Fakta Pahit Anak Perempuan Cina

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Pustaka SKH KEDAULATAN RAKYAT, Minggu 11 Maret 2012


Judul Buku:
Message from an Unknown Chinese Mother: Kisah-Kisah Sejati Ibu Yang Kehilangan Buah Hati Penulis: Xinran Xue Penerbit: Kompas, Jakarta Tahun: I, 2011 Tebal: xxx+274 halaman

Kisah dalam buku ini mengharukan dan menyentuh hati. Xinran Xue mengisahkan apa yang terjadi di Cina ketika seorang ibu harus rela kehilangan anak perempuannya. Karena bukan laki-laki, bayi perempuan harus menerima nasib dicampakkan, bahkan dienyahkan dari kehidupan. Dapat kita bayangkan perasaan seorang ibu yang harus terpisah dengan darah daging yang telah dikandungnya.

Sebut saja kisah di daerah Gunung Yimeng di Provinsi Shandong pada tahun 1989. Saat itu ada seorang ibu sedang melahirkan di dalam rumah. Tangisan bayi yang diketahui berjenis kelamin perempuan perlahan menghilang. Nyawa bayi itu dilenyapkan. Selain di Provinsi Shandong, kebiasaan “berbuat sesuatu” terhadap bayi perempuan sampai mati sangat lazim di daerah-daerah miskin dan terbelakang. Jika tak dibunuh, bayi perempuan ditelantarkan dan diletakkan di depan panti asuhan, di depan toilet umum, atau tempat lainnya. Bayi yang ditelantarkan dan berada di panti asuhan akhirnya diadopsi oleh keluarga-keluarga dari luar Cina.

Menurut Xinran Xue, bayi perempuan ditelantarkan telah ada sejak zaman dahulu terutama dalam kebudayaan masyarakat petani. Dalam kultur masyarakat bertani, berburu, dan menangkap ikan, adanya tenaga kerja yang berfisik kuat sangat diharapkan. Artinya, keberadaan anak laki-laki lebih utama. Sistem kuno tentang pembagian tanah yang masih berlanjut di berbagai wilayah sampai kini juga turut berpengaruh. Perempuan tak memiliki hak atas pembagian tanah. Keluarga di desa-desa mementingkan kelahiran anak laki-laki sebagai sumber properti keluarga dan pencetak kekayaan. Kebijakan satu anak yang dirumuskan di Cina pada tahun 1970-an juga berpengaruh meskipun tak seluruh keluarga menaatinya. Di beberapa wilayah malah terjadi pemaksaan secara kejam agar keluarga hanya memiliki satu anak. Jika tidak, maka bisa kehilangan pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, dan sebagainya.

Dalam menulis buku ini, awalnya tak mudah bagi Xinran Xue, karena ia juga mengalami nasib terpisah dari ibu kandungnya. Namun, panggilan jiwanya begitu kuat untuk menjembatani hati para ibu di Cina dengan anak kandung mereka yang diadopsi oleh keluarga di luar Cina. Dari pekerjaannya sebagai jurnalis dan penyiar radio, ia melihat bahwa anak perempuan Cina di luar negeri sebenarnya memiliki kerinduan bersua dengan ibu kandungnya. Seorang ibu di Amerika Serikat, misalnya, pernah berkirim surat dan bercerita kepada Xinran Xue bahwa dua anak perempuan Cina yang diadopsinya ingin sekali melihat ibu kandung mereka. Begitu juga yang dirasakan oleh anak perempuan Cina di negara-negara lain. Bahkan, anak-anak itu kerapkali tak mengerti mengapa ibu kandungnya rela mencampakkan mereka.

Perasaan tetap terikat ternyata tak hanya dialami anak-anak perempuan Cina di negeri manca, tetapi juga oleh ibu-ibu di Cina. Sesungguhnya ibu-ibu di Cina sangat menderita dan merindukan anak yang telah dikandungnya. Namun apa daya, ibu-ibu itu tak tahu lagi di mana anaknya, karena ketika ditelantarkan tak tahu siapa yang mengadopsi buah hatinya. Buku ini membuka mata kita terkait peristiwa tragis ibu-ibu di Cina yang terpaksa kehilangan anak perempuannya akibat sistem dan budaya. Xinran Xue berupaya melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan.
HENDRA SUGIANTORO
bisnis syariah

0 komentar: