Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di REPUBLIKA DIY-JATENG, Selasa, 19 Februari 2013
Gerakan 10 menit membaca diluncurkan dalam
Festival Pelajar Yogyakarta 2012 pada Minggu (6/5) lalu. “Melalui gerakan ini,
kami ingin mengajak pelajar dan masyarakat untuk bisa melakukan kebiasaan baik
dengan membaca setidaknya 10 menit sebelum beraktivitas,” kata Koordinator
Seksi Acara Festival Pelajar Yogyakarta Salma Karima (Republika Online, 6/5).
Apakah gerakan yang dimotori Forum
Komunikasi Pengurus OSIS (FKPO) dan Forum Antar-Kerohanian Islam (Farohis)
pelajar se-Kota Yogyakarta tersebut bisa berjalan maksimal?
Fuad Hassan (2004) pernah berujar
bahwa budaya baca hanya bersemi manakala kita secara sadar mengisi waktu (to fill time) dengan membaca, bukan
membaca sekadar untuk menghabiskan waktu (to
kill time). Membaca tentu tak bisa dibatasi waktu. Siapa pun bisa mengisi
waktunya dengan membaca kapan saja dan di mana saja. Dalam hal ini, peluncuran gerakan
10 menit membaca tetap perlu diapresiasi. Poin pentingnya adalah adanya
kesadaran pelajar membudayakan membaca. Diharapkan agar guru-guru di sekolah
memberi respons. Seperti apakah?
Faktor keteladanan tentu penting.
Guru juga harus gemar membaca. Di samping itu, dengan mengelola kegiatan
belajar dan mengajar di kelas. Pertama, guru menganjurkan pelajar untuk membaca
buku. Kedua, guru menceritakan satu kejadian yang dibaca dari berbagai sumber
(misalnya buku, koran, majalah) sebagai titik tolak pembelajaran. Ketiga, guru
meminta pelajar menceritakan peristiwa yang pernah mereka baca. Keempat,
memberi tugas membaca kepada pelajar secara berkesinambungan (Wardani dalam
Farida Rahim, 2007).
Di dalam kelas, guru tak melulu meminta pelajar
terus mencatat apa diterangkan atau yang ditulis di papan tulis. Suasana
diskusif juga diperlukan. Sebab, papar Said Tuhuleley (2004), dengan melakukan
itu pelajar akan merasa perlu menyiapkan diri sebaik-baiknya. Pelajar semakin memperdalam
pengetahuannya. Pelajar akan merasa risih apabila dalam setiap kesempatan
bertanya atau berdialog hanya duduk diam karena keterbatasan wawasannya.
Pastinya guru bertugas membangun suasana dialogis di dalam kelas agar semua pelajar
terangsang untuk berpartisipasi.
Pada dasarnya, banyak alternatif
bisa dilakukan guru disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Selain itu, saatnya
pihak sekolah mengoptimalkan fungsi perpustakaan. Langkah progresif perlu
dilakukan dengan memosisikan perpustakaan sebagai “jantung sekolah”. Lokasi
perpustakaan, bangunan perpustakaan, petugas perpustakaan, ketersediaan bahan
bacaan, dan hal terkait lainnya perlu diperhatikan. Jumlah ideal buku di
perpustakaan sekolah, saran Asosiasi Membaca Internasional (1999), adalah 20
kali jumlah murid.
Terkait penyediaan buku di
perpustakaan tampaknya perlu kerja sama pihak-pihak lainnya, seperti dengan Bank
Buku Jogja yang dikelola Perpustakaan Kota Yogyakarta. Penerbit-penerbit buku
di Yogyakarta tak ada salahnya menyumbangkan sekian persen dari produksi
bukunya yang sesuai dengan kebutuhan pelajar. Jika ada kemauan, ada jalan
lainnya yang bisa ditempuh. Pungkasnya, mari kita dukung budaya membaca pelajar
Yogyakarta yang istimewa. Wallahu a’lam.