Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Kamis, 26 Mei 2011
MAHASISWA identik sebagai kaum intelektual. Strata tertinggi dalam jenjang pendidikan formal menempatkan mahasiswa pada kelompok masyarakat kelas menengah ke atas. Kesan keluarbiasaan mahasiswa kerap membahana mengingat kiprah mahasiswa dalam gerak zaman. Mahasiswa adalah aktor perubahan, kebangkitan, dan kemajuan bangsa. Dalam setiap perubahan, mahasiswa berada di garda terdepan sebagai salah satu kelompok muda yang menonjol
Mahasiswa memang telah mencipta nama dan fenemona dalam blantika kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian, mahasiswa bukan tanpa problema. Heroisme yang melekat pada mahasiswa bukan berarti menjamakkan kiprah dan kontribusi mahasiswa. Peran mahasiswa memang penting, tapi tak seluruh mahasiswa berpikir dan bertindak arif. Membaca mahasiswa, kita tetap harus mengenakan kacamata objektif. Mahasiswa adalah agen perubahan, namun tak setiap mahasiswa memiliki kesadaran dan menjadi arsitek yang menggerakkan perubahan. Idealisme mahasiswa sifatnya relatif. Sebagai bagian dari kelompok muda, mahasiswa tetap memiliki dua wajah: cerah dan buram. Menjadi mahasiswa hanya sekadar kebanggaan identitas, namun sepi dari perwujudan sosok mahasiswa yang ideal.
Maka, menurut penulis, istilah yang kerap mengemuka dan dilekatkan pada mahasiswa tak melulu dimaknai kebenaran. Mahasiswa merupakan sekelompok muda yang tetap perlu memperoleh pembinaan dan pematangan. Mahasiswa sebagai directur of change, iron stock, dan transformator masih membutuhkan pembuktian. Kampus merupakan wahana membentuk dan menempa mahasiswa memenuhi kriteria itu. Begitu pula kampus menjadi ruang pembinaan dan pematangan mahasiswa dalam ikhtiarnya menjadi sosok intelektual.
Bagi mahasiswa, posisi “dimahakan” ketika menginjak perguruan tinggi boleh jadi membanggakan. Bahkan, dengan kuliah saja telah memberikan status berbeda dengan siswa-siswa yang berada di jenjang pendidikan bawahnya. Posisi yang “memahakan siswa” di kampus itu amat tepat jika dimaknai sebagai tantangan. Mahasiswa ketika menempuh pendidikan di perguruan tinggi perlu senantiasa membuktikan tepatnya istilah-istilah heroik yang disematkan pada mahasiswa. Saat bergulat di kampus, mahasiswa harus berikhtiar menjadi seutuh-utuhnya mahasiswa (full student), bukan mahasiswa yang sekadar identitas.
Ikhtiar menjadi mahasiswa yang benar-benar mahasiswa perlu dilakukan. Menjadi mahasiswa yang bukan identitas semata. Mahasiswa perlu menyadari keberadaannya sebagai kaum akademisi yang tak hanya berkutat dengan perkuliahan. Sebagai intelektual, mahasiswa juga perlu bergerak pada wilayah operasionalisasi. Kata Ali Syariati, intelektual memiliki kesatuan dalam pikir dan tindakan, tak hanya berkutat pada teori dan gagasan, tapi juga terlibat dalam langkah operasional. Mahasiswa perlu mengamati fenomena kehidupan dan mampu bersikap kritis. Mahasiswa harus mampu memainkan peran sebagai penentu sekaligus pelaku sejarah.
Pada titik ini, ada cermin dari tokoh bangsa yang bisa dijadikan refleksi. Bung Karno dan Bung Hatta sebagai pemimpin di awal kemerdekaan, misalnya, tidak dimungkiri memiliki rekam jejak pendidikan formal yang terbilang tinggi. Mereka menjadi sebagian dari tokoh pergerakan nasional yang bergelut di dunia kampus, sekaligus melibatkan diri dalam denyut nadi masyarakat. Pergerakan mereka tidak dilakukan setelah lulus, tapi telah berperan ketika masih duduk di bangku kuliah. Dari Bung Karno dan Bung Hatta, mahasiswa juga bisa mengambil spirit untuk gila membaca. Ketekunan dan kesuntukan membaca memang hampir dimiliki oleh tokoh-tokoh mahasiswa di zaman pergerakan.
Bagi mahasiswa, bergerak dalam wadah organisasi juga menjadi keniscayaan untuk dapat mengorganisasi pelbagai potensi demi menggerakkan aksi dan memberikan kontribusi di tengah realitas sosial. Hal penting yang tak boleh dialpakan adalah kekuatan komitmen membangun negeri. Kehadiran mahasiswa memang dibutuhkan untuk menggenapkan keniscayaan regenerasi dalam perjalanan bangsa dan negara. Adanya komitmen yang telah dipupuk dan disemai di bangku kuliah harapannya mampu menghadirkan calon-calon pemimpin bangsa yang melakukan perbaikan di tengah kondisi bangsa dan negara yang kini masih berada dalam “terowongan gelap”.
Yang tidak bisa diabaikan, idealisme yang kuat perlu dipegang mahasiswa di mana pun dan kapan pun. Mahasiswa tidak hanya berkutat pada teori, tapi juga mampu konsisten menjalankan misi-misi sosial dan memperjuangkan kemaslahatan rakyat. Ketika tak lagi menjadi mahasiswa, idealisme tetap perlu dimiliki. Hal yang memunculkan ironi, mahasiswa ketika lulus kuliah menjadi pragmatis seperti yang terjadi ketika terlibat dalam ranah kekuasaan. Maka, mahasiswa perlu melatih diri sebagai negarawan ketika masih menempuh pendidikan di kampus. Seperti dikatakan Plato dalam Republic, al-Farabi lewat al-Madinah al Fadlilah, dan juga St. Augustinus melalui City of God-nya, negarawan mengumpulkan dalam dirinya dua sifat; sifat pemimpin dan sifat guru, sifat leader dan sifat philosopher, sifat umara dan ulama (Miftachul Huda, 2010). Mahasiswa bisa menempa diri untuk memiliki sifat-sifat sebagaimana disebutkan itu.
Mahasiswa memang seolah-olah tak sepi dari perbincangan. Apresiasi yang menggema tak sekadar sarat pujian. Kritik pun merupakan sebentuk apresiasi agar mahasiswa sudi memperbaiki diri. Sebagai manusia, mahasiswa tentu memiliki salah dan lupa. Mahasiswa tak hanya perlu mengingatkan, tapi juga layak diingatkan. Memang begitu besar harapan diberikan kepada mahasiswa. Kelompok kaum muda yang menempuh pendidikan tinggi ini akan mengisi ruang-ruang kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara di kemudian hari. Di pundak mahasiswa, ada harapan-harapan digantungkan. Pertanyaannya, siapkah mahasiswa berikhtiar menjadi mahasiswa seutuhnya? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Yogyakarta