Negeri yang Disandera Korupsi

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini Koran Wawasan, Selasa 7 April 2009

Tak terasa kampanye pemilu legislatif yang memakan ongkos begitu mahal telah selesai. Dengan biaya yang tidak sedikit itu ternyata kampanye belum menempatkan masyarakat sebagai subjek perubahan. Masyarakat masih diposisikan sebagai objek bagi parpol dan caleg untuk berburu kekuasaan. Iklan-iklan kampanye yang memakan biaya tinggi terlihat meremehkan sisi intelektualitas masyarakat. Dengan iklan-iklan yang ditebarkan, parpol dan caleg sekadar berpikir memikat masyarakat dan kalau memungkinkan memperdayai masyarakat.
Iklan yang dibuat meyakinkan memang bisa memikat masyarakat. Sisi emosi masyarakat disentuh dengan iklan-iklan politik yang seakan-akan peduli kehidupan masyarakat. Di sisi lain, mobilisasi massa begitu kentara dalam kampanye. Parpol dan caleg ternyata tidak mampu menggerakkan titik kesadaran masyarakat untuk memberikan dukungan atas dasar partisipasi dan afiliasi. Bahkan, bukan rahasia lagi jika sebagian parpol dan caleg memberi masyarakat sejumlah uang agar turut serta menyemarakkan kampanye. Jika parpol dan caleg beralasan masyarakat tak bisa digerakkan tanpa ”iming-iming”, itu sebenarnya bukanlah alasan yang masuk akal. Melihat realitas masyarakat, parpol dan caleg semestinya tidak bodoh dan bisa berpikir kreatif. Parpol dan caleg seharusnya tidak mempertahankan model kampanye yang bersifat pengerahan massa, tapi memformat kampanye dalam model lain. Kampanye yang bersifat memberdayakan masyarakat bisa dilakukan ketimbang menghamburkan uang untuk kampanye mobilisasi massa yang belum tentu jelas sisi manfaatnya.

Pastinya, masyarakat bukanlah objek untuk meraih kekuasaan. Hal yang cenderung berlebihan jika ada parpol dan juga caleg mengasumsikan masyarakat pragmatis dan tidak peduli dengan visi, misi, dan program parpol dan caleg. Justru parpol dan caleg yang berasumsi seperti itu layak disalahkan karena turut mempertahankan kultur pragmatisme masyarakat. Sikap mental pragmatis yang seharusnya dirombak malah dilanggengkan dengan model kampanye yang terkesan membodohkan masyarakat. Jika memang berkehendak kuat menghilangkannya, politik uang (money politics) bukannya tidak bisa dihindari.
Kekhawatiran kampanye yang mengeluarkan dana berlimpah akan menyandera negeri ini dengan perilaku korupsi tentu saja beralasan. Dengan merogoh kantong jutaan, bahkan miliaran tidak menutup kemungkinan menjadikan caleg terpilih berpikir pragmatis di kursi kekuasaan. Upaya mengembalikan modal yang pernah dikeluarkan selama kampanye dimungkinkan terjadi dan akhirnya melanggengkan perilaku korupsi. Yang menimbulkan kegawatan, caleg-caleg terpilih malah bermain dalam ranah konstruksi undang-undang untuk menutupi perilaku korupsinya. Jika saat ini pemberantasan korupsi dinilai sudah berjalan menuju baik, maka tidak ada jaminan terjadi kesinambungan di masa mendatang. Pasalnya, pemberantasan korupsi juga terkait dengan produk undang-undang dan hukum yang merupakan hasil pikiran manusia perumusnya.
Memang kita tidak bisa menggeneralisir kondisi caleg. Di samping ada caleg yang berpikir pragmatis, ada juga caleg yang berkomitmen menjalankan kinerja di parlemen sebaik-baiknya. Yang perlu ditegaskan, politik membutuhkan modal. Begitu juga caleg membutuhkan modal untuk memasuki ruang kekuasaan. Hanya saja tidak banyak caleg yang memaknai pengeluaran modal sebagai pengorbanan. Dalam hal ini, caleg pragmatis yang bertujuan menjadikan parlemen sebagai lahan mencari nafkah perlu dihindari dengan kecerdasan masyarakat menentukan pilihan. Masyarakat bisa membebaskan negeri ini dari sandera korupsi dengan memilih caleg yang jujur, amanah, bersih, dan memiliki kredibilitas. Caleg yang mengeluarkan modal dengan hutang tanpa mengukur kemampuan modal mandirinya adalah salah satu indikasi penyanderaan negeri ini dengan perilaku korupsi. Begitu juga caleg yang melakukan money politics akan membuka peluang perilaku korupsi. Masyarakat hendaknya berpikir jernih bahwa uang yang didapatkan selama kampanye hanya dinikmati sesaat, tapi berefek panjang ke depan.
Pungkasnya, lebih baik masyarakat menjadikan caleg gila daripada negeri ini disandera korupsi. Biarkan caleg pragmatis memasuki rumah sakit jiwa karena gagal meraih kekuasaan daripada memasuki gedung dewan dan melakukan korupsi di dalamnya. Kini saatnya masyarakat menjadi pemilih yang cerdas agar negeri ini tidak disandera korupsi. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa FIP Universitas Negeri Yogyakarta (UNY
)
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=29829&Itemid=62

0 komentar: