesejahteraan. Setelah kelak benar-benar terpilih, caleg harus menjadikan setiap janji perubahan sebagai pengikat komitmen. Jika selama kampanye selalu berteriak peduli masyarakat, maka perlu dibuktikan ketika duduk di parlemen.

Hal yang perlu diperhatikan, setiap caleg harus siap menerima kemenangan sekaligus kekalahan. Pemilu legislatif bisa dikatakan merupakan medan kompetisi untuk menentukan siapa caleg yang memang benar-benar menjadi pilihan masyarakat. Masa kampanye sekiranya cukup bagi caleg mencitrakan diri dan memaparkan visi-misi dan programnya kepada masyarakat. Di hari pemilihan, masyarakatlah yang menentukan pilihan. Jika memang nantinya tidak terpilih sebagai anggota legislatif, caleg hendaknya lapang dada. Dalam kompetisi tidak semuanya harus menang. Dari sekitar 11.215 caleg hanya 560 caleg yang akhirnya terpilih menjadi anggota DPR. Di tingkat DPRD provinsi, dari sekitar 112.000 caleg yang bertarung hanya 1.998 caleg yang nantinya terpilih. Dari sekitar 1,5 juta caleg yang memperebutkan kursi DPRD kabupaten/kota hanya 15.750 caleg yang terpilih. Pun, dari sekitar 1.109 caleg DPD hanya 132 caleg yang akhirnya menduduki kursi DPD. Maka, caleg harus bersiap menerima kenyataan apapun yang bakal terjadi. Indikasi akan banyak caleg stress dan masuk rumah sakit jiwa akibat kalah dalam pemilu legislatif harapannya tidak terbukti. Kedewasaan caleg dalam berpolitik merupakan keniscayaan sehingga tidak memaknai kekalahan sebagai malapetaka.
Sisi lain yang juga penting adalah kecerdasan pemilih. Disadari atau tidak, baik dan buruknya wajah parlemen sedikit banyak ditentukan oleh masyarakat. Masyarakat yang memiliki hak pilih bisa menentukan wajah parlemen bersih ataukah terkotori oleh kasus korupsi. Jika kinerja parlemen selama ini masih dipertanyakan, maka masyarakat perlu memperbaiki kinerja parlemen dengan memilih caleg yang berkualitas. Masyarakat yang asal-asalan memilih tanpa mempertimbangkan integritas dan kapabilitas caleg akan membuat wajah parlemen kian kusut penuh permasalahan. Masyarakat hendaknya bisa jernih menilai siapa caleg yang memang benar-benar ingin mengabdi ataukah hanya ingin menjadikan parlemen sebagai lahan mencari nafkah. Kecerdasan masyarakat memang merupakan keniscayaan. Masyarakat hendaknya memilih bukan karena diberi segepok uang, tapi karena didasarkan pertimbangan kapasitas, integritas, dan kapabilitas caleg.
Penilaian kritis masyarakat terhadap caleg-caleg yang ada perlu dilakukan untuk tidak terjebak dengan penampilan fisik dan polesan memikat caleg semata. Di antara banyak caleg yang berkompetisi tidak semuanya buruk. Masih ada caleg yang benar-benar berkomitmen membangun kehidupan bangsa dan negara. Di antara banyak caleg, masyarakat bisa melihat siapa di antara caleg yang jelas pengabdian sosialnya selama ini. Tak dimungkiri ada caleg yang muncul secara mendadak saat pemilu, tapi sebelumnya tidak terlihat rekam jejaknya. Ada caleg yang peduli masyarakat saat kampanye, tapi tidak jelas kemampuannya untuk menjadi anggota legislatif.
Masa hari tenang selama tiga hari sejak Senin (6/4) sampai Rabu (8/4) nanti hendaknya digunakan masyarakat untuk mempertimbangkan pilihan politiknya. Setiap apapun pilihan perlu dipikirkan secara bijak dan matang sehingga tidak menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Masyarakat memiliki tugas penting untuk menghadirkan wajah parlemen yang bersih, berwibawa, dan lebih bermartabat. Jika sebelum ini masih dijumpai oknum anggota legislatif yang korup, maka harapannya tidak terjadi lagi di tubuh parlemen hasil pemilu legislatif tahun ini. Masyarakat tentu tidak bisa masa bodoh terhadap pemilu legislatif yang dihelat 9 April nanti. Siapapun warga negara yang memiliki hak pilih dinantikan kontribusinya untuk mewujudkan perubahan yang lebih baik bagi negeri ini. Masyarakat perlu berkontribusi memilih secara tepat wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga legislatif 2009-2014.
Pastinya, siapa pun ingin menyaksikan negeri ini terus bergerak dalam kemajuan. Menjadi kewajiban masyarakat untuk menentukan caleg yang mampu memegang teguh cita-cita nasional. Masyarakat berkewajiban memilih caleg yang siap bekerja dan menjalankan amanah di parlemen berbasis pengabdian. Dengan pilihan yang tepat, semoga masyarakat mampu menghadirkan anggota-anggota legislatif yang memahami dan bekerja mewujudkan visi besar negara Indonesia, yakni terwujudnya negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Pemilu legislatif menanti suara kita. Suara kita adalah suara perubahan, mari gunakan hak pilih sebaik-baiknya untuk menciptakan wajah parlemen yang lebih baik. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Aktivis peduli Pemilu pada Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=224057

Pemilu 2009, Masyarakat Perlu Kritis

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan Harian Jogja, Selasa 7 April 2009

HIRUK-pikuk kampanye legislatif telah berakhir. Dari kampanye caleg, persoalan terjadi jika ternyata diwarnai pelanggaran-pelanggaran. Bukan rahasia lagi jika sebagian caleg dalam pemasangan alat peraga kampanye, misalnya, tidak mengindahkan peraturan-peraturan yang telah dirumuskan. Di sisi lain, indikasi politik uang (money politics) juga marak dilakukan caleg. Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana respons masyarakat menyaksikan hiruk-pikuk kampanye kemarin?
Dalam menyikapi Pemilu tak dimungkiri terdapat kelompok masyarakat yang apolitis. Dengan kata lain, mereka tidak terlalu mempedulikan apapun wacana politik dan hiruk-pikuk kampanye yang berlangsung. Titik ekstrimnya, kelompok masyarakat ini dilanda pesimisme begitu besar sehingga tidak melihat setitik cerah pun perubahan yang akan dihasilkan melalui Pemilu. Pemilu dianggap sebagai angin lalu yang tidak menjamin perbaikan apapun terhadap kehidupan mereka. Di sisi lain, masyarakat yang apolitis ada yang didasari ketertekanan hidup akibat tak terjaminnya akses kehidupan layak bagi mereka sehingga lebih mementingkan bagaimana bisa menyambung hidup. Untuk menafkahi kebutuhan hidup sehari-hari saja kelimpungan dan tidak sempat memikirkan sedikit pun hajatan Pemilu yang sudah di depan mata.

Yang menjadi catatan penting di sini adalah kecenderungan pragmatisme (sebagian) caleg sekadar untuk memenuhi tujuan jangka pendeknya memenangkan pemilu legislatif. Tidak bisa dimungkiri jika konsistensi dan kesinambungan elite politik memperjuangkan kemaslahatan masyarakat masih minim. Yang terlihat, (sebagian) elite politik hanya peduli dengan masyarakat jika menjelang hajatan Pemilu, tetapi sering kali menghasilkan kebijakan tidak prorakyat ketika berada di lingkaran kekuasaan. Pengalaman menunjukkan tidak ada jaminan janji-janji perubahan dan perbaikan yang disuarakan caleg saat kampanye akan ditepati nantinya ketika menduduki kursi kekuasaan. Dalam hal ini, masyarakat harapannya kritis dan tidak begitu saja terpikat oleh bujuk rayu caleg. Jika masing-masing caleg menjanjikan perbaikan dan kesejahteraan bagi kehidupan masyarakat saat kampanye, maka itu memang niscaya dilakukan. Tidak mungkin bagi caleg mengkampanyekan dirinya negatif. Pastinya, caleg akan mencitrakan dirinya bersih, peduli, dan layak untuk dipilih. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Email: lpmtransformasi_uny@yahoo.co.id

Suara Kita, Suara Perubahan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa Harian Seputar Indonesia, Senin 6 April 2009

KAMPANYE legislatif usai digelar. Hari pemilihan tinggal menghitung hari. Di masa hari tenang ini kita hendaknya mempertimbangkan pilihan politik secara cermat dan bijak. Pilihan politik kita menentukan nasib bangsa dan negara ke depan sehingga diharapkan tidak asal-asalan memilih. Jika kita merindukan kehidupan yang lebih baik, maka pemilu legislatif harus dijadikan momentum perubahan. Siapa pun kita yang memiliki hak pilih perlu menggunakan hak pilih sebaik-baiknya. Dengan hak pilih itu, kita sekuat daya menghadirkan wajah lembaga legislatif yang lebih bermartabat.
Tentu saja setiap caleg yang akan kita pilih tidak seluruhnya buruk. Apriori yang barangkali muncul di benak kita terkait pemilu legislatif 9 April 2009 seyogianya tidak menghalangi kita untuk memilih secara cerdas. Di antara caleg-caleg dalam pemilu legislatif tentunya masih ada caleg yang layak kita pilih untuk menduduki kursi dewan 2009-2014. Kita hendaknya menyadari bahwa suara kita adalah suara perubahan.

Pada titik ini, kita hendaknya tidak tertipu oleh pesona caleg yang ditebar selama kampanye. Boleh jadi caleg yang membungkus dirinya begitu baik selama kampanye malah tidak memiliki integritas dan kapabilitas sebagai anggota dewan. Kita tidak akan memilih caleg yang tidak jelas rekam jejak pengabdian sosialnya dan belum teruji kemampuannya. Pun, kita tidak akan tertipu oleh janji-janji caleg yang sering kali tidak terukur dan tidak jelas strateginya.
Maka, saatnya kini menjadi pemilih yang cerdas. Kita tentu tidak ingin lembaga legislatif dipenuhi penyakit korupsi dan dijadikan lahan mencari nafkah. Kita memilih secara tepat karena kita berkehendak kuat memperbaiki wajah parlemen agar benar-benar berkontribusi bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat. Jangan sampai pilihan kita tidak berdasarkan pertimbangan yang matang sehingga akan menjadi penyesalan di kemudian hari.
Sekali lagi, suara kita adalah suara perubahan. Kita bisa memperbaiki wajah parlemen menjadi lebih baik jika mampu memilih secara cerdas. Begitu sebaliknya, kita bisa saja memperburuk wajah parlemen jika caleg yang dipilih berkualitas dan berkepribadian rendah. Memilih secara cerdas meniscayakan penilaian kita terhadap visi, misi, program, strategi program, rekam jejak parpol dan caleg, dan integritas-kapabilitas caleg. Saat hari pemilihan, kita harus menjadi subyek perubahan untuk menjadikan negeri ini lebih baik lagi dengan memilih caleg yang amanah dan kontributif bagi kemaslahatan masyarakat. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta, aktif di LPM Transformasi UNY

Memilih Caleg yang Amanah

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Fadhilah Jum'at Bernas Jogja, Jum'at 3 April 2009
Masyarakat tiada henti disuguhi kampanye partai politik dan calon anggota legislatif. Kampanye yang dilakukan dalam rangka pemilihan anggota legislatif pada 9 April 2009 nanti ini tentu saja memiliki arti penting terhadap perjalanan bangsa dan negara ke depan. Lewat pemilihan anggota legislatif, beberapa dari para caleg yang kini berkampanye akan duduk di kursi parlemen.
Adapun siapa caleg yang bakal duduk di parlemen, pilihan masyarakatlah yang menentukan. Di tengah ketidakpercayaan terhadap kinerja parlemen, parlemen tetap akan diisi oleh sebagian caleg yang kini berkampanye meskipun nantinya ada masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya. Pada titik ini, upaya untuk menghadirkan wajah parlemen yang bersih dan mampu menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya tetap perlu dilakukan. Masyarakat memiliki tugas penting agar nantinya caleg yang terpilih mampu mengemban amanah dan menunjukkan kinerja positif. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya...” (Qs. An-Nisa: 58).

