Ajip Rosidi Mengenang Orang Lain

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Merdeka, Minggu 28 Oktober 2010


Judul Buku: Mengenang Hidup Orang Lain Sejumlah Obituari Penulis: Ajip Rosidi Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta Cetakan: I, Januari 2010 Tebal: x+471 halaman

Mochtar Lubis yang kerap disebut wartawan jihad dengan surat kabar Indonesia Raya-nya dikenal Ajip sebagai orang berpendirian teguh dalam menentang kezaliman dan memperjuangkan martabat kemanusiaan. Keluar masuk penjara dialami Mochtar, baik ketika era Orde Lama maupun Orde Baru.

Mochtar pernah diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman sekitar tahun 1950-an. Pengadilan terhadap Mochtar mungkin akibat keberaniannya menguak kasus korupsi dalam birokrasi pemerintahan. Mochtar naik banding, padahal telah disarankan Jaksa Agung Suprapto waktu itu agar menerima saja hukuman yang diberikan berupa percobaan beberapa bulan. Jika naik banding, Mochtar akan terus ditahan selama keputusan belum keluar. Namun, Mochtar menolak, karena menerima keputusan pengadilan berarti mengaku bersalah. Soal prinsip inilah yang menyebabkan Mochtar sejak tahun 1956 sampai tahun 1966 terus ditahan tanpa diadili. Selama penahanan ini tak selamanya dalam penjara, kadang Mochtar menjadi tahanan rumah.

Mochtar pernah menasehati Ajib agar membiasakan menulis setiap hari. Dengan demikian, karya sastra seperti roman bisa diselesaikan di tengah kesibukan sehari-hari. Namun, kata Ajib, nasehat itu tak bisa dilaksanakan. Ajib mengaku menulis karya sastra biasanya sekali jalan. Dalam usia tuanya, Mochtar dilanda kepikunan. Ajib kerap merasa trenyuh menyaksikan kondisi Mochtar yang tergeletak tak berdaya sampai akhirnya menjemput takdir kematian.

Soal Pramoedya Ananta Toer, ada hal menarik dipaparkan Ajib. Ketika Ajib tengah mengetik di rumah sewaannya di Kramatpulo, tiba-tiba terdengar ketukan. Setelah dibuka, Pram lalu berucap, “Kau ada nasi tidak? Aku sudah beberapa hari tidak makan!” Pram memang tengah menghadapi kesulitan keuangan. Surat kabar tidak lagi memuat karangannya, penerbit-penerbit pun tak mencetak lagi karya Pram. Hal itu akibat Pram diidentifikasikan sebagai orang kiri. Terkait dengan Pram, Ajib memiliki pandangan dan argumentasi tersendiri. Pram tidak dekat dengan “orang-orang kiri”, tapi didekati. Hanya kedekatan lalu dituduh sebagai komunis tidaklah terlalu tepat. Kata Ajib, sikap antikomunis yang seperti itu malah menjeremuskan sastrawan seperti Pram dan Utuy T. Sontani ke pihak kiri. Jika dilakukan pula pendekatan dari pihak antikomunis secara manusiawi, sastrawan-sastrawan itu takkan terjerumus ke kubu komunis. Di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Pram hanya dicantumkan namanya dalam susunan pengurus. Namun, Pram tak aktif di dalamnya karena memang tak tertarik pada organisasi. Pencantuman namanya dianggap Pram hanya sebagai kehormatan. Pram pernah menjadi redaktur Lentera dalam surat kabar Bintang Timur. Secara formal, surat kabar itu milik Partindo, bukan media PKI.

Pada masa lalu banyak sastrawan yang memiliki haluan berbeda. Namun, pandangan politik tidak merenggangkan persahatan secara pribadi, termasuk dengan S.I. Poeradisastra—yang saat itu menggunakan nama Boejoeng Saleh. Boejoeng Saleh yang seorang Marxis akhirnya mengakui adanya Tuhan sekeluarnya dari Pulau Buru pada tahun 1976.

