Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Fadhilah Jum'at Bernas Jogja, Jum'at 11 September 2009
Kita sering kali mendengar istilah kaum intelektual. Lalu, apa itu kaum intelektual? Intelektual yang dalam istilah Ali Syariati disebut rausyan fikr (pemikir yang tercerahkan) memiliki kesatuan pikir dan tindakan. Seorang intelektual tidak hanya berkutat pada teori dan gagasan, tapi juga terlibat dalam langkah operasional. Artinya, seorang intelektual adalah penentu sekaligus pelaku sejarah. Seorang intelektual mengamati fenomena kehidupan dan mampu bersikap kritis. Kata Jalaludin Rahmat, seorang intelektual merasa terpanggil memperbaiki dan mendengarkan aspirasi masyarakat. Seorang intelektual juga merumuskan dan menawarkan strategi dan alternatif pemecahannya. Tidak sekadar menyodorkan konsep, seorang intelektual tentu saja terlibat langsung dalam pelaksanaannya.
Untuk menjadi seorang intelektual sesungguhnya telah ada piranti-piranti yang disediakan oleh Allah SWT. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, ”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.”(Qs. An-Nahl:78). Pendengaran, penglihatan, dan hati ini merupakan piranti yang menjadikan kita memiliki pengetahuan, dari yang tidak berilmu menjadi berilmu. Dengan piranti itu, kita bisa mendengar, melihat, dan memahami ayat-ayat Allah SWT. Yang dimaksud ayat-ayat Allah SWT tidak hanya teks dalam Al-Qur’an, tapi juga apa yang terbentang di alam semesta. Seorang intelektual memang dituntut untuk mendalami dan mengkaji ayat-ayat Allah SWT sehingga memperoleh ilmu pengetahuan yang berdaya guna untuk membangun masyarakat. Seorang intelektual menyambut seruan Allah SWT, ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali ’Imran:190). Dengan kata lain, seorang intelektual tidak ingin seperti apa yang disebutkan Allah SWT dalam surat Al-A’raf ayat 179, ”......mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah)...”
Dalam melakukan tafakur (merenungkan dan memikirkan ayat-ayat Allah SWT), seorang intelektual senantiasa membarenginya dengan tasyakur. Artinya, apa yang diperoleh dari proses tafakur itu dilanjutkan dengan bersyukur. Wujud syukur tidak sekadar dalam hati atau ucapan alhamdulillah, tapi juga kehendak dan tindakan untuk menggunakan apa yang diperoleh dari tafakur untuk kemaslahatan kehidupan. Seorang intelektual memahami firman Allah SWT, ”(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhan-nya? Katakanlah, ”Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”(Qs. Az-Zumar:9). Dari ayat ini dapat dipahami bahwa dimensi transendensi memang harus menyatupadu dalam diri seorang intelektual. Dengan kata lain, aspek keimanan kepada Allah SWT mutlak dimiliki oleh seorang intelektual sehingga ilmu pengetahuan ataupun teknologi yang dicipta-kembangkan bukan justru menciptakan kehidupan yang gelap, namun harus mampu menciptakan kehidupan yang terang. Dengan demikian, dimensi transendensi merupakan landasan dan arah dari pikiran dan tindakan seorang intelektual. Sebagaimana diutarakan di muka, seorang intelektual tidak berkutat pada teori dan gagasan semata, maka seorang intelektual dituntut mampu berkarya dan membangun masyarakatnya. Dalam membangun masyarakat, dimensi transendensi (tu’minuna billah) menjadi arah dan landasan dari humanisasi (amar ma’ruf) dan liberasi (nahi munkar)—meminjam konsep ilmu sosial profetik Kuntowijoyo. Artinya, humanisasi, liberasi, dan transendensi harus berjalan beriringan dalam diri seorang intelektual agar dapat mewujudkan masyarakat terbaik. Hal ini jelas karena untuk dapat mewujudkan tatanan masyarakat yang ideal tentu saja harus memenuhi syarat-syaratnya sebagaimana firman Allah SWT, ”Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”(Qs. Ali ’Imran:110). Masyarakat terbaik tidak akan terwujud jika meninggalkan salah satu dari tiga syarat yang harus dipenuhi: amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minuna billah.
Bagi kita yang hendak menjadi seorang intelektual pada dasarnya bisa membaca jejak perjalanan para Nabi yang diutus Allah SWT. Para Nabi merupakan sosok intelektual yang hidup di tengah masyarakat dan membangun kehidupan masyarakatnya. Tidak hanya menyerukan wahyu dari Allah SWT, tapi juga melakukan tindakan konkret di tengah masyarakat berdasarkan wahyu dari Allah SWT. Sebut saja Nabi Shalih as di tengah kaum Tsamud, Nabi Hud as di tengah kaum ’Ad, Nabi Syu’aib as di tengah penduduk Al-Aikah, dan para Nabi lainnya. Nabi Muhammad SAW yang diutus bagi seluruh alam pun juga seorang intelektual yang membebaskan masyarakat dari kejahiliyahan (liberasi) dan mengangkat derajat ”kemanusiaan” manusia (humanisasi). Para Nabi dan siapa pun yang mengikuti dan meneruskan cita dan risalah para Nabi merupakan intelektual profetik.
Pertanyaannya, mampukah kita menjadi seorang intelektual profetik yang meneruskan cita dan risalah para Nabi? Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro
Pegiat Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta
Dimuat di Fadhilah Jum'at Bernas Jogja, Jum'at 11 September 2009
Kita sering kali mendengar istilah kaum intelektual. Lalu, apa itu kaum intelektual? Intelektual yang dalam istilah Ali Syariati disebut rausyan fikr (pemikir yang tercerahkan) memiliki kesatuan pikir dan tindakan. Seorang intelektual tidak hanya berkutat pada teori dan gagasan, tapi juga terlibat dalam langkah operasional. Artinya, seorang intelektual adalah penentu sekaligus pelaku sejarah. Seorang intelektual mengamati fenomena kehidupan dan mampu bersikap kritis. Kata Jalaludin Rahmat, seorang intelektual merasa terpanggil memperbaiki dan mendengarkan aspirasi masyarakat. Seorang intelektual juga merumuskan dan menawarkan strategi dan alternatif pemecahannya. Tidak sekadar menyodorkan konsep, seorang intelektual tentu saja terlibat langsung dalam pelaksanaannya.
Untuk menjadi seorang intelektual sesungguhnya telah ada piranti-piranti yang disediakan oleh Allah SWT. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, ”Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.”(Qs. An-Nahl:78). Pendengaran, penglihatan, dan hati ini merupakan piranti yang menjadikan kita memiliki pengetahuan, dari yang tidak berilmu menjadi berilmu. Dengan piranti itu, kita bisa mendengar, melihat, dan memahami ayat-ayat Allah SWT. Yang dimaksud ayat-ayat Allah SWT tidak hanya teks dalam Al-Qur’an, tapi juga apa yang terbentang di alam semesta. Seorang intelektual memang dituntut untuk mendalami dan mengkaji ayat-ayat Allah SWT sehingga memperoleh ilmu pengetahuan yang berdaya guna untuk membangun masyarakat. Seorang intelektual menyambut seruan Allah SWT, ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali ’Imran:190). Dengan kata lain, seorang intelektual tidak ingin seperti apa yang disebutkan Allah SWT dalam surat Al-A’raf ayat 179, ”......mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah)...”
Dalam melakukan tafakur (merenungkan dan memikirkan ayat-ayat Allah SWT), seorang intelektual senantiasa membarenginya dengan tasyakur. Artinya, apa yang diperoleh dari proses tafakur itu dilanjutkan dengan bersyukur. Wujud syukur tidak sekadar dalam hati atau ucapan alhamdulillah, tapi juga kehendak dan tindakan untuk menggunakan apa yang diperoleh dari tafakur untuk kemaslahatan kehidupan. Seorang intelektual memahami firman Allah SWT, ”(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhan-nya? Katakanlah, ”Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”(Qs. Az-Zumar:9). Dari ayat ini dapat dipahami bahwa dimensi transendensi memang harus menyatupadu dalam diri seorang intelektual. Dengan kata lain, aspek keimanan kepada Allah SWT mutlak dimiliki oleh seorang intelektual sehingga ilmu pengetahuan ataupun teknologi yang dicipta-kembangkan bukan justru menciptakan kehidupan yang gelap, namun harus mampu menciptakan kehidupan yang terang. Dengan demikian, dimensi transendensi merupakan landasan dan arah dari pikiran dan tindakan seorang intelektual. Sebagaimana diutarakan di muka, seorang intelektual tidak berkutat pada teori dan gagasan semata, maka seorang intelektual dituntut mampu berkarya dan membangun masyarakatnya. Dalam membangun masyarakat, dimensi transendensi (tu’minuna billah) menjadi arah dan landasan dari humanisasi (amar ma’ruf) dan liberasi (nahi munkar)—meminjam konsep ilmu sosial profetik Kuntowijoyo. Artinya, humanisasi, liberasi, dan transendensi harus berjalan beriringan dalam diri seorang intelektual agar dapat mewujudkan masyarakat terbaik. Hal ini jelas karena untuk dapat mewujudkan tatanan masyarakat yang ideal tentu saja harus memenuhi syarat-syaratnya sebagaimana firman Allah SWT, ”Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”(Qs. Ali ’Imran:110). Masyarakat terbaik tidak akan terwujud jika meninggalkan salah satu dari tiga syarat yang harus dipenuhi: amar ma’ruf, nahi munkar, dan tu’minuna billah.
Bagi kita yang hendak menjadi seorang intelektual pada dasarnya bisa membaca jejak perjalanan para Nabi yang diutus Allah SWT. Para Nabi merupakan sosok intelektual yang hidup di tengah masyarakat dan membangun kehidupan masyarakatnya. Tidak hanya menyerukan wahyu dari Allah SWT, tapi juga melakukan tindakan konkret di tengah masyarakat berdasarkan wahyu dari Allah SWT. Sebut saja Nabi Shalih as di tengah kaum Tsamud, Nabi Hud as di tengah kaum ’Ad, Nabi Syu’aib as di tengah penduduk Al-Aikah, dan para Nabi lainnya. Nabi Muhammad SAW yang diutus bagi seluruh alam pun juga seorang intelektual yang membebaskan masyarakat dari kejahiliyahan (liberasi) dan mengangkat derajat ”kemanusiaan” manusia (humanisasi). Para Nabi dan siapa pun yang mengikuti dan meneruskan cita dan risalah para Nabi merupakan intelektual profetik.
Pertanyaannya, mampukah kita menjadi seorang intelektual profetik yang meneruskan cita dan risalah para Nabi? Wallahu a’lam.
Hendra Sugiantoro
Pegiat Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar