Ajip Rosidi Mengenang Orang Lain

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Merdeka, Minggu 28 Oktober 2010


Judul Buku: Mengenang Hidup Orang Lain Sejumlah Obituari Penulis: Ajip Rosidi Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta Cetakan: I, Januari 2010 Tebal: x+471 halaman

Mochtar Lubis yang kerap disebut wartawan jihad dengan surat kabar Indonesia Raya-nya dikenal Ajip sebagai orang berpendirian teguh dalam menentang kezaliman dan memperjuangkan martabat kemanusiaan. Keluar masuk penjara dialami Mochtar, baik ketika era Orde Lama maupun Orde Baru.

Mochtar pernah diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman sekitar tahun 1950-an. Pengadilan terhadap Mochtar mungkin akibat keberaniannya menguak kasus korupsi dalam birokrasi pemerintahan. Mochtar naik banding, padahal telah disarankan Jaksa Agung Suprapto waktu itu agar menerima saja hukuman yang diberikan berupa percobaan beberapa bulan. Jika naik banding, Mochtar akan terus ditahan selama keputusan belum keluar. Namun, Mochtar menolak, karena menerima keputusan pengadilan berarti mengaku bersalah. Soal prinsip inilah yang menyebabkan Mochtar sejak tahun 1956 sampai tahun 1966 terus ditahan tanpa diadili. Selama penahanan ini tak selamanya dalam penjara, kadang Mochtar menjadi tahanan rumah.

Mochtar pernah menasehati Ajib agar membiasakan menulis setiap hari. Dengan demikian, karya sastra seperti roman bisa diselesaikan di tengah kesibukan sehari-hari. Namun, kata Ajib, nasehat itu tak bisa dilaksanakan. Ajib mengaku menulis karya sastra biasanya sekali jalan. Dalam usia tuanya, Mochtar dilanda kepikunan. Ajib kerap merasa trenyuh menyaksikan kondisi Mochtar yang tergeletak tak berdaya sampai akhirnya menjemput takdir kematian.

Soal Pramoedya Ananta Toer, ada hal menarik dipaparkan Ajib. Ketika Ajib tengah mengetik di rumah sewaannya di Kramatpulo, tiba-tiba terdengar ketukan. Setelah dibuka, Pram lalu berucap, “Kau ada nasi tidak? Aku sudah beberapa hari tidak makan!” Pram memang tengah menghadapi kesulitan keuangan. Surat kabar tidak lagi memuat karangannya, penerbit-penerbit pun tak mencetak lagi karya Pram. Hal itu akibat Pram diidentifikasikan sebagai orang kiri. Terkait dengan Pram, Ajib memiliki pandangan dan argumentasi tersendiri. Pram tidak dekat dengan “orang-orang kiri”, tapi didekati. Hanya kedekatan lalu dituduh sebagai komunis tidaklah terlalu tepat. Kata Ajib, sikap antikomunis yang seperti itu malah menjeremuskan sastrawan seperti Pram dan Utuy T. Sontani ke pihak kiri. Jika dilakukan pula pendekatan dari pihak antikomunis secara manusiawi, sastrawan-sastrawan itu takkan terjerumus ke kubu komunis. Di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Pram hanya dicantumkan namanya dalam susunan pengurus. Namun, Pram tak aktif di dalamnya karena memang tak tertarik pada organisasi. Pencantuman namanya dianggap Pram hanya sebagai kehormatan. Pram pernah menjadi redaktur Lentera dalam surat kabar Bintang Timur. Secara formal, surat kabar itu milik Partindo, bukan media PKI.

Pada masa lalu banyak sastrawan yang memiliki haluan berbeda. Namun, pandangan politik tidak merenggangkan persahatan secara pribadi, termasuk dengan S.I. Poeradisastra—yang saat itu menggunakan nama Boejoeng Saleh. Boejoeng Saleh yang seorang Marxis akhirnya mengakui adanya Tuhan sekeluarnya dari Pulau Buru pada tahun 1976.

Dalam 50 obituari yang dituliskan Ajib, ada sisi-sisi lain yang kerap terlupakan dalam penulisan sejarah konvensional. Bagaimana Ajib mengenang W.S. Rendra, Asrul Sani, Ramadhan K.H, Armijn Pane, Mohammad Diponegoro, dan lain-lainnya? Dapat dibaca di buku ini. Begitu pula ada kenangan Ajib terhadap H. Ali Sadikin, Sjafruddin Prawiranegara, Deliar Noer, dan banyak sosok lainnya. (HENDRA SUGIANTORO)

--