Dalam 50 obituari yang dituliskan Ajib, ada sisi-sisi lain yang kerap terlupakan dalam penulisan sejarah konvensional. Bagaimana Ajib mengenang W.S. Rendra, Asrul Sani, Ramadhan K.H, Armijn Pane, Mohammad Diponegoro, dan lain-lainnya? Dapat dibaca di buku ini. Begitu pula ada kenangan Ajib terhadap H. Ali Sadikin, Sjafruddin Prawiranegara, Deliar Noer, dan banyak sosok lainnya. (HENDRA SUGIANTORO)

--

Mengenal Bumi Lebih Dekat




















Oleh: HENDRA SUGIANTORO

Dimuat di Pustaka SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu 21 November 2010

Judul Buku: Serba-Serbi Bumi Penulis: Hendra Wisesa Penerbit: Garailmu, Yogyakarta Cetakan: I, Maret 2010 Tebal: 176 halaman

BUMI yang kita pijak terdiri dari berbagai macam unsur dan komponen. Seperti kita lihat, kita bisa menjumpai daratan dan lautan di muka bumi ini. Ada gunung, bukit, sungai, hutan, samudera, benua, dan sebagainya. Kita juga melihat adanya angin, air, awan, kabut, salju, dan sejenisnya. Buku ini menarik dibaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang bumi. Magnetisme bumi, rotasi bumi, dan pemanasan global coba dijelaskan. Dijelaskan juga apa itu atmosfer, ozon, dan semacamnya Pengenalan ini diharapkan agar kita bisa memahami bumi dengan segala isinya.

Apa yang Tuhan ciptakan tentu tidaklah sia-sia. Sebut saja gunung yang mampu berfungsi sebagai penahan dan pengatur angin. Dijelaskan dalam buku ini, suhu mengakibatkan tekanan udara berubah. Beda tekanan antara satu daerah dan daerah yang lain menyebabkan terjadinya angin.

Terkait erosi, buku ini menjelaskan bahwa erosi dalam jumlah tertentu sebenarnya merupakan kejadian yang alami dan baik untuk ekosistem. Namun, erosi yang berlebih tentu menimbulkan masalah. Setelah menjelaskan faktor-faktor penyebab erosi dan jenis-jenis erosi, buku ini memberikan pengetahuan berbagai cara mencegah erosi. Ada banyak cara mencegah erosi, seperti pengolahan tanah, pemasangan tembok batu rangka besi, reboisasi, penempatan batu-batu kasar sepanjang pinggir pantai, pembuatan pemecah angin atau gelombang, dan pembuatan teras pada tanah lereng.

Buku ini berupa ensiklopedi mini, bukan “buku babon”. Meskipun demikian, buku ini sedikit banyak bisa menambah wawasan dan pengetahuan kita terkait bumi. Karena kita hidup di bumi, kita pun perlu memahami apa-apa yang ada di bumi. Begitu.
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta

Belajarlah dari Sejarah Gunung Merapi

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Jum'at 19 November 2010

GUNUNG Merapi diciptakan Allah SWT tentu tidaklah sia-sia. Terkait gunung, beberapa ayat Al-Qur’an menyebutkan gunung sebagai pasak. Salah satunya dalam surat An-Naba’ ayat 6-7, “Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai pasak?”. Dengan adanya gunung mencegah kita dari goncangan, “Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi agar bumi itu tidak guncang bersama kamu...”(Qs. An-Nahl:15). Gunung Merapi dan gunung-gunung lainnya di Indonesia dan di seluruh dunia menjadi pasak yang berdiri kokoh untuk menunjang kehidupan di muka bumi. Adanya gunung yang aktif dan meletus juga dapat dilihat dari makna ayat tersebut.

Sebagaimana kita ketahui, ada lubang kepundan pada gunung berapi sebagai tempat keluarnya magma dan gas ke permukaan bumi. Magma bersuhu lebih dari 1000 derajat celcius. Suhu ini terus meningkat, bahkan bisa mencapai 9000 derajat celcius sampai 14.000 derajat celcius (Hendra Wisesa, 2010). Agar bumi tak hancur, magma harus dikeluarkan. Ada beberapa manfaat didapatkan dari letusan gunung berapi. Gunung Merapi dan gunung-gunung berapi lainnya bekerja dengan dasar itu. Masyarakat tentu perlu memiliki pengetahuan lebih lanjut tentang hal ini yang disampaikan para ahli dengan bahasa mudah dan jelas dimengerti.

Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa Allah SWT harus menciptakan magma yang bersuhu sangat tinggi? Mengapa harus ada gunung berapi? Allah SWT pastinya menciptakan segala sesuatunya dengan kaidah keseimbangan untuk kemaslahatan manusia. Begitu juga perlu ada Gunung Merapi dan gunung berapi lainnya yang menjaga keseimbangan alam. Menurut penulis, ada tugas kita untuk mensyukuri keberadaan Gunung Merapi dan gunung-gunung lainnya. Bagaimana agar kodrat Gunung Merapi yang meletus tidak menjadi bencana? Pada titik ini, kita perlu memahami bahwa letusan Gunung Merapi merupakan hal yang wajar. Yang disebut bencana bukan pada letusannya, namun pada dampaknya yang dianggap buruk. Maka, manusia sebagai khalifatullah fi ardhi perlu memikirkan lebih jauh agar bisa satu jiwa dengan kodrat Gunung Merapi.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Masyarakat tentu perlu memiliki kesadaran bencana, karena Gunung Merapi bisa sewaktu-waktu meletus. Di samping itu, masyarakat juga perlu memiliki kesadaran sejarah. Menurut penulis, kepemilikan kesadaran sejarah justru akan menguatkan kesadaran bencana masyarakat. Ada ungkapan historia docet, sejarah itu memberi pelajaran kepada kita (Shindunata, 2007). Masyarakat perlu belajar dari sejarah untuk lebih baik lagi menghadapi letusan Gunung Merapi dan meminimalisir risiko bencana.

Letusan Gunung Merapi yang terbilang dahsyat pada tahun ini merupakan salah satu pelajaran. Sebagaimana kita saksikan, beberapa orang meninggal dunia, tempat tinggal penduduk rusak berat, sumber nafkah penduduk porak-poranda, dan dampak-dampak lainnya menyertai siklus alam meletusnya Gunung Merapi. Kejadian seperti ini bukan kali pertama, karena sebelumnya letusan Gunung Merapi juga menimbulkan dampak bagi kehidupan, entah dalam skala kecil maupun besar.

Menapaktilasi sejarah, kita perlu menyaksikan kejadian letusan Gunung Merapi beberapa masa sebelumnya. Banyak yang menyebutkan letusan pertama terjadi pada tahun 1006 di mana abu vulkaniknya bisa menyelimuti bagian tengah Pulau Jawa. Tak ada catatan jumlah korban jiwa yang bisa dirujuk pada letusan tahun 1006. Tahun 1006 sebagai letusan pertama ini memang masih menimbulkan perdebatan di kalangan para ahli, namun substansinya adalah kesadaran sejarah bahwa Gunung Merapi telah meletus berabad-abad lampau. Pada tahun 1786, 1822, 1872, dan 1930, Gunung Merapi juga pernah meletus dalam skala besar. Letusan Gunung Merapi kadang menyebabkan nyawa meninggal dunia meskipun tidak selalu ada korban jiwa.

Berdasarkan riwayat, rata-rata Gunung Merapi meletus dalam siklus pendek dan menengah. Siklus pendek antara 2-5 tahun dan siklus menengah antara 5-7 tahun. Meskipun Gunung Merapi pernah tidak meletus begitu lama dari tahun 1587-1658 yang termasuk siklus panjang , namun siklus pendek dan menengah ini perlu dijadikan antisipasi. Gunung Merapi meletus pada tahun 2006, lalu pada tahun ini, itu berarti memang letusan Gunung Merapi memiliki siklus pendek. Masyarakat perlu menyadari fakta sejarah ini.

Betapa pun letusan Gunung Merapi kadangkala menimbulkan kepiluan dan kepedihan, masyarakat tak harus melupakannya. Justru pelajaran bisa dipetik agar siap menghadapi dan menghindari bencana yang diakibatkan letusan Gunung Merapi. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, saat ini waktu dan besaran letusan gunung berapi sedikit banyak bisa diperkirakan. Pasrah terhadap takdir memang benar, namun pasrah harus dibarengi dengan ikhtiar mengantisipasi dan menghindari bencana yang mungkin terjadi. Perubahan status dari Waspada, Siaga, dan Awas pada Gunung Merapi sekiranya perlu mendapatkan perhatian masyarakat. Bagi para peneliti sains maupun teknolog, teknologi untuk menghadapi ancaman dan bahaya Gunung Merapi lebih lanjut lagi, misalnya teknologi menghadapi awan panas, bukan tidak mungkin bisa ditemukan. Begitu pula sarana prasarana evakuasi dan pengungsian warga di wilayah bencana perlu dipikirkan agar lebih mendukung dan representatif.

Allah SWT memang menguji manusia dalam setiap musibah, namun Allah SWT juga menitahkan kita sebagai khalifah. Selain sinyal untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bencana juga menjadi sinyal agar kita mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang terakhir inilah yang kerap dialpakan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute&Pengelola Pena Profetik Yogyakarta

Merapi 1930

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan Harian Jogja, Jum'at 12 November 2010

Sebagai salah satu gunung yang aktif, letusan Gunung Merapi telah terjadi semenjak berabad-abad lampau. Pada tahun ini, letusan Gunung Merapi kembali terjadi. Banyak yang menyebutkan letusan pertama Gunung Merapi terjadi pada tahun 1006, namun tahun 1006 sebagai awal meletusnya Gunung Merapi masih menimbulkan perdebatan hingga kini. Terlepas dari itu, Gunung Merapi memang telah menghadirkan fenomena.

Dari sejarah meletusnya Gunung Merapi, ada catatan menarik pada letusannya pada tahun 1930. Pada saat itu, dunia tengah menghadapi zaman krisis yang kerap disebut zaman malaise. P. Swantoro dalam bukunya Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu menuturkan, “Pada awal masa malaise itu, pada 18 Desember 1930, terjadilah suatu bencana besar di Jawa Tengah: Gunung Merapi meletus! Tidak kurang dari 1.500 orang tewas dan 2.500 hewan mati. Berhektar-hektar sawah serta ladang hancur, dan ratusan rumah terbakar atau roboh.” (P. Swantoro, Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, (Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), cetakan I 2002), hlm. 36). Apa yang dipaparkan P. Swantoro itu terdapat dalam laporan G. Vriens dalam majalah Claverbond tahun ke-43, 1931, halaman 85-109. Laporan G. Vriens tentang letusan Gunung Merapi pada tahun 1930 diberi judul “De Merapi”.

Apa yang dialami masyarakat pada tahun 1930 tentu sangat memprihatinkan karena saat itu kondisi kehidupan memang lagi sekarat akibat krisis global. Kehidupan penduduk yang telah mencekam pun kian bertambah mencekam ketika sumber penghidupan luluh lantak. Apa yang dialami masyarakat pada tahun 1930 tentu tak persis dengan kondisi pada tahun 2010. Namun demikian, kita perlu memiliki kesadaran bahwa Gunung Merapi memiliki kodrat untuk meletus. Kesadaran inilah yang menghendaki kita mampu berpikir agar kodrat Gunung Merapi yang meletus itu tak lagi menimbulkan dampak keprihatinan bagi masyarakat. Bagaimana caranya? Perubahan pandangan dan perilaku masyarakat tentang Gunung Merapi dan kreasi teknologi mungkin bisa dilakukan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Aktivis Pena Profetik Yogyakarta

Sukarno dalam Sisi Terang dan Sisi Gelap
























Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi Buku Harian Jogja, Kamis 11 November 2010

Judul Buku:
Sukarno: Paradoks Revolusi Indonesia Penulis: Tim Seri Buku Tempo Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia&Majalah Tempo Cetakan: I, September 2010 Tebal: x+124 halaman

Negeri ini melahirkan banyak sosok besar. Salah satunya adalah Sukarno. Lahir pada 1901, ia lahir dalam masa mekarnya spirit pergerakan nasional. Sukarno turut berjuang untuk membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan. Perhatiannya terhadap kemerdekaan Indonesia dari belenggu kolonialisme dan imperialisme terbilang besar. Pada 1945, takdir sejarah menempatkan Sukarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia berdampingan dengan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden.


Sepak terjang dan perjuangan Sukarno dalam masa pra kemerdekaan dan era kemerdekaan telah tercatat dalam lembaran sejarah. Sukarno bukan sosok biasa yang terlibat dalam perjuangan sekadar mengikuti arus pergerakan, namun ia dikenal memiliki sikap, pendirian, dan konsep. Hal ini bisa jadi wajar sebab Sukarno memiliki kapasitas wawasan, pengetahuan, dan pemikiran yang telah didapatkannya dari pergulatan intelektual panjang. Pun, ia tak melulu berdiri di menara gading, tapi juga turun menyapa rakyat di lapisan bawah. Konsep marhaenisme merupakan salah satu bukti jiwanya menyatu dengan rakyat dan berupaya memerdekakan rakyat dari keterpurukan, kemiskinan, dan ketidakberdayaan.


Di tengah capaian-capaian Sukarno, ia tentu tetap manusia biasa. Ia memiliki kelebihan dan kekurangan. Jejak Sukarno menggoreskan catatan emas, sekaligus catatan pahit. Ia begitu dikagumi, bahkan ada yang mengkultuskannya. Di sisi lain, tak sedikit yang mengkritik dan menentangnya. Sukarno menyadari hal itu dengan berkata, “Tidak seorang pun dalam peradaban modern ini yang menimbulkan demikian banyak perasaan pro-kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja seperti dewa.” Seperti pernyataan jujur Sukarno itu, buku ini juga hendak memaparkan pelbagai fakta perihal Sukarno tak hanya dari sisi terang, namun juga sisi gelapnya.
Sebut saja soal dukungannya terhadap kebijakan romusha semasa pendudukan Jepang. Sukarno sepertinya menanggalkan sikap nonkooperasi yang sebelumnya diterapkannya selama penjajahan Belanda. Sukarno mendukung Jepang dengan sikap pragmatis yang mencengangkan, bahkan menggetirkan. Mengerahkan kecakapannya berorasi, Sukarno membujuk puluhan ribu pemuda untuk bergabung dalam barisan romusha yang dikirim ke kamp-kamp kerja paksa. Sukarno memang mengaku remuk hati mengenang hal itu. Sukarno berkata, “Akulah orangnya. Akulah yang menyuruh mereka berlayar menuju kematian.” Tapi, ia juga mengatakan, “Dalam setiap peperangan ada korban. Tugas seorang panglima adalah memenangi perang. Andaikata saya terpaksa mengorbankan ribuan jiwa demi menyelamatkan jutaan orang, saya akan lakukan.”(halaman 10-11).

Sikap Sukarno yang mendukung kebijakan romusha memang terus menjadi bahan perdebatan sampai saat ini. Pernyataan Sukarno yang mengorbankan ribuan jiwa untuk menyelamatkan jutaan orang malah bisa dianggap sebagai pembelaan Sukarno semata. Tak kalah menariknya adalah perhatian dan kecintaan Sukarno terhadap perempuan. Sejarah mencatat ada sembilan perempuan yang pernah dinikahi Sukarno dari Oetari Tjokroaminoto sampai Heldy Djafar. Dalam urusan percintaan, Sukarno tampaknya tak membeda-bedakan usia ataupun latar belakang seorang perempuan. Heldy Djafar dan Yurike Sanger, misalnya, dinikahi pada usia 18 tahun. Fatmawati dipetik Sukarno pada usia 20 tahun. Ia juga menikahi Hartini saat perempuan itu berusia 29 tahun dan memiliki lima anak. Sementara itu, Inggit Garnasih lebih tua 15 tahun dari Sukarno. Dalam menurutkan perasaan cintanya, Sukarno berani menghadapi tentangan dan halangan. Pernikahannya dengan Hartini, misalnya, mendapatkan cercaan dan protes dari sebagian gerakan perempuan (halaman 26-38).


Dalam tulisan kolom yang melengkapi buku ini, Mochtar Pabottinggi menjelaskan ada kesalahan yang dilakukan Sukarno. Pertama, dengan dukungan militer, ia membubarkan Konstituante yang hampir menyelesaikan tugasnya menyusun konstitusi yang lebih komprehensif. Ia justru memberlakukan kembali UUD 1945. Padahal, sejarah mencatat bahwa Sukarno jauh sebelumnya telah mengakui bahwa UUD 1945 bersifat “kilat” dan “darurat” dan perlu diganti dengan konstitusi yang disusun secara tenang dan seksama. Sukarno juga mengangkat anggota MPRS dan DPRS tanpa proses pemilihan umum. Sebagai pemimpin besar revolusi, ia menjadikan lembaga legislatif mainan lembaga eksekutif. Ia juga membuat lembaga yudikatif tak bergigi (halaman 84-86).
Dalam menjalankan kekuasaannya, Sukarno sebenarnya tak sepi dari kritik. Jika mau jujur, Sukarno sebagai manusia biasa ini termasuk sosok yang telah terjebak dalam hingar-bingar kekuasaan sehingga lupa diri. Dalam masa kekuasaannya, ia juga membuat kebijakan pembreidelan pers. Para pengkritiknya dipenjarakan seperti terjadi pada Sutan Sjahrir, perdana menteri Indonesia pertama.

Mungkin sejarah akan berbicara lain jika Sukarno mampu mawas diri dan mengekang naluri kekuasaannya dengan melakukan regenerasi kepemimpinan.
Apa yang dipaparkan dalam buku ini bukan berarti melulu mengungkap sisi lemah Sukarno. Kisah-kisah lain Sukarno juga diungkap, termasuk perihal Megawati yang seolah-olah menjadi penerus ayahnya. Buku ini juga dilengkapi wawancara dengan penulis buku Sukarno: Biografi 1901-1950, Lambert Giebels. Membaca buku ini tentu tak sekadar membaca paparan fakta sejarah. Lebih dari itu, pelajaran perlu dipetik demi kehidupan negeri ini lebih baik. Di tengah sisi gelap dan kelemahan Sukarno, ia tetaplah sosok besar yang dilahirkan negeri ini. Sukarno pernah berkata jangan sekali-kali melupakan sejarah. Siapa pun bisa belajar dari sejarah Sukarno agar tidak kehilangan tongkat dua kali. Historia docet!
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Pena Profetik Yogyakarta

Bencana dalam Sejarah Dunia




















Oleh: HENDRA SUGIANTORO

Dimuat di Perada Koran Jakarta, Selasa 9 November 2010

Judul Buku: Bencana-bencana Terdahsyat Sepanjang Sejarah Penulis: Yunisa Priyono&Fajar Shodiq Kurniawan Penerbit: Wahana Totalita Publisher, Yogyakarta Cetakan: I, 2010 Tebal: 144 halaman Harga : Rp 27.000

Dampak gempa bumi dan tsunami di Mentawai masih meninggalkan kepiluan. Letusan Gunung Merapi di Pulau Jawa belum berakhir. Beberapa gunung api di negeri ini juga menampakkan geliatnya. Indonesia, harus diakui, tak pernah lepas dari rentetan bencana. Melihat sejarah, bencana bukan berarti hanya milik negeri ini, tapi juga hadir di belahan Bumi mana pun.
Buku ini memaparkan beragam bencana di muka Bumi yang dinilai terdahsyat.

Jika Indonesia seolah-olah tak sepi dari gempa bumi, kejadian alam ini juga terjadi di berbagai negara. Tsunami di Aceh pada 2004 memang terbilang terdahsyat. Bencana ini didahului dengan gempa bumi berskala 9,3 SR yang berpusat di Samudera Hindia, tepatnya sekitar 160 km sebelah barat Aceh, di kedalaman 10 km.
Gempa bumi dan tsunami ini juga menerpa beberapa negara dan sekitar 230 ribu jiwa meninggal dunia. Gempa bumi dan tsunami pernah pula menjadi bencana nasional di Indonesia pada tahun 1992. Ketika itu gempa berskala 6,8 SR mengguncang Flores dan menimbulkan tsunami setinggi 36 meter. Ada sekitar 2.100 jiwa meninggal dunia, 500 orang hilang, dan ribuan bangunan luluh lantak. Di dunia ini, begitu banyak gempa bumi terjadi. Sebut saja gempa bumi 8,3 SR di China pada awal 1556 semasa pemerintahan Kaisar Jiajing sehingga kerap disebut Gempa Besar Jiajing. Akibatnya, sekitar 830.000 jiwa meregang nyawa. Pada tahun 526 SM, gempa bumi pernah terjadi di Antioka, Suriah, dengan kekuatan 7 SR dan menewaskan 250.000 jiwa.

Di Amerika Serikat, badai mematikan sering kali terjadi, sebut saja badai Katrina dan badai Ike. Badai Ike yang terjadi pada tahun 2008, misalnya, menelan korban 10 juta jiwa dan meluluhlantakkan seluruh sendi kehidupan.

Letusan gunung berapi di dunia yang terhitung dahsyat tercatat pernah terjadi di Indonesia.
Sebut saja meletusnya Gunung Tambora dan Gunung Krakatau. Gunung Tambora di Kabupaten Dompu, NTB, meletus pada tahun 1815 dan memakan banyak korban jiwa. Tiga kerajaan ikut musnah, yakni Pekat, Sanggar, dan Tambora. Adapun Gunung Krakatau meletus pada Agustus 1883 setelah 200 tahun tertidur. Orang yang meninggal dunia diperkirakan sekitar 36.417 jiwa. Tak hanya menyemburkan debu vulkanik dengan tinggi mencapai 80 km, tapi juga gempa vulkanik yang menimbulkan gelombang tsunami setinggi sekitar 40 meter.

Dalam sejarah dunia, terjadinya gunung meletus dengan dampak besar sering kali terjadi.
Pada tahun 79 M, Gunung Vesuvius pernah meletus dan mengubur peradaban Pompeii. Gunung Vesuvius terletak di kawasan Campagnia, dekat Teluk Napoli. Letaknya tak jauh dari kota industri dan perdagangan, Pompeii, yang saat itu berpenduduk sekitar 20 ribu jiwa. Akibat debu letusan Gunung Vesuvius, Kota Pompeii hilang selama 1.600 tahun sebelum ditemukan kembali secara tak sengaja.

Hendra Sugiantoro, penulis lepas, tinggal di Yogyakarta


http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=67310

Jejak Langkah "Bung Kecil"















Oleh: HENDRA SUGIANTORO

Dimuat di Bedah Buku SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu, 7 November 2010

Judul Buku: Sjahrir, Peran Besar Bung Kecil Penulis: Tim Seri Buku Tempo Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia&Majalah Tempo Cetakan: I, September 2010 Tebal: xx+222 halaman

Membaca hubungan Sjahrir dengan Sukarno sepertinya membaca riwayat persahabatan, sekaligus perseteruan. Hal ini telah terjadi sejak Indonesia belum merdeka. Konon, Sukarno, Hatta, dan Sjahrir pernah bersua di zaman penjajahan Jepang di mana disepakati bahwa Sukarno dan Hatta bergerak di “atas tanah”, sedangkan Sjahrir tetap menyusun perlawanan “di bawah tanah”. Dalam pergerakannya “di bawah tanah”, Sjahrir mendengar Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Sukarno membantah informasi itu dan tak menuruti kehendak Sjahrir agar kemerdekaan Indonesia secepatnya diproklamasikan. Pada dasarnya, Sjahrir bermaksud agar proklamasi kemerdekaan tak ada campur tangan Jepang.

Dalam catatan sejarah, julukan “Bung Kecil” kerap ditujukan kepada Sjahrir. Media massa menjulukinya seperti itu setelah menyaksikan foto di Gedung Joang 45, Jakarta. Dalam foto, Sjahrir yang pendek badannya berdiri penuh percaya diri di antara Gubernur Jenderal Belanda Van Mook dan Panglima Sekutu di Indonesia Sir Philip Christison. Foto itu terjepret seorang wartawan usai pertemuan Sjahrir dengan dua petinggi negara luar itu pada 17 November 1945. Dalam pertemuan itu, Sjahrir menentang keras bercokolnya kembali Belanda di Indonesia.

Perjuangan Sjahrir tak lepas dari kontroversi sekaligus menimbulkan polemik. Sebut saja soal Perjanjian Linggarjati, peta Indonesia menjadi ciut meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Indonesia pun menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Perjanjian Linggarjati kerap dianggap menguntungkan Belanda. Pakar sejarah memiliki penafsiran bermacam-macam soal perjanjian Linggarjati. Saat perundingan Linggarjati, posisi Sjahrir dalam pemerintahan adalah perdana menteri. Perundingan Linggarjati dilaksanakan di tengah gentingnya kondisi Indonesia akibat kedatangan Belanda yang membonceng Sekutu.

Meskipun kerap diselimuti kontroversi, kemerdekaan, kedaulatan, dan eksistensi Indonesia di mata Sjahrir adalah harga mati. Sjahrir menjalankan politik diplomasi dengan pihak lawan meskipun ditentang oleh sebagian pihak. “Bung Kecil” ini pernah membuat kebijakan bantuan beras sekitar setengah juta ton kepada India yang kekurangan pangan pada 1946. Disadari atau tidak, bantuan beras ini sedikit banyak turut membuka mata internasional terhadap keberadaan Indonesia.

Membaca buku ini, jejak Sjahrir di zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, dan zaman kemerdekaan coba diungkap. Pemikirannya coba digali. Pengkajian pemikiran dan sepak terjang Sjahrir diperlukan demi penemuan pelajaran berharga.
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta