Kartini, Pendidikan Perempuan, dan Kemuliaan Ibu
23.04
No comments
Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Jum'at, 20 April 2012
Memandang seorang Kartini dituntut memandang secara komprehensif. Pelbagai pendapat dan opini terkait Kartini seringkali hanya mengutip sebagian dari pernyataan yang tertera pada surat-suratnya. Padahal, Kartini adalah sosok perempuan yang dilingkupi perkembangan pemahaman dan kesadaran. Sisi psikologis dan intelektualitas Kartini tak bisa dialpakan. Surat-surat Kartini merupakan wajah dari perkembangan kejiwaan dan pikiran yang dimilikinya.
Dimuat di Nguda Rasa KORAN MERAPI, Jum'at, 20 April 2012
Memandang seorang Kartini dituntut memandang secara komprehensif. Pelbagai pendapat dan opini terkait Kartini seringkali hanya mengutip sebagian dari pernyataan yang tertera pada surat-suratnya. Padahal, Kartini adalah sosok perempuan yang dilingkupi perkembangan pemahaman dan kesadaran. Sisi psikologis dan intelektualitas Kartini tak bisa dialpakan. Surat-surat Kartini merupakan wajah dari perkembangan kejiwaan dan pikiran yang dimilikinya.
Kartini
diakui memang bersikap kritis terhadap tatanan feodalisme yang turun-temurun.
Penderitaan seorang Kartini tak dialami seorang diri. Perempuan-perempuan lain
di zamannya juga mengalami hal serupa. Memang ada perempuan yang merasakan
nasib sebagaimana Kartini, tetapi tak memiliki jiwa berontak alias menganggap
kondisi yang dihadapi adalah hal biasa. Bukankah Kartini menghadapi tradisi
yang juga dialami perempuan-perempuan sebelumnya? Kepekaan nurani Kartini pun
bersuara. Bagi Kartini, tatanan tradisi yang mengekang kebebasan perempuan
haruslah dilawan. Perempuan-perempuan yang berada di kalangan bawah mungkin
saja lebih tragis daripada nasib Kartini.
Kartini bisa
dikatakan masih memiliki ruang aktualisasi. Sesempit apa pun ruang itu, Kartini
masih bisa mengembangkan diri. Tradisi pingit yang dialaminya seusai tamat
sekolah rendah masih memungkinkan Kartini mengasah intelektualitas lewat
bahan-bahan bacaan. Tamat sekolah rendah pada usia 12 tahun tak berarti tamat
pendidikannya. Pemikiran-pemikiran Kartini yang sering dikatakan melampau
zamannya adalah hasil dialektika dari kesuntukannya membaca. Kartini masih bisa
membaca buku dan surat kabar. Kartini juga masih bisa menuangkan tulisan tak
hanya dalam bentuk surat, tetapi juga menulis untuk berbagai surat kabar.
Kartini memiliki akses untuk berinteraksi dengan sahabat-sahabat penanya.
Membaca Kartini
adalah membaca sebuah pemikiran yang tajam. Kartini tak melulu bicara soal
perempuan. Lihat saja pemikirannya terhadap bidang pendidikan dalam notanya
tertanggal Januari 1903 berjudul Berilah
Orang Jawa Pendidikan! Kartini pun masih sempat mengutarakan gagasan soal
penerbitan buku dan surat kabar. Kartini sejak awal memang konsisten
berpendirian bahwa pendidikan adalah jalan membebaskan perempuan dari
keterpurukan. Tak hanya bagi perempuan, tetapi juga bagi masyarakat-bangsanya. Dalam
pendidikan, Kartini begitu konsisten memegang pentingnya pembentukan budi
pekerti. Menurut Kartini, pendidikan tak sekadar mengutamakan kekuatan otak,
tetapi harus membentuk kemuliaan budi.
Lewat jalan
pendidikan, Kartini yakin perempuan akan berdikari dan berkemampuan. Kartini
ingin perempuan mendapatkan pendidikan yang selayaknya karena perempuan adalah
kunci penting pembangunan peradaban. Ketika Kartini bercita-cita bersekolah ke
negeri Belanda, itu dimaksudkan agar Kartini mampu mengembangkan pendidikan dan
meningkatkan derajat kaum perempuan. Dalam suratnya kepada Tuan H. H. van Kol tertanggal
21 Juni 1902, Kartini mengungkapkan keinginannya mendirikan sekolah-sekolah
untuk anak-anak perempuan Jawa. Kartini bercita-cita menjadi guru dan pendidik
yang kelak akan berkontribusi bagi kemajuan masyarakat-bangsanya.
Kartini jelas
ingin memerdekakan perempuan. Satu sikap konsisten yang dimiliki Kartini adalah
kemuliaan perempuan sebagai seorang ibu. Kartini ingin perempuan mendapatkan
pendidikan yang baik agar mampu melaksanakan tugas besarnya mendidik anak-anak.
Dalam suratnya yang ditujukan kepada Tuan Prof. Dr. G.K Anton dan Nyonya, 4
Oktober 1902, Kartini berkata, “Kami
hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar
yang diletakkan oleh ibu Alam sendiri ke dalam tangannya agar menjadi
ibu—pendidik umat manusia yang utama!” (Lihat, Surat-Surat Kartini, Renungan
tentang dan untuk Bangsanya,
diterjemahkan Sulastin Sutrisno dari Door Duisternis Tot Licht, (Jakarta:
Penerbit Djambatan, cetakan ke-2 1981), hlm. 272-273).
Menarik menyimak
dasar yang dikemukakan Kartini. Tak dimungkiri jika perempuan adalah sosok
pertama yang mendidik individu manusia. Perempuan perlu dipersiapkan
masak-masak dalam menjalankan tugasnya tersebut. Anak-anak adalah masa depan.
Dengan mendidik anak secara baik, kaum ibu mendidiknya untuk keluarga besar,
keluarga raksasa yang bernama masyarakat. Kartini menyadari bahwa anak-anak
adalah generasi yang merupakan wajah masyarakat, bangsa, dan negara di kemudian
hari. Pentingnya perempuan sebagai pendidik anak-anak senantiasa ditegaskan
Kartini. Kartini tampak konsisten
memandang peran perempuan untuk menjadi ibu dan pendidik yang cakap dan cerdas.
Pada dasarnya,
pendidikan anak merupakan kewajiban bersama antara ayah dan ibu. Pentingnya
posisi dan peran ibu tak bisa menafikan peran ayah untuk turut memberikan
pendidikan terbaik bagi anak. Perempuan menjadi ibu adalah kodrat. Ibulah yang
mengandung, melahirkan, dan menyusui anaknya. Dalam hal ini, Kartini bukannya
hanya bicara, tetapi juga memberi contoh. Kartini merasa bahagia bisa ikut
mendidik anak-anak dari Bupati Rembang meskipun bukan anak kandungnya. Kartini
juga ingin mendidik anak-anak lainnya di luar lingkungan keluarga. Menjelang kelahiran
anak kandungnya sendiri, Kartini menampakkan kebahagiaan. Takdir yang
menentukan Kartini hanya bersua dengan anak kandungnya hanya sekitar empat
hari.
Posisi dan peran
ibu di mata Kartini sungguh mulia. Ibulah yang melahirkan anak-anak yang akan mengisi
ruang kehidupan. Kesadaran ini juga menghendaki siapa pun untuk memuliakan
perempuan. Betapa berat tugas seorang ibu. Alangkah nestapanya perempuan yang
harus mendapatkan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga. Memuliakan ibu adalah
kewajiban. Dalam agama pun, ibu menempati posisi utama untuk dihormati. Suami
berkewajiban memuliakan istrinya. Begitu juga anak yang lahir dari rahim ibu
harus memuliakan ibunya. Wallahu a’lam.
Demi Pendidikan, Jangan Konsumtif
20.38
No comments
Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Peduli Pendidikan SKH KEDAULATAN RAKYAT, Senin, 9 April 2012
Di zaman kini begitu banyak produk diiklankan dan dipromosikan, sehingga menebarkan pikat. Kita pun kerapkali terperdaya untuk membeli, entah itu produk pakaian, makanan, teknologi, kesehatan, elektronik, dan sebagainya. Yang menggelisahkan, kita seakan-akan berpikir seribu kali apabila uang yang dimiliki digunakan untuk menunjang pendidikan.
Kita cenderung jauh dari kearifan hidup sederhana. Begitu mudahnya kita mengeluarkan rupiah untuk belanja di pusat-pusat perbelanjaan. Belanja memang tak dilarang. Namun, kita kerapkali hanya memenuhi hasrat keinginan, padahal produk-produk yang dibeli tak dibutuhkan. Kita yang kaya maupun miskin tak jauh berbeda. Kita yang sebenarnya tak memiliki penghasilan memadai kerapkali bersikap boros. Selera makan dan pakaian pun kadang pilih-pilih. Padahal, makan apa saja asalkan sehat bukan menjadi soal. Bukan masalah mengenakan pakaian bermerk apapun asalkan bisa menutupi dan melindungi tubuh. Kita suka berganti-berganti produk elektronik ataupun produk teknologi informasi komunikasi, padahal produk yang lama masih bisa digunakan.
Selayaknya kita bertanya, bagaimana dengan urusan pendidikan? Apakah kita berani mengeluarkan uang berlimpah untuk menunjang pendidikan anak-anak kita? Kita dalam sebulan mungkin menghabiskan belanja pakaian ratusan ribu, namun mengaku miskin apabila membayar biaya pendidikan. Kita begitu sulitnya membeli fasilitas penunjang pendidikan, tetapi begitu mudahnya mengeluarkan uang untuk memenuhi keinginan perut.
Jika kita menyadari, sesungguhnya pendidikan adalah pilar penting eksistensi hidup. Pendidikan menentukan masa depan. Banyak dari kita yang miskin, namun kita harus memajukan hidup. Kita harus mengedepankan kesederhanaan dalam hidup ini. Produk yang ada biarlah beredar, tetapi kita hanya membeli sesuai kebutuhan. Tak perlu bersikap boros karena kita tak hidup hanya untuk saat ini. Ada masa depan anak-anak kita yang harus kita perhatikan. Hidup hemat adalah kearifan.
Di masa mendatang, tantangan zaman jelas berbeda dengan masa kini. Kita tak cukup sekadar bisa menyekolahkan anak pada jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. Kita juga perlu menunjang ketersediaan buku-buku agar anak-anak kita memiliki ilmu, wawasan, pengetahuan yang memadai. Keterampilan dan kemampuan hidup anak juga perlu diasah untuk menghadapi zamannya. Puluhan tahun mendatang, ada kehidupan masa depan yang akan dihadapi anak-anak kita. Kunci menyiapkan anak-anak kita itu adalah dengan pendidikan. Adapun pendidikan tak mungkin lepas dari biaya. Jer basuki mawa bea. Kita perlu bersiap menderita agar kehidupan anak-anak kita lebih baik di masa mendatang. Wallahu a’lam.
Dimuat di Peduli Pendidikan SKH KEDAULATAN RAKYAT, Senin, 9 April 2012
Di zaman kini begitu banyak produk diiklankan dan dipromosikan, sehingga menebarkan pikat. Kita pun kerapkali terperdaya untuk membeli, entah itu produk pakaian, makanan, teknologi, kesehatan, elektronik, dan sebagainya. Yang menggelisahkan, kita seakan-akan berpikir seribu kali apabila uang yang dimiliki digunakan untuk menunjang pendidikan.
Kita cenderung jauh dari kearifan hidup sederhana. Begitu mudahnya kita mengeluarkan rupiah untuk belanja di pusat-pusat perbelanjaan. Belanja memang tak dilarang. Namun, kita kerapkali hanya memenuhi hasrat keinginan, padahal produk-produk yang dibeli tak dibutuhkan. Kita yang kaya maupun miskin tak jauh berbeda. Kita yang sebenarnya tak memiliki penghasilan memadai kerapkali bersikap boros. Selera makan dan pakaian pun kadang pilih-pilih. Padahal, makan apa saja asalkan sehat bukan menjadi soal. Bukan masalah mengenakan pakaian bermerk apapun asalkan bisa menutupi dan melindungi tubuh. Kita suka berganti-berganti produk elektronik ataupun produk teknologi informasi komunikasi, padahal produk yang lama masih bisa digunakan.
Selayaknya kita bertanya, bagaimana dengan urusan pendidikan? Apakah kita berani mengeluarkan uang berlimpah untuk menunjang pendidikan anak-anak kita? Kita dalam sebulan mungkin menghabiskan belanja pakaian ratusan ribu, namun mengaku miskin apabila membayar biaya pendidikan. Kita begitu sulitnya membeli fasilitas penunjang pendidikan, tetapi begitu mudahnya mengeluarkan uang untuk memenuhi keinginan perut.
Jika kita menyadari, sesungguhnya pendidikan adalah pilar penting eksistensi hidup. Pendidikan menentukan masa depan. Banyak dari kita yang miskin, namun kita harus memajukan hidup. Kita harus mengedepankan kesederhanaan dalam hidup ini. Produk yang ada biarlah beredar, tetapi kita hanya membeli sesuai kebutuhan. Tak perlu bersikap boros karena kita tak hidup hanya untuk saat ini. Ada masa depan anak-anak kita yang harus kita perhatikan. Hidup hemat adalah kearifan.
Di masa mendatang, tantangan zaman jelas berbeda dengan masa kini. Kita tak cukup sekadar bisa menyekolahkan anak pada jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. Kita juga perlu menunjang ketersediaan buku-buku agar anak-anak kita memiliki ilmu, wawasan, pengetahuan yang memadai. Keterampilan dan kemampuan hidup anak juga perlu diasah untuk menghadapi zamannya. Puluhan tahun mendatang, ada kehidupan masa depan yang akan dihadapi anak-anak kita. Kunci menyiapkan anak-anak kita itu adalah dengan pendidikan. Adapun pendidikan tak mungkin lepas dari biaya. Jer basuki mawa bea. Kita perlu bersiap menderita agar kehidupan anak-anak kita lebih baik di masa mendatang. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Warga masyarakat Yogyakarta
Membangun Pendidikan di Daerah 3T
16.47
No comments
Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA, Jum'at, 30 Maret 2012
Indonesia adalah negeri yang luas. Di negeri ini, ada daerah yang telah mencapai kemajuan, ada pula daerah yang masih tertatih-tatih. Kualitas pendidikan di setiap daerah pun berbeda. Kenyataan geografis, ada daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) di negeri ini yang membutuhkan kepedulian dan perhatian.
Dimuat di Jagongan HARIAN JOGJA, Jum'at, 30 Maret 2012
Indonesia adalah negeri yang luas. Di negeri ini, ada daerah yang telah mencapai kemajuan, ada pula daerah yang masih tertatih-tatih. Kualitas pendidikan di setiap daerah pun berbeda. Kenyataan geografis, ada daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) di negeri ini yang membutuhkan kepedulian dan perhatian.
Untuk memajukan daerah 3T, kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI berupa Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia layaklah diapresiasi. Salah satu dari program itu adalah Program Sarjana Mendidik di Daerah 3T (SM-3T). Di daerah 3 T, sarjana pendidikan yang belum menjadi guru ditugaskan selama setahun. Ada empat tujuan dari Program SM-3T. Pertama, membantu daerah 3T dalam mengatasi permasalahan pendidikan terutama kekurangan tenaga pendidik.
Kedua, memberikan pengalaman pengabdian kepada sarjana pendidikan sehingga terbentuk sikap profesional, cinta tanah air, bela negara, peduli, empati, terampil memecahkan masalah kependidikan, dan bertanggung jawab terhadap kemajuan bangsa, serta memiliki jiwa ketahanmalangan dalam mengembangkan pendidikan pada daerah-daerah tergolong 3T. Ketiga, menyiapkan calon pendidik yang memiliki jiwa keterpanggilan untuk mengabdikan dirinya sebagai pendidik profesional pada daerah 3T. Keempat, mempersiapkan calon pendidik profesional sebelum mengikuti Program Pendidikan Profesi Guru.
Selain program tersebut, Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia lainnya adalah Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi dengan Kewenangan Tambahan (PPGT), Program Kuliah Kerja Nyata di Daerah 3T-dan PPGT (KKN-3T PPGT), Program Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi Kolaboratif (PPGT Kolaboratif), (5) Program S-1 Kependidikan dengan Kewenangan Tambahan (S-1 KKT).
Dengan program yang digulirkan Kemendikbud RI di atas, daerah 3T harapannya dapat mempercepat pembangunan pendidikannya. Program yang digulirkan semoga dapat berlangsung secara baik. Segala kekurangan dan kelebihan perlulah dievaluasi. Sebagai satu bangsa, setiap daerah di Indonesia tentunya harus maju bersama-sama. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Warga Daerah Istimewa Yogyakarta
Mengajar, Sebuah Pekerjaan Mulia
16.45
No comments
Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa REPUBLIKA DIY-JATENG, Kamis, 29 Maret 2012
Cicero (dalam Suyanto: 2006) mengatakan, “Pekerjaan apakah yang lebih mulia, atau yang lebih bernilai bagi negara, daripada mengajar generasi yang sedang tumbuh?” Pertanyaan tersebut, menurut penulis, bukan mengajak kita berpikir untuk menjawabnya, tetapi justru menegaskan bahwa mengajar adalah pekerjaan yang mulia dan bernilai. Dalam konteks lebih luas, tak hanya mengajar, tetapi juga mendidik.
Dengan sebuah pengajaran, generasi bangsa akan memiliki kecakapan dan keterampilan yang bermanfaat bagi kehidupannya. Ilmu, wawasan, dan pengetahuan didapatkan generasi bangsa melalui pengajaran. Secara formal, pengajaran diinstitusionalisasikan ke dalam sebuah lembaga bernama sekolah. Adapun pekerjaan mengajar dilakukan oleh guru. Di tengah berbagai kritik dan koreksi, sesungguhnya guru dan lembaga sekolah dibutuhkan dalam menempa dan mendidik generasi bangsa. Apa yang telah diberikan guru untuk generasi bangsa layaklah dihargai. Seiring gerak dan kemajuan zaman, guru harus terus belajar mengembangkan kemampuan dan kapasitasnya. Sampai kapan pun, negeri ini tetap membutuhkan kehadiran guru yang profesional dan memiliki dedikasi.
Di sisi lain, pemerataan guru di negeri ini ternyata masih menimbulkan persoalan pelik. Ada daerah yang kelebihan guru, ada pula yang justru kekurangan guru. Di wilayah DIY-Jawa Tengah, persoalan ini tak dimungkiri masih kentara. Bahkan, untuk jenjang pendidikan dasar, persoalan juga terkait dengan jumlah guru kelas dan guru bidang studi. Belum lagi ditambah dengan kondisi geografis di Indonesia. Di daerah yang terpencil, terdepan, dan tertinggal, guru yang memenuhi kualifikasi masih kurang.
Dalam hal ini, kita pastinya sepakat bahwa pengajaran kepada generasi bangsa tak mungkin diabaikan. Pendidikan diperlukan bagi seluruh generasi bangsa untuk menghadapi kehidupan di masa kini dan di masa mendatang. Kita menginginkan agar seluruh generasi bangsa memiliki kecakapan, kecerdasan, keterampilan, sikap, dan perilaku yang memadai untuk hari depannya. Untuk mengatasi kebutuhan guru, tanggung jawab memang berada di pundak negara. Sesuai amanat konstitusi, negara mengemban kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang salah satunya ditempuh dengan menyediakan guru yang berkualitas.
Di tengah kekurangan, pemerintah sebagai representasi negara tentu telah berusaha mengatasi persoalan tersebut. Salah satu program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI yang tentunya perlu diapresiasi adalah menerjunkan sarjana pendidikan yang belum menjadi guru untuk bertugas di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) di Indonesia selama setahun. Di daerah tersebut juga ada program kuliah kerja nyata bagi mahasiswa. Dengan tajuk Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia, Kemendikbud juga berusaha memajukan guru-guru di daerah 3T.
Kebutuhan guru tentu tak hanya di bangku pendidikan formal, tetapi juga di ranah nonformal. Coba kita lihat, di negeri ini penduduk yang buta aksara masih menjadi persoalan pelik. Pendidikan berbasis masyarakat juga membutuhkan kehadiran guru. Bahkan, diperlukan pula guru yang memiliki kompetensi membina dan mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Tentu saja, pengajaran dan pendidikan harus diberikan kepada seluruh generasi bangsa tanpa terkecuali.
Untuk kebangunan dan kemajuan negeri ini, panggilan menjadi guru terus menggema setiap saat. Jika Kaisar Hirohito saat Hiroshima dan Nagasaki di bom atom Amerika Serikat bertanya berapa jumlah guru yang masih hidup, Indonesia pun bertanya siapakah yang bersedia untuk menjadi guru? Guru yang tulus mengabdi dan memberikan ilmu yang bermanfaat akan berpahala meskipun telah tiada. Wallahu a’lam.
Dimuat di Suara Mahasiswa REPUBLIKA DIY-JATENG, Kamis, 29 Maret 2012
Cicero (dalam Suyanto: 2006) mengatakan, “Pekerjaan apakah yang lebih mulia, atau yang lebih bernilai bagi negara, daripada mengajar generasi yang sedang tumbuh?” Pertanyaan tersebut, menurut penulis, bukan mengajak kita berpikir untuk menjawabnya, tetapi justru menegaskan bahwa mengajar adalah pekerjaan yang mulia dan bernilai. Dalam konteks lebih luas, tak hanya mengajar, tetapi juga mendidik.
Dengan sebuah pengajaran, generasi bangsa akan memiliki kecakapan dan keterampilan yang bermanfaat bagi kehidupannya. Ilmu, wawasan, dan pengetahuan didapatkan generasi bangsa melalui pengajaran. Secara formal, pengajaran diinstitusionalisasikan ke dalam sebuah lembaga bernama sekolah. Adapun pekerjaan mengajar dilakukan oleh guru. Di tengah berbagai kritik dan koreksi, sesungguhnya guru dan lembaga sekolah dibutuhkan dalam menempa dan mendidik generasi bangsa. Apa yang telah diberikan guru untuk generasi bangsa layaklah dihargai. Seiring gerak dan kemajuan zaman, guru harus terus belajar mengembangkan kemampuan dan kapasitasnya. Sampai kapan pun, negeri ini tetap membutuhkan kehadiran guru yang profesional dan memiliki dedikasi.
Di sisi lain, pemerataan guru di negeri ini ternyata masih menimbulkan persoalan pelik. Ada daerah yang kelebihan guru, ada pula yang justru kekurangan guru. Di wilayah DIY-Jawa Tengah, persoalan ini tak dimungkiri masih kentara. Bahkan, untuk jenjang pendidikan dasar, persoalan juga terkait dengan jumlah guru kelas dan guru bidang studi. Belum lagi ditambah dengan kondisi geografis di Indonesia. Di daerah yang terpencil, terdepan, dan tertinggal, guru yang memenuhi kualifikasi masih kurang.
Dalam hal ini, kita pastinya sepakat bahwa pengajaran kepada generasi bangsa tak mungkin diabaikan. Pendidikan diperlukan bagi seluruh generasi bangsa untuk menghadapi kehidupan di masa kini dan di masa mendatang. Kita menginginkan agar seluruh generasi bangsa memiliki kecakapan, kecerdasan, keterampilan, sikap, dan perilaku yang memadai untuk hari depannya. Untuk mengatasi kebutuhan guru, tanggung jawab memang berada di pundak negara. Sesuai amanat konstitusi, negara mengemban kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang salah satunya ditempuh dengan menyediakan guru yang berkualitas.
Di tengah kekurangan, pemerintah sebagai representasi negara tentu telah berusaha mengatasi persoalan tersebut. Salah satu program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI yang tentunya perlu diapresiasi adalah menerjunkan sarjana pendidikan yang belum menjadi guru untuk bertugas di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) di Indonesia selama setahun. Di daerah tersebut juga ada program kuliah kerja nyata bagi mahasiswa. Dengan tajuk Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia, Kemendikbud juga berusaha memajukan guru-guru di daerah 3T.
Kebutuhan guru tentu tak hanya di bangku pendidikan formal, tetapi juga di ranah nonformal. Coba kita lihat, di negeri ini penduduk yang buta aksara masih menjadi persoalan pelik. Pendidikan berbasis masyarakat juga membutuhkan kehadiran guru. Bahkan, diperlukan pula guru yang memiliki kompetensi membina dan mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Tentu saja, pengajaran dan pendidikan harus diberikan kepada seluruh generasi bangsa tanpa terkecuali.
Untuk kebangunan dan kemajuan negeri ini, panggilan menjadi guru terus menggema setiap saat. Jika Kaisar Hirohito saat Hiroshima dan Nagasaki di bom atom Amerika Serikat bertanya berapa jumlah guru yang masih hidup, Indonesia pun bertanya siapakah yang bersedia untuk menjadi guru? Guru yang tulus mengabdi dan memberikan ilmu yang bermanfaat akan berpahala meskipun telah tiada. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Mahasiswa Universitas PGRI Yogyakarta
Anak Putus Sekolah Tanggung Jawab Negara
16.43
No comments
Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Bebas Bicara BERNAS JOGJA, Selasa 27 Maret 2012
Anggota Komisi X DPR RI Raihan Iskandar mengungkapkan bahwa kinerja pemerintah di bidang pendidikan tak menunjukkan hasil signifikan selama tahun 2011. Salah satu indikatornya adalah masih banyaknya anak putus sekolah. Mengutip data, Raihan Iskandar menyebut ada sekitar 10,268 juta siswa yang tak menuntaskan jenjang SD dan SMP. Di sisi lain, ada sekitar 3,8 juta siswa yang tak dapat melanjutkan ke jenjang SMA (www.kompas.com, 26/12/2011).
Fakta di atas menarik dicermati. Pada tahun 2012 ini, anak putus sekolah masih dimungkinkan terjadi. Faktor ekonomi kerapkali menjadi hambatan. Meskipun ada bantuan operasional sekolah (BOS), dana tersebut ternyata belum mampu mengatasi anak putus sekolah. Mendikbud, Mohammad Nuh, malah akan meningkatkan dana BOS tahun 2012 untuk menekan siswa drop out dan tak dapat melanjutkan sekolah.
Harus diakui persoalan kemiskinan di negeri ini masih pelik. Siswa dari keluarga miskin cenderung menjadi korban dari mahalnya biaya pendidikan di sekolah. Ukuran mahal dan tidak mahal memang relatif, namun kenyataan menunjukkan sebagian masyarakat belum mampu menopang tuntutan finansial untuk menyekolahkan anak-anaknya. Padahal, setiap anak bangsa dari kalangan mana pun berhak mengembangkan kemampuan dan kapasitas dirinya melalui penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang berkualitas. Pertanyaan, apakah anak menempuh pendidikan di sekolah hanya tanggung jawab negara?
Dalam konstitusi, negara memang berkewajiban menyelenggarakan pendidikan bagi warga negaranya. UUD 1945 Pasal 31 (2) malah menegaskan kewajiban pemerintah membiayai pendidikan dasar warga negaranya. Mengacu pada UU No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan dasar adalah SD/MI dan SMP/MTs. Bahkan, dalam Bab VIII Pasal 34 (2) UU tersebut disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya itu, negara tentu tak harus bekerja dan bergerak sendiri. Negara bisa saja mengajak peran masyarakat atau menggandeng pihak perusahaan dalam upaya mengentaskan anak-anak putus sekolah. Adapun cara lainnya, negara tentu harus lebih cerdas melaksanakan tanggung jawabnya. Wallahu a’lam.
Dimuat di Bebas Bicara BERNAS JOGJA, Selasa 27 Maret 2012
Anggota Komisi X DPR RI Raihan Iskandar mengungkapkan bahwa kinerja pemerintah di bidang pendidikan tak menunjukkan hasil signifikan selama tahun 2011. Salah satu indikatornya adalah masih banyaknya anak putus sekolah. Mengutip data, Raihan Iskandar menyebut ada sekitar 10,268 juta siswa yang tak menuntaskan jenjang SD dan SMP. Di sisi lain, ada sekitar 3,8 juta siswa yang tak dapat melanjutkan ke jenjang SMA (www.kompas.com, 26/12/2011).
Fakta di atas menarik dicermati. Pada tahun 2012 ini, anak putus sekolah masih dimungkinkan terjadi. Faktor ekonomi kerapkali menjadi hambatan. Meskipun ada bantuan operasional sekolah (BOS), dana tersebut ternyata belum mampu mengatasi anak putus sekolah. Mendikbud, Mohammad Nuh, malah akan meningkatkan dana BOS tahun 2012 untuk menekan siswa drop out dan tak dapat melanjutkan sekolah.
Harus diakui persoalan kemiskinan di negeri ini masih pelik. Siswa dari keluarga miskin cenderung menjadi korban dari mahalnya biaya pendidikan di sekolah. Ukuran mahal dan tidak mahal memang relatif, namun kenyataan menunjukkan sebagian masyarakat belum mampu menopang tuntutan finansial untuk menyekolahkan anak-anaknya. Padahal, setiap anak bangsa dari kalangan mana pun berhak mengembangkan kemampuan dan kapasitas dirinya melalui penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang berkualitas. Pertanyaan, apakah anak menempuh pendidikan di sekolah hanya tanggung jawab negara?
Dalam konstitusi, negara memang berkewajiban menyelenggarakan pendidikan bagi warga negaranya. UUD 1945 Pasal 31 (2) malah menegaskan kewajiban pemerintah membiayai pendidikan dasar warga negaranya. Mengacu pada UU No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan dasar adalah SD/MI dan SMP/MTs. Bahkan, dalam Bab VIII Pasal 34 (2) UU tersebut disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya itu, negara tentu tak harus bekerja dan bergerak sendiri. Negara bisa saja mengajak peran masyarakat atau menggandeng pihak perusahaan dalam upaya mengentaskan anak-anak putus sekolah. Adapun cara lainnya, negara tentu harus lebih cerdas melaksanakan tanggung jawabnya. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Universitas PGRI Yogyakarta