Dari ayat di atas, kita diwajibkan untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Terkait pemilihan anggota legislatif, kita dituntunkan untuk memilih caleg yang memang memiliki integritas dan kemampuan untuk menjalankan amanah di parlemen. Dengan memilih caleg secara tepat, kerinduan kita menyaksikan anggota-anggota legislatif yang tidak korupsi insya Allah akan terwujud. Caleg yang terpilih nantinya memang benar-benar bekerja untuk kemaslahatan hidup masyarakat.
Dalam hal ini, ada beberapa hal yang sekiranya layak kita renungkan. Jika saat ini parlemen belum menunjukkan kinerja yang baik, maka sebenarnya ada peran kita di dalamnya. Artinya, wajah parlemen yang korup dan abai terhadap kepentingan masyarakat akibat kita tidak memberikan pilihan kepada orang-orang yang benar-benar tepat untuk mengemban amanah di parlemen. Kita mungkin saja tidak cermat dan melakukan pilihan yang salah terhadap parpol yang menghasung caleg pada pemilihan umum sebelumnya. Begitu juga sebaliknya, jika kita tepat dalam memilih orang-orang yang akan duduk di parlemen, maka kita akan mendapatkan anggota-anggota legislatif yang mampu bekerja secara baik. Insya Allah, anggota legislatif yang kita pilih dalam pemilihan anggota legislatif tahun ini memang benar-benar tepat sehingga menciptakan kebaikan bagi tatanan kehidupan.
Untuk itu, tak ada salahnya jika kita memanfaatkan masa kampanye saat ini untuk menilai caleg-caleg yang kelak akan kita pilih. Kita tentu tidak ingin menyesal karena salah memilih caleg sehingga menambah derita negeri yang berkepanjangan. Rasulullah SAW pernah mengingatkan kita dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim bahwa kehancuran akan datang apabila amanah disia-siakan. ”Bagaimana bentuk penyia-nyiaannya,” tanya sahabat kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW pun bersabda, ”Apabila persoalan diserahkan kepada orang-orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya.” Ketidaktepatan kita dalam memilih caleg akan menyebabkan amanah di parlemen disia-siakan. Salah satu wujud amanah yang tidak ditunaikan secara baik adalah maraknya kasus korupsi yang kini menerpa anggota parlemen. Maka, menjadi kewajiban kita untuk memilih caleg secara tepat agar kasus korupsi tidak terjadi lagi di tubuh parlemen. Kita berkewajiban memilih caleg yang benar-benar jujur dan mampu menggunakan anggaran negara bukan untuk kepentingan diri, tapi digunakan untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
Di sisi lain, bagi caleg yang kini berkampanye hendaknya menyadari bahwa menjadi anggota legislatif bukanlah sekadar jabatan, tapi merupakan amanah yang harus ditunaikan. Ketika seseorang menjadi anggota legislatif, ia dituntut berkontribusi bagi kemaslahatan masyarakat. Tanggung jawab anggota legislatif tidaklah ringan, tapi jika tertunaikan dengan baik akan mendapatkan ganjaran dari Allah SWT. Ada pernyataan Rasulullah SAW yang bisa direnungkan oleh caleg yang kini berkampanye, ”Barangsiapa diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang yang membutuhkannya, maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat.” (HR. Ahmad)
Pungkasnya, semoga anggota-anggota legislatif yang kelak duduk di parlemen benar-benar jujur, bersih, bertanggung jawab, dan mampu menjalankan amanah secara baik. Kita memohon kepada Allah SWT agar dapat memilih caleg secara tepat yang mampu membangun negeri ini dalam limpahan berkah Ilahi. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pemerhati Masalah Agama pada Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

Saatnya Menjadi Pemilih yang Cerdas

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Kamis 2 April 2009

Hal yang menyedihkan jika Pemilu 2009 tidak menghasilkan perubahan signifikan. Tak ada jaminan pemilihan anggota legislatif pada 9 April nanti mampu melahirkan anggota-anggota dewan yang amanah. Kemungkinan terburuk pun bakal terjadi ketika anggota-anggota dewan yang terpilih justru tidak lebih baik dari sebelumnya. Lebih menyedihkan lagi, kehadiran anggota-anggota dewan yang tidak baik itu diakibatkan oleh pemilih yang tidak tepat dalam menentukan pilihan.
Entah disadari atau tidak, parlemen yang korup dan tidak bertanggung jawab sedikit banyak diakibatkan oleh masyarakat. Anggota-anggota dewan yang korup juga dipilih masyarakat ketika Pemilu. Masyarakat justru memberi jalan korupsi bagi anggota-anggota dewan ketika membiarkan money politics terjadi. Kecerdasan pemilih untuk menentukan pilihan berdasarkan rekam jejak dan program-program caleg tentu saja menjadi hal yang penting. Tidak sekadar memilih karena pernah mendapatkan uang dari caleg, tapi memilih berdasarkan pertimbangan kualitas caleg. Pemilih yang cerdas tidak memilih karena pernah memperoleh kaos dan sembako gratis, tapi karena memang melihat prestasi dan kapabilitas caleg.
Dengan demikian, kinerja parlemen yang buruk tidak sekadar kesalahan parpol dan anggota dewan semata. Ada peran masyarakat yang membuat parlemen diisi anggota-anggota dewan yang tidak bertanggung jawab. Upaya mereformasi parpol agar dapat melahirkan kader-kader yang berkemampuan dan berkepribadian memang perlu dilakukan, tapi kecerdasan masyarakat dalam memilih tidak boleh dilupakan. Masyarakat yang semakin cerdas akhirnya menyeleksi keberadaan parpol. Artinya, parpol yang memang tidak berkomitmen dan tidak mengabdi bagi kemaslahatan masyarakat akan tidak berdaya karena ditinggalkan masyarakat.

Pada dasarnya, parpol seharusnya berfungsi melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Parpol tidak hanya memobilisasi masyarakat untuk menguatkan dukungan, tapi menjadikan masyarakat berpartisipasi secara rasional. Ketika masyarakat mendukung sebuah parpol, itu didasarkan pada pengetahuan masyarakat terhadap parpol. Pengetahuan dimaksud meliputi visi dan misi parpol, tujuan parpol, rekam jejak parpol, rekam jejak kader-kader parpol, program dan strategi dari program parpol. Jika masyarakat tidak melihat parpol mampu memperjuangkan kemaslahatannya, masyarakat berhak untuk tidak memilih. Masyarakat tentu saja memiliki hak menilai parpol untuk dijadikan pertimbangan pilihan. Dalam hal ini, transparansi parpol menjadi tuntutan sehingga dukungan masyarakat tidak sekadar dukungan buta.

Namun demikian, kenyataan menunjukkan lain. Parpol selama ini masih belum melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Iklan-iklan kampanye, misalnya, memberi kesan bahwa parpol menganggap masyarakat bodoh. Parpol seolah-olah tidak bersalah mengelabuhi masyarakat dengan iklan-iklan kampanye. Jika parpol belum bisa menjadikan masyarakat cerdas, pihak nonparpol yang sebenarnya perlu turun ke lapangan. Pendidikan politik kepada masyarakat menjadi keniscayaan untuk melahirkan pemilih-pemilih yang cerdas. Sosialisasi politisi busuk, misalnya, seharusnya diintensifkan sampai masyarakat mengetahui secara jelas. Pihak media massa juga bisa berperan optimal mencerdakan masyarakat, seperti memuat rekam jejak parpol dalam pemberitaannya. Media massa bisa saja melakukan kontrol terhadap parpol dan juga caleg. Tentu saja, waktu masih tersedia untuk menjadikan masyarakat menjadi pemilih yang cerdas sampai 9 April 2009 nanti.

Bagi masyarakat, pemilu legislatif hendaknya dijadikan momentum untuk melakukan perubahan. Jika masyarakat berperan memperburuk wajah parlemen jika asal-asalan memilih caleg, maka masyarakat juga berperan memperbaiki wajah parlemen. Untuk itu, masyarakat perlu memikirkan secara matang pilihan politiknya. Masyarakat tetap harus kritis dan tidak mudah tertipu terhadap setiap kampanye para caleg. Masyarakat perlu memeriksa lebih lanjut rekam jejak pengabdian sosial caleg. Rekam jejak berupa pengabdian sosial akan menentukan perilaku politiknya ketika terpilih. Jika selama ini miskin pengabdian yang dilakukan di kehidupan masyarakat, maka caleg itu layak dipertanyakan. Pun, masyarakat perlu mengetahui apakah caleg terlibat dalam kasus korupsi ataupun tindak pidana lainnya untuk selanjutnya berani untuk tidak memilih caleg bersangkutan.

Selain itu, masyarakat juga perlu mengetahui lebih mendalam kehidupan keluarga dari caleg. Kehidupan keluarga bisa menjadi gambaran kepemimpinan dari caleg. Jika memimpin kehidupan keluarga saja kurang baik, maka dimungkinkan tidak baik pula kepemimpinannya dalam skala lebih luas. Kepemimpinan dalam keluarga adalah miniatur kepemimpinan dalam lingkup negara. Tak kalah penting lagi yang perlu diketahui masyarakat adalah keimanan dan ketakwaan dari caleg yang mampu menumbuhkan kesadaran bahwa jabatan politiknya juga dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Semoga dengan memilih secara cerdas, masyarakat mampu menghasilkan anggota legislatif yang bersih, bertanggung jawab, dan peduli terhadap masyarakat. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute pada Universitas Negeri Yogyakarta