Cerita Cinta Sepasang Anak Geng

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Buku SUARA MERDEKA, Minggu, 21 April 2013 
 
Judul Buku: Kutunggu Jandamu di Jakarta Penulis: Budi Anggoro Penerbit: Laksana, Yogyakarta Cetakan: I, Januari 2013 Tebal: 293 halaman ISBN: 978-602-7665-73-6 

Keberadaan geng di tengah masyarakat kerapkali dicitrakan negatif. Padahal, mereka tak selalu buruk. Sebagaimana hasrat untuk hidup berkelompok, anak-anak muda yang membentuk geng didasari kesamaan, entah latar belakang keluarga, usia, hobi, tujuan hidup, atau lainnya. Sebagaimana dalam novel ini, kita diajak untuk menelusuri kehidupan anak-anak geng dengan sekelumit lika-likunya. Nama geng itu adalah X-Dancers di Wonosobo, salah satu kota di Jawa Tengah.

Ada sepuluh anak dalam geng itu, yakni Sari, Mega, Amalia, Darmaji, Arif, Abdul, Warik, Farid, dan Satrio. Latar belakang keluarga maupun kehidupan mereka rata-rata berasal dari keluarga yang terpinggirkan secara status sosial. Yang berbeda hanya Farid dan Satrio, yang sebenarnya keluarganya cukup kaya. Rata-rata mereka bisa dikatakan berasal dari keluarga yang broken home. Mereka menyatu dalam geng X-Dancers karena kesukaannya pada musik reggae (hlm. 23-33). 

Sebagai sebuah geng, mereka terbilang kreatif dan inovatif dalam menciptakan tarian-tarian setiap konser musik di alun-alun kota Wonosobo. Persahabatan mereka terjalin tanpa pamrih. Suka-duka dibagi bersama. Di antara mereka tumbuh sikap saling pengertian. Lewat novel ini, kita bisa melihat kehidupan mereka untuk tak menghakimi secara hitam putih. Kebanyakan kita kerapkali menaruh pandangan sinis terhadap anak-anak geng. Padahal, kita bisa belajar memaknai hidup dari mereka. Sebut saja makna kebahagiaan menurut geng X-Dancers. Bagi mereka, kebahagiaan itu tak ada kaitannya dengan sedikit banyaknya harta benda, kedudukan atau jabatan. Yang penting adalah cara menyikapi dan menikmati hidup. Mereka malah berusaha mengendalikan harta benda maupun kebutuhan apapun sesuai dengan kemampuan diri mereka. Yang mereka inginkan adalah kebahagiaan hati semata. 

Persepsi buruk terhadap anak-anak geng menghinggap pula di benak Pak Iwan. Bapaknya Sari itu menganggap masa depan teman-temannya Sari tak jelas. Konflik pun muncul ketika Pak Iwan memaksa Sari menjadi buruh migran atau menikah dengan laki-laki kaya. Sebagai anak sulung, Sari ditekan bapaknya agar mampu meringankan beban ekonomi keluarga. Apalagi bapaknya usai di-PHK sebagai buruh pabrik. Dengan menikahi suami yang kaya, ekonomi keluarga akan turut tertolong. Sari bingung setengah mati, sebab tak ada rasa cinta sedikit pun dengan laki-laki pilihan bapaknya. Cintanya hanya tertambat pada Satrio. Satrio sendiri juga mencintai Sari. 

Permasalahan Sari menjadi perhatian seluruh anggota gengnya. Namun, Pak Iwan memang kalap. Tanpa persetujuan Sari, ia menerima lamaran Haydar. Perasaan Sari bergoncang. Betapa besar cinta Sari untuk Satrio. “Tapi, aku sangat mencintainya, Pak. Walau hidup Mas Satrio masih susah, tapi aku ikhlas. Aku rela kalau pun nantinya aku dan Mas Satrio harus hidup kekurangan,” ucap Sari di hadapan bapaknya. Pikiran Pak Iwan yang memberhalakan materi merespons kurang bijak, “Ah itu kan teori saja! Teori orang-orang yang lagi dimabuk cinta saja.”(hlm. 215). 

Satrio yang mengetahui kabar pernikahan yang dipaksakan antara Sari dan Haydar dibuat kusut. Setelah pernikahan Sari itu, Satrio memutuskan pergi ke Jakarta, sebab kota Wonosobo membuat dirinya tak mungkin tenang. Lewat ponsel, Satrio berucap kepada Sari, “…maka mulai sekarang ini, aku bertekad akan menunggu jandamu di Jakarta, Sayang. Kutunggu jandamu di Jakarta.”(hlm. 261-270).

Jalan cinta dua sejoli di dunia ini memang tak serupa. Tekad Satrio tetap menantikan Sari adalah keputusan cinta. Bukan kawin lari dengan Sari, tapi menunggu Sari menjadi janda. Ketetapan Satrio ini ternyata digenapkan waktu. Pasalnya, Sari mengajukan gugatan cerai ke suaminya setelah rumah tangganya dipenuhi kekerasan dan jauh dari ketenteraman. Fenomena Satrio dan Sari tak dimungkiri kerapkali terjadi di tengah masyarakat. Maraknya istri yang mengajukan gugutan cerai, salah satunya disebabkan kasus seperti dialami Sari. Itu tentu sebentuk keberanian seorang perempuan untuk menegakkan martabat di hadapan suami yang kerapkali berbuat aniaya. 

Novel ini bisa menjadi pelajaran untuk menguatkan kehidupan keluarga tak sekadar pada faktor materi semata. Kebutuhan emosional dan spiritual juga diperlukan. Adakalanya orangtua merasa telah membesarkan anak, namun ternyata kurang begitu memahami sisi psikologi anak. Kebahagiaan menurut persepsi orangtua kerapkali dipaksakan, padahal anak sama sekali tak merasakan kebahagiaan berdasarkan persepsi orangtuanya itu.(Hendra Sugiantoro).

0 komentar: