Merevitalisasi Pers Mahasiswa

Nguda Rasa, Koran Merapi, 7 Juni 2010

Dinamika kehidupan kampus tidak dapat terlepas dari keberadaan pers mahasiswa. Sebagai sebuah lembaga penerbitan pers, pers mahasiswa memiliki arti penting sebagaimana dilakukan pers umum. Fungsi pers mahasiswa pada dasarnya mencakup fungsi yang dijalankan pers nasional, yakni sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial (UU No. 40/1999 tentang Pers). Yang menjadi pertanyaan, bagaimana kondisi pers mahasiswa dalam kurun waktu belakangan ini?

Entah disadari atau tidak, pers mahasiswa seperti kehilangan elan vitalnya. Ada beragam alasan pers mahasiswa di beberapa kampus kurang menggigit, bahkan cenderung bergerak apa adanya. Pers mahasiswa kurang memberikan daya pengaruh dan kontrol sosial terhadap kehidupan kampus. Alasan yang sering kali mengemuka adalah tuntutan akademik yang bisa dikatakan ”membelenggu” pers mahasiswa berekspresi. Keharusan masuk kuliah dengan prosentase 75%, misalnya, menjadi hambatan tersendiri. Alasan yang sering kali diungkapkan itu ditambah dengan mahalnya biaya kuliah yang menyeret pegiat pers mahasiswa pada sikap pragmatis. Alasan tersebut sebenarnya tidak hanya milik pers mahasiswa semata, tapi juga aktivitas organisasi kemahasiswaan lainnya. Adanya peraturan masuk kuliah dan tuntutan ”cepat kuliah hemat biaya” semestinya bukan menjadi alasan pers mahasiswa meredup. Manajemen sivitas pers mahasiswa menjadi keniscayaan sehingga setiap potensi bisa dioptimalkan. Apalagi tuntutan 75% masuk kuliah bukan berarti tidak ada waktu untuk menggarap pers mahasiswa. Dalam hal ini, orientasi menjadi titik tekan yang sedikit banyak menentukan arah gerak pers mahasiswa.

Berbicara lebih jauh, ada tantangan yang sebenarnya membuat kehidupan pers mahasiswa kurang gereget. Keterlibatan mahasiswa untuk berkecimpung dalam dunia pers mahasiswa, misalnya, bisa dikatakan merupakan pilihan. Di lingkup kampus, medan aktivitas mahasiswa tidak hanya di dunia pers, tapi ada medan lain yang juga menjadi pilihan mahasiswa. Sebut saja misalnya mahasiswa lebih tertarik terjun dalam bidang penelitian ketimbang aktif dalam bidang pers. Terlibat aktif dalam kegiatan mahasiswa di bidang terkait penelitian sering kali dilihat mahasiswa lebih bergengsi daripada bergumul dalam dunia pers. Pada titik ini, daya tawar kegiatan pers mahasiswa seakan-akan masih kalah kuat dengan kegiatan penelitian. Kegiatan penelitian yang mengarahkan mahasiswa turut serta dalam berbagai macam lomba karya tulis diakui lebih memikat. Pihak universitas atau fakultas yang rajin menstimulasi mahasiswa untuk memenangkan lomba karya tulis kian menguatkan daya tawar kegiatan penelitian di mata mahasiswa. Memang kegiatan penelitian tetap penting bagi mahasiswa, namun rendahnya daya tawar kegiatan pers menyebabkan mahasiswa enggan aktif menghidupkan pers mahasiswa. Mahasiswa lebih enjoy ikut ajang lomba karya tulis dimanapun ketimbang mondar-mandir meliput berita. Meskipun keduanya berkaitan dengan dunia tulis-menulis, kegiatan penelitian dan pers tetap berbeda pada sisi tertentu.

Diakui atau tidak, pihak universitas ataupun fakultas memang lebih mengarahkan mahasiswa aktif dalam bidang penelitian. Ada berbagai sebab dari yang idealis sampai yang pragmatis. Yang idealis seperti kegiatan penelitian akan menopang kelancaran studi karena nantinya mahasiswa harus menempuh tugas akhir yang tentu saja berhubungan dengan penelitian. Adapun yang pragmatis karena memenangkan ajang lomba karya tulis akan meningkatkan citra universitas ke eksternal kampus atau prestise fakultas satu dengan fakultas yang lain. Adanya mahasiswa yang fasih membuat berita investigatif masih kalah jauh dengan mahasiswa yang menjadi juara lomba karya tulis ilmiah. Sisi lain yang bukan rahasia lagi, ada sebagian universitas ataupun fakultas takut terhadap taring pers mahasiswa. Pers mahasiswa sering kali mengungkap ”fakta-fakta tersembunyi” sehingga ada kekhawatiran tersendiri bagi pihak birokrasi kampus. Adanya tantangan rendahnya daya tawar kegiatan pers di mata mahasiswa memang sulit dibantah. Tidak hanya berhadap-hadapan dengan daya tarik kegiatan penelitian, kegiatan pers juga berhadapan dengan sebuah pilihan mahasiswa yang lebih tertarik berkecimpung dalam kegiatan politik kampus.

Meskipun dijumpai tantangan yang menurut penulis menjadi keniscayaan, idealisme harus tetap terjaga di benak para pegiat pers mahasiswa. Untuk tetap menjaga kesinambungan pers mahasiswa, kaderisasi merupakan hal yang tak bisa diabaikan. Kaderisasi ini tidak sebatas rekrutmen, tapi juga pewarisan nilai dan pembinaan. Perlu dibangun kebanggaan tersendiri di lingkup internal pers mahasiswa terkait pekerjaan di bidang pers dan jurnalistik. Motivasi dan semangat pegiat pers mahasiswa senantiasa perlu dijaga sehingga konsisten terlibat aktif dalam dunia pers dan jurnalistik. Kesadaran terhadap pentingnya posisi pers mahasiswa dalam kehidupan kampus harus terpelihara. Kegiatan pers mahasiswa tidak sekadar belajar ketrampilan jurnalistik, tapi juga membawa misi mencerdaskan masyarakat kampus. Dengan bergerak di bidang garapannya, pers mahasiswa perlu berkontribusi membentuk pemikiran, sikap, dan perilaku masyarakat kampus. Selaras dengan fungsinya, pers mahasiswa bisa melakukan kontrol sosial terhadap kehidupan kampus.
Pungkasnya, pers mahasiswa memang tidak boleh mati. Pers mahasiswa dibutuhkan kontribusinya dalam upaya mencerdaskan masyarakat kampus dengan penerbitan persnya. Dengan sikap kritis, analitis, dan progresifnya, siapa pun yang bergerak di pers mahasiswa adalah pekerja peradaban. Pers mahasiswa membawa unsur pencerahan dengan semangat menegakkan kejujuran, kebenaran, keadilan, dan mencegah kemungkaran dalam kehidupan masyarakat kampus. Wallahu a’lam.
ENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute pada Universitas Negeri Yogyakarta

3 komentar:

pengalman beberpa kali wawancara denagn birokrasi kampus, ketika memperkenalkan diri di awal obrolan bahwa kami sebagai "mahasiswa pers" yang akan memberitakan sesuatu, di akhir wawancsara selalu ditutup dnegan "mba..nanti kalau tulisannya sudah jadi, saya lihat dulu ya, barangkali masih ada yang keliru"
terlihat sekali bahwa dari birokrasi takut untuk "terlihat salah" di depan mahasiswa, mungkin disini posisi penting dari pers mahasiswa...
jadi inget,pernah baca di buku-nya Tere Liye.."hanya orang bodoh yang berani berbicara macam-macam di depan wartawan"

permasalahan ini permasalahan mengekang kebebasan pers. Pers memiliki hak untuk menolak kebijakan tersebut.

betul, kalau perlu sebaiknya pers kampus tidak usah mendapat sokongan dana dari birokrasi, pers mahasiswa harus mandiri.
lebih baik membayar mahal untuk "mulut" yang bebas dan sesuai visi misi lembaga pers dibandingkan mendapat dana dari birokrasi tapi kemudian birokrasi turut ambil kebijakan (baca:ikut campur)dalam tiap pemberitaan.