Berjuang di Tengah Keterbatasan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu, 26 Februari 2012

Judul Buku:
Berjalan Menembus Batas Penulis: A. Fuadi, dkk. Penerbit: PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta Tahun: I, Januari 2012 Tebal: xvi+172 halaman

Kisah yang tertuang dalam buku ini bukan kisah politisi ataupun artis yang saban hari menguasai media massa. Buku ini hanya mengisahkan perjuangan hebat manusia-manusia biasa yang hidup nyata tanpa kepalsuan membangun citra. Dan, kisah dalam buku ini, urai A. Fuadi, mengingatkan kita pada kisah kebanyakan anak bangsa yang ingin maju, tetapi kemajuan kerap dihambat oleh batas-batas.

Bagi kita, keterbatasan dalam hidup kerapkali dianggap permasalahan besar yang menghambat cita-cita. Sebut saja kemiskinan harta, penyakit, cacat fisik, dan sebagainya. Dengan membaca buku ini, kita dapat menyaksikan bahwa keterbatasan bukanlah penghalang. Manusia-manusia yang menceritakan atau diceritakan dalam buku ini selalu berjuang di tengah keterbatasan hidup. Kisah dari mereka menegaskan bahwa impian dan cita-cita bukan sekadar angan-angan, tetapi harus diperjuangkan.

Buku ini layak dibaca oleh siapa pun. Terbagi dalam tiga bagian, yakni melawan keterbatasan harta, menahan rasa sakit, dan menembus batas usaha. Kisah dalam buku ini akan memberikan inspirasi, spirit, dan motivasi bagi kita untuk berpikir lebih tangkas, bergerak lebih giat, dan bekerja lebih keras. Kita mampu mewujudkan apapun selama kita memiliki mimpi dan tindakan besar disertai doa memanjang.

Menembus batas, tutur A. Fuadi, memang hanya bisa dilakukan dengan tidak berhenti ketika derita datang, tetapi terus tegak, bangkit, dan bangun mengatasi semua cobaan. Banyak alasan dalam hidup ini yang bisa membuat kita menyerah pada nasib. Namun, kita selayaknya tidak menyerah. Kita harus terus melangkah, menabrak batas-batas semu yang diciptakan problem dan persepsi orang. Hadiah bagi para penembus batas, kata A. Fuadi, adalah keberhasilan, ketenangan, dan kemenangan. Selamat menembus batas! (HENDRA SUGIANTORO, penikmat buku, tinggal di Yogyakarta).

bisnis syariah

Kita Manusia Hebat

Bangsa ini sepertinya selalu melihat dunia serba kacau dan terpuruk. Padahal, ada kebaikan di sekitar kita setiap harinya. Mungkin pernyataan itu memang benar. Sebut saja kasus korupsi yang terus-menerus terjadi tanpa jeda. Kekerasan pun marak di mana-mana. Pelanggaran terhadap hak setiap manusia untuk hidup dan berkembang kerapkali mencuat. Kemiskinan menjadi wajah getir. Tawuran pun menggejala. Ada pula penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Begitu banyak hal menyedihkan lainnya yang terpampang di depan mata.

Namun, sesungguhnya bangsa ini tidaklah sepi dari manusia-manusia hebat. Lihat saja kita yang menyayangi dan mendidik anak dengan penuh asa. Kita yang terus membanting tulang mencukupi kebutuhan keluarga. Kita yang tanpa letih menjajakan dagangan di pasar. Kita yang penuh dedikasi mendidik murid-murid. Kita yang tekun menuntut ilmu. Kita yang menolak cara instan mendapatkan prestasi studi maupun karir. Kita yang tak mau berlaku curang untuk memperoleh laba perusahaan. Kita yang menjaga kelancaran dan ketertiban lalu lintas. Kita yang menjadi pemimpin penuh integritas.

Sesungguhnya kita memang manusia hebat yang giat berjuang tanpa kesah dan keluh. Kitalah manusia hebat yang tak sudi menggadaikan kejujuran dengan jutaan rupiah. Kitalah manusia hebat yang terus memberikan manfaat positif bagi kehidupan. Kitalah manusia hebat yang memberanikan diri menentang kemungkaran. Kitalah manusia hebat yang begitu bahagia apabila bisa membuat orang lain bahagia. Kitalah manusia hebat yang memberikan segala potensi untuk kebangunan masyarakat.

Bangsa ini memang membutuhkan kita sebagai manusia hebat. Manusia hebat yang menampakkan kehebatannya sehari-hari.
Kehebatan ini, kata Stephen Covey (2006), berkaitan dengan watak dan kontribusi. Sesungguhnya kehebatan bukanlah gelar akademik yang tertera dalam nama. Kehebatan utama bukanlah kekayaan dan jabatan yang tinggi. Kehebatan yang sejati adalah sikap dan peilaku untuk menampakkan kebaikan sehari-hari. Apapun kemampuan yang dimiliki, kitalah manusia hebat yang berkarakter dan memiliki kontribusi positif. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Yogyakarta

Mahasiswa dan Keterampilan Membaca

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini RADAR JOGJA, Sabtu 25 Februari 2012

The Liang Gie (1984) memaparkan bahwa melakukan studi hampir identik dengan membaca. Pernyataan ini benar adanya. Apalagi bagi mahasiswa di perguruan tinggi, aktivitas membaca merupakan harga mati yang tak mungkin ditawar. Mahasiswa dituntut untuk dapat memperkaya dan mengembangkan kapasitas pemikiran dan pengetahuannya dengan mengkaji berbagai bahan bacaan dari beragam sumber. Pertanyaannya, bagaimana aktivitas membaca mahasiswa pada umumnya?

Begitu banyak opini yang menyebutkan bahwa budaya membaca yang dimiliki mahasiswa masih rendah. Namun, rendahnya budaya membaca mahasiswa tidak bisa digeneralisasi. Di samping ada mahasiswa yang malas membaca, ada pula mahasiswa yang memiliki tradisi membaca yang baik. Bagi mahasiswa yang tekun membaca, tugas-tugas perkuliahan dipastikan dapat dikerjakan secara maksimal. Dalam ujian, mahasiswa memiliki kepercayaan diri untuk menjawab setiap soal yang diberikan. Dari awal menempuh bangku kuliah sampai menyelesaikan tugas akhir untuk mendapatkan gelar akademik, membaca jelas tidak bisa ditinggalkan.

Sebaliknya, bagi mahasiswa yang malas membaca, kepercayaan diri cenderung tidak dimiliki. Mahasiswa yang malas membaca mengandalkan mahasiswa lainnya dalam mengerjakan tugas perkuliahan. Perilaku mencontek pun dilakukan saat menghadapi ujian. Bahkan, ketika menghadapi ujian yang bersifat open book, ada mahasiswa yang masih juga bertanya-tanya kepada peserta ujian lainnya. Fatalnya, tugas akhir untuk menamatkan jenjang pendidikan tinggi meminta pihak lain untuk mengerjakan. Tanpa tradisi membaca, mahasiswa cenderung pasif dan memiliki rasa ingin tahu yang rendah.

Persoalan minimnya tradisi membaca di kalangan mahasiswa tentu membutuhkan perhatian dan solusi. Mahasiswa perlu terus diinspirasi, dimotivasi, dan diagitasi agar tekun dan giat membaca. Demi kemajuan studi, membaca merupakan keterampilan pokok yang terus-menerus diperlukan oleh mahasiswa (Pujiati Suyata: 1990). Pada titik ini, tidak ada kata terlambat bagi mahasiswa untuk terus melatih dan mengasah keterampilan membaca. Dalam konteks mahasiswa di perguruan tinggi, keterampilan membaca pemahaman merupakan keterampilan membaca yang ditekankan. Menurut konsep dari Nurhadi (dalam Eti Nurhayati: 2011), keterampilan membaca pemahaman memiliki tiga tingkatan, yakni keterampilan membaca literal, keterampilan membaca kritis, dan keterampilan membaca kreatif.

Pada keterampilan membaca literal, mahasiswa hanya memiliki kecakapan mengenal dan menangkap bahan bacaan yang tertera secara eksplisit. Mahasiswa hanya memperhatikan setiap baris kalimat dan berusaha menghafalnya. Berbeda dengan tingkatan pertama, keterampilan membaca kritis telah melibatkan aspek berpikir kritis. Mahasiswa berusaha menyelami apa yang tertera dalam bahan bacaan dan mencoba menggali makna. Tentu tak sekadar dihafal, mahasiswa dengan keterampilan membaca kritis dimungkinkan tidak menerima apa yang dipaparkan. Bahkan, mahasiswa memahami konsep dari apa yang dibacanya. Adapun mahasiswa dengan keterampilan membaca kreatif tak sekadar membaca bahan bacaan, namun mencoba menerapkan apa yang dinilai positif. Dengan kata lain, membaca untuk hidup. Mahasiswa dengan keterampilan membaca kreatif mempraktikkan apa yang dibacanya, bahkan terdorong untuk menghasilkan tulisan-tulisan akibat proses interaksi dan refleksi atas bahan bacaan.

Keterampilan membaca bagi mahasiswa tampaknya perlu diasah, dilatih, dan ditingkatkan. Glenn Doman (dalam Ummu Shofi: 2008) menyatakan bahwa membaca merupakan salah satu fungsi tertinggi otak manusia dari semua makhluk hidup di dunia ini, karena hanya manusialah yang dapat membaca. Membaca juga merupakan salah satu fungsi penting dalam hidup. Semua proses belajar dapat dikatakan didasarkan pada proses membaca. Dengan kata lain, mahasiswa yang tidak memiliki keterampilan dan kemampuan membaca dapat dikatakan belum benar-benar memfungsikan otaknya. Dengan membaca, mahasiswa melakukan aktivitas pencarian informasi lalu diproses hingga mengendap menjadi sebuah pengetahuan. Pengetahuan itu sendiri akhirnya menjadi dasar untuk dinamisasi kehidupan, memperlihatkan eksistensi kehidupan, berjuang mempertahankan hidup, dan mengembangkannya dalam bentuk sains dan teknologi sebagai kebutuhan hidup manusia (Dede Endang M: 1990).

Sesungguhnya membaca tidak sekadar untuk kepentingan studi semata. Dalam kehidupan, mahasiswa perlu memiliki budaya membaca yang baik. Sesungguhnya membaca dapat mengembangkan kemampuan empati untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, memasuki ruang sosial dan berinteraksi dengan dunia-dunia baru yang lebih luas, menajamkan kemampuan memecahkan persoalan, mendorong perencanaan untuk melakukan tindakan-tindakan produktif, dan membangkitkan rasa ingin tahu untuk melakukan eksplorasi dan eksperimen (Jalaluddin Rakhmat: 2005).

Untuk dapat mendapatkan manfaat membaca di atas, keterampilan membaca tentu harus dimiliki. Dalam hal ini, mahasiswa perlu memiliki motivasi dan kesadaran internal untuk mengembangkan keterampilan membacanya. Masih ada harapan membaca! Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pembelajar pada FKIP Universitas PGRI Yogyakarta

Kejujuran Mahasiswa

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Kampus SUARA MERDEKA, Sabtu, 18 Februari 2011

Kejujuran barangkali merupakan karakter yang paling “mahal” sekarang ini. Betapa sulitnya menemukan kejujuran (Ki Supriyoko: 2008, Marzuki: 2010). Tak hanya di ranah kekuasaan dengan perilaku koruptifnya, tetapi juga di dunia pendidikan. Kejujuran telah hilang dari hati nurani insan-insan terdidik. Tanpa bermaksud melakukan generalisasi, fakta tersebut tak mungkin dimungkiri. Ketidakjujuran menggejala di mana-mana, bahkan menjangkiti mahasiswa sebagai salah satu insan terdidik di perguruan tinggi.

