Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Jum'at 11 Februari 2011
Buku adalah tanda bahwa aksara telah dirayakan. Banyak pujangga, sastrawan, dan penulis mengkalimatkan aksara dalam buku-buku yang dicetak dan diterbitkan. Untuk memperoleh buku adalah perkara mudah. Di toko ataupun di emperan penjualan buku, kita dapat membeli beragam jenis buku sesuai keinginan.
Tanpa harus membeli demi mendapatkan buku, kita juga bisa pergi ke perpustakaan. Banyak perpustakaan yang bisa kita kunjungi, dari perpustakaan daerah sampai perpustakaan kabupaten/kota. Di sekolah dan di kampus, perpustakaan telah menyediakan beragam buku untuk dibaca. Lewat perpustakaan, kita tak harus mengeluarkan banyak uang untuk membeli buku. Kita bisa meminjam dan melahap buku-buku cukup dengan mendaftar sebagai anggota perpustakaan. Perpustakaan di setiap perguruan tinggi juga bisa dikunjungi meskipun cenderung tak diperkenankan dibawa pulang. Artinya, siapa pun kita tak kesulitan mendapatkan buku dan membacanya.
Dengan banyaknya buku yang bisa dibaca di perpustakaan, kita layak mensyukuri. Di perpustakaan daerah (Perpusda) DIY, misalnya, ada buku-buku lama yang masih bisa dibaca. Meskipun demikian, tidak setiap buku bisa kita peroleh. Dilihat dari buku-buku yang tersedia, buku-buku terbitan teranyar lebih mudah didapatkan di Perpustakaan Kota (Perpuskot) Yogyakarta. Yang penulis saksikan, Perpuskot kerap kedatangan buku-buku terbaru. Buku-buku terbitan terbaru malah sulit didapatkan di Perpusda yang lebih didominasi buku-buku terbitan lama. Penambahan koleksi perpustakaan dengan mendatangkan buku-buku yang belum ada sebenarnya telah terjadwal di masing-masing perpustakaan, seperti dalam setahun dilakukan dua kali atau sesuai kebijakan. Melimpahnya buku di perpustakaan jelas suatu anugerah.
Namun, anugerah itu bukan tanpa dilema. Coba kita bayangkan, seberapa banyak buku diterbitkan di negeri ini setiap tahunnya? Semenjak Orde Baru tumbang, jumlah penerbit tak terhitung jumlahnya. Penerbitan buku pun tak lagi menemui kesulitan. Kita bisa menyimpulkan adanya ratusan ribu (malah mencapai jutaan) buku dicetak dan diterbitkan dalam puluhan tahun sejak era sebelum kemerdekaan sampai kini. Buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka pada awal abad 20, misalnya, bukannya tak sedikit. Dari buku-buku itu ada yang terus dicetak ulang ketika Indonesia mencapai kemerdekaan. Sampai kini, banyak penerbit melakukan cetak ulang untuk buku-buku yang dinilai terbaik dan best seller. Begitu banyak buku jika ditambah pula buku-buku terjemahan dari sastrawan dan penulis negeri manca.
Adanya penerbitan dan pencetakan ulang buku jelas merupakan anugerah bagi generasi bangsa. Generasi bangsa yang hidup di zaman berbeda masih bisa menikmati dan membaca buku-buku lama yang meskipun tak didapatkan di toko-toko buku, tapi bisa didapatkan di perpustakaan. Tapi, apakah pengunjung perpustakaan yang membutuhkan buku-buku lama tertentu bisa mudah mendapatkannya? Apakah seluruh buku-buku lama masih tetap ada?
Disadari atau tidak, penerbitan buku juga memunculkan problema terhadap perpustakaan akibat rak-rak yang tak mencukupi untuk menampung seluruh buku. Buku-buku bertambah hampir setiap tahun yang tentu perlu menambah rak. Meskipun hal ini telah dilakukan, namun bangunan perpustakaan yang justru tak mendukung. Penyediaan rak tentu juga harus memperhatikan penataan ruang. Akibatnya, buku-buku terbitan lama lebih sering disimpan dan digudangkan (atau mungkin dijual?). Di Perpusda, misalnya, terdapat buku-buku terbitan lama, tapi bukan berarti seluruh buku terbitan lama tersedia. Malah buku-buku lama tertentu tak tersedia meskipun telah mengunjungi seluruh perpustakaan di DIY. Mungkin bagi sebagian kita tak terlalu masalah karena banyak yang lebih membutuhkan buku-buku terbaru, namun demikian buku-buku terbitan lama bukannya tidak penting.
Menurut penulis, buku-buku terbitan lama masih perlu dijaga. Perlunya menjaga buku-buku terbitan lama ini tak sekadar untuk keperluan riset pustaka dan urusan studi, tapi untuk “kebutuhan membaca”. Setiap buku terbitan lama dan anyar masih dibutuhkan. Dengan menyimpan banyak buku, perpustakaan memang bisa dikiaskan sebagai “museum buku”. Namun, kita juga membutuhkan museum buku dalam arti sebenarnya, yang menyimpan dan menjaga buku-buku lama dari kepunahan. Buku-buku lama maupun buku-buku yang tak lagi diterbitkan perlu dimuseumkan demi kebutuhan membaca setiap generasi kini dan mendatang.
Bagaimana pun, buku tak sekadar kumpulan aksara tanpa makna. Buku telah merekam jejak peristiwa. Buku juga menyampaikan ilmu, hikmah, dan kebijaksanaan. Buku menjadikan setiap manusia memiliki kedalaman pengetahuan dan wawasan. Dengan buku, manusia memiliki pikiran dan jiwa besar, mampu mengimajinasikan dan merancang masa depan. Membaca buku, kita membaca zaman. Tak sekadar teks, buku juga menyimpan nilai-nilai di setiap zaman yang bisa menjadi pelajaran. Dengan adanya museum buku, kita menjaga sejarah. Tak hanya lembaran-lembaran yang dijilid, buku juga menghadirkan penulis dan pengarang. Museum buku juga menjaga sosok penulis dan pengarang dengan pikiran dan gagasannya.
Berdirinya museum buku di kota Yogyakarta menjadi hal luar biasa. Tim khusus bisa dibentuk dalam upaya penelusuran dan pemerolehan buku-buku lama yang kini tak lagi beredar. Bagi masyarakat yang memiliki buku-buku terbitan lama bisa berkontribusi menyumbangkan bukunya. Museum buku akan menampung buku-buku terbitan zaman prakemerdekaan sampai zaman kini. Mendirikan bangunan yang pastinya bertingkat, pengadaan buku dan perawatannya, dan juga petugas yang mengelolanya memang dibutuhkan dana besar. Namun, museum buku yang diperlukan untuk “kebutuhan membaca” setiap generasi tak mungkin tanpa pengorbanan. Nantinya buku-buku di museum buku tak dipinjamkan, namun bisa dibaca. Buku perlu tersebar dan terbaca secara luas. Bukankah begitu? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute&Pena Profetik Yogyakarta
Dimuat di Nguda Rasa Koran Merapi, Jum'at 11 Februari 2011
Buku adalah tanda bahwa aksara telah dirayakan. Banyak pujangga, sastrawan, dan penulis mengkalimatkan aksara dalam buku-buku yang dicetak dan diterbitkan. Untuk memperoleh buku adalah perkara mudah. Di toko ataupun di emperan penjualan buku, kita dapat membeli beragam jenis buku sesuai keinginan.
Tanpa harus membeli demi mendapatkan buku, kita juga bisa pergi ke perpustakaan. Banyak perpustakaan yang bisa kita kunjungi, dari perpustakaan daerah sampai perpustakaan kabupaten/kota. Di sekolah dan di kampus, perpustakaan telah menyediakan beragam buku untuk dibaca. Lewat perpustakaan, kita tak harus mengeluarkan banyak uang untuk membeli buku. Kita bisa meminjam dan melahap buku-buku cukup dengan mendaftar sebagai anggota perpustakaan. Perpustakaan di setiap perguruan tinggi juga bisa dikunjungi meskipun cenderung tak diperkenankan dibawa pulang. Artinya, siapa pun kita tak kesulitan mendapatkan buku dan membacanya.
Dengan banyaknya buku yang bisa dibaca di perpustakaan, kita layak mensyukuri. Di perpustakaan daerah (Perpusda) DIY, misalnya, ada buku-buku lama yang masih bisa dibaca. Meskipun demikian, tidak setiap buku bisa kita peroleh. Dilihat dari buku-buku yang tersedia, buku-buku terbitan teranyar lebih mudah didapatkan di Perpustakaan Kota (Perpuskot) Yogyakarta. Yang penulis saksikan, Perpuskot kerap kedatangan buku-buku terbaru. Buku-buku terbitan terbaru malah sulit didapatkan di Perpusda yang lebih didominasi buku-buku terbitan lama. Penambahan koleksi perpustakaan dengan mendatangkan buku-buku yang belum ada sebenarnya telah terjadwal di masing-masing perpustakaan, seperti dalam setahun dilakukan dua kali atau sesuai kebijakan. Melimpahnya buku di perpustakaan jelas suatu anugerah.
Namun, anugerah itu bukan tanpa dilema. Coba kita bayangkan, seberapa banyak buku diterbitkan di negeri ini setiap tahunnya? Semenjak Orde Baru tumbang, jumlah penerbit tak terhitung jumlahnya. Penerbitan buku pun tak lagi menemui kesulitan. Kita bisa menyimpulkan adanya ratusan ribu (malah mencapai jutaan) buku dicetak dan diterbitkan dalam puluhan tahun sejak era sebelum kemerdekaan sampai kini. Buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka pada awal abad 20, misalnya, bukannya tak sedikit. Dari buku-buku itu ada yang terus dicetak ulang ketika Indonesia mencapai kemerdekaan. Sampai kini, banyak penerbit melakukan cetak ulang untuk buku-buku yang dinilai terbaik dan best seller. Begitu banyak buku jika ditambah pula buku-buku terjemahan dari sastrawan dan penulis negeri manca.
Adanya penerbitan dan pencetakan ulang buku jelas merupakan anugerah bagi generasi bangsa. Generasi bangsa yang hidup di zaman berbeda masih bisa menikmati dan membaca buku-buku lama yang meskipun tak didapatkan di toko-toko buku, tapi bisa didapatkan di perpustakaan. Tapi, apakah pengunjung perpustakaan yang membutuhkan buku-buku lama tertentu bisa mudah mendapatkannya? Apakah seluruh buku-buku lama masih tetap ada?
Disadari atau tidak, penerbitan buku juga memunculkan problema terhadap perpustakaan akibat rak-rak yang tak mencukupi untuk menampung seluruh buku. Buku-buku bertambah hampir setiap tahun yang tentu perlu menambah rak. Meskipun hal ini telah dilakukan, namun bangunan perpustakaan yang justru tak mendukung. Penyediaan rak tentu juga harus memperhatikan penataan ruang. Akibatnya, buku-buku terbitan lama lebih sering disimpan dan digudangkan (atau mungkin dijual?). Di Perpusda, misalnya, terdapat buku-buku terbitan lama, tapi bukan berarti seluruh buku terbitan lama tersedia. Malah buku-buku lama tertentu tak tersedia meskipun telah mengunjungi seluruh perpustakaan di DIY. Mungkin bagi sebagian kita tak terlalu masalah karena banyak yang lebih membutuhkan buku-buku terbaru, namun demikian buku-buku terbitan lama bukannya tidak penting.
Menurut penulis, buku-buku terbitan lama masih perlu dijaga. Perlunya menjaga buku-buku terbitan lama ini tak sekadar untuk keperluan riset pustaka dan urusan studi, tapi untuk “kebutuhan membaca”. Setiap buku terbitan lama dan anyar masih dibutuhkan. Dengan menyimpan banyak buku, perpustakaan memang bisa dikiaskan sebagai “museum buku”. Namun, kita juga membutuhkan museum buku dalam arti sebenarnya, yang menyimpan dan menjaga buku-buku lama dari kepunahan. Buku-buku lama maupun buku-buku yang tak lagi diterbitkan perlu dimuseumkan demi kebutuhan membaca setiap generasi kini dan mendatang.
Bagaimana pun, buku tak sekadar kumpulan aksara tanpa makna. Buku telah merekam jejak peristiwa. Buku juga menyampaikan ilmu, hikmah, dan kebijaksanaan. Buku menjadikan setiap manusia memiliki kedalaman pengetahuan dan wawasan. Dengan buku, manusia memiliki pikiran dan jiwa besar, mampu mengimajinasikan dan merancang masa depan. Membaca buku, kita membaca zaman. Tak sekadar teks, buku juga menyimpan nilai-nilai di setiap zaman yang bisa menjadi pelajaran. Dengan adanya museum buku, kita menjaga sejarah. Tak hanya lembaran-lembaran yang dijilid, buku juga menghadirkan penulis dan pengarang. Museum buku juga menjaga sosok penulis dan pengarang dengan pikiran dan gagasannya.
Berdirinya museum buku di kota Yogyakarta menjadi hal luar biasa. Tim khusus bisa dibentuk dalam upaya penelusuran dan pemerolehan buku-buku lama yang kini tak lagi beredar. Bagi masyarakat yang memiliki buku-buku terbitan lama bisa berkontribusi menyumbangkan bukunya. Museum buku akan menampung buku-buku terbitan zaman prakemerdekaan sampai zaman kini. Mendirikan bangunan yang pastinya bertingkat, pengadaan buku dan perawatannya, dan juga petugas yang mengelolanya memang dibutuhkan dana besar. Namun, museum buku yang diperlukan untuk “kebutuhan membaca” setiap generasi tak mungkin tanpa pengorbanan. Nantinya buku-buku di museum buku tak dipinjamkan, namun bisa dibaca. Buku perlu tersebar dan terbaca secara luas. Bukankah begitu? Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute&Pena Profetik Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar