Sosok ini lahir di Sumatera Barat. Tanggal lahirnya simpang siur, banyak yang menyebut pada 2 Juni 1897. Namanya (sempat) tak populer bagi masyarakat negeri ini, khususnya bagi anak-anak di bangku sekolah yang tak menemukan namanya dalam buku profil pahlawan nasional. Padahal, gelar pahlawan nasional telah diberikan kepadanya lewat Keputusan Presiden No. 53/1963. Ia adalah Ibrahim Datuk Tan Malaka.
Bagi tokoh pergerakan nasional, Tan Malaka sebenarnya bukan nama asing. Ia turut menentang imperialisme dan kolonialisme Belanda. Pemikirannya ternyata dipelajari oleh Bung Karno, WR Soepratman, Sukarni, dan tokoh lainnya. Mungkin diperlukan penyelidikan lebih lanjut siapa yang menggagas pertama kali konsep Republik Indonesia. Tulisan Tan Malaka berjudul Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) bisa menjadi bukti. Tulisan itu lebih dahulu ada sebelum Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) karya Bung Hatta pada 1928 ataupun Menuju Indonesia Merdeka karya Bung Karno pada 1933 (halaman 3). Mestika Zed yang menyumbang tulisan dalam buku ini mengatakan Tan Malaka memilih mengabdikan diri dan intelektualitasnya sebagai nasionalis sejati yang ikut merajut gagasan tentang the imagined community (halaman 151). Tulisan Tan Malaka dibuat dalam bentuk brosur panjang yang kerapkali disebut buku. Entah disebut brosur panjang atau buku, itu hanya persoalan bentuk.
Tan Malaka menulis dalam pengantar Naar de Republiek Indonesia, “Jiwa saya dari sini dapat menghubungi golongan terpelajar (intelektuil) dari penduduk Indonesia dengan buku ini sebagai alat.” Tulisan Tan Malaka dalam bentuk brosur panjang ini memang dibuat di negeri manca. Ketika pertama kali terbit di Kanton pada April 1925 tak jelas berapa eksemplar dicetak. Yang pasti cuma beberapa buah yang berhasil masuk ke Indonesia. Tan Malaka kembali mencetak tulisan panjang itu ketika berada di Filipina pada Desember 1925. Cetakan kedua inilah yang kemudian menyebar luas melalui jaringan Perhimpunan Pelajar Indonesia. Bahkan, para pemuda mengetik ulang buku ini—setiap kali dengan karbon rangkap tujuh. Para pemimpin perjuangan, termasuk Bung Karno yang kala itu memimpin Klub Debat Bandung, membaca buku Tan Malaka (halaman 83).
Selain itu, Tan Malaka juga menulis Massa Actie (1926). Tulisan-tulisan Tan Malaka menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda Sayuti Melik, misalnya, mengenang Bung Karno dan Ir Anwari membaca dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pledoinya, Indonesia Menggugat. WR. Supratman pun membaca tuntas Massa Actie. Ia memasukkan kalimat “Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk “Khayal Seorang Revolusioner” (halaman 3-4).
Bagi sebagian kita, perihal Tan Malaka dan pengaruh tulisan-tulisannya itu mungkin masih multi tafsir. Benarkah tulisan Tan Malaka mengilhami tokoh-tokoh pergerakan nasional di negeri ini? Membaca buku ini, pastinya kita diajak menelusuri pernik-pernik peristiwa terkait jejak Tan Malaka. Bagi kebanyakan kita, Tan Malaka kerap diidentikkan sebagai tokoh komunis. Namun, Tan Malaka justru kerap berseberangan dengan pikiran dan pendapat kawan-kawannya di PKI, seperti penolakannya terhadap rencana pemberontakan pada 1926. Begitu pula sikapnya yang mendukung Pan Islamisme bertolak belakang dengan pendapat Komunis Internasional. Tan Malaka terlibat dalam dunia pendidikan ketika berada di Deli. Baginya, kemerdekaan rakyat hanya bisa diperoleh dengan pendidikan kerakyatan. Pada 1921, ia hijrah ke Semarang dan mendirikan sekolah rakyat yang kemudian menyebar ke berbagai daerah lainnya (halaman 65-71). Sejak Maret 1922, ia harus menjadi orang yang diasingkan, diburu, dan dijadikan target operasi polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Ia berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain dengan beragam nama samaran.
Tan Malaka berhasil kembali ke Indonesia pada 1942. Pada 1946, Tan Malaka dan Jenderal Soedirman pernah bertemu dan mempertautkan kesamaan sikap: menentang jalan diplomasi pemerintahanan. Bagi mereka, ”berunding berarti kemerdekaan kurang dari 100%.” Jalan oposisi ini membawa Tan Malaka ke penjara sejak 17 Maret 1946. Saat Agresi Militer Belanda, Tan Malaka disebut turut menggerakkan perang gerilya (halaman 33-44). Berbagai peristiwa terkait Tan Malaka dalam buku ini menarik disimak, seperti soal wasiat Bung Karno kepada Tan Malaka, perempuan terdekat Tan Malaka, misteri kematiannya, dan sebagainya. Tentu, siapa pun tak dilarang bersikap kritis dan membuat penafsiran setelah membaca buku ini. Historia docet.
HENDRA SUGIANTORO