Bukti sahih ketidakjujuran itu dapat disaksikan saat perhelatan ujian tengah semester (UTS) atau ujian akhir semester (UAS). Tanpa merasa takut, malu, dan bersalah, ada sebagian mahasiswa yang berani mencontek. Memang ada pengawas ujian, namun mahasiswa seolah-olah tak mempedulikan. Mahasiswa sepertinya kurang percaya diri dengan kemampuan dan hasil pekerjaan sendiri. Bahkan, ada mahasiswa yang masih juga bertanya-tanya dengan peserta ujian lainnya meskipun ujian bersifat open book!

Pada dasarnya, perilaku ketidakjujuran tak hanya terkait dengan UTS ataupun UAS. Dalam pengerjaan tugas kuliah pun masih dijumpai mahasiswa yang tak bisa jujur. Dalam hal ini, ada peristiwa menarik yang ingin penulis ceritakan. Dalam suatu perkuliahan yang diikuti penulis, dosen meminta seluruh mahasiswa menyusun makalah secara individual. Ketika pengumpulan tugas makalah, dosen tersebut memeriksa satu persatu makalah. Mungkin apa yang dilakukan dosen tersebut tidak pernah diperkirakan oleh mahasiswa. Apa yang terjadi? Dosen tersebut menemukan beberapa makalah yang isinya sama persis. Artinya, lebih dari satu mahasiswa mengumpulkan makalah yang isinya tidak berbeda meskipun tugas makalah bersifat individual! Salutnya, dosen tersebut juga mengetahui makalah-makalah mahasiswa lainnya yang sekadar copy paste dari internet.

Apa yang diutarakan di atas hanya sebagian contoh dari banyaknya kasus ketidakjujuran lainnya. Mahasiswa tentu memiliki pemahaman dan kesadaran bahwa ketidakjujuran merupakan sikap dan perilaku yang tidak dihalalkan. Fungsi pengontrolan dan pengawasan memang diperlukan agar mahasiswa bisa berlaku jujur. Namun, apakah mahasiswa harus dikontrol dan diawasi selamanya agar bisa menegakkan kejujuran?

Sebagai individu manusia dewasa, mahasiswa selayaknya bisa bertanggung jawab 100% atas perilakunya sendiri. Mahasiswa tentu tidak perlu diajari lagi tentang etika dan moralitas, karena mahasiswa pastinya telah mengetahui mana perilaku yang positif dan mana perilaku yang tidak positif. Ketidakjujuran merupakan perilaku tidak positif. Thomas Lickona (1992) menyebut membudayanya ketidakjujuran sebagai salah satu tanda sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran (Dwi Budiyanto: 2011; Agus Wibowo: 2012). Artinya, apabila mahasiswa sebagai agent of change dan iron stock telah membiasakan perilaku tidak jujur, maka mahasiswa turut berperan menghancurkan bangsa ini.

Maka, kejujuran sebagai sebuah perbuatan utama selayaknya tidak berhenti pada pengetahuan semata, tetapi hendaknya menjadi pola sikap dan tindakan yang dimiliki mahasiswa. Mengacu pada Hukum Kekekalan Energi, setiap perilaku yang tak baik sebenarnya akan memberikan dampak yang tidak baik. Dampak yang terjadi itu bisa dirasakan saat ini atau malah di masa mendatang. Ketidakjujuran mahasiswa mungkin bisa membuat prestasi akademiknya memuaskan dan lulus dengan baik, namun mahasiswa akan menerima akibat buruknya suatu saat. Dalam khazanah Jawa dikenal pepatah yen ora jujur ajur. Pepatah ini memiliki makna yang perlu diresapi oleh mahasiswa secara mendalam.

Menurut penulis, untuk dapat menegakkan kejujuran, mahasiswa tidak perlu mencari dalih di luar dirinya, misalnya “menyalahkan” pemimpin dan pejabat publik yang kurang dapat dijadikan teladan dalam hal kejujuran. Memang keteladanan itu penting, namun mahasiswa sebagai individu dewasa perlu menantang dirinya agar bisa menunjukkan sikap dan perilaku yang patut dicontoh. Mahasiswa perlu mendidik dirinya sendiri menjadi insan yang berkarakter positif. Berdasarkan hasil survei sebuah lembaga leadership internasional The Leadership Chalenge pada tahun 1987, 1995, dan 2002 di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Eropa, dan Australia (dalam Budiyanto: 2008), pribadi yang jujur merupakan salah satu kompetensi diri dari sebuah karakter yang positif itu.

Mungkin ketidakjujuran yang dilakukan mahasiswa akibat bersemayamnya mentalitas pragmatis. Mahasiswa ditengarai mulai terjebak pada kepentingan hasil semata tanpa memperhatikan proses. Ketidakjujuran bisa juga karena rendahnya motivasi berprestasi. Djamaludin Ancok (2004) menerangkan adanya kaitan antara motivasi berprestasi dengan perilaku individu. Rendahnya motivasi berprestasi yang dimiliki mahasiswa (low achievement motivation) memungkinan terciptanya perilaku tidak jujur. Sebaliknya, mahasiswa yang motivasi berprestasinya tinggi selalu ingin mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya, mengerjakan sesuatu dengan sejujur-jujurnya. Semoga mahasiswa selalu menegakkan kejujuran di mana pun. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute, pembelajar di Universitas PGRI Yogyakarta

Sejarah dalam Catatan Kecil Rosihan Anwar

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Buku HARIAN JOGJA, Kamis, 16 Februari 2012

Judul Buku: Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 4 Penulis: Rosihan Anwar Penerbit: Kompas, Jakarta Tahun: I, 2010 Tebal: xiv+282 halaman Harga: Rp. 54.000,00

Pada 17 Februari 1946, turun hujan lebat di Jakarta. Di tengah cuaca seperti itu diperingati enam bulan berdirinya Republik Indonesia. Saat itu surat kabar Merdeka di mana Rosihan Anwar turut bekerja menerbitkan sebuah edisi peringatan. Peringatan di berbagai kota memiliki warna tersendiri. Sejak proklamasi kemerdekaan, kondisi Indonesia memang belum benar-benar aman.

Ketika itu, Sutan Sjahrir, yang menjabat perdana menteri, mengeluarkan pesan, “Kejadian-kejadian selama enam bulan yang lalu itu adalah gambaran yang nyata daripada perjalanan penghidupan kita. Segala penderitaan yang pahit adalah sebenarnya sumbangan belaka bagi perjuangan kita yang telah kita pilih, yakni lepas dari perbudakan untuk menjadi bangsa yang merdeka. Meskipun masa yang akan datang akan lebih sesak bagi kita sekalian, marilah kita membulatkan niat selama masih bernafas akan terus-menerus memberikan sumbangan untuk mendapatkan kedudukan yang bagus dalam alam kemerdekaan dan kedewasaan bangsa dan negara.”

Rosihan Anwar yang dikenal sebagai wartawan empat zaman yang mumpuni diakui tak pernah lupa untuk mencatat setiap detail peristiwa. Buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia membuktikan hal itu. Sejak terbit jilid 1 hingga kini jilid 4, buku ini bisa memberikan gambaran terkait kejadian-kejadian yang mungkin kita anggap kecil, tetapi turut menentukan sejarah eksistensi Indonesia. Sebut saja peristiwa saat sidang panitia kemerdekaan pada Minggu, 19 Agustus 1945. Pemerintahan dibentuk tidaklah seketika, tetapi disertai ketegangan, ribuan tanda tanya, kegelisahan, dan pembicaraan yang tersendat.

Diceritakan Rosihan Anwar, keputusan ketika itu sulit dirumuskan. Diketuai Soekarno, suasana sidang tak terlalu cerah. Wakil rakyat dari seluruh Indonesia hadir di dalamnya. Wakil Bali, Mr. Poedje, jarang buka mulut. Dr Amir, wakil dari Sumatera, sepertinya tak ada minat. Kiai Wahid Hasyim suka berdiri dari kursinya dan mondar-mondar keluar. Sajuti Melik mengajukan pertanyaan yang tak mudah dijawab.

Rosihan Anwar juga bercerita saat mendapatkan kunjungan dari A.A. Navis, seorang sastrawan terkenal Indonesia. A.A Navis bercerita telah mengunjungi arsip nasional di negeri Belanda dan membaca dokumen-dokumen mengenai usaha Belanda membentuk Daerah Istimewa Minangkabau. Sejak Konferensi Malino pada Juli 1946, Letnan Gubernur Jenderal Dr. H.J. van Mook memang getol dengan ide menyusun suatu negara Indonesia Serikat untuk mengimbangi Republik Indonesia. Belanda pun mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT) yang dipimpin Presiden Sukawati, Daerah Istimewa Kalimantan Barat dipimpin Sultan Pontianak Hamid Alkadri, Negara Pasundan dengan Wali Negara Wiranatakusuma, Daerah Istimewa Sumatera Timur dipimpin Dr. Tengku Mansur. Belanda juga hendak membentuk Negara Jawa Tengah, tetapi Sultan Hamengku Buwono IX yang akan diangkat sebagai pemimpin menolak sehingga Negara Jawa Tengah tak berhasil dibentuk. Nah, rupanya untuk Sumatera Barat juga akan dibentuk Daerah Istimewa Minangkabau. Karena tak ada tokoh pemimpin yang menonjol dari daerah itu, maka usaha Belanda gagal.

Selain itu, Rosihan Anwar juga memaparkan soal munculnya istilah angkatan 45 dalam sastra Indonesia, peristiwa show of force tentara pada 17 Oktober 1952, dan hal lainnya yang layak kita simak. Ada juga cerita tentang Soedjatmoko, Soe Hok Gie, Tan Malaka, Ajip Rosidi, dan sebagainya. Lewat buku ini, kita mungkin akan mendapatkan kisah yang tercecer dan jarang terungkapkan.
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta

Eksistensi Guru BK di Sekolah

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Rabu, 15 Februari 2012

Pendidik memegang peranan penting agar proses pendidikan terhadap siswa di sekolah berjalan maksimal dan optimal. Sebutan pendidik ini tak hanya guru kelas dan guru bidang studi, tetapi juga guru Bimbingan dan Konseling (BK) atau seringkali disebut konselor.

Sebagaimana tugas-tugas yang dilakukan guru kelas ataupun guru bidang studi, guru BK juga tak bisa menghindar dari interaksi dengan siswa. Guru BK berusaha memberikan layanan kepada siswa dengan tujuan agar siswa mencapai kehidupan bermakna bagi diri dan selanjutnya dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungannya. Proses pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan pengajaran dengan mengabaikan bidang bimbingan mungkin hanya menghasilkan individu siswa yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek psikososiospiritual (Syamsu Yusuf dkk: 2005).

Melihat perjalanan BK di sekolah memang diakui mengalami jalan berliku-liku. Eksistensi BK pernah dipandang sebelah mata, sehingga unjuk kinerjanya tak diapresiasi. Kualifikasi guru BK pun sempat dipertanyakan karena ada beberapa sekolah sekadar mengambil guru-guru bidang studi yang notabene tak pernah memperoleh wawasan, kepengetahuan, dan keterampilan tentang ke-BK-an. Malah BK di sekolah pernah mendapatkan stigma tak positif dengan menyebut guru BK sebagai “polisi sekolah”. Pekerjaan BK yang diidentikkan dengan “menghukumi” siswa-siswa yang disinyalir bermasalah menguatkan stigma itu. Padahal, BK tak hanya berfungsi mengatasi permasalahan yang dihadapi siswa. Bahkan, membantu siswa yang bermasalah pun harus ditempuh dengan pendekatan humanis.

Selain fungsi kuratif, ada fungsi pemahaman, pencegahan, dan pengembangan yang dilakukan guru BK. BK memiliki fungsi preventif untuk mencegah agar siswa tidak mengalami permasalahan dalam proses pendidikan di sekolah. Permasalahan yang dihindari itu misalnya adalah permasalahan belajar. Tentu saja menjadi harapan segenap pihak agar siswa berhasil dalam belajarnya. BK juga perlu mencegah agar siswa tak memiliki permasalahan sosial mengingat interaksi sosial di sekolah memungkinkan siswa menghadapi persoalan. Bahkan, BK memiliki fungsi memelihara kondisi siswa yang telah baik dan tidak bermasalah agar tetap dalam kondisi baik.

Peran guru BK di sekolah begitu penting. Proses pendidikan di sekolah tentu saja tak sekadar memberikan materi pelajaran eksata maupun non-eksata dan mengasah keterampilan, tetapi juga membangun kepribadian siswa. Guru BK di sekolah dapat memberikan layanan agar siswa memiliki konsep diri yang jelas. Layanan BK yang diberikan kepada siswa tak hanya menyangkut persoalan belajar dan sosial. Layanan BK juga menyangkut persoalan pribadi, karir, dan sebagainya. Dengan adanya BK di sekolah, siswa harapannya dapat mengenal dan memahami dirinya untuk dapat mengaktualisasikan dirinya demi mencapai kehidupan yang bermakna.

Melihat fakta kekinian, permasalahan siswa sekolah yang dijumpai relatif kompleks. Tak hanya terkait dengan persoalan kesulitan belajar, permasalahan siswa juga terkait dengan sikap dan perilaku yang kadang di luar kewajaran. Ada perilaku siswa yang bisa menjurus pada kehancuran sebuah bangsa. Perilaku-perilaku tersebut, menurut Thomas Lickona (dalam Dwi Budiyanto: 2011; Agus Wibowo: 2012), di antaranya kenakalan di kalangan remaja (violence and vandalism), semakin tingginya rasa tak hormat kepada orangtua dan guru (disrespect for aithority), meningkatknya kekerasan yang terjadi antar-kelompok sebaya (peer cruelty), penggunaan bahasa yang buruk, perkembangan seksualitas yang cepat dan munculnya penyimpangan seksual, dan tumbuhnya perilaku merusak diri (self destructive behavior).

Kenyataan tak dimungkiri apabila perilaku-perilaku tersebut terjadi di kalangan siswa di sekolah. Dilihat dari statistik demografi, usia sekolah penduduk Indonesia memang masuk dalam daftar lima besar dunia yang bisa membuat Indonesia berpotensi menjadi negara maju, bahkan mungkin saja hingga lima besar dunia. Permasalahannya kemudian adalah bagaimana proses pendidikan pada anak? Untuk menjadi negara besar dibutuhkan pribadi-pribadi tangguh dan berkarakter. Guru BK sangat berperan dalam pembentukan karakter itu (Muhdi: 2011).

Di tengah tantangan mendidik siswa di sekolah, keberadaan dan layanan BK di sekolah tentu saja perlu mendapatkan perhatian. Optimalisasi layanan BK di sekolah perlu dilakukan dengan kehadiran guru BK yang mampu menunjukkan unjuk kerja secara profesional. Bagaimana pun, siswa tak sekadar mendapatkan materi pelajaran di sekolah. Layanan bimbingan pribadi, bimbingan belajar, bimbingan sosial, bimbingan karir maupun bimbingan lainnya harapannya bisa berjalan baik.

Ditinjau dari pelaksanaan layanan BK di sekolah selama ini, kondisi masing-masing sekolah relatif berbeda. Ada sekolah yang telah menjalankan layanan BK secara baik, ada yang masih berupaya memperbaiki kinerja dan menancapkan eksistensinya. Bagi sekolah yang belum menjalankan layanan BK secara optimal tentu perlu mengupayakan perbaikan. Di sisi lain, guru BK harapannya terus mengasah dan meningkatkan kapasitasnya agar mampu menyelenggarakan layanan BK di sekolah secara baik, profesional, dan bertanggung jawab.

Tak kalah penting, pemahaman terkait fungsi dan peran BK dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah kepada sivitas sekolah perlu dilakukan. Pemahaman ini juga ditransformasikan ke kepala sekolah sebagai pimpinan dan pengendali kebijakan di sekolah. Adakalanya sivitas sekolah belum begitu memahami fungsi dan peran BK di sekolah. Sebagaimana diutarakan di muka, tugas guru BK tak sekadar mengurusi siswa-siswa yang bermasalah. Guru BK juga memberikan bimbingan kepada siswa agar terhindar dari permasalahan, bahkan mengembangkan individu siswa menjadi pribadi yang seutuhnya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pembelajar pada Universitas PGRI Yogyakarta
bisnis syariah

Sunset Kelabu di Tepi Pantai Jimbaran

Oleh: HENDRA SUGIANTORO Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Sabtu, 4 Februari 2012

Judul Buku: Sunset Bersama Rosie Penulis: Tere Liye Penerbit: Mahaka Publishing, Jakarta Cetakan: I, November 2011 Tebal: iv+426 halaman Harga: Rp. 60.000,00

Bagi sebagian orang, menikmati detik-detik matahari tenggelam merupakan pengalaman indah dan mengesankan. Begitu pula bagi Rosie, perempuan berusia 30-an tahun, dan keempat putrinya. Bersama suaminya, Nathan, ia merasakan kehangatan di atas hamparan pasir. Ribuan turis pun memadati Pantai Jimbaran, menantikan saat-saat mentari terhunjam di kaki cakrawala.

Mengawali dari Pantai Jimbaran, novel anggitan Tere Liye ini mengajak kita turut menyaksikan kebahagiaan sekaligus kepedihan yang dialami keluarga Rosie. Lewat video streaming yang dikirim dari Bali, Tegar yang berada di Jakarta ikut menyaksikan apa yang terjadi di Jimbaran. Tegar terus menghubungkan diri dengan suasana di Bali. Sebagai sahabat akrab Rosie dan suaminya, Tegar juga dekat dengan keempat putri Rosie yang masih belia. Anggrek, putri pertama, 12 tahun usianya. Anak kedua, Sakura, berusia 9 tahun. Jasmine, anak ketiga, berusia 5 tahun. Lili, putri keempat, masih berusia 1 tahun. Di Jimbaran itu, mereka merayakan 13 tahun usia pernikahan Rosie dan suaminya.

Keluarga Rosie memang benar-benar bahagia. Seperti kebahagiaan saat bisa mengamati matahari perlahan tenggelam sempurna, menyisakan siluet senja, langit kemerah-merahan. Sakura dan Jasmine pun mengambil sepuluh tangkai mawar biru yang hendak dihadiahkan kepada ibu dan ayahnya. Namun, keluarga itu tak tahu, takkan pernah tahu, jika kebahagiaan mereka akan sirna dalam hitungan detik. Orang-orang jahat itu hanya membutuhkan waktu satu detik untuk mengacak-acak seluruh kebahagiaan keluarga Rosie. Sebelum sepuluh tangkai mawar biru itu sampai di tangan ayah-ibunya, Sakura dan Jasmine terhenyak. Dalam hitungan detik, Jimbaran dari keriangan antarbangsa berubah menjadi kesedihan tak terhingga. Awan hitam seolah menggantung di langit-langit malam. Mengusir pesona purnama bundar di angkasa dan ribuan lampu yang menyala indah di sepanjang tubir pantai, mengusir ribuan formasi bintang-bintang.

Tegar yang menyaksikan hal itu dari Jakarta dibuat panik. Dengan tergesa-gesa memesan tiket pesawat, Tegar langsung menuju Bali. Sesampai di Jimbaran, Tegar mengerti telah terjadi bom dahsyat yang meluluh lantakkan. Begitu banyak orang ditemukan meninggal. Di rumah sakit, nyawa Nathan tak terselamatkan. Rosie terus menangis mendekap tubuh suaminya. Sakura harus tergeletak tak sadarkan diri dalam proses perawatan.
`
Membaca novel ini, kita akan terbawa pada suasana yang memilukan dan mengharukan. Bom itu tak hanya menghancurkan Jimbaran, tetapi juga sebuah kehidupan dalam lingkup terkecil. Kehidupan keluarga yang harus berjalan pincang. Rosie dan keempat anaknya selamat. Nathan, suami dan ayah dalam keluarga itu, harus pergi selamanya. Apa yang terjadi pada kehidupan Rosie selanjutnya? Apa yang akan dihadapi keempat putri Rosie?

Tegar yang terlalu mencintai keluarga itu mendampingi Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili. Begitu cepatnya keempat putri itu memahami dan memaknai sebuah kehilangan, namun berbeda dengan Rosie. Kondisi jiwanya goncang. Tidak mudah memulihkan kesedihan Rosie sampai akhirnya harus dirawat di pusat rehabilitasi mental. Tak hanya kehilangan ayah, keempat putrinya juga kehilangan Rosie, ibunya, yang entah kapan bisa menormalkan kembali jiwanya. Akankan Rosie terus mengenang sunset begitu kelabu?

Lewat kehidupan keluarga Rosie yang dikisahkan dalam novel ini, Tere Liye membawa sisi nurani dan kemanusiaan kita untuk menghargai sebuah kehidupan.

HENDRA SUGIANTORO
P
embaca buku, tinggal di Yogyakarta
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/82707

Tegakkan Kedisiplinan Berlalu Lintas!

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bebas Bicara BERNAS JOGJA, Sabtu, 4 Februari 2012

Peristiwa tragis kembali terjadi di jalan raya. Sebuah mobil menewaskan sembilan orang di Jalan Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat, Minggu (22/1) silam. Selain sembilan orang tewas, tiga orang lainnya mengalami luka-luka. Apa yang terjadi itu kian menandakan belum aman dan nyamannya jalan raya. Jalan raya telah menjadi saksi bisu sederet tangis dan luka.

Ketika berada di jalan raya, kekhawatiran dan kegelisahan memang dimungkinkan muncul. Sebuah kecelakaan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Namun, kita tak serta-merta mengamininya sebagai kewajaran. Ada sikap dan perilaku manusia yang mengakibatkan jalan raya berwajah menakutkan. Lihatlah pengemudi mobil yang menabrak orang-orang di
halte Tugu Tani itu. Sungguh meresahkan apabila pengguna narkotika dan obat-obatan terlarang mengemudikan kendaraan. Mengemudi dalam keadaan mata mengantuk saja diarahkan untuk tidak berkendara, bagaimana mungkin pengemudi yang terpengaruh zat adiktif bisa mengemudikan kendaraan?

Siapa pun kita memiliki hak mendapatkan keamanan dan keselamatan di jalan raya. Tak hanya pengendara, tetapi juga pengguna jalan raya lainnya. Selain sebagai hak, keselamatan dan keamanan di jalan raya juga menuntut tertunainya kewajiban. Para pengguna jalan raya berkewajiban menciptakan jalan raya sebagai tempat kondusif bagi manusia beraktivitas dan berlalu lalang.

Dalam hal ini, penegakan kedisiplinan berlalu lintas tak mungkin ditawar-tawar. Pihak yang berwenang perlu menindak siapa pun yang melakukan pelanggaran di jalan raya secara tegas. Indonesia telah memiliki UU No. 22/2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang perlu ditaati dalam pelaksanaannya. Kedisiplinan berlalu lintas juga mensyaratkan para pengemudi kendaraan untuk memperhatikan kondisi fisik dan kendaraannya. Kesadaran masyarakat untuk berlaku disiplin, tertib, dan patuh terhadap peraturan di jalan raya tentu saja sebuah keniscayaan. Jalan raya adalah milik umum yang tak sepantasnya digunakan tanpa memperhatikan kepentingan para pengguna jalan raya lainnya. Pada titik ini, pendidikan berlalu lintas yang ditujukan kepada masyarakat perlu juga dilakukan. Sesungguhnya menciptakan jalan raya yang ramah bagi siapa saja adalah kewajiban kita bersama. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Yogyakarta

Waspadai Leptospirosis

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA, Jum'at, 3 Februari 2012

Begitu ragamnya nama penyakit. Kita kerap terkejut atau mungkin terpana mendengar nama-nama penyakit. Salah satu penyakit itu adalah leptospirosis. Jika kita mengenal penyakit pes akibat tikus, penyakit leptospirosis juga diakibatkan oleh tikus.

Leptospirosis diakibatkan bakteri leptospirosa yang disebarkan melalui tikus. Fita Yulia (2010) memaparkan bahwa memberantas tikus merupakan langkah penting mengatasi penyakit ini. Leptospirosis berasal dari bakteri yang dibawa pada urine tikus. Dihimbaunya agar warga bisa memutus akses tikus di rumah. Selain itu, warga yang akan beraktivitas ke sawah perlu memakai alat pelindung diri seperti sarung tangan serta cuci tangan dengan air mengalir. Agar bakteri tidak berkembang biak, di lingkungan perumahan juga diusahakan tidak ada tempat becek karena bakteri bisa berkembang biak di tempat becek selama 30 hari (Harian Jogja, 18/3/2010).

Adanya penyakit leptospirosis tentu perlu diwaspadai. Masyarakat jelas harus diberi informasi perihal leptospirosis ini. Penyemprotan untuk mematikan bakteri yang sebabkan leptospirosis bisa dilakukan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Yogyakarta

Pendidikan Agama Islam di UN-kan?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa REPUBLIKA DIY-JATENG, Kamis, 2 Februari 2012

Dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Bab I Pasal 1). Itu artinya, penyelenggaraan proses pendidikan tak bisa mengabaikan sisi kecerdasan sosial dan kecerdasan ruhani peserta didik.

Namun demikian, kenyataan yang terjadi selama ini, kecerdasan akademik lebih ditonjolkan dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang mendewakan angka-angka menjadi primodona pemangku kepentingan pendidikan. Padahal jelas, pendidikan tak hanya mengembangkan potensi kognitif semata, t
etapi juga mengembangkan kepribadian dan membentuk akhlak mulia peserta didik. Pada titik ini, Pendidikan Agama Islam (PAI) sebenarnya berkontribusi melahirkan peserta didik yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, dan akhlak mulia. Dalam kurikulum, PAI telah menjadi mata pelajaran tersendiri. Pertanyaannya, haruskah mata pelajaran PAI diikutsertakan dalam ujian nasional (UN)?

Kebijakan mengujikan mata pelajaran PAI dalam UN dengan dibuat standar secara nasional selayaknya perlu ditinjau ulang. Tidaklah tepat alasan yang mengatakan mata pelajaran PAI menjadi materi UN agar juga diperhatikan sebagaimana mata pelajaran dalam UN lainnya. Jika pun diperhatikan, maka penghargaan terhadap mata pelajaran PAI hanyalah semu. Peserta didik mempelajari mata pelajaran PAI sekadar berebut kelulusan. Tentu saja esensi mata pelajaran PAI akan menghilang dan tereduksi pada angka-angka kuantitatif semata. Siapa pun akan sulit membayangkan jika mata pelajaran PAI justru terjebak pada target perolehan angka. Mata pelajaran PAI dipelajari sekadar fokus pada target lulus UN. Dengan tujuan sukses UN, program pendalaman dan pengayaan materi dilakukan, bahkan digelar tryout untuk menguji kemampuan peserta didik. Akhirnya yang terjadi adalah perburuan nilai kuantitatif
.

Jika kita mau merenung sejenak, mata pelajaran PAI sebenarnya tak sekadar bertujuan agar peserta didik bisa bersyahadat, melaksanakan salat, berzakat, dan berpuasa.
Peserta didik mempelajari mata pelajaran PAI tak sekadar bertujuan menghafal materi-materi yang diajarkan. Mungkin bisa saja peserta didik menghafal doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi mata pelajaran PAI memiliki tujuan lebih dari itu. Mata pelajaran PAI seharusnya menjadi energi menumbuhkan akhlak mulia dan menjadikan peserta didik mampu berkontribusi bagi kehidupan berdasarkan landasan agama. Memang bisa saja materi akhlak dijadikan soal-soal ujian dan peserta didik menjawabnya dengan tepat, tetapi itu takkan bermakna jika akhlak tidak terinternalisasi dalam kepribadian. Tantangan sebenarnya bukanlah pada apakah mata pelajaran PAI diperhatikan atau tidak, tetapi mampukah mata pelajaran PAI menjadi inspirasi membangun mentalitas peserta didik.

Entah disadari atau tidak, dimasukkannya mata pelajaran PAI dalam UN akan cenderung menjadikan agama sekadar angka-angka. Peserta didik mempelajari mata pelajaran PAI sekadar agar bisa lulus tanpa mampu menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Salah satu faktor terjadinya fenomena kemerosotan moral dan meredupnya nurani dalam masyarakat akibat belum terinternalisasikannya ajaran agama secara mendalam. Seperti kita saksikan, kalangan generasi muda pun semakin hari semakin tak terkontrol perilakunya. Sikap mental pragmatis yang menyukai perilaku instan dijumpai di kalangan generasi muda. Adanya kondisi itu seharusnya menantang para pelaku pendidikan untuk merevitalisasi mata pelajaran PAI agar memiliki jiwa memperbaiki akhlak generasi muda. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pembelajar pada FKIP
Universitas PGRI Yogyakarta
bisnis syariah

Refleksi Jurnalisme Seorang Wartawan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Media MAJALAH PEWARA DINAMIKA UNY Edisi Februari 2012

Judul Buku: ‘Agama’ Saya Adalah Jurnalisme Penulis: Andreas Harsono Penerbit: Kanisius, Yogyakarta Cetakan: I, Desember 2010 Tebal: 268 halaman

Jurnalisme memiliki kontribusi penting bagi masyarakat. Dengan jurnalisme, masyarakat dibangun. Jika jurnalisme berjalan baik, maka menjadi baiklah suatu masyarakat. Mungkin hal ini terkesan utopis di tengah laku jurnalisme yang pragmatis dan kerapkali terjebak pada urusan bisnis. Kepada siapa wartawan menempatkan loyalitasnya menjadi salah satu dari sembilan elemen jurnalisme yang dipopulerkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel sekitar tahun 2001. Ada keprihatinan ketika wartawan berubah menjadi orang bisnis dan mengabaikan tanggung jawab sosialnya.

Dalam buku ini, sembilan elemen jurnalisme menjadi pintu gerbang pembahasan untuk menyimak lebih lanjut isi pikiran Andreas Harsono. Pengetahuan dan pengalamannya sebagai wartawan, baik di dalam negeri maupun di negeri manca, coba direfleksikan dan disajikan. Tentu menjadi kisah hidup mengesankan bagi Andreas Harsono yang pernah menerjemahkan buku-buku karya Kovach, bahkan menimba ilmu langsung dari Kovach. Ketika berkunjung ke Indonesia, Kovach kerapkali didampingi Andreas Harsono dalam melakukan perjalanan. Kovach yang merupakan seorang wartawan asal Amerika Serikat telah diakui reputasinya. Kovach memiliki “karier yang panjang dan terhormat” sebagai wartawan, kata Thomas E. Patterson dari Universitas Havard. Goenawan Mohammad mengatakan merasa “sulit mencari kesalahan” Kovach. Banyak hal berkenaan dengan Kovach ditemukan dalam buku ini.

Dalam kaitan kepentingan masyarakat dengan kepentingan bisnis, harian The New York Times dan The Washington Post bisa dijadikan model. Ketika membeli The New York Times pada tahun 1893, Adolph Ochs berkomitmen menyajikan surat kabar yang serius dan mengutamakan kepentingan publik. Eugene Meyer yang pada tahun 1933 membeli Washington Post berani bersikap mengorbankan kepentingan material apabila memang diperlukan demi kepentingan masyarakat. Ternyata mendahulukan kepentingan masyarakat yang dilakukan dua surat kabar ini tidak berdampak buruk terhadap bisnisnya (halaman 18).

Dalam paparannya, Andreas Harsono juga menyinggung tentang pendidikan jurnalisme di Indonesia. Menurutnya, pendidikan jurnalisme di negeri ini perlu ditinjau ulang dan dievaluasi. Banyaknya sekolah jurnalisme ternyata kurang dan belum mampu menyediakan wartawan sesuai kebutuhan media massa. Banyak media massa menomorduakan lulusan dari jurusan atau program studi jurnalisme. Hal ini tentu harus menjadi tanda tanya sekaligus tanda seru. Selain itu, keterlibatan wartawan dalam dunia politik juga menjadi pembahasan. Menurut Andreas Harsono, hal itu sah-sah saja. Banyak wartawan yang terlihat berafiliasi ke partai politik atau tokoh politik tertentu. Wartawan terlibat dalam politik praktis bisa saja mempengaruhi independensi. Tetapi, menurutnya, wartawan boleh menjadi politikus, namun jangan lagi menjadi wartawan!

Buku ini terbagi dalam empat bagian, yakni laku wartawan, penulisan, dinamika ruang redaksi, dan peliputan. Investigasi reporting menjadi hal yang ditekankan oleh Andreas Harsono. Kemampuan wartawan soal ini perlu diasah. Begitu pula masalah byline. Dalam surat kabar di Indonesia jarang digunakan byline dalam penulisan, padahal merupakan bagian dari pertanggungjawaban. Wartawan bisa bertanggungjawab terhadap isi laporannya karena publik akan mengetahui siapa wartawan yang konsisten menghasilkan berita-berita yang bermutu dan siapa wartawan yang menghasilkan berita kurang bermutu.

Melalui buku ini, Andreas Harsono memaparkan beragam pendapatnya terkait jurnalisme. Apa yang diutarakannya mungkin memunculkan pro kontra. Namun, hal ini tampaknya positif untuk membangkitkan dialektika jurnalisme Indonesia. Mau memberikan tanggapan?
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta