Ibu, Kunci Pendidikan Anak

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Kamis 14 Januari 2010

BEGITU banyak problematika kontemporer yang menyita perhatian kita. Permasalahan itu begitu memprihatinkan ketika pelaku utamanya adalah anak-anak muda yang masih tumbuh berkembang. Tawuran antarpelajar, misalnya, sering kali mencuat, bahkan sampai menimbulkan kematian jiwa. Aksi-aksi kekerasan jalanan juga dilakukan anak-anak muda. Pun, anak-anak muda merupakan sebagian dari pelaku utama kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan kriminalitas.

Menyaksikan fakta yang terjadi, solusi jitu coba ditawarkan. Kunci utama mengatasi kenakalan remaja adalah dengan cara mendidik mereka secara baik. Wacana pendidikan moral sudah lama bergaung meskipun sebenarnya masih mengalami kesulitan dalam penerapannya. Pendidikan agama juga tidak terlepas dari upaya revitalisasi agar memberikan makna bagi pembentukan moralitas. Tak ketinggalan pula anjuran memberikan keteladanan sebagai sarana pembangunan karakter dan pendidikan anak-anak.

Pastinya, solusi apapun yang ditawarkan itu tentu saja sangat bermanfaat. Anak-anak muda jelas perlu diarahkan dan dididik menjadi generasi yang memiliki kecerdasan akal sekaligus memiliki perilaku mulia. Namun, disadari atau tidak, ada yang kita lupakan terkait dengan pendidikan anak-anak muda. Kita boleh saja menerapkan pendidikan moral dalam lingkungan sekolah ataupun seperti yang dilakukan saat ini dengan mendirikan kantin kejujuran untuk menegakkan perilaku antikorupsi, tapi akan kontraproduktif jika melalaikan pendidikan dalam lingkungan rumah tangga.

Tentu saja, siapa pun tidak memungkiri jika pendidikan terhadap anak akan efektif jika dilakukan semenjak dini. Anak pada usia 0-6 tahun dikatakan berada dalam usia emas (golden age). Menurut Elizabeth B Hurlock (1978), anak mengalami tahapan perkembangan fisik, perkembangan motorik, perkembangan bicara, perkembangan emosi, perkembangan sosial, perkembangan bermain, perkembangan kreativitas, dan perkembangan moral pada usia emas tersebut. Jadi, pada titik inilah perhatian kita perlu ditujukan dalam upaya melahirkan generasi masa depan Indonesia yang berkualitas.

Dengan menyadari pentingnya pendidikan anak sejak dini, kita juga perlu berpikir bijak sekaligus jernih. Pendidikan anak usia dini yang saat ini cenderung diformalkan tentu layak diapresiasi. Tapi, pernahkah kita berpikir bahwa pendidikan anak pada usia dini membutuhkan guru yang terbaik? Guru yang terbaik untuk mendidik anak-anak agar memiliki ketangguhan akal, fisik, dan hati tidak lain adalah seorang ibu. Ibulah yang sebenarnya menjadi pendidik utama dan pertama yang dimulai sejak anak menghembuskan nafas dalam kehidupan ini. Bahkan, pendidikan yang dilakukan ibu sudah berlangsung ketika anak masih dalam kandungan.

Pernyataan di atas tidaklah mengada-ada. Seorang ibulah yang memiliki kedekatan psikologis dengan anaknya. Bagaimana tidak, sekian bulan anak yang masih berupa janin ada di rahim ibunya. Ibulah yang telah bersusah payah mengandung dan melahirkan anak sehingga bisa lahir dalam kehidupan di dunia ini. Diakui atau tidak, kedekatan psikologis itu merupakan modal dasar bagi ibu untuk mendidik anaknya. Kasih sayang dan perhatian intensif yang diberikan ibu akan mampu membentuk kepribadian anak. Erich Fromm dalam The Art of Loving (1962) mengartikan ibu dengan metafor liris: “Ibu adalah rumah dari mana manusia datang. Ibu adalah alam, tanah, lautan.” Metafor itu mengingatkan manusia pada fragmen-fragmen peradaban dari referensi-referensi alam. Ibu sebagai rumah adalah asal dan tujuan. Rumah tentu memberi limpahan nilai dan anutan untuk hidup dalam absorsi cinta dan kasih. Ibu dalam pengertian alam, tanah, dan lautan mengandung makna kompleks. Ibu sebagai alam tentu mengajarkan hidup secara produktif dan konstruktif. Ibu sebagai tanah mengajarkan keimanan atas sumber hidup dan kerja. Ibu sebagai lautan adalah khazanah dalam keluasan dan kedalaman nilai-praksis hidup (Bandung Mawardi:2009)

Ibulah pendidik yang sebenarnya bagi seorang anak yang masih berusia dini. Ada pengalaman dari negeri Jepang yang menarik diperhatikan. Seorang perempuan Jepang bernama Nobo Asakawa yang pernah menjadi duta besar di Paris pernah mengatakan bahwa kekuatan Jepang dewasa ini adalah karena para ibu memperhatikan sepenuhnya anak-anak mereka (Muhammad Thalib: 1999). Jadi, ibu sudah selayaknya diposisikan sebagai manusia yang mulia dengan mendidik anaknya secara baik. Kaum perempuan tidak dilarang untuk bekerja di luar rumah, tapi seyogianya tidak mengabaikan intensitas perhatian dan kasih sayangnya untuk anak. Pada usia dini, ibu dibutuhkan anak agar selalu dekat dengannya. Bekerja di luar rumah boleh saja dilakukan, tapi hak anak mendapatkan air susu ibu sampai usianya menginjak sekitar 2 tahun tidak boleh dilalaikan. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute Universitas Negeri Yogyakarta

1 komentar:

Di masa yang akan datang, tugas itu berat sekali. Bukan karena 10 tahun yang akan datang perkembangan ekonomi global sudah sangat pesat sehingga perlu bekerja lebih keras untuk membantu suami agar asap dapur tetap bisa mengepul, tapi karena 10 tahun lagi, anak-anak kita sudah berhadapan denagn arus informasi yang luar biasa pesatnya.
Membesarkan seorang anak yang lahir di era 80-an tak sesulit membesarkan anak yang lahir di millennium ketiga. Bayangkan tiap saat seorang ibu harus mengkontrol apa yang ditonton oleh anaknya di televisi. Harus selalu siap mensortir tiap makanan yang dikonsumsi, memeriksa handphone mereka, memastikan bahwa tak ada video aneh di ponsel. Harus memasang kabel internet di rumah sendiri agar tetap bisa mengkontrol situs apa saja yang ia buka, tak sebebas ketika ia mengakses di warnet.
Berat sekali, karena entah beberapa tahun lagi, semua jenis mainan tradisional akan segera lenyap, digantikan oleh game-online, play station. Tak ada lagi cublak-cublak suweng, main petak umpet, main kelereng atau main karet. Arus informasi sudah mulai menggila.
Berat sekali tugas ibu di masa yang akan datang, karena mengajarkan akhlak yang baik tak semudah mengajarkan berhitung bagi mereka. Harus ada proteksi dari segala arah. Karena mempersiapkan seorang anak sama saja mempersiapkan sebuah generasi baru. Generasi bangsa yang lebih